[LN] Kanojo ni Uwaki Sareteita Ore ga, Koakuma na Kouhai ni Natsukareteimasu Volume 1 Chapter 1.2 Bahasa Indonesia
Chapter 1 - Bertemu Santa
2
“Dia terlambat.”
Kafe The Ritter, yang terletak di lantai dasar pusat perbelanjaan yang bernuansa Natal.
Aku sedang duduk sendirian di konter, menunggu gadis yang mengenakan seragam Santa itu.
Aku menggulung lengan bajuku dan memeriksa waktu di jam tanganku. Sekarang sudah lewat empat puluh menit dari waktu janjian.
Yah, kalau dipikir-pikir, tidak heran sih.
Tidak peduli berapa banyak alasan yang kubuat, satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah meminta maaf bersamanya. Sebelumnya, aku sangat gugup sehingga aku refleks mengeluarkan dompetku, tapi kurasa tidak banyak perusahaan yang mengenakan biaya untuk selebaran.
Aku melihat jam tanganku untuk terakhir kalinya dan beranjak dari tempat duduk.
Aku meminum sekaligus kopi yang sudah menjadi dingin itu dan meninggalkan kafe.
Aku berjalan dengan langkah kaki yang berat melewati pusat perbelanjaan yang ramai nan berisik.
Kalau dipikir baik-baik, apa gunanya minta maaf bareng?
Dia pasti mewaspadaiku karena aku bertingkah seperti orang genit yang melakukan modus rayuan baru. Jika posisi kami dibalik, aku akan berpikir, “Orang ini mau apa sih?”
…Kalau memang begitu, aku tidak bisa menyalahkannya sih, tapi bukankah menipuku dengan menyuruhku menunggu sia-sia seperti itu sudah kelewatan?
Saat memikirkan hal itu, aku menghadap ke depan dan melihat suatu pasangan berjalan ke arahku sambil bergandengan tangan. Pasangan itu saling memandang dan tidak memperhatikanku.
Akibatnya, aku berjalan memisahkan tangan pasangan itu.
“Maaf.”
Aku menundukkan kepala.
Pasangan itu, yang mungkin adalah siswa SMA, tidak menoleh dan dengan romantis menyambungkan kembali tangan mereka yang telah dipisahkan olehku.
“…Haaa…”
Aku tanpa sadar menghela nafas. Daripada marah, aku hanya merasa menyedihkan.
Aku yakin pasangan anak SMA itu akan menghabiskan Natal bersama. Aku bertanya-tanya apakah mereka akan memesan restoran mewah meskipun anak SMA tidak punya banyak uang.
Aku memasang earphone ke telingaku dan memasukkan tangan ke dalam saku celana jeans. Aku menaikkan volume musik favoritku untuk memblokir suara obrolan orang-orang di sekitarku.
Bukan berarti aku merasa sakit hati karena sendirian, tapi aku hanya bertanya-tanya kenapa Natal begitu tidak ramah bagi para jomblo.
Kurasa aku akan pulang sekarang dan membaca komik sajalah. Aku memutuskan untuk melakukan itu pada Malam Natal dan Hari Natal ini.
Lalu, dengan tiba-tiba, aku merasakan pundakku ditepuk takut-takut.
Aku berbalik dan melihat seorang gadis tak dikenal. Tidak, bukan tak dikenal, itu adalah gadis yang sebelumnya mengenakan seragam Santa.
Dia sekarang mengenakan mantel krem. Sulit untuk menilainya saat dia berpakaian seperti Santa, tapi sekarang, setelah aku melihatnya lagi, aku merasa bahwa dia lebih muda dariku.
“Eh, ada apa?”
“Ah, etto. Aku orang yang tadi.”
“Maaf, aku mau pulang karena kupikir kamu tidak akan datang. Apakah kita pergi sekarang?”
Merasa bersalah karena menjauh dari tempat di mana aku bilang kalau aku akan menunggunya, aku bertanya begitu sambil memalingkan wajahku. Meskipun dia terlambat empat puluh menit, aku mungkin seharusnya menunggunya sedikit lebih lama lagi.
“Gak usah, aku sudah membereskannya.”
“Eh?”
“Dalam dua arti.”
“Eh.”
“Aku berhenti.”
“Eeeeh!?”
Aku tersentak ketika gadis itu dengan santainya tertawa dan berkata kalau dia telah berhenti jadi Santa. Dan hal itu terjadi karena aku menabraknya.
“Yah, bagaimanapun juga, aku memang sudah berencana mau segera berhenti, sih. Tapi, aku agak sedih karena aku tidak bisa lagi berpakaian seperti Santa.”
“A-Apakah anta (kamu) tak masalah dengan itu?”
“Gak masalah kok.”
Kemudian, gadis itu memasang wajah cemberut. Tampaknya, kesan sopan yang sebelumnya aku rasakan darinya itu karena pekerjaan paruh waktunya.
“Aku sudah memberitahumu namaku, kan? Namaku Mayu Shinohara, bukan anta (kamu), oke.”
“Ah, maaf… Aku hanya bertanya-tanya apakah tidak masalah memberitahukan namamu pada pria asing semudah itu.”
Hubungan kami hanya sebatas saling bertemu di jalan dan menghamburkan selebaran. Itulah yang aku pikirkan, dan aku mengatakan hal itu padanya.
“Apa-apaan itu? Perkataanmu membuatku terkesan seperti aku ini wanita murahan.”
