[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 4 Chapter 4.2 Bahasa Indonesia
Chapter Empat: Belanja Perlengkapan Bayi
2
Keesokan
paginya, keluarga itu berangkat ke Garaat setelah sarapan singkat, dan seperti yang dijanjikan, Marie menunggangi bahu
Anima. Marie telah melewati jalan itu berkali-kali sebelumnya, tapi kali ini
dia melihatnya dari sudut pandang baru, seolah-olah
dunia baru telah terbentang di hadapannya. Dia dengan bersemangat melihat
sekeliling, menerima pengalaman baru itu sepenuhnya.
“Kamu akan
pusing kalau membolak-balikkan kepalamu seperti itu.”
Peringatan
Myuke masuk ke kuping kiri keluar ke kuping kanan. Marie begitu asyik dengan
pengalaman baru itu sehingga kata-kata kakaknya bahkan tidak masuk ke
kepalanya. Namun, rasa takjubnya itu hanya bisa bertahan sebentar. Bosan dengan
jalan hutan yang tidak berubah, dia mencari aktivitas lain.
“Ayah, layi!”
“Oke!
Pegangan yang erat!” menjawab
permintaan Marie, Anima pun mulai berlari. Dia memperlambatnya agar Marie tidak
terpental dari punggungnya, tapi untuk si Marie kecil, bahkan kecepatan lari
pelan Anima pun
terasa seperti
menggunakan batu sihir yang memberikan kecepatan super. “Kita berbalik!
Pegangan yang erat!”
“Maju, Ayah!”
Anima
berbalik, menghempaskan debu di belakangnya, dan kembali ke Luina dan yang
lainnya.
“Selamat
datang kembali.”
“Itu terlihat sangat menyenangkan,
oce?”
“Uh-huh,
iya! Ayah suuupey cepat! Aku ingin cepat sepeti
Ayah!”
“Ayah
yakin kamu bisa. Kamu memiliki bakat dalam berlari. Kamu akan melampaui Ayah
dalam waktu singkat, itu
pasti.”
“Benaykah? Aku ingin beyatih
kejay-kejayan!”
“Kamu mau berlatih? Apakah itu artinya kamu ingin turun?” tanya Anima dengan nada kecewa dalam suaranya.
Anima benar-benar senang memanjakan Marie.
“Uh-huh!
Tapi, tapi, aku mau digendong yagi nanti!”
“Tentu
saja! Ayah akan menggendongmu kapan pun kamu mau!”
Dengan
janji yang dibuat itu, serta dengan Myuke dan Bram mengejarnya agar dia tidak
sendirian, Marie pun turun dari bahu Anima dan segera mulai berlari. Dia
berlari ke depan dengan kecepatan penuh selama beberapa detik, kemudian, meniru
Anima, berbalik dan berlari kembali.
“Aku
kembali!”
Dia
membenamkan wajahnya di perut Anima.
“Sudah
Ayah duga, kamu sangat cepat.”
“Begitu
cepat sehingga rambutmu acak-acakan karena angin.”
Luina
merapikan rambut Marie dengan jari-jarinya—membuat Marie sangat senang. Sengaja
atau tidak, dia senang kepalanya diusap
“Ayah, angkat!”
“Oke, ini
dia.”
Marie
ingin digendong di depan untuk mengubah suasana, jadi Anima mengangkatnya dan
mereka pun berjalan menuju Garaat. Sesampai di sana, mereka langsung menuju
penjahit melewati jalan utama yang ramai.
“Kita akan
ke penjahit mana? Mereka sebaiknya cukup hebat, oce?”
“Ayah pikir
kita akan pergi ke tempat biasa. Tentu saja, kecuali Luina ingin pergi ke
tempat lain.”
“Tidak,
itu kedengarannya sempurna. Aku sudah tahu persis apa yang aku cari, jadi kita
mungkin tidak akan lama. Aku yakin mereka memiliki stok gaun longgar.”
“Bagaimana
kalau kita membeli makanan setelah kita selesai berbelanja?” usul Anima.
Mereka
datang ke kota dengan suatu tujuan lain, tapi mereka memiliki sangat sedikit
kesempatan untuk pergi keluar sebagai sebuah keluarga akhir-akhir ini. Mereka
ingin bersenang-senang sebelum pulang.
