[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 4 Chapter 4.1 Bahasa Indonesia

 

Chapter Empat: Belanja Perlengkapan Bayi

 

Anima terbangun di pagi yang menyegarkan. Melangkah keluar, udaranya tidak terlalu dingin, tapi juga tidak terlalu hangat. Seperti itulah definisi sebenarnya dari kata menyegarkan.

Mungkin kami bisa makan di luar hari ini.

Anima merencanakan piknik di kepalanya sambil menjemur cucian di bawah langit biru yang cerah. Pergi ke lapangan yang jauh hanya akan membuat Luina lelah, jadi Anima berpikir bahwa piknik di taman sudah cukup.

Setelah cucian selesai, dia membawa idenya ke dalam rumah. Marie masih berbaring di tempat tidur, setengah tertidur dan nyaris tidak mendengarkan, tapi, begitu kata piknik keluar dari mulut Anima, mata Marie langsung terbuka lebar. Bram, yang berbaring di sebelah Marie, melompat dari tempat tidur ketika dia mendengar kata ajaib itu.

“Yaaay! Aku suka pinik!”

“Aku ingin berguling-guling di atas karpet, oce?!”

Mereka turun ke ruang makan, tempat di mana Myuke dan Luina sedang menyiapkan meja untuk sarapan. Menu pagi adalah ham dan telur, salad, serta apel berbentuk kelinci, yang semuanya disiapkan oleh Myuke, sementara Luina mengawasinya untuk memastikan keamanan Myuke. Namun, berdasarkan irisan apelnya, keterampilan pisau Myuke telah sedikit meningkat.

Keyinci! sorak Marie, berdiri berjinjit untuk melihat di atas meja. Melihat betapa bersemangatnya Marie, Myuke tidak bisa menahan senyum.

“Kamu sebaiknya memakan mereka sebelum mereka kabur!”

“Aku mau makan! Aku yapay!”

Luina memperhatikan sambil tersenyum saat Marie duduk, menunggu untuk makan.

“Suasana hatimu baik pagi ini. Apakah kamu bermimpi indah?”

“Kami pinik!”

“‘Piknik? tanya Luina, memiringkan kepalanya.

“Cuaca di luar bagus, jadi kupikir kita bisa piknik. Atau, kurasa hanya makan siang biasa di luar.”

“Oh, kedengarannya bagus! Ayo!

Hari semakin hangat, jadi mereka mengambil setiap kesempatan untuk berjemur di bawah sinar mentari dan menikmati kehangatan setelah berbulan-bulan kedinginan. Meski begitu, mereka selalu makan di dalam, jadi Luina sepertinya sangat menyukai ide piknik sebagai perubahan suasana.

“Aku ingin piknik sekarang, oce? Kapan kita akan melakukannya?”

“Dokter akan datang berkunjung sore ini, jadi kita akan melakukannya sebelum itu.”

Mereka memiliki hari besar yang menanti mereka, dan Anima sangat gugup. Sekitar sebulan yang lalu, dokter mengatakan bahwa Luina dan anak di dalam kandungannya sehat-sehat saja dan tidak ada tanda-tanda komplikasi. Karena itulah, Anima dan Luina mencoba untuk tetap tenang dan santai dari luar, tapi kekhawatiran tentang kemungkinan-kemungkinan buruk muncul di benak mereka lebih sering seiring mendekatnya pemeriksaan berikutnya, itulah sebabnya Anima mengusulkan piknik. Dia ingin mengalihkan pikiran semua orang dari hal itu, meskipun hanya untuk beberapa jam saja.

“Kita harus mulai membuat makan siang setelah sarapan! Saatnya untuk memamerkan kemampuanku!”

“Aku akan mengurusnya; kamu sebaiknya pergilah bermain.”

“Aku bisa bermain selama dan setelah piknik!”

Myuke sedang bersemangat untuk membuat makan siang.

Selama latihan hariannya, dia belajar membuat segala macam makanan, dan lebih menikmati masak daripada saat dia pertama kali mulai memasak. Anima sering berpikir bahwa dirinya bisa membuat hidangan apa pun terasa selezat yang Myuke bisa, tapi Anima-lah orang pertama yang mengakui bahwa keterampilan teknis Myuke telah melampaui kemampuannya.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita membuatnya sama-sama?”

“Tentu! Namun, kita harus memikirkan dulu apa yang harus dibuat.”

“Aku senang kalian semua bersemangat untuk piknik, tapi kita harus mulai makan. Telurnya nanti dingin.”