“T-Tidak, maksudku bukan begitu.”
Saat Shinohara menyipitkan matanya, aku buru-buru mengayunkan tanganku untuk menyangkalnya.
“…Tapi kamu benar juga, aku minta maaf. Aku hanya mengkhawatirkanmu, tapi itu juga bukan urusanku, sih.”
Saat aku meminta maaf, Shinohara mengedipkan matanya karena terkejut.
“T-Tidak… Aku juga tidak bermaksud seperti itu. Tolong jangan meminta maaf seperti itu, aku hanya bercanda, kok.”
“Eh, bercanda, ya?”
“Ya, hanya bercanda, kok.”
“Wow, sungguh candaan yang membingungkan… Kupikir aku benar-benar sudah membuatmu marah.”
“Sumbuku tidak sependek itu untuk dapat tersinggung karena sesuatu seperti itu, kok.”
Shinohara mengerutkan alisnya seolah-olah menunjukkan bahwa dia kecewa.
Aku menanggapinya dengan senyum masam, berpikir bahwa mana mungkin aku tahu hal itu pada pertemuan pertama kami.
“Selain itu, Hasegawa-san, kita satu universitas, lho. Ngomong-ngomong, aku di tahun pertamaku, jadi aku mungkin lebih muda darimu.”
“Eh, Shinohara-san juga, ya? Aku sudah di tahun kedua-ku di sana.”
“Ya, hanya ada satu universitas di dekat sini. Dan jika kamu lebih tua, tolong panggil aku tanpa honorifik. Entah kenapa, aku merasa agak geli mendengarnya.”
Shinohara mengatakan itu dengan cemberut.
Memang benar bahwa satu-satunya waktu ketika aku dipanggil ‘-san’ oleh pelajar yang lebih tua adalah ketika aku bekerja paruh waktu. Mungkin tidak nyaman rasanya dipanggil ‘-san’ kalau hanya untuk pribadi.
“Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilmu Shinohara. Apakah ada yang bisa kulakukan untuk meminta maaf? Meskipun kamu awalnya memang sudah berencana untuk berhenti, namun kenyataannya kamu berhenti hari ini adalah karena aku.”
Mendengar itu, Shinohara menyilangkan tangannya dan membuat pose berpikir. Dia berdengung ‘Hmmm,’ dengan sengaja.
“Apakah besok kamu punya rencana?”
“Eh?”
“Aku mau pergi ke suatu tempat.”
Setelah mengatakan itu, Shinohara mengeluarkan ponselnya dan mulai memainkannya. Setelah sekitar beberapa puluh detik, dia mengangkat ponselnya untuk memperlihatkan layarnya padaku.
“Ini adalah tempat yang cukup bagus. Aku jamin.”
“…Tidak, ini, kan…”
Apakah hanya perasaanku saja, ataukah di sana memang tertulis hidangan Natal Prancis, 8.000 yen per orang?
“…Kenapa?”
“Kenapa, ya? Ya, kamu tahu lah. Karena kita teman satu kampus.”
“Itu bukan alasan yang pas.”
“Memang tidak pas. Hidup lebih baik ketika kita sedikit tidak pas.”
“Haaa.”
“Bohong, kok. Seperti yang senpai sendiri bilang sebelumnya, ini adalah tanda permintaan maaf. Tidak masalah untuk egois semacam itu, kan?”
“Ukh.”
Aku tidak bisa membantah jika dia sudah bilang begitu. Memang benar bahwa aku adalah orang yang menawarkan permintaan maaf beberapa saat yang lalu. Bukan permintaan maaf namanya jika aku menolak usulannya itu.
…Namun, ada sesuatu dari kata-katanya yang menarik perhatianku.
“Kenapa memanggilku senpai?”
Sudah hampir dua tahun sejak aku berkuliah, dan tidak sering aku dipanggil senpai oleh seseorang yang lebih muda dariku di kampus, kecuali dalam kegiatan klub.
Aku sendiri tidak dipanggil “senpai” sejak SMA, karena perkumpulanku hanya akan menggunakan ‘-san’.
“Oh, maaf, cuma kebiasaan. Aku sudah lama ikut kegiatan klub, jadi aku cenderung memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan ‘senpai’.”
“Heee, jadi seperti itu kalau di klub, ya?”
“Tidak, mungkin tidak terlalu begitu… Jika tidak boleh, aku akan memanggilmu dengan biasa.”
Aku merasa agak malu ketika seseorang memanggilku senpai karena itu mengingatkanku pada masa lalu, tapi hanya itu. Menurutku itu bukan alasan yang tepat untuk menolaknya.
“Panggillah sesukamu.”
“Okelah, kalau gitu aku panggil senpai. Mari kita bertukar LINE, oke? Terus, di restoran itu tidak masalah, kan?”
“Aah, ya. Oke.”
Yang terjadi terjadilah.
Aku mengeluarkan ponsel dan bertukar ID.
Akulah yang mengungkit persoalan permintaan maaf itu, jadi aku harus mengikuti permintaan Shinohara. Dan begitulah, aku akhirnya berjanji untuk makan malam bersama Mayu Shinohara, yang sekarang adalah mantan Santa.
Sulit rasanya untuk tidak kepikiran soal hidangan Natal, dengan biaya 8.000 yen per orang, yang akan menghabiskan banyak uang itu.
◇◆
Post a Comment