[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 4 Chapter 3.3 Bahasa Indonesia

 

Chapter Tiga: Memasak Bareng

3

 

Keesokan harinya, tepat sebelum tengah hari, Anima dan Myuke berdiri di depan pintu. Mereka sudah makan siang dan bersiap untuk berangkat. Di belakang mereka, Luina dan anak-anak ada di sana untuk mengantarkan kepergian mereka.

“Hati-hati dengan api dan pisau,” Luina menasihati mereka. “Jangan sampai terluka.”

“Jangan khawatir, kami akan sangat berhati-hati. Kamu harus bersantai hari ini. Aku akan membawa masuk cucian setelah pulang, jadi istirahatlah dan bermainlah dengan anak-anak.”

“Kuharap kalian menantikan keterampilan memasak baru kami yang luar biasa!”

“Aku tidak sabar untuk memakan masakanmu lagi, oce?”

“Ayah! Gendong! Marie mengganggu Anima, enggan mengucapkan selamat tinggal. Anima langsung melakukan apa yang dipinta, dan Marie menggosokkan pipinya yang licin ke pipi Anima. “Puyangyah cebeyum mayam! Aku ingin mandi becama Ayah dan Myukey!”

“Jangan khawatir, kami tidak akan sampai malam. Kapan tepatnya kami pulang ke rumah akan tergantung pada apa yang akan kami masak, tapi kami pasti pulang sebelum makan malam.”

“Kita akan menggambar bareng begitu kami pulang, oke? Kamu bisa bermain dengan Bram saat kami pergi. Bram, tolong jaga Marie.”

“Siap! Marie, apakah kamu ingin menyelesaikan gambar kemarin? Ayah masih membutuhkan tubuh, oce?”

Teringat gambarnya yang belum selesai, Marie melompat turun dari lengan Anima dan meraih tangan Bram.

“Baiklah, kami pergi dulu,” ujar Anima.

“Sampai jumpa!”

Setelah berpamitan, mereka berdua pun menuju Garaat. Sesampai di sana, mereka mengikuti jalan utama sebentar, tapi dengan cepat berbelok ke jalan samping yang sepi dan hampir terpencil.

“Umm, kita mau kemana?” tanya Myuke tepat setelah mereka berbelok.
Bukankah rumah dokter tepat di belakang Serikat Hunter?

Memang benar, rute yang mereka ambil bukanlah rute menuju Serikat, dan Anima sangat tahu itu. Sudah enam bulan sejak dia menikahi Luina, dan mereka telah berjalan-jalan bersama di Garaat berkali-kali. Anima memang tidak tahu setiap sudut dan celah kota, tapi dia tahu lebih dari cukup agar tidak tersesat dalam perjalanannya ke Serikat.

“Ayah berpikir untuk mampir ke toko bersamamu sebentar. Kita masih punya waktu sebelum latihan kita dimulai.”

Memangnya kita cari apa?”

Anima menoleh pada Myuke dan menjawab dengan senyum lebar.

“Pisaumu sendiri.”

Wajah Myuke berseri-seri. Tidak dapat menahan kegembiraannya, dia semakin menekan Anima.

“Apakah Ayah benar-benar akan membelikannya untukku?! Maksudku, kita kan sudah punya pisau di rumah.”

“Kita hanya punya dua pisau di rumah. Itu tidak cukup jika kita bertiga akan memasak.”

“Tidak semua orang membutuhkan pisau jika kita membagi tugas dengan benar. Apakah Ayah yakin ingin membelinya?”

“Yakin. Selain itu, bukankah akan lebih menyenangkan kalau punya pisau sendiri?”

“Oh, itu pasti! Itu memberiku alasan lain untuk pandai memasak!”