“Benar. Marie, maukah kamu yang melakukan salam?”

Marie mengangguk, lalu bertepuk tangan.

“Celamat makan!”

Empat lainnya menirukannya, lalu mereka semua pun mulai makan. Setelah mereka selesai makan dan bersih-bersih, Myuke dan Anima mulai membuat makan siang. Biasanya, Luina akan mengawasi mereka membuat makanan, tapi karena Marie sedang bermain di luar, dia pun pergi ke taman bersamanya dan Bram. Bram telah menemukan tempat meletakkan selimut yang sempurna di rumput begitu dia melangkah keluar, jadi dia tentunya sudah mulai berjemur di bawah sinar matahari.

Sementara itu di dapur, Anima dan Myuke memikirkan apa yang akan menjadi makanan piknik yang sempurna. Tidak adanya Luina sangat membatasi pilihan mereka, dan mereka tidak bisa membuat sup karena mereka akan makan di luar, yang membuat mereka hanya punya satu pilihan.

“Haruskah kita membuat sandwich?” saran Anima.

“Ide yang bagus! Aku sudah pernah membuatnya—mudah, dan cocok untuk di luar ruangan!”

Duo itu pun mulai menyiapkan banyak sandwich. Tak sampai lama, semua sandwich-nya selesai dibuat dan ditumpuk di atas piring, jadi duo koki itu pun pergi ke luar dengan membawa hidangan mereka. Ketika mereka membuka pintu, mereka disambut oleh angin sepoi-sepoi dan sinar matahari yang damai di halaman hijau.

Ayah! Myuke! Kami di sini, oce?!

Bram, yang berbaring telentang di atas selimut, melambaikan tangan pada mereka. Dia meletakkannya cukup jauh dari rumah sehingga benar-benar keluar dari bayang-bayang rumah. Marie melihat ke arah mereka dengan mata berbinar saat mereka tiba. Dia bertelanjang kaki, sepatunya disisihkan agar tidak mengotori selimut.

Enyak!

“Aku mau makan, oce?!”

“Pertama kita harus mencuci tangan. Luina, bagaimana perasaanmu?”

Aku sangat lapar.

Anima tidak secara pasti bertanya apakah dia lapar, tapi faktanya, Luina memiliki nafsu makan yang cukup sehat akhir-akhir ini. Luina hampir tidak ingin makan dalam beberapa bulan pertama kehamilannya diakibatkan mual dan vertigo, tapi dia sekarang berada di awal bulan kelima, dan tubuhnya tampaknya sudah pulih dari itu. Nafsu makannya sudah kembali normal.

Keluarga itu pergi ke sumur untuk mencuci tangan, dan atas isyarat Marie, mereka mengucap syukur dan memakan makanan kedua mereka hari itu.

Cupu-cupu! seru Marie saat dia mulai mengunyah sandwich ketiganya. Kupu-kupu dengan anggun terbang melewati mereka ke arah rumah. “Aku suka cupu-cupu!”

“Baiklah! Ayo, Marie, kita akan menangkapnya, oce?”

“Pastikan jangan berkeliaran terlalu jauh.”

“Jangan khawatir, aku akan mengawasi mereka. Kejarlah kupu-kupu itu sesukamu, Marie!”

Myuke, yang juga senang melihat kupu-kupu dari dekat, dengan cepat memakai sepatunya dan mengejar adik-adiknya. Mereka bertiga mengejar serangga kecil yang berterbangan di seluruh taman, mengagumi keindahannya. Mereka masih memiliki beberapa sandwich yang tersisa, tapi gadis-gadis itu terlalu sibuk untuk kembali dan menghabiskannya. Myuke akan kecewa kalau melihat ada makanan yang terbuang sia-sia, jadi Anima memutuskan untuk menghabiskan semuanya. Saat dia selesai memasukkan sandwich terakhir ke dalam mulutnya, embusan angin lembut mengibaskan rambut biru panjang Luina.

“Angin sepoi-sepoi ini terasa sangat enak.”

Benar. Di sini sangat damai—kita harus melakukan ini lebih sering.”

“Anak-anak juga menyukainya. Mereka semua mencintai alam.”

Anima dan Luina saling berdempetan di bawah sinar matahari. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput dan tanaman hijau yang nyaman, menyelimuti mereka dalam pelukan alam yang menenangkan. Saat mereka melihat anak-anak mengejar kupu-kupu di sekitar taman, Luina mulai tertidur. Dengan istri tercinta bersandar padanya, Anima juga siap untuk tertidur, tapi sesuatu menarik perhatiannya.

