[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 4 Chapter 3.2 Bahasa Indonesia
Chapter Tiga: Memasak Bareng
2
Toko daging itu terletak tepat di belakang deretan restoran di distrik komersial Garaat. Untuk sampai ke sana, di bawah cahaya matahari terbenam, Anima harus berjalan melewati tempat yang disebut dengan “jalan godaan”, dinamai begitu karena aroma luar biasa dari makanan yang baru dimasak dan daya pikat wanita cantik yang mengundang orang yang lewat untuk ke bar terdekat, hingga membuat keinginan untuk mampir sangat sulit untuk ditolak. Faktanya, seolah-olah untuk menunjukkan betapa sedikit dan jauhnya antara mereka yang mampu menaklukkan jalan godaan dan tidak, kerumunan di sekelilingnya menipis dengan kecepatan yang mengkhawatirkan saat dia berjalan.
Namun, tekad Anima tidak tergoyahkan. Dia memiliki tempat untuk dikunjungi serta hal-hal yang harus dilakukan, dan tidak ada keinginan duniawi mana pun yang dapat menghentikannya dalam mencapai tujuannya. Dia juga memiliki makanan terbaik yang pernah dia makan dan wanita paling cantik yang pernah dia lihat sedang menunggunya di rumah. Para wanita, yang sedang memanggil calon pelanggan, itu memang cantik, tapi mereka tidak dapat dibandingkan dengan Luina.
Setelah melewati jalan godaan selama beberapa menit, dia berbelok ke kanan di persimpangan, tempat sebagian besar toko bahan makanan berada—area yang cukup ramai dengan orang-orang yang membeli bahan makanan untuk makan malam. Dia langsung menuju ke toko daging, yang memajang lusinan ham asin, potongan daging asap, dan sosis.
“Selamat datang, Anima! Apa yang bisa kubantu hari ini?”
Seorang pria bertubuh besar—pemilik toko—mengintip dari balik tirai daging. Mulutnya membentuk senyuman dari balik kumisnya, dan nada ramahnya bergema di seluruh bangunan. Karena Luina telah membeli daging darinya sejak dia masih kecil, dan karena mereka berdua telah mengunjungi daerah itu bersama berkali-kali setelah menikah, tukang daging itu, seperti kebanyakan pemilik toko lain di Garaat, mengenal nama mereka berdua.
“Tolong, aku mau yang ini.”
Anima menunjuk ikat sosis, satunya cukup panjang untuk sekitar sepuluh sosis tebal.
“Hanya satu?” pria itu bertanya sambil mulai melingkarkan satu sosis.
“Umm… Jadikan tiga, tolong.”
“Ditunggu!”
Anima pikir tiga ikat akan sempurna. Meskipun mungkin tampak kebanyakan dari perspektif orang luar, untuk keluarga yang terdiri dari lima orang, itu berarti setiap orang akan mendapatkan sekitar enam sosis. Mengingat bahwa mereka makan sosis setiap hari, sosisnya cukup bertahan seminggu.
Awalnya, dia berpikir bahwa akan lebih baik untuk membeli lebih banyak, karena semakin banyak dia membeli, maka akan semakin lama pula habisnya, tapi dia teringat sesuatu. Dengan membeli hanya untuk satu minggu, mereka akan kehabisan susu pada saat mereka menghabiskan sosis. Setelah itu terjadi, mereka dapat dengan mudah membeli lebih banyak dua makanan itu pada saat yang sama dan membuatnya segar.
Sementara Anima memikirkan perjalanan belanja berikutnya, tukang daging selesai menggulung sosisnya, yang dia bayar dan dimasukkan ke dalam keranjangnya.
“Bagaimana kabar Luina?” tanya pria itu tepat saat Anima hendak berbalik dan pergi. Itu bukanlah pertanyaan yang mengejutkan, karena dia sudah menganggap Luina seperti putrinya sendiri.