Janji akan dibelikan pisaunya sendiri membuat Myuke sangat gembira. Dia berjalan melompat-lompat di sepanjang jalan sampai mereka tiba di toko peralatan yang tepercaya dan sudah lama berdiri. Setelah berdiri di Garaat selama beberapa dekade, toko kecil yang nyaman, yang dikelola oleh seorang pria tua yang baik hati, memiliki daya tarik tersendiri, dan menjual apa saja serta segala sesuatu yang dibutuhkan rumah tangga. Panci, piring, talenan, cangkir, sendok garpu, dan bahkan tanaman pot semuanya tersedia. Itu adalah tumpah ruah barang-barang berguna.

“Coba kita lihat, pisaunya…”

“Ah, lihat! Itu disana!" Myuke menunjuk ke rak yang penuh dengan pisau dapur, matanya berbinar seakan-akan menemukan harta karun kuno yang telah terkubur selama ribuan tahun. Dia sangat bersemangat sehingga dia nyaris menjerit. “Banyaknya! Ahhh, aku tidak tahu harus memilih yang mana! Ayah, berapa banyak waktu yang kita punya?!”

“Jangan khawatir; gunakanlah waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Pastikan kamu mendapatkan feeling dari pisau yang kamu pilih.”

“Bantu aku memilih!”

Bersama-sama, mereka melihat-lihat banyak pilihan pisau.

“Pisau besar akan sulit untuk dipegang, jadi Ayah pikir kamu harus mencari pisau yang cukup kecil. Bagaimana dengan yang ini?"

“Itu pisau fillet. Aku tidak bisa memotong sayuran dengan itu.”

“Oh, masing-masing punya kegunaannya sendiri, ya? Lalu bagaimana dengan yang ini?”

“Itu untuk mengiris daging. Yang aku inginkan adalah pisau serba guna seperti yang kita punya di rumah. Pisau serba guna memang tidak sebagus pisau khusus untuk kegunaan tertentu seperti ini, tapi kita dapat melakukan banyak hal dengan pisau itu!” Pisau serba guna akan sangat cocok untuk Myuke, yang ingin memasak segala macam masakan yang berbeda. “Pertanyaannya adalah, pisau serba guna mana yang harus aku—”

Dia mulai menatap lurus ke depan, benar-benar diam. Mengikuti arah pandangannya, Anima mengetahui bahwa Myuke telah menemukan pisau yang sangat unik di antara banyaknya pisau. Dalam hal ukuran dan bentuk, pisau itu cukup biasa, tapi ada sesuatu yang istimewa mengenai pisau itu. Bilahnya diukir dengan ukiran binatang lucu, yang menempatkan pisau itu di bagian yang lebih mahal, tapi juga membuatnya tidak mungkin untuk tertukar dengan dua pisau lainnya yang mereka miliki di rumah.

“Yang ini! Aku mau yang ini!”

Intuisi Anima benar; Myuke telah jatuh cinta dengan pisau itu begitu dia melihatnya. Anima mengambil pisau itu, membawanya ke kasir, dan membayarnya. Setelah pemilik toko tua itu memasukkannya ke dalam kotak, transaksi pun selesai.

Ayah senang kamu menemukan pisau yang bagus.

“Aku juga! Aku akan belajar bagaimana menanganinya layaknya seorang master chef dan kemudian membuatkan Ayah sesuatu yang sangat menggiurkan!”

Ayah menantikannya.

Myuke dengan senang hati melompat ke samping Anima sembari berbicara di jalan yang sepi, tapi tak lama kemudian, dia menyadari sesuatu.

“Umm, Ayah? Ini masih bukan jalan menuju Serikat.”

“Ayah tahu. Kita perlu mengunjungi satu tempat lagi terlebih dahulu.”

“Kita mau kemana?” tanya Myuke dengan senyum cerah, bersemangat untuk mengetahui apa yang menunggunya.

“Ke toko batu sihir.”

“Toko batu sihir?!” Myuke berhenti berjalan. Mulutnya ternganga, dia memasang ekspresi yang menggabungkan kebingungan total dan kegembiraan yang luar biasa. “Umm, Ayah tahu kalau ini bukan hari ulang tahunku, kan?”

“Ya, tapi apakah kamu lupa? Ayah berjanji akan membelikanmu batu kelinci api.”