“Ah! Ena!”

Teriakan gembira Marie menggelegar di taman. Mata Luina terbuka, dan dia melihat ke arah pintu masuk utama, di mana dia melihat dua orang— Ena dan dokter—berjalan, bergandengan tangan. Mereka mungkin telah mengetuk pintu depan, tapi berjalan memutar ke belakang ketika tidak ada jawaban dari dalam dan mereka mendengar suara-suara ceria dari taman.

“Marie! Aku dacang bemain!”

Marie dan Ena telah menjadi teman sekitar tiga bulan yang lalu. Setelah mendiskusikan masa depan pelajaran memasak mereka, Anima membawakan Camilla hadiah sebagai ucapan terima kasih atas usahanya, memberitahunya tentang apa yang telah mereka pelajari di rumah, dan mengundangnya makan siang. Dia membawa Ena bersamanya, dan karena dia seumuran dengan Marie, keduanya langsung cocok.

Mereka berdua senang bermain dengan seseorang yang seumuran dengan mereka, jadi setiap kali dokter datang ke rumah Scarlett untuk memeriksa Luina, dia selalu membawa Ena bersamanya. Ena melepaskan tangan dokter, lalu dia dan Marie berlari ke arah satu sama lain. Menyaksikan kedua gadis itu dengan gembira berlari ke arah satu sama lain menghangatkan hati Anima.

“Tolong awasi mereka,” pinta Luina, yang menarik Anima kembali ke kenyataan. Waktunya telah tiba: Luina akan melakukan pemeriksaan sehingga mereka sangat gugup.

“Tentu, jangan khawatir.”

Dia melihat mereka berdua menghilang ke dalam rumah, lalu berbalik ke arah gadis-gadis itu, ingin sekali bergabung dengan mereka dengan harapan agar bisa memperlambat debaran detak jantungnya. Tentu saja, itu hanya jika gadis-gadis itu ingin dia bergabung. Jika tidak, dia harus duduk dan bergumul dengan pikirannya.

Ayo main cama kami!

Ajakan Ena datang dengan senyum cerah. Meskipun mereka hanya bertemu satu sama lain sebulan sekali, fakta bahwa dia mengingat Anima membuat senyum di wajahnya sama cerahnya—atau lebih cerah dari—Ena. Tidak banyak hal dalam hidup yang bisa menandingi perasaan euforia dicintai oleh anak-anak.

“Apakah kita akan mengejar kupu-kupu?”

“Dia terbang,” jelas Myuke. Kita akan main kejar-kejaran sekarang.

“Itu permainan yang sempurna, karena bahkan jika aku kalah, aku akan mendapat pelukan darimu, oce?”

“Jadi ya, itulah yang kami pikirkan. Bagaimana menurutmu, Ena? Apakah kamu tak keberatan dipeluk Ayah?”

“Aku suka dipeyuk!”

Dia tidak hanya setuju, dia langsung menyukai ide itu.

“Awas, Ayah!” teriak Marie. Aku cangat cepat!

Dia berlari dan dengan nakal melirik ke belakang ke arah Anima, memancing pujian.  Hanya masalah waktu sebelum dia jatuh jika dia tetap seperti itu.

“Wow, kamu cepat!” Dia berhenti setelah Anima memujinya. “Kalian juga sebaiknya mulai berlari! Jika tidak, aku akan menangkap kalian!

Anima mencoba menakut-nakuti para gadis agar berlari dengan nada main-main, dan itu jelas berhasil. Anak-anak berpencar ke segala arah, dan permainan kejar-kejaran mereka pun secara resmi dimulai. Sambil mengawasi area itu agar mereka tidak pergi ke luar, dia mengejar Bram.

“Eek! Ayah menangkapku! Ooh, aturan baru, oce?! Ayah harus menggendong siapa pun yang Ayah tangkap sampai Ayah menangkap orang berikutnya, oce?!” Anima menurut, dan mengangkat Bram di punggungnya. Bram dengan penuh semangat menyemangati Anima saat dia kembali berburu. “Kecepatan penuh! Ah, Ayah! Myuke telah terlihat, oce?!”

Anima dengan mudah mengejar Myuke yang berlari pelan dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Myuke.

Tertangkap!

“Aku tahu kalau kamu sengaja tertangkap, oce? Apakah kamu begitu antusiasnya ingin digendong Ayah?”

