[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 4 Chapter 3.4 Bahasa Indonesia
Chapter Tiga: Memasak Bareng
4
Anima dan
Myuke menyelesaikan labu goreng dengan sangat cepat, tapi daging babi dan
kacang-kacangan telah terbukti jauh di atas tingkat keahlian mereka. Camillia
harus memandu mereka langkah demi langkah, jadi mereka butuh beberapa saat
untuk menyelesaikannya. Namun, kelebihannya, rasanya enak, dan mereka bahkan
ditawari untuk membawa pulang sisa makanan meskipun Camilla-lah yang
menyediakan bahan-bahannya. Camilla benar-benar seperti Santa, dan sementara
Anima mengerti bahwa Camilla merasa berhutang budi pada Anima, Anima akan
berusaha untuk memberi Camilla tanda terima kasih kecil saat pelajaran
berikutnya.
“Sampai jumpa
dua hari lagi!” ujar Camilla saat mereka menuju pintu.
Matahari sudah
sebagian tersembunyi di balik cakrawala pada saat mereka akan pulang. Mereka
harus segera pulang agar cucian tidak lembab dan anak-anak tidak mulai
kelaparan. Mereka meletakkan makanan di keranjang mereka, berpamitan, dan mulai
berjalan pulang.
“Harus
kukatakan, pisau ini sangat tajam!”
“Kamu tentunya
memilih pisau yang hebat, tapi alat hanya bertanggung jawab sebagian atas
kesuksesanmu. Dibutuhkan sedikit keterampilan untuk dapat memotong labu
kotak-kotak dengan sempurna.”
“Aku tidak
sabar untuk membuat segala macam makanan dengan pisau ini!”
“Ayah akan
berusaha keras untuk mengikutimu.”
Mereka
melanjutkan obrolan santai mereka sampai kembali ke rumah.
“Selamat
datang di rumah, Anima, Myuke.”
Luina datang
menyambut mereka saat mereka memasuki ruang makan yang hangat. Marie dan Bram
sebelumnya sama-sama berbaring di atas meja, tapi sementara Marie berdiri tegak
begitu dia mendengar sapaan Luina, Bram bahkan tidak bergeming. Bram melirik
mereka berdua dan menyambut mereka dengan anggukan yang sangat kecil.
“Selamat datang kembali, oce?” gumam Bram. Bermain dengan Marie seharian
tampaknya telah menguras banyak tenaganya.
“Aku
menggambay!”
Anima
meletakkan keranjang itu di atas meja dan melihat gambar yang ditunjukkan Marie
dengan bangga padanya. Itu adalah gambar mereka sedang makan makanan manis di
alun-alun kota.
“Indahnya;
kerja bagus! Hmm, berdasarkan bentuknya, apakah yang sedang kita makan itu
adalah wafel?”
“Uh-huh! Aku
suka wapel!”
“Benarkah? Oke, kalau begitu, kita akan makan itu lagi
setelah cuacanya menjadi lebih hangat.”
“Yaaay!
Seteyah icu, aku mayin kejay-kejayan cama Brum!”
“Oh, benarkah?
Apakah kamu bersenang-senang?”
“Uh-huh! Aku
menang!”
“Wow, kamu
menang melawan Bram? Itu luar biasa; kamu pasti memiliki bakat dalam
kejar-kejaran! Ah, iya juga! Apakah kamu ingin main kejar-kejaran bersama Ayah
besok?”
“Mauuu!”
Marie langsung
menjadi sangat bersemangat sehingga dia mulai berlari berputar-putar. Dia sama
sekali tidak bisa bermain dengan Anima hari ini, dan Anima sepenuhnya berniat
untuk menebusnya di keesokan harinya. Saat Marie sibuk bergembira, Bram
tiba-tiba bangkit berdiri.
“Aku mencium
sesuatu yang lezat, oce?”
“Aku dan Ayah
membuat labu goreng, babi goreng, dan kacang-kacangan hari ini! Myuke
menjelaskan sambil dengan bangga menoleh ke arah Bram. Myuke jelas-jelas telah
menunggu seseorang untuk berkomentar. “Ini akan membuat pikiranmu meledak!
Sangat sulit untuk tidak menghabiskan semuanya sebelum kami tiba di rumah!”
“Ooh, aku mau
coba, oce?!”
Bram berusaha
untuk menahan diri agar tidak melompat dan mengobrak-abrik keranjang, dia
berhasil menahan diri sementara Myuke mengeluarkan dua piring dari keranjang.
Dia dengan sengaja bergerak lambat, untuk memberi orang lain kesempatan untuk
memperhatikan cincinnya.
“Apa itu?
Kelihatan kayak batu sihir, oce?”
Myuke
menyeringai ketika Bram menyadari batu sihirnya yang berharga.
“Ya, ini adalah batu kelinci api! Ayah
membelikannya untukku!”
“Dia sangat
baik,” kata Luina. “Apakah kamu sudah mengucapkan terima
kasih?”