“M-Memang sih, tapi apakah Ayah yakin? Memberiku pisau ini sudah lebih dari cukup. Ditambah membeli batu sihir, itu agak…”

“Jangan malu. Kamu membutuhkannya untuk memasak, jadi ayo pergi. Kita harus sampai di sana sebelum mereka kehabisan.”

“B-Benar juga! Ayo pergi!

Myuke jelas senang. Dia menyenandungkan lagu bahagia sepanjang jalan ke toko.

Kita sampai!

Setibanya mereka, Myuke dengan cepat membuka pintu dan masuk ke toko yang dipenuhi dengan segala macam batu sihir—baik yang hanya batunya maupun yang bertatahkan aksesoris—diikuti Anima di belakangnya. Mereka khususnya tertarik pada gelang dan cincin, dan meskipun toko itu kemungkinan memiliki beberapa batu yang lebih langka dan lebih eksklusif yang dipajang, Myuke sama sekali tidak tertarik dengan itu. Dia langsung berlari ke bagian belakang toko dan mulai mengamati pajangan untuk mencari batu kelinci api.

“Selamat da—Oh, ternyata Anima!” Wajah pedagang itu berseri-seri saat dia mengenali siapa yang baru saja masuk ke tokonya. Anima hanya pernah mengunjunginya sekali, tapi itu saat dia menjual batu golem, yang jelas merupakan batu langka sehingga membuatnya menjadi pelanggan yang tak terlupakan. Ada yang bisa aku bantu hari ini?

“Kami di sini ingin membeli batu kelinci api. Apakah ada?”

“Tentu saja ada! Mohon ke--

“Ayah! Aku menemukannya! Suara Myuke menggelegar di penjuru toko. Anima tidak bisa membedakan macam-macam baru sihir, tapi Myuke ahli dalam hal itu. Myuke berlari ke arah Anima, dengan memegang cincin di tangannya. “Ini sangat pas! Bisakah kita membelinya?! Bisa, kan?! Tolong bisalah, yaaa?!”

“Tentu saja. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena selalu membantu pekerjaan rumah.”

Dia dengan bahagia mengangguk. Mereka pergi ke konter, membayar, dan menuju pintu keluar.

“Kamu tahu harus ke mana saat mendapatkan batu sihir langka lagi, oke!” teriak penjaga toko kepada mereka.

“Ya, terima kasih.”

“Terima kasih sudah berbelanja! Silahkan datang lagi!

Setelah itu, mereka pun meninggalkan toko.

“Yaaay!” sorak Myuke. Batu sihirku sendiri!

Dia mengulurkan tangannya ke langit dan melihat cincinnya berkelap-kelip di bawah sinar matahari musim dingin yang cerah. Senyumnya tidak luntur sedikitpun sepanjang perjalanan mereka menuju rumah dokter. Dia tidak sabar untuk menggunakan batu kelinci api barunya.

“Senang bertemu denganmu, sayang! Ayo, masuklah! Kamu juga, Myuke!”

Dokter menyambut mereka dengan senyum yang sangat hangat dan penuh kasih—lebih dari yang dia lakukan saat bertemu dengan Anima kemarin. Alasan di balik itu sederhana: dia menyukai anak-anak.

Dia mendekati anak-anak setiap kali dia berkunjung untuk memeriksa Luina. Anima dan Luina sama-sama memercayainya, dan mereka menyukai gagasan bahwa dialah dokter bagi bayi mereka yang akan lahir. Dia pasti akan baik dan peduli terhadap bayi mereka.

“Selamat siang! Saya datang bersama Ayah untuk belajar memasak!”

Myuke dengan antusias menjelaskan alasan kedatangannya, bersemangat untuk memasak.

“Aku yakin Luina akan senang memakan masakanmu.”

“Saya juga ingin berguna bagi Luina, jadi tolong, ajari saya cara memasak. Bisakah Anda menunjukkan kami dapurnya?”