“Aku ingin
wapel!” seru Marie, yang mana hal itu sama
sekali tidak mengejutkan siapa pun. Dia menyukai wafel sampai-sampai itu
menjadi motif di banyak gambarnya. Anima tidak akan lupa melihat senyumnya saat
dia mengunyah wafel.
“Kedengarannya
bagus. Bagaimana dengan kalian, anak-anak?”
“Aku sangat setuju. Wafel rasanya
enak!”
“Aku juga
sangat menyukainya.”
“Aku
lapar, oce?! Aku ingin punyaku disiram saus cokelat!”
“Aku mau madu!”
“Aku, aku,
aku, umm…”
Pilihan
topping yang tidak sedikit membuat Marie panik.
“Kamu
tidak harus memilihnya sekarang.”
“Anima
benar. Sebetulnya, bagaimana kalau kita semua membeli
topping yang berbeda dan kemudian membaginya menjadi lima bagian? Dengan
begitu, kita bisa mencoba semua jenis topping yang berbeda.”
“Uh-huh!
Aku ingin mencoba semua yang enyak!”
Bersamaan
dengan terselesaikannya kebingungan Marie, Mereka pun mencapai tempat jahit
yang tidak asing untuk mereka. Di dalamnya, penjuru dinding toko itu tertutup
dengan segala macam warna-warni, yang kebanyakan adalah pakaian wanita. Anima
berfirasat bahwa menemukan pakaian ibu hamil tidak akan menjadi masalah, dan
tentu saja, mereka menemukan pakaian one-piece hitam yang tampak bagus
hanya dalam hitungan detik sejak pencarian mereka dimulai. Ukurannya sedikit
lebih besar dari pakaian Luina yang biasa, yang berarti kemungkinan besar itu
akan sangat pas untuknya.
“Bagaimana
menurutmu dengan yang ini?”
“Aku
menyukai ini. Terasa sangat enak disentuh, dan terlihat tebal. Aku mungkin
tidak perlu memakai apa pun di atas ini agar tetap hangat.”
“Senang
mendengarnya. Kita harus mencari beberapa lagi, supaya kamu punya banyak
pilihan.”
“Hmm, mari
lihat…” gumam Luina saat dia kembali melihat-lihat pakaian.
“Bagaimana
dengan ini?” tanya Myuke, mengangkat sebuah gaun.
“Aku
menyukainya, oce?”
“Imutnyaaa!”
Gadis-gadis
juga mengobrak-abrik pakaian, dan mereka jelas memiliki bakat dalam fashion.
Setiap pakaian yang mereka sarankan tampak bagus, hanya menyisakan pertanyaan
apakah pakaian-pakaian itu akan cocok dengan Luina.
“Ini semua
terlihat sangat nyaman, dan aku juga menyukai warnanya. Anak-anak sudah berbaik
hati dengan memilihkannya untukku, jadi kita harus membelinya.”
“Setuju. Cobalah dulu; kami akan
menunggu di sini. Apakah kamu akan baik-baik saja melakukannya sendiri?”
“Jangan khawatir, aku tidak akan
tersandung saat berpakaian.”
“Senang
mendengarnya, tapi jangan malu-malu untuk meminta tolong jika kamu
membutuhkannya. Cukup katakan saja dan aku akan segera ke sana.”
“Aku akan
mengingatnya. Aku pergi dulu; Ini seharusnya tidak akan lama.”
Luina
membawa pakaian itu ke penjahit dan menghilang ke bagian belakang toko. Setelah
beberapa menit, dia kembali dengan pakaian di tangannya.
“Ini agak
kebesaran, tapi tidak apa-apa karena semuanya terasa sangat nyaman.”
“Baguslah!
Kalau gitu, ayo kita beli.”
Anima
mengambil gaun dari Luina dan pergi ke meja kasir untuk membayar.
“Waktunya untuk wafel kami yang
sangat layak, oce?!”
“Woo-hoo!”