Berita kehamilannya telah menyebar ke seluruh kota seperti api setelah Luina memberi tahu wanita di kios buah tentang hal itu. Hampir setiap penjual makanan tahu tentang itu, termasuk tukang daging. Anima menghargai bahwa semua orang sangat peduli dengan kesehatan Luina, jadi dia menjawab dengan senyuman hangat.
“Dia baik-baik saja.”
“Ahhh, syukurlah. Malahan, hebat. Sini, tunggu sebentar!” Dia mengambil ham utuh dan menyerahkannya pada Anima. “Ini untuk Luina!”
“Berapa harganya?”
“Ayolah, aku tidak butuh uang. Luina sudah seperti anakku sendiri. Suruh saja dia mampir suatu hari nanti untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja—itu sudah lebih dari cukup sebagai bayarannya. Oh, dan mungkin kamu bisa membiarkanku menggendong si kecil setelah dia lahir nanti. Itu akan membuatku menjadi pria paling bahagia di seluruh kota!”
“Terima kasih,” kata Anima, menerima hadiah yang murah hati itu. “Aku akan pastikan untuk memberikan ini padanya.”
“Bagus! Minta dia menutupi semuanya; ham ini akan memberinya kesehatan yang baik untuk musim dingin!”
“Mungkin kamu harus berpikir dua kali sebelum menyuruh Luina makan semuanya,” seorang wanita berbadan tegap menimpali. Dia adalah pemilik kios buah.
“Huh?” Tukang daging itu mengerutkan alisnya yang tebal. “Apakah kau mau bilang kalau ada yang salah dengan ham punyaku?”
“Jangan konyol, aku tahu betul betapa lezatnya daganganmu.” Ekspresi cemberut si tukang daging segera menjadi senyuman. “Masalahnya adalah, aku tidak tahu apakah menjejali wanita hamil dengan 'ham yang lebih asin daripada lautan itu adalah hal yang tepat. Malahan, kamu sebaiknya memberikan sayangku beberapa apelku!”
Wanita itu menyodorkan sekeranjang apel ke tangan Anima.
“Kau sudah memberinya cukup apel yang takkan habis sampai seumur hidup! Dan memberinya makanan yang akan membusuk hanya akan membuat perutnya sakit!”
“Satu apel sehari menjauhkanmu dari berurusan dengan dokter!”
“Makan daging yang cukup maka kau tidak akan terkalahkan!”
Anima bersyukur bahwa mereka peduli pada istrinya, tapi dia tidak ingin menyaksikan pertengkaran soal makanan siapa yang lebih pantas.
“Tolong tenanglah. Dia dapat memakan apa saja dalam jumlah sedang. Aku yakin ham dan apel akan baik untuknya.”
“Kan, kamu mengatakan yang sebenarnya. Perut kecilnya hanya bisa menampung sebanyak itu. Sebaiknya isi perutnya dengan sesuatu yang sehat setiap ada kesempatan.”
“‘Sesuatu yang sehat’, ya?”
Pernyataannya masuk akal. Tentu saja, Luina memastikan untuk makan menu seimbang dengan sayuran dan daging, dan berkat itu, dia dan semua orang di keluarganya dalam keadaan sehat. Namun, ada kemungkinan kebutuhan menunya berubah sejak dia hamil. Jika begitu, maka Anima perlu memastikan bahwa Luina memakan makanan terbaik tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk bayi yang tumbuh di dalam perutnya.
“Halo, sayang,” terdengar suara serak dari belakang mereka, yang membuyarkan lamunan Anima. Suara itu milik seorang wanita tua, yang sedang menunjuk salah satu ikat sosis. “Bisakah kamu mengambilkanku itu?”
Wanita tua itu adalah dokter Luina. Kios buah mulai sibuk tepat saat dia tiba di toko daging, menarik pemiliknya kembali ke sana. Berkat itu, percekcokan kecil pemilik toko secara alami mereda, membuatnya lebih mudah bagi tukang daging untuk membantu pelanggannya yang baru tiba.