“Kita tidak akan pergi ke dapurku, sayang,” jawab dokter sambil menggelengkan kepalanya. Dan aku juga tidak akan mengajarimu cara memasak.

Anima benar-benar bingung. Anima berpikir bahwa dokter tidak akan berbohong padanya, tapi Anima tetap merasa sedikit kebingungan.

Bukankah kemarin Anda bilang kalau Anda akan membantuku?

“Oh, memang. Tapi, aku tidak pernah bilang kalau akulah yang akan mengajarimu, kan?”

“Lalu, siapa yang akan mengajari kami?”

“Cucu perempuanku. Oh, dia sangat bersemangat untuk mengajarimu setelah aku memberitahunya tentangmu. Dia anak yang sangat baik, aku jamin.” Nada dan ekspresinya memancarkan cinta yang murni dan tulus untuk cucunya. Dia pasti sangat mempercayai Anima jika dia sampai mau memperkenalkan Anima kepada seseorang yang sangat berharga baginya, terlebih lagi sampai membiarkan orang itu mengajari Anima memasak. Kecuali kalau kamu mau aku saja yang mengajarimu?

Sejujurnya, aku berterima kasih kepada siapa pun yang mau mengajari kami.”

Anima berpikir bahwa dokterlah yang akan mengajar mereka, tapi yang terpenting bagi mereka adalah, bahwa mereka diberikan ajaran yang mereka butuhkan. Jaminan dokter untuk cucunya sudah cukup untuk meyakinkan Anima bahwa cucunya adalah seorang juru masak yang baik, dan Anima siap untuk mempelajari semua seluk-beluk dunia kuliner darinya.

“Aku ada pekerjaan hari ini, sayang, jadi aku tidak bisa mengajarimu meskipun aku mau. Pergilah ke tempat cucuku—lima rumah di sebelah kanan. Dia sedang menunggumu.”

“Lima rumah di sebelah kanan. Baiklah. Terima kasih.

“Jangan dipikirkan. Luina sudah seperti cucu keduaku, dan aku ingin membantunya semampuku.”

Mereka mengucapkan terima kasih lagi dan meninggalkan rumahnya, mengikuti petunjuk yang dia berikan untuk mencari rumah cucunya.

“Mengajar seseorang membutuhkan banyak usaha,” kata Myuke sembari berjalan. “Tidak banyak orang yang mau melakukannya. Apakah dia berutang budi pada Ayah atau semacamnya?”

“Ayah pikir Ayah tidak pernah melakukan sesuatu yang akan membuat seseorang berhutang budi pada Ayah. Tapi, mungkinkah itu ada hubungannya dengan Krain?”

“Hmm, ya, itu masuk akal. Seluruh kota bersorak untuk Ayah ketika Ayah mengalahkannya.”

Krain adalah bangsawan yang memiliki batu golem, dan telah memerintah kota dengan tangan besi. Hunter ulung yang busuk sampai ke akarnya, dia membuat hidup banyak penduduk kota menjadi mimpi buruk, jadi kekalahannya di tangan Anima telah dirayakan di seluruh penjuru kota. Tidaklah aneh untuk berpikir bahwa cucu dokter itu adalah salah satu dari banyak korban Krain.

Mereka pun sampai di sebuah rumah saat Anima sedang memikirkan Krain. Satu ketukan, dan pintu segera terbuka.

“Selamat datang, Anima!”

Wanita di hadapannya mungkin lebih tua dari Luina lima atau enam tahun. Dia memiliki rambut pirang, dan tersenyum ramah. Anima berpikir sejenak, lalu sadar bahwa dia pernah melihat wanita itu sebelumnya.

Jadi, kamu cucu dokter itu?

Ya! Sekali lagi terima kasih karena telah membantu Ena.”


“Apakah Ayah mengenalnya?” Tanya Myuke, merasa sedikit canggung karena tidak dilibatkan dalam percakapan. Dia mendesak Anima untuk segera memperkenalkannya.