Bram dan
Marie bersorak untuk suguhan yang menunggu mereka begitu mereka keluar dari
toko. Marie bahkan mulai ngiler memikirkan itu—yang mengisyaratkan Anima untuk
bergegas.
Bersemangat
melihat senyum mereka saat mereka semua mendapatkan wafel, dia dan para gadis
pun mulai berjalan menuju alun-alun ketika mereka mendengar tangisan di
dekatnya. Anima melihat sekeliling dan menemukan seorang wanita sedang panik di
depan kereta dorong bayi. Wanita itu berusaha menenangkan bayinya yang menangis
dengan menggantungkan mainan di depannya.
“Ada apa?” tanya Luina.
“Aku
sedang melihat itu.”
Anima
menunjuk bayi yang sedang menangis di kereta dorongnya.
“Kereta
bayi? Yah, kita akan membutuhkannya begitu anak kita lahir.”
“Bagaimana
kalau kita membelinya sekarang?”
“Sekarang?”
Dia
terkejut, dan memang seharusnya begitu. Dia masih punya waktu sekitar lima
bulan sampai melahirkan, jadi mereka tidak perlu membelinya secepat itu.
“Aku tidak
ingin menyeretmu berkeliling kota setelah kamu melahirkan. Dan siapa tahu,
mungkin saja akan ada ledakan bayi tepat pada saat kamu melahirkan dan kereta bayi
akan terjual habis.”
Itu sangat
kecil kemungkinannya, tapi tetap saja ada kemungkinan hal itu bisa terjadi. Mengulur pembelian penting seperti itu sampai tepat setelah
melahirkan hanya akan membuat mereka stres, jadi dia ingin menyelesaikannya
sesegera mungkin.
“Seriusan?
Ayolah, Ayah, itu tidak akan pernah terjadi. Tapi tetap saja, aku setuju dengan
Ayah. Kita harus membeli semuanya secepat yang kita bisa. Memiliki banyak
perlengkapan bayi di rumah akan membuat suasana terasa seperti bayi akan segera
lahir, yang akan membantu kita semua mempersiapkannya.”
Argumen
kuat Myuke berhasil meyakinkan Luina.
“Oke, ayo
kita beli perlengkapannya sekarang.”
“Terima
kasih. Maaf, anak-anak, tapi kalian dengar ibu kalian, kan? Wafelnya harus
menunggu sebentar dulu.”
“Tidak
apa-apa, oce?”
Marie
sedikit sedih, tapi Myuke dan Bram langsung setuju.
“Ayah, apa
yang kita beli?”
Ditundanya
wafel pasti telah menghalangi pendengaran Marie untuk sementara, karena dia
tampaknya melewatkan isi percakapan mereka. Entah karena itu, atau dia tidak
mengerti apa yang terjadi.
“Pakaian
dan mainan untuk bayi.”
“Kita
membeli mainan?”
“Ya, jadi
kita bisa menghibur bayinya jika dia mulai menangis.”
“Aku suka
mainan! Aku mau pilih!"
Anima
takut Marie akan kesal karena wafelnya tertunda, tapi kata-kata mainan langsung
mengalihkan pikiran itu darinya.
“Bagus
sekali! Lagi pula, kamu adalah ahli mainan! Apakah menurutmu kamu dapat
menemukan mainan terbaik untuk bayinya?”
Mata Marie
berbinar, bersiap menghadapi tantangan.
“Aku senang
kalian bersemangat, tapi aku tidak tahu di mana harus membeli perlengkapan
bayi, oce? Apakah Ayah tahu?”
Langkah
Anima terhenti oleh pertanyaan sederhana itu.
“Pertanyaan
bagus; Ayah tidak tahu. Apakah kamu tahu?”
“Maaf,
tapi aku juga tidak tahu…”
Luina juga
terhenti. Anima mengira bahwa mengelola panti asuhan akan mempersiapkannya
untuk situasi seperti ini, tapi orang tuanya kemungkinan telah melengkapi
tempat itu sebelum Luina mengambil alih.
“Tidak apa-apa, aku akan menunjukkan
di mana tempatnya,” kata Myuke.
“Hebat
sekali, Myuke! Kamu seperti peta berjalan, oce?!”
“Myukey menakjubkan!”
“Aduh.