“Tentu saja
sudah! Ah, dan lihat! Ayah juga membelikanku pisau! Lucu, kan?”
Myuke membuka
wadahnya dan memamerkan pisaunya.
“Lucunyaaa!”
“Aku sangat
suka ukirannya, oce?”
“Iya, kan?!
Aku akan membuat begitu banyak hidangan dengan ini! Aku tidak sabar
menunggu pelajaran kami selanjutnya!”
“Kapan
pelajaran selanjutnya?”
“Besok lusa!”
“Itu lebih
cepat dari yang Ibu kira…” ucap Luina agak bingung. Dia mengira akan ada jeda
yang agak panjang di setiap sesi pelajaran. “Berapa lama kalian akan belajar di
sana?”
“Sampai kami
mahir! Benarkan, Ayah?!”
“Ya, benar.
Kami akan berada di sana tiga kali seminggu."
“Itu kayaknya
keseringan… Bukankah itu akan mengganggu pekerjaan dokter?”
“Sebenarnya, kami diajari oleh cucunya.
Apakah kamu kenal Camila? Dia mestinya sekitar lima atau enam tahun lebih tua
darimu.”
“Aku rasa aku
pernah bertemu dengannya satu atau dua kali
ketika aku pergi untuk check-up bertahun-tahun yang lalu, tapi aku belum
pernah berbicara dengannya sebelumnya. Aku tidak tahu orang seperti apa dia.”
“Dia luar
biasa! Sangat baik, sangat membantu, dan juru masak yang luar biasa!”
“Ayah, jangan jatuh cinta padanya hanya
karena dia baik, oce?” kata Bram bercanda, tapi Anima menanggapi komentar itu dengan sangat
serius.
“Ayah tidak
akan jatuh cinta padanya. Hanya ada satu wanita di dunia ini untuk Ayah, dan
itu adalah Luina. Ayah mencintai Luina dari lubuk hati, dan itulah mengapa Ayah
ingin belajar memasak secepat mungkin. Aku memilih berlatih keras agar aku bisa
berada di sana untukmu di saat kamu membutuhkanku.”
“Aku sangat
senang mendengarnya.”
Luina
mengungkapkan rasa terima kasihnya atas usaha Anima dengan senyum hangat,
seperti yang Luina lakukan kemarin, tapi ada sesuatu yang terasa aneh. Luina
terdengar agak kaku, bahkan mungkin sedih. Luina dengan senang hati
mengantarkan mereka pergi pagi itu, tapi dia tidak mengira bahwa mereka berdua
akan sering pergi ke sana. Memikirkan soal Anima yang pergi selama tiga kali
seminggu pasti menakutkan bagi Luina.
Menempatkan
dirinya di posisi Luina, Anima sadar betapa sedihnya tidak bertemu keluarganya
selama setengah minggu. Dalam usahanya yang sungguh-sungguh untuk meringankan
beban fisik Luina, dia secara tidak sadar malah meningkatkan beban psikologis
Luina sepuluh kali lipat. Menyadari hal itu, Anima jadi mengerti apa yang harus
dia lakukan.
“Ayah, apakah Ayah sadar?” bisik Myuke,
setelah menyadarinya juga. Anima mengangguk dan menatap mata Luina.
“Aku tidak
keberatan memasak di tempat Camilla, tapi aku rasa kita akan terlalu
merepotkannya.”
“Yep! Kita
harus berlatih di rumah!”
“Ayah setuju. Ayo pergi dan beri tahu
dia tentang hal itu besok. Luina, maukah kamu berbaik hati—”
“Ya! Aku akan mengajarimu!”
Terlihat jelas
menunggu mereka untuk meminta hal itu, Luina menjawab dengan senyum
berseri-seri. Luina tidak ingin merusak antusiasme Anima dari hari kemarin,
jadi dia membiarkan Anima melakukan rencananya, tapi yang Luina inginkan adalah
mengajari mereka cara memasak.
“Aku tidak
sabar untuk belajar darimu! Aku akan memamerkan semua keterampilan yang aku
pelajari hari ini! Kamu pasti akan melotot, aku jamin itu!”
“Aku belajar
satu atau dua hal yang juga ingin aku pamerkan.”
“Kalau begitu
mari kita mulai besok!” usul Luina dengan riang.
“Aku senang mendengarkan kalian
berbicara tentang apa yang akan kalian lakukan besok,” sela Bram, “tapi ayo makan, oce? Semua makanan
lezat ini ada di depanku dan aku bahkan belum bisa menyentuhnya. Ini terasa
seperti penyiksaan. Aku sudah kelaparan, oce?”
“Perutku juga jadi ‘Grrr’!” seru Marie.
“Ibu juga lapar!” timpal Luina. “Dan ini semua terlihat
sangat enak!”
Anima juga ingin makan, jadi mereka berlima dengan cepat menata meja dan mulai makan. Di tengah makan malam keluarga yang nyaman, masakan buatan Anima dan Myuke mendapatkan nilai tertinggi.
Post a Comment