“Belanja sendiri, ya?” tanyanya pada Anima sambil menunggu sosisnya.
“Ya. Aku membantu Luina.”
“Kamu sungguh jantan. Luina benar-benar mendapatkan pria yang baik.”
Meskipun dia menikmati pujian wanita itu, Anima ingin melanjutkan pembicaraan dan bertanya tentang menu Luina.
“Bolehkah aku menanyakan sesuatu?”
"Tentu, jika kamu bisa mengobrol sambil jalan. Aku harus pulang dan membereskan beberapa hal.”
“Tentu saja.”
Mereka pun mulai berjalan menuju rumah dokter, yang berada di sisi berlawanan kota dari rumah Anima itu sendiri. Anima perlu waktu beberapa saat untuk pulang jika mereka menghabiskan waktu mengobrol, tapi untungnya, pertanyaan Anima cukup sederhana.
“Apakah Anda punya rekomendasi untuk menu ibu hamil?”
“Jangan khawatir tentang itu, sayang. Aku tahu masakan Luina secara langsung, jadi percayalah ketika aku bilang kalau dia akan baik-baik saja. Kamu mendapatkan wanita yang hebat, dasar beruntung."
Luina menyajikannya makan ketika dia datang untuk memeriksa Luina tempo hari.
“Jadi, yang perlu dia lakukan adalah melanjutkan apa yang telah dia lakukan dan semuanya akan baik-baik saja?”
“Ya, hanya itu. Percayalah, sayang, aku telah melakukan ini selama beberapa dekade. Jika aku bilang kalau dia akan baik-baik saja, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kamu hanya perlu menunggu lahirnya si kecil nakal.”
Dokter berhasil menghilangkan semua kekhawatiran Anima. Selama Luina terus memasak seperti biasanya, semuanya akan baik-baik saja.
“Memperhatikan apa yang kalian makan selalu merupakan hal yang bagus,” lanjutnya sementara Anima menanamkan apa yang dokter katakan padanya, “tapi, yang paling penting saat ini adalah mengurangi bebannya. Jangan berani-beraninya membuatnya berlari keliling rumah. Paham?”
“Aku sangat paham. Aku sudah melakukan apa yang aku bisa, tapi yah, ada kalanya dia merasa bosan hanya duduk-duduk seharian. Aku tidak bisa menghentikannya melakukan beberapa pekerjaan rumah.”
“Itu tidak apa-apa, kok. Dia harus melakukan olahraga ringan; tidak ada salahnya untuk bergerak sedikit. Tapi, berhati-hatilah bahwa setelah dia melahirkan, dia tidak akan memiliki tenaga untuk melakukan apa pun sementara waktu. Kamu harus benar-benar menggantikannya sehingga dia bisa beristirahat selama yang dia butuhkan. Omong-omong, apakah kamu bisa memasak?”
“Tidak juga.”
“Sebaiknya pelajarilah selagi bisa, anak muda. Kamu perlu makan saat dia terbaring di tempat tidur.”
Anima sudah lama ingin belajar memasak, dan kehamilan Luina tampaknya menjadi kesempatan emasnya.
“Apakah ada tempat di mana aku bisa belajar memasak?”
“Ya. Di rumah. Luina akan mengajarimu semua yang perlu kamu ketahui.”
“Dapur kami dingin, dan aku tidak ingin memberinya kerjaan tambahan.”
“Hmm, kamu benar juga…” Dia terdiam sejenak untuk berpikir. “Mungkin aku bisa membantu. Datanglah ke tempatku besok sekitar tengah hari. ”
“Terima kasih banyak!”
Tepat setelah mengucapkan terima kasih kepada dokter, Anima mulai berjalan kembali ke rumah sementara matahari perlahan-lahan bergerak ke balik cakrawala. Meskipun jalannya gelap, suasana hati Anima sangat cerah. Dia mencoba melakukan perjalanan dengan kecepatan berjalan normal—dia takut ham dan apelnya akan jatuh dari keranjang jika dia mulai berlari—tapi rasa entengnya tidak mengizinkannya. Langkahnya terus menjadi lebih cepat saat gerakannya berubah menjadi lari kecil, dan akhirnya menjadi sprint penuh.