T-Tidak! Myuke menjadi merah padam sebagai tanggapan atas olokan Bram. “Maksudku, ada hari-hari dimana aku ingin Ayah memelukku, tapi kali ini, aku ingin tertangkap agar kamu merasa lebih baik! Aku tidak ingin kamu mulai menangis karena hanya kamu satu-satunya yang tertangkap, mengerti? J-Jadi, turunlah, aku yang selanjutnya.”

“Astaga… Kamu seharusnya lebih jujur, oce?”

Bram turun, dan Anima, yang mematuhi aturan, mengangkat Myuke. Begitu Anima melakukan itu, Ena berlari sendiri ke arahnya dan menarik lengan baju Anima.

“Amima! Angkat!

“Baiklah, ayo naik sini! Kamu tertangkap!”

Cingginya! Aku cuka diangkat!”

Sedikit lebih jauh dari mereka, Marie dengan iri memperhatikan saat Anima mengangkat gadis yang bahagia itu tinggi-tinggi ke udara. Mata mereka bertemu, dan Marie segera berjalan ke arah mereka.

“Aku juga ingin gendong!”

“Kalau begitu, ke marilah dan Ayah akan—Maaf, Marie. Kamu harus menunggu sebentar.” Anima menghentikan kata-katanya saat Luina dan dokter kembali ke taman. Anima langsung berlari ke arah mereka. “Kalian cepat. Bagaimana hasilnya?”

“Tidak perlu khawatir, sayang. Mereka berdua baik-baik saja.”

“Syukurlah.”

Anima menghela nafas lega, tapi dokternya belum selesai.

“Namun! Dia harus bersantai. Kamu tidak boleh membiarkannya berdiri terlalu lama atau membawa sesuatu yang berat. Pastikan dia mendapatkan dukungan yang cukup untuk memungkinkannya bersantai.”

Tentu. Luina, kamu hanya perlu fokus mengurus dirimu sendiri. Aku senang melakukan pekerjaan rumah, jadi kamu bisa menyerahkan semuanya padaku.”

“Aku tahu. Terima kasih.

Setelah pelajaran memasak dengan Camilla, Anima berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan pernah membuat Luina merasa sendirian lagi. Luina pun menyadari tekad Anima, dan itu memungkinkan Luina untuk mempercayai Anima pada apa saja dan segalanya. Anima akan melakukan semua tugas sulit sendirian, hanya membiarkan Luina membantu sesuatu yang enteng sehingga tidak terlalu membebani tubuhnya.

“Kami akan berkunjung lagi bulan depan. Ena, ayo pulang.”

“Okieee! Da-dah, Marie!

Da-dah! Datang yagi!

Meskipun mereka tidak bermain dalam waktu yang lama, keduanya tampak puas dengan semua lari-larian yang mereka lakukan, dan saling berpamitan dengan senyum berseri-seri.

“Baiklah.”

Anima langsung berbalik. Dia melihat sekeliling untuk menemukan selimut piknik yang kosong telah berkibar tertiup angin, dan piring-piring kosong di atasnya hampir terbalik. Dia pun memberi beban pada selimut untuk mencegahnya terbang, dan mengambil piring kosong di dalamnya.

Ayah, angkat! Dan gendong! Dan kejay-kejayan! Aku mau yayii!” Marie memohon, menatapnya dengan mata seperti anak anjing. Anima pun memegangnya, mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu segera menurunkannya.

“Ayah akan menggendongmu nanti, oke? Bermainlah bersama kakak-kakakmu sementara Ayah mulai membereskan ini.”

“Aku akan mengangkatmu sebanyak yang kamu mau!”

“Punggungku diciptakan untuk menggendong, oce?!”

Anima harus bekerja sambil mengawasi para gadis. Myuke mengangkat Marie setinggi yang dia bisa, lalu Bram menggendongnya. Begitu Anima telah mengamankan selimutnya ke tanah, dia pun membawa piring-piring itu ke sumur, lalu dia dan Luina mencuci piring bersama.

Kemudian, malam itu, Anima berada di ruang ganti bersama Luina dan Marie. Marie, dalam upaya untuk membuat ayahnya terkesan, menanggalkan pakaiannya secepat mungkin. Dia benar-benar pantas mendapatkan pujian untuk penampilannya yang luar biasa.

“Kapan kamu belajar melepas pakaianmu secepat itu?! Ayah kagum!

Yihat! Aku juga bica ini!”