Biasa aja kok.”
Dia
mencoba biasa saja, tapi pipinya yang memerah mengkhianatinya.
“Aku tidak
tahu apa yang harus kami lakukan tanpamu, Myuke.”
“Kamu
selalu ada di saat kami sangat membutuhkanmu.”
“A-Astaga,
kalian ini…”
Myuke
menjadi merah padam saat mereka terus menumpuk pujian, lalu dia pun mulai
menuntun mereka menyusuri kota dengan senyum lebar di wajahnya.
“Itu, di sana.”
Toko perlengkapan
bayi berada tepat di belakang penjahit. Meskipun mereka tidak sering
mengunjungi daerah itu, mereka pasti telah berjalan melewati tempat itu
beberapa kali. Anima jelas pernah melewatinya ketika dia sedang berburu hadiah
ulang tahun Marie dan bertemu dengan Ena yang tersesat. Dia telah mengantar Ena
ke toko mainan, yang kebetulan berada tepat di sebelah toko perlengkapan bayi.
Mengikuti
Myuke, mereka pun memasuki toko. Anima langsung terkejut dengan banyaknya
barang yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya.
“Apa ini?”
tanya Anima.
“Ini
selimut bayi,” jawab Luina. “Kamu
menyelimuti sekeliling bayi dengan ini.”
“Jadi itu
pakaian bayi?”
“Tidak,
ini untuk menghangatkan bayi. Ini juga membantu menjaga kepala bayi agar tetap
tegak ketika mereka tidak bisa menahan kepalanya sendiri.”
“Kamu
ternyata mengetahui tentang semua ini.”
“Orang
tuaku memberitahuku tentang sebagian besar soal ini tahun lalu, dan bahkan, ada
kalanya aku yang mengganti popok Marie.”
“Baguslah. Baiklah, bagaimana dengan
ini?”
“Itu popok
kain. Kita perlu menjaga kebersihan bayi, jadi kita harus menggantinya setiap
kali ini kotor. Aku ingat bahwa kadang-kadang kami harus mengganti popok Marie
lima belas kali sehari!”
“Ini kotor
secepat itu? Kalau begitu, kita perlu setidaknya tiga puluh, dengan asumsi kita
dapat mencucinya setiap hari. Mungkin kita malah harus membeli empat
puluh—dengan begitu kita juga aman kalau-kalau hari sedang hujan.”
“Itu ide yang bagus.”
“Aku akan menghitungnya sampai empat
puluh, oce?!” tawar
Bram.
“Aku akan menghitung
kain liur balitanya!” Myuke melompat untuk membantu, menggunakan pengetahuannya
saat Marie masih kecil. “Kita juga membutuhkan itu yang banyak, kan?”
“Benar.
Bisakah kamu mengambilnya tiga puluh buah, tolong?”
Anima dan
Luina membiarkan mereka berdua mengambilkan popok
dan kain liur balita dalam jumlah yang diperlukan, dan mulai berjalan menyusuri
toko sampai Anima akhirnya menemukan sesuatu yang dia ketahui.
“Ini
pakaian, kan?”
“Ya,
benar. Beberapa dapat dibuka di bagian depan, yang membuat mengganti pakaian
bayi menjadi lebih mudah, jadi aku rasa kita harus membeli ini. Sebagai
permulaan, tujuh seharusnya sudah cukup.”
“Tujuh
ini, satu kereta bayi… ah, dan mungkin mainan untuk menenangkan mereka saat
mereka mulai menangis?”
“Hmm…
Tentu, kenapa tidak. Tidak ada salahnya memilikinya.”
Anima pun
berangkat mencari mainan, menarik kereta bayi yang dia temukan di belakangnya.
Pada saat dia menemukannya, Myuke dan Bram telah menyelesaikan tugas mereka
mengumpulkan persediaan yang diperlukan.
“Kerja
bagus, anak-anak. Pasti sulit untuk menghitung sebanyak itu.”
“Ini kayak
membalikkan telapak tangan, kok!”
“Aku tidak
sabar untuk belajar mengganti popok, oce?!”
“Aku juga.
Ayah rasa kita sudah siap untuk membayar dan pergi membeli wafel. Apakah kita
membutuhkan yang lain?”