Pikirannya telah diselimuti oleh kekhawatiran soal kesehatan Luina selama beberapa minggu terakhir, tapi hari-hari itu telah berlalu. Bukan hanya itu, dia juga menemukan alasan yang tepat untuk belajar memasak—hambatan terakhir yang menghalanginya dari penguasaan penuh tugas rumah tangga. Begitu dia mempelajari keterampilan itu, dia akan mampu mengangkat setiap beban dari pundak Luina. Dia bahkan bisa mengejutkan Luina dengan sesuatu yang lezat, yang pasti akan membuat wajahnya tersenyum indah. Membayangkan momen itu berulang-ulang, Anima nyaris melewati rumahnya.
“Aku pulang.”
Dia dengan hati-hati membuka pintu dan dengan tenang mengucapkan salam. Dia tidak ingin membangunkan siapa pun yang sudah tidur. Namun, kekhawatirannya sia-sia, karena anak-anak sudah bangun dan bergegas keluar untuk menyambutnya. Mereka telah menunggu kepulangannya.
“Ayah pulang!”
“Ayah sudah pulang. Maaf karena Ayah lama.”
“Selamat datang di rumah.” Luina berdiri dan mengambil keranjang dari tangan Anima. “Terima kasih sudah mau keluar selarut ini.”
“Ayah benar-benar membeli banyak,” kata Myuke sambil mengagumi isi keranjang. Kekagumannya menggelitik rasa ingin tahu Bram, mendorongnya untuk mengintip ke dalam keranjang juga. Dia kemudian menatap Anima dengan rasa takjub murni di matanya.
“Wooow! Ayah membeli banyak daging! Kelihatannya sangat enak, oce?”
“Ada apey juga!”
Anak-anak menyebutkan barang-barang kesukaan mereka.
“Kamu kok pulang bawa banyak banget? Bahkan ada ham-nya lagi..."
Dapat dimengerti bahwa Luina terkejut dengan borongan Anima—dapurnya sudah penuh dengan ham dan apel.
“Aku mendapatkannya sebagai hadiah dari tukang daging dan nyonya kios buah. Mereka mengirimimu salam.”
“Begitu, ya.” Luina tersenyum mengerti. “Kita harus berterima kasih pada mereka nanti.”
“Aku juga! Aku mau peygi ucapkan makacih!”
“Aku yakin mereka akan senang bertemu denganmu. Mereka bahkan mungkin menawarkan untuk menggendongmu!”
“Yaaay! Aku cuka digendong!”
Marie akan bergegas keluar dan berterima kasih pada mereka saat itu juga jika bisa.
“Baiklah, Ibu akan mulai memasak,” kata Luina sambil mengambil sekeranjang makanan.
“Biarkan aku membantu!” tawar Myuke.
“Terima kasih! Bisakah kamu membantu Ibu memotong kubis?”
“Tentunya!” jawab Myuke dengan anggukan kuat. “Aku hebat menggunakan pisau!”
Hanya beberapa bulan sebelumnya, Myuke akan gugup setiap kali dia harus memotong sesuatu seperti sayuran atau buah. Namun, setelah membantu Luina memasak setiap hari, tingkat keterampilan dan kepercayaan dirinya telah meningkat dengan kecepatan yang luar biasa. Karena Myuke sangat tertarik memasak, Anima berpikir untuk mengajaknya belajar bersamanya. Itu akan sangat menyenangkan bagi mereka berdua, serta pengalaman memperkuat ikatan yang baik.
“Aku juga mau membantu, oce?”
“Aku juga bancu!”
“Kalau begitu, maukah kamu membantu membersihkan meja, Bram? Marie, bisakah kamu membantunya?”