Marie meletakkan pakaiannya di lantai, melipatnya dengan rapi, dan meletakkannya di keranjang pakaian. Setelah selesai, dia dengan bangga menatap Anima.

“Wow! Kamu penuh kejutan, ya?! Kerja bagus!

Aku membantu Ayah?

Marie diam-diam berlatih melipat pakaian sebagai caranya untuk membantu Anima, sebuah gerakan yang pasti akan membuat setiap ayah tersenyum. Anima membelai kepalanya, yang memicu tawa lucu dari gadis kecil yang kegelian.

“Tentu saja! Kita akan mencuci pakaian bersama besok, oke?

“Yaaaaay!” sorak Marie, sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara.

Sambil melihat senyum gembira Marie, Anima melepas pakaiannya, lalu menunggu Luina selesai melakukan hal yang sama. Luina melepas gaunnya, tapi bukannya melepas celana dalamnya, dia mulai melihat sekeliling dengan malu-malu.

“Sulit untuk melepas pakaian ketika aku ditatap setajam itu…” ucap Luina dengan pipi memerah. Mereka telah melihat satu sama lain telanjang setiap hari, tapi tampaknya ada sesuatu yang berbeda.

“Aku khawatir kamu mungkin tersandung celana dalammu.”

Dia menatap mata Anima dan mencemberutkan bibirnya.

“Aku sudah lama belajar bagaimana cara melepas pakaianku! Aku sudah dua puluh satu tahun, tahu! Bawa Marie ke dalam, kita tidak ingin dia masuk angin. Aku akan menyusul sebentar lagi.

Dia benar sekali—Marie berdiri di ruang ganti yang dingin dengan telanjang bulat. Anima meraih tangan Marie, mereka melangkah masuk, dan dia segera memeriksa suhu air dengan tangannya. Suhunya hanya suam-suam kuku, tapi itu jauh lebih baik daripada berdiri di luar, jadi mereka pun masuk ke bak mandi. Tepat ketika mereka berendam, mereka mendengar suara-suara datang melalui jendela.

“Kuharap tidak terlalu dingin.”

“Mereka tidak berteriak, jadi aku anggap itu pas, oce? Setidaknya, yang jelas itu tidak panas mendidih.”

Suara-suara itu milik Myuke dan Bram. Sejak Myuke mendapatkan batu kelinci apinya, dia mengambil setiap kesempatan yang dia bisa untuk menggunakannya. Dia mengambil alih pencahayaan perapian dan kompor, dan bahkan menyesuaikan suhu air mandi.

Sejak selesainya pertengkaran mereka, Bram jadi lebih dekat dengan kakaknya dibanding sebelumnya. Bram senang melihat dia bekerja tanpa lelah untuk membantu keluarga.

“Pastikan kamu tidak membakar diri sendiri, oce?”

“Jangan khawatir, aku ahli dalam hal ini!”

Namun, dia juga terlalu takut untuk meninggalkannya sendirian.

Hangat!

“Tambahkan dua, atau mungkin tiga menit lagi!”

“Oke! Dua, atau tiga menit!”

Myuke benar-benar diam setelah itu. Dia mungkin terlalu fokus pada nyala api untuk berbicara.

“Maaf membuatmu menunggu.”

Saat Marie memegang tepi bak mandi dan mulai memercik-mercikkan air, Luina memasuki kamar mandi. Meskipun dia hamil, dia masih mempertahankan lengan dan kakinya yang ramping. Namun, meski begitu, payudaranya mulai membesar, dan perutnya jelas membesar.

Bolehkah aku membeyainya? Marie menghentikan percikannya dan bertanya.

Boleh, kok. Belailah sesukamu.”

Marie dengan lembut membelai perut Luina dan membisikkan hal-hal manis kepada bayi yang tumbuh di dalamnya. Dia akan menjadi kakak yang hebat begitu bayinya lahir.

“Bolehkah aku menggosoknya juga?”

“Tentu saja.”

Anima menyentuh perutnya. Rasanya sangat lembut, tapi tidak licin. Faktanya, meski itu tidak akan meledak, jelas ada ketegangan di bawah kulitnya, seolah-olah dia sedang melenturkan otot-ototnya. Dokter pernah mengatakan bahwa itu bisa berbahaya jika berlangsung lama, tapi biasanya mereda dengan cepat. Ketegangan hanya bersifat sementara sehari sebelumnya, dan juga kemarinnya lagi.

“Perutmu sudah jadi cukup besar.”

“Ini akan jadi lebih besar.”

“Peyutku juga besar!”