“Tidak,”
jawab Luina, “kita sudah siap.”
“Wafel
yang enak, oce?!”
Melihat
kegembiraan di mata putri-putrinya membuat hatinya menari-nari, tapi dengan
cepat menjadi tegang karena terkejut saat dia menyadari sesuatu yang gawat.
“Di mana
Marie?”
Marie
tidak menjawab panggilan wafel, dan itu jelas tidak normal. Dipikir-pikir lagi,
Anima sadar bahwa dia tidak mendengar suara Marie sama sekali sejak mereka
memasuki toko. Gadis-gadis itu juga menyadari hal itu, dan segera mulai
menjelajahi bangunan.
“Marie!
Kamu di mana?!”
“Kita akan
membeli wafel, oce?!”
“Keluarlah,
keluarlah, dimana
pun kamu
berada!”
Tidak
peduli seberapa keras mereka memanggilnya, Marie tidak kunjung muncul, yang hanya berarti satu hal: dia tidak ada di sana.
“Ini
salahku…”
Anima
merasa gagal karena tidak segera menyadarinya.
“Jangan
salahkan dirimu. Aku juga tidak menyadari kalau dia telah hilang…”
“Tidak,
ini jelas salahku. Dia tidak suka aku membuatnya menunggu membeli wafel, jadi
dia kabur…”
“Dia pasti
sudah kabur dari rumah berkali-kali jika hanya karena itu. Kita tidak tahu
kenapa dia menghilang, oke? Yang paling penting sekarang adalah menemukannya.”
Luina
menenangkan Anima dengan nada lembut.
“Kamu benar.”
Luina sama cemasnya dengan Anima, dan adalah tugasnya untuk menenangkan Luina,
bukan sebaliknya. Membiarkan Luina cemas mungkin tidak akan baik bagi bayinya. “Aku akan pergi mencarinya, kalian tetaplah di sini.”
“Aku akan
pergi juga, oce?”
“Oke. Bram, kamu ikut Ayah. Myuke,
kamu tetaplah di sini bersama Luina, oke? Jangan khawatir; kami akan menemukan Marie.”
“Semoga
berhasil, Anima.”
“Tolong
jangan marah padanya saat kamu menemukannya. Dia tidak melakukan ini untuk
membuat marah siapa pun. Pasti ada alasan kenapa dia kabur.”
“Aku tahu.
Aku tidak akan marah.”
Setelah
mengatakan itu, Anima dan Bram pun meninggalkan toko. Mereka melihat
sekeliling, tapi tidak bisa melihatnya di mana pun.
“Aku ingin
menggunakan batu Naga Giok, oce?”
“Kenapa?”
“Karena
itu mencolok, oce? Marie akan benar-benar menyadari keributan di luar, dan
menemukan naga besar di tengah jalan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.”
“Oh,
begitu. Itu bukan ide yang buruk, tapi kita tidak boleh sampai sejauh itu
kecuali kita benar-benar harus melakukannya. Seluruh penduduk kota sedang
menikmati hari mereka di luar, berbelanja. Kita tidak boleh menakuti mereka
semua hanya untuk menemukan Marie.”
Kostum
naga telah populer selama Festival Kostum, tapi naga asli yang muncul entah
dari mana adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Orang-orang akan takut
padanya, dan Anima tahu akibat dari dipandang sebagai monster lebih baik
daripada siapa pun. Jangankan
salah satu
putri kesayangannya,
dia bahkan tidak ingin hal itu terjadi pada musuh bebuyutannya.
“Aku bisa naik ke atap dan mencarinya,
oce?”
“Memang akan
lebih mudah untuk memeriksa area sekitar dari atap, tapi Ayah tidak ingin kamu
tergelincir dan terluka.” Anima bisa saja naik ke atas sendiri, tapi itu tidak
menghilangkan bahayanya. Pilihan lain adalah mereka berpencar, tapi dia juga
tidak suka ide itu. Jika Bram menghilang dari pandangannya saat mencari Marie,
keraguan yang tersisa tentang dia yang gagal sebagai seorang ayah akan menjadi
jelas. “Marie tidak mungkin pergi jauh. Untuk saat ini, Mari kita coba
memanggilnya.”