“Ingat ketika Ayah pergi keluar untuk mencarikan hadiah ulang tahun Marie, kan? Ayah bertemu, umm…”

“Camilla.”

“Ayah bertemu Camilla ketika Ayah mengantar putrinya Ena kembali padanya.”

“Ayah membantu orang-orang bahkan ketika kami tidak ada, ya?

Myuke terkesan dengan perbuatan baiknya. Mendapatkan rasa hormat putrinya membuat Anima merasa bangga.

“Dan Camilla, ini Myuke.”

Myuke membungkuk sedikit padanya.

“Saya ingin belajar memasak agar bisa membantu Ibu! Saya belum terlalu mahir, tapi saya akan berusaha sangat keras pada semua yang Anda ajarkan pada kami, jadi harap bersabar sementara saya mempelajari semua yang saya bisa!"

“Jangan khawatir, aku akan mencoba mengajarimu semua yang perlu kamu ketahui. Aku sangat suka memasak, dan semakin ramai semakin meriah. Kita akan bersenang-senang di dapur, oke?”

Myuke dengan senang hati mengangguk pada jawaban Camilla yang penuh semangat. Mereka sepertinya telah menyelesaikan perkenalan mereka, yang memberi kesempatan pada Anima untuk menanyakan sesuatu yang ada di pikirannya.

“Apakah Ena ada di dalam?”

Rumah itu sangat sunyi, jadi jika dia ada di rumah, dia mungkin sedang tidur.

“Dia sedang keluar bersama suamiku.”

“Oh, mereka keluar? Maaf karena membuatmu tidak bisa ikut bersama mereka. ”

“Ah, tidak, bukan seperti itu, kok! Dari awal aku memang berencana untuk tetap di rumah hari ini.” Dia tersenyum pada Anima. “Hari ini sebenarnya adalah hari ulang tahunku.”

Begitu, ya. Kalau begitu, selamat ulang tahun.”

“Selamat ulang tahun!”

“Terima kasih. Yah, si kecil nakal itu sebenarnya berteriak di dapur pada suamiku soal bagaimana dia akan mengejutkanku.”

Ena pergi dengan ayahnya untuk membelikan Camilla hadiah, yang menjelaskan kenapa Camilla senang tinggal di rumah. Anima akan melakukan hal yang sama jika anak-anaknya melakukan itu untuknya.

“Dia terdengar seperti gadis kecil yang hebat!”

Memang! Aku tidak sabar menunggu dia pulang, tapi dia adalah anak yang sangat mudah penasaran sehingga tidak ada yang namanya jalan-jalan singkat kalau dengannya. Dia harus melihat segala macam hal, dan bertanya tentang semua hal yang ada di sekitarnya! Kurasa dia tidak akan pulang sampai malam, jadi aku akan membantumu sampai saat itu. Ah, tapi jangan khawatir, aku akan tetap membantumu bahkan setelah dia pulang. Kamu tidak akan mengerti betapa berterima kasihnya aku padamu karena telah mengantarkan Ena kembali padaku, Anima.”

“Luar biasa, terima kasih. Kami ingin datang tiga kali seminggu, itu jika kamu tidak keberatan.”

Tak masalah, kok.

Anima khawatir bahwa Camilla akan menganggap permintaannya terlalu membebani, jadi Anima sangat lega ketika Camilla menerimanya dengan senyuman. Meski begitu, Anima tidak ingin merepotkannya terlalu lama. Dia ingin belajar memasak secepat mungkin sehingga dia bisa membantu Luina di dapur.

“Bisakah kita mulai sekarang?”

“Tentu saja! Nenek memberitahuku bahwa kamu ingin membuat makanan sehat, benar kan?”

Anima mengangguk.

“Istriku, Luina, sedang hamil. Aku tidak ingin membebani dia dengan makanan berat.”

Camilla memiliki seorang putri, jadi dia pasti mengerti apa maksud Anima. Dia mungkin memiliki pengalaman dalam gaya memasak itu.

“Oke. Ikuti aku ke dapur.”