Marie berdiri dan memukul perutnya. Anima mengusap perutnya yang bulat dan buntal, yang memicu tawa geli.

“Perutmu juga besar. Dan bukan hanya perutmu—Kamu telah tumbuh dengan pesat. Apakah pakaianmu masih nyaman?”

“Uh-huh! Aku suka baju yang Ayah beyikan!”

“Senang mendengarnya. Bagaimana denganmu, Luina? Apakah kamu merasa pakaianmu menjadi terlalu ketat akhir-akhir ini?”

“Hmm… Belum, tapi pasti tidak lama lagi.”

“Benar. Kalau begitu kita harus—” Anima menghentikan kata-katanya sendiri ketika dia menyadari bahwa Luina belum berada di air hangat. Masuklah dulu, baru kita bicara.

“Terima kasih. Permisi."

Dia dengan hati-hati menurunkan dirinya ke dalam air dan mengeluarkan erangan kenyamanan.

“Bagaimana airnya?”

“Sempurna. Kita harus segera memanggil anak-anak.”

“Kalian dengar, anak-anak? Masuklah!"

“Terdengar jelas, oce?!”

Kami datang!

Derak api yang menenangkan memudar, dan percakapan mereka yang hidup menjadi semakin dan semakin tenang.

“Apa yang ingin kamu katakan sebelumnya?”

“Kita harus pergi keluar dan membelikanmu baju hamil.”

Lemari pakaian Luina bukanlah sesuatu yang bisa dicemooh, tapi semua pakaian yang dia punya berasal dari sebelum dia hamil. Satu-satunya pakaian yang dia miliki yang masih cukup longgar di pinggangnya adalah gaun biru yang dia kenakan pada hari dia dan Anima bertemu, tapi itu menjadi terlalu ketat di dadanya beberapa bulan sebelumnya. Dia jelas tidak bisa memakainya dengan kehamilan yang membuatnya jadi lebih besar; mereka harus membelikannya pakaian baru agar tidak membuatnya mati sesak.

“Apa yang biasanya dipakai ibu hamil?”

“Pakaian yang menyembunyikan—atau setidaknya tidak menonjolkan—bentuk tubuh. Gaun longgar cukup umum.”

“Gaun, ya? Aku khawatir kamu akan kedinginan dengan pakaian sederhana; apakah tidak apa-apa jika kamu meletakkan sesuatu di atasnya?”

“Tentu saja. Mantel yang kamu berikan untukku sangat bagus dan hangat. Aku bisa memakainya di atas gaun.”

“Aku senang kamu menyukainya, tapi itu akan terlalu panas.”

Bahkan Bram, yang paling tersiksa karena kedinginan, telah melepaskan pakaian musim dinginnya dalam beberapa minggu terakhir. Jika Luina mengenakan mantel itu di atas gaun, dia kemungkinan akan mendidih hidup-hidup. Itu tersimpan di lemari mereka karena suatu alasan.

“Ayo pergi ke penjahit besok. Mungkin kita akan menemukan sesuatu yang bagus.”

“Kita keyuay? Aku ingin pegi keyuay!”

“Jangan khawatir, kami tidak akan meninggalkanmu. Ayah tidak bisa menggendongmu hari ini, jadi Ayah akan menggendongmu seharian besok!”

“Yaaay! Aku cuka digendong!”

Sorakan Marie bergema di kamar mandi akustik.

“Maaf karena kami lama!”

Kami sudah di sini, oce?!

Kedatangan Myuke dan Bram disambut dengan sorakan lain dari Marie yang lebih meriah. Mereka membasuh diri dan masuk ke bak mandi, menyebabkan airnya meluap. Dengan standar normal, bak mandi mereka cukup besar, tapi memiliki lima orang di dalamnya pada saat yang bersamaan tentu saja melampaui batasnya. Hari-hari di mana mereka bisa mandi sekeluarga penuh akan segera berakhir, seperti malam mereka tidur berdempetan bersama.

Itu adalah kenyataan pahit bagi Anima, karena meskipun itu membuatnya sedih, itu juga membuktikan bahwa gadis-gadis itu tumbuh dengan baik dan sehat. Melihat mereka tumbuh dan berkembang hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan, membuatnya menjadi orang yang paling bahagia di seluruh dunia.

“Kami akan keluar untuk membeli pakaian baru Luina besok. Apakah kalian ingin ikut dengan kami?”

Usulannya pun disambut dengan dua anggukan yang bersemangat.

◆◆◆