“Aku setuju, oce?”
Anima dan
Bram masing-masing menarik napas dalam-dalam dan berteriak sekuat tenaga.
“Marie!
Kamu di mana?!”
“Kita akan membeli wafel, oce?!”
Tidak ada
jawaban, tapi mereka berdua tiba pada kesimpulan yang sama.
“Mungkin
dia pergi membeli wafel.”
“Benar! Ayo pergi ke alun-alun,
oce?!”
Bergandengan
tangan, mereka bergegas ke alun-alun, tapi tidak ada tanda-tanda Marie
terlihat.
Anima
mulai sangat khawatir. Ke mana perginya dia?
“Amima!”
Ena sedang
berlari kecil ke arah mereka dengan senyum lebar di wajahnya dan wafel di
tangannya.
“Halo,
Anima. Apakah kamu sedang jalan-jalan bersama anak-anakmu?”
Camilla
segera mengikuti di belakang Ena, meski suaminya tidak bersama mereka. Mungkin
itu hari ulang tahun suaminya, dan mereka pergi keluar untuk membelikannya
hadiah.
“Apakah
kamu melihat Marie?”
“Marie? Tidak, aku tidak lihat…”
“Oh…”
“Apakah
dia kabur ke suatu tempat?” tanya Camilla
dengan nada khawatir.
Ena
menghilang darinya dengan cara yang sama baru beberapa bulan yang lalu, jadi
dia mengerti bagaimana perasaan Anima. Namun, setelah memikirkan kejadian itu,
Anima menemukan ide lain.
Ah, benar
juga.
Dia ingat
konsep yang dia gunakan untuk menemukan tempat di mana Camilla mungkin
menunggu. Setelah menemukan Ena, insting pertamanya adalah memeriksa tempat
favoritnya di kota. Itulah logika yang membuat Anima bisa mempertemukan kembali
keduanya di toko mainan—yang kebetulan berada tepat di sebelah toko
perlengkapan bayi.
“Yah,
oce?! Marie hanya—”
“Ayo
pergi, Bram.”
“Huh? Beritahu aku ada apa, oce? Kita
akan pergi ke mana?”
“Ke tempat Marie.”
“Ayah tahu
di mana dia?! Oce-lah!”
“Ya! Ayah
tahu persis di mana dia berada!”
Anima menggandeng tangan Bram dan mereka bergegas masuk ke toko mainan. Tepat seperti yang Anima duga, Marie ada di sana, memilah-milih mainan dengan ekspresi serius di wajahnya.
“Marie!”
Marie memutar kepalanya ketika dia mendengar suara Anima, dan Anima segera
berlari ke arahnya dan memeluknya erat-erat. “Syukurlah…”
“Ayah?”
“Kami
mencarimu ke mana-mana, oce? Kamu kok bisa ada di sini, sih?”
Marie
jelas menunggu pertanyaan ini.
“Aku
memilih mainan!”
“Oh, kamu
mau mainan baru?”
“Nuh-uh,”
jawabnya sambil menggelengkan kepala. “Aku memilih mainan untuk bayi!”
“Untuk
bayi? Ah, begitu ya. Kamu datang ke sini untuk membantu Ayah.”
Sebelum
mereka pergi ke toko perlengkapan bayi, Anima meminta Marie untuk membantu
mereka memilih mainan untuk bayi. Mengambil permintaan itu ke dalam hatinya,
dia pun pergi ke toko mainan.
“Tapi,
tapi, aku tidak menemukan mainan yang menyenangkan…”
“Oh,
begitu. Terima kasih, Marie. Menurut Ayah kamu pantas mendapatkan hadiah atas
kerja kerasmu. Siapa yang suka wafel?”
“Akuuu! Aku suka wapel!”
“Aku juga
mau. Aku lapar, oce?”
“Ayah
juga. Tapi pertama-tama, ayo kita kembali ke Luina dan Myuke dulu.”
Anima pun
menggandeng tangan Marie dan Bram, dan ketiganya kembali ke keluarga mereka
yang menunggu dengan sabar.
Post a Comment