Anima dan Myuke pun mengikutinya melewati lorong yang bersih dan masuk ke dapur, ruangan terjauh di dalam rumah. Dapur itu lebih kecil dari dapur rumah mereka, dengan meja dan dapur yang mengambil sekitar setengah ruang, tapi setidaknya dapur itu sebersih atau lebih bersih dari lorong.

“Aku mungkin seharusnya bertanya lebih awal, tapi bagaimana dengan bahan-bahannya?”

“Kamu bisa menggunakan apapun yang ada di sini.”

Tidak bisa begitu. Kamu sudah mengorbankan waktu luangmu untuk mengajari kami; kami tidak mungkin menghabiskan bahan-bahanmu juga.”

“Santai saja. Nenek selalu membawa begitu banyak bahan makanan sehingga kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan dengan itu—terutama labu. Kami punya banyak labu, tapi karena Ena tidak terlalu menyukainya, kami tidak terlalu sering menggunakannya.” Anima tiba-tiba mendapat dorongan kuat untuk menyombongkan tentang bagaimana Marie yang tidak pilih-pilih makanan, tapi dia dalam diam menahan keinginan itu. Bukan hanya tidak sopan untuk membicarakan hal itu, tapi Ena lebih muda dari Marie, jadi mungkin saja dia akan menyukai labu dalam satu atau dua tahun. “Lucunya, dia mulai membenci labu karena dia melihat jariku terluka ketika aku sedang menyiapkannya. Dia menolak untuk memakan labu sejak saat itu.”

Kebanggaan Camilla tentang betapa baik putrinya menghidupkan kembali keinginan Anima untuk menyombongkan Marie, tapi Anima sekali lagi menekannya. Dia ingin mulai memasak sesegera mungkin.

“Memotong labu sebenarnya sangat sulit, tapi begitu kamu mempelajari cara menanganinya, maka kamu akan dapat menangani hampir semua hal lain.”

“Ah, aku ingin mencoba memotong labu! Aku ingin mengetahui apakah pisau yang aku dapatkan nyaman dipakai!”

“Berhati-hatilah agar tidak terluka.”

Myuke pun meletakkan wadah pisau di atas meja dan mengambil pisaunya. Camilla memuji desainnya yang imut, yang membuat Myuke semakin bersemangat untuk menggunakannya.

“Seberapa besar saya harus memotongnya?”

“Potong kecil-kecil, seukuran gigitan. Kita akan menggorengnya dengan mentega nanti. Kita juga akan membuat daging babi dan kacang-kacangan hari ini, jadi kita akan sibuk.”

“Labu goreng sih masih mending, tapi bukankah daging babi dan kacang agak sulit dibuat?”

Apakah sesulit itu? tanya Anima.

“Aku tidak tahu persis bagaimana cara membuatnya, tapi mengukus kedelai membutuhkan waktu setengah hari. Atau, yah, mengukusnya tidak memakan waktu selama itu, tapi kita harus merendamnya dalam air selama itu sebelum kita bisa mulai mengolahnya.”

Sayangnya, mereka tidak punya banyak waktu. Anima telah berjanji kepada anak-anak bahwa mereka akan pulang saat makan malam, dan dia bertekad untuk menepati janji itu.

“Apakah kamu tahu cara mengukus kacang?” tanya Camilla pada Myuke.

“Ya, tentu saja. Itu mudah.

“Sempurna. Aku sudah merendamnya, jadi bisakah kamu mengukusnya untukku? Itu seharusnya sederhana untukmu.” Krisis itu pun dihindari. Ditambah lagi, karena Myuke tahu cara mengukus kedelai, Anima selalu bisa bertanya pada Myuke nanti karena dia tidak tahu caranya. “Nah, ayo kita mulai! Ingat, perlahan tapi pasti. Tidak perlu terburu-buru, jadi berhati-hatilah agar tidak melukai dirimu sendiri.”

Dengan begitu, pelajaran memasak pertama mereka pun secara resmi dimulai.

◆◆◆