Meja itu penuh dengan krayon dan kertas. Mereka tempaknya tertidur saat mereka sedang menggambar, karena meski kepala Anima digambar di atas kertas, namun tubuhnya tidak ada.
Aku tidak sabar untuk melihat betapa indah gambarannya ketika mereka selesai.
Sementara Anima berkhayal tentang mengelus kepala anak-anaknya setelah melihat karya seni mereka yang luar biasa, Bram mulai merapikan krayonnya. Pujiannya perlu menunggu satu hari lagi.
“Teruskan, anak-anak!” Anima menyerahkan tugas itu pada anak-anaknya, lalu bergabung dengan Myuke dan Luina di dapur, yang kondisinya sama persis seperti saat dia pergi. Mereka sepertinya menunggu Anima kembali dari ruang makan.
“Jadi, apa menu kita malam ini?” tanya Myuke.
“Sup kubis dan sosis.”
“Artinya kita harus memotong kubis, kan?”
“Ya, benar. Berhati-hatilah agar tidak terluka.”
“Ayolah, Ibu tahu kalau aku tidak akan begitu. Lihat!"
Dia dengan cepat mulai menyiapkan kubis. Menjaga pisau jauh dari jari-jarinya, dia menggunakan pisau besar untuk memotong dengan cepat. Saat dia melakukan itu, Luina menyalakan kompor dengan batu sihirnya, dan Anima berusaha menyingkirkan barang-barang yang dia bawa pulang dari Garaat.
“Bisakah kamu mengambilkan beberapa kayu bakar lagi?” tanya Luina tepat ketika Anima selesai memasukkan apel ke dalam keranjang buah. Kayu bakar di kompornya tidak cukup.
Atas permintaan Luina, Anima pergi ke luar, mengambil beberapa potong kayu bakar, dan membawanya kembali ke dapur. Potongan-potongan kayu yang tidak dipakai dia letakkan di sudut ruangan.
“Biarkan aku yang mengurus sosisnya,” tawar Anima.
“Oh, bisakah? Kalau gitu, tolong masing-masing dua.”
Anima mengambil salah satu ikatan sosis, yang tergantung di batang di atas kepala mereka, dan mulai memotongnya. Luina dan Myuke sedang bekerja dalam diam di sebelahnya, jadi Anima memutuskan untuk memulai percakapan.
“Omong-omong, aku bertemu dengan doktermu saat aku keluar. Dia menawarkan untuk mengajariku cara memasak.”
“Dia bilang begitu?” Tangan Luina berhenti. Dia perlahan berbalik ke arah Anima. “Di rumahnya?”
“Kurasa begitu.” Sambil memotong sosis, Anima menjelaskan apa yang terjadi. Anima memberi tahu Luina tentang bagaimana mereka mendiskusikan soal menu, bahwa penting untuk mengurangi beban pada Luina, dan bahwa persalinan akan benar-benar menguras tenaganya untuk sementara waktu. “Aku tidak ingin situasi di mana kamu celaka karena tidak makan apa pun kecuali sup sayuran setiap hari setelah kamu melahirkan. Aku ingin belajar cara memasak sehingga aku bisa berada di sana saat kamu sangat membutuhkanku.”
“Kamu melakukan semuanya untukku… Terima kasih banyak,” kata Luina sambil tersenyum hangat.
“Tentu saja. Aku akan melakukan apapun untukmu."
“Aku juga ingin belajar memasak!” protes Myuke. Dia semakin jatuh cinta dengan memasak setiap hari, jadi tidak heran dia ingin belajar dan berkembang.
“Maukah kamu ikut belajar bersama Ayah?”
“Yeah! Aku ingin benar-benar mahir dan memasak sesuatu yang lezat untuk Ibu!”
“Ibu tidak sabar untuk mencicipi masakanmu.”
Kegembiraan Luina semakin memicu keinginan Anima dan Myuke untuk belajar.
◆◆◆
Post a Comment