[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 4 Chapter 3.1 Bahasa Indonesia
Chapter Tiga: Memasak Bareng
1
Dua minggu telah berlalu sejak selesainya pertengkaran antara Myuke dan Bram. Hari-hari masih dingin, tapi ajaibnya, tidak ada satu pun anggota keluarga Scarlett yang jatuh sakit. Anima tidak pernah menghadapi risiko seperti sakit, karena tidak ada penyakit yang bisa menembus tubuhnya; Myuke, yang seorang Hunter veteran, tidak akan membiarkan sedikit cuaca dingin menjatuhkannya; Marie makan dengan baik, dan memiliki lebih dari cukup energi untuk berlarian keluar masuk rumah mulai dari fajar hingga senja; Bram benci dingin, namun dia mengejutkannya sangat bertenaga meskipun begitu; dan Luina biasanya duduk dan bersantai, tersenyum lembut saat dia melihat anak-anaknya bermain. Anima berharap hari-hari riang tanpa masalah mereka akan berlanjut selamanya, tapi jauh di lubuk hatinya, dia tahu bahwa masa depan seperti itu tidak mungkin terjadi. Semua orang sehat bersemangat bagai kuda, tapi dia khawatir itu akan berubah, terutama untuk Luina.
Dulu, Luina berhasil mengelola panti asuhan sendirian, yang mana hal itu bukanlah prestasi kecil. Rata-rata orang pasti tidak akan mampu melakukan apa yang dia lakukan—dia jelas memiliki stamina dan semangat yang luar biasa. Kecil kemungkinan dia akan masuk angin, dan meskipun dia masuk angin, dia akan mengabaikannya dalam beberapa hari.
Namun, segalanya tidak lagi sesederhana itu. Luina sedang hamil. Meskipun dia mengabaikan masuk anginnya, tidak ada jaminan bahwa itu tidak akan memiliki efek serius yang bertahan lama pada anak yang saat ini tumbuh di dalam dirinya. Hal itu, ditambah dengan fakta bahwa dokternya telah memperingatkannya bahwa sistem kekebalan tubuhnya sedang melemah dan dia harus lebih berhati-hati agar terhindar dari masuk angin, yang memperjelas kenapa Anima jadi khawatir.
Terlepas dari pergumulan batinnya, bagaimanapun, Anima bertekad untuk selalu terus tersenyum. Dia tidak ingin membuat keluarganya mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu. Setelah pertengkaran anak-anaknya, Anima telah berjanji pada dirinya sendiri untuk meninggalkan sikapnya yang terlalu mudah cemas dan menjadi ayah yang lebih berkepala dingin. Dia harus bersikap tenang untuk menenangkan pikiran orang lain.
“Anima?”
“Ah!”
Beberapa saat setelah menegaskan kembali janjinya untuk tenang dan santai, Anima diseret kembali ke kenyataan oleh seseorang yang memanggil namanya. Dia berbalik untuk menemukan bahwa yang memanggilnya adalah orang yang sudah ia duga: Luina. Keluar ke taman guna membantu mengambil cucian yang Anima gantung untuk dikeringkan pagi itu, Luina mengenakan mantel bulu favoritnya dan syal untuk menghangatkan diri, namun dia terlihat gemetar sembari napas putihnya menghilang di udara musim dingin yang dingin.
“Apakah ada masalah?" tanya Anima padanya.
“Tidak juga, kamu hanya tidak bereaksi padaku tadi. Jadi, aku bertanya-tanya ada apa.”
“Maaf, aku melamum memikirkan sesuatu.” Anima melihat sekeliling dan menyadari bahwa langit yang sebelumnya biru mulai berubah menjadi rona merah muda. Fakta bahwa dia baru menyadari hal itu berarti dia sudah melamun cukup lama, jadi tidak heran jika Luina khawatir. Luina sepertinya sudah tenang setelah memastikan bahwa suaminya baik-baik saja, tapi untuk jaga-jaga, Anima menoleh padanya dengan tawaran yang baik. “Aku bisa melakukan sisanya; kamu sebaiknya masuklah dan beristirahat.”
“Karena sudah di luar, aku ingin sekalian membantu. Kita akan menyelesaikan ini dalam waktu singkat jika kita bekerja sama.”
Dia tidak ingin menerima tawaran Anima, tapi malah ingin tetap di luar dan bekerja bersamanya. Mengingat bahwa Luina jauh lebih ceria dan banyak bicara daripada ketika dia dikurung di dalam rumah, dia pasti menikmati ini. Anima tidak sanggup memaksa Luina masuk ke rumah.
“Apakah kamu kedinginan?”
Terlepas dari keputusan Luina, Anima masih mengkhawatirkannya.
Salju yang datang dua minggu sebelumnya akhirnya mencair, memperlihatkan tanah dingin di bawahnya, dan belum ada yang menggantikannya lagi. Jikalau ada hujan salju saat mereka tidur di malam hari pun, salju itu artinya sudah benar-benar hilang saat fajar menyingsing. Bahkan kelima manusia salju, yang telah dibuat anak-anaknya dengan sebaik-baiknya, telah kalah pada terpaan sinar matahari yang tak henti-hentinya dan meleleh menjadi kehampaan.
Anima takut bahwa tangisan Marie ketika dia sadar bahwa manusia salju mereka telah menghilang akan mencabik-cabiknya, tapi Myuke dan Bram dengan cepat menghiburnya.
“Mereka tidak meleleh, mereka hanya pergi jalan-jalan!”
“Kita akan membuatnya lagi lain kali saat ada salju, oce?”
Kata-kata baik mereka telah mengembalikan senyum di wajah Marie. Setelah dtambah dengan masakan Luina dan gendongan di bahu Anima, Marie benar-benar lupa tentang manusia salju dan mendapatkan kembali senyumnya yang lebar dan indah.
Namun, meskipun tidak ada salju, udaranya masih sangat dingin. Angin yang membekukan melewati menembus hutan gundul tanpa henti untuk menyerang kebun mereka, namun Luina mehadapinya dengan senyuman hangat.
“Aku baik-baik saja. Udara dingin tidak pernah benar-benar menggangguku.”
“Tidak pernah? Itu luar biasa. Baiklah, kalau begitu, maukah kamu membantuku?”
Tidak peduli seberapa besar Anima berharap agar Luina tetap hangat dan nyaman sepanjang hari, Anima tidak bisa mengunci Luina dan melarangnya melakukan hal-hal yang ingin dia lakukan. Jika Anima melakukan itu, bukan hanya Luina akan marah padanya, tapi hal itu juga pasti akan membuat Luina stres, yang mana itu merupakan hal terakhir yang Anima inginkan. Untungnya, Luina baik-baik saja. Dia tidak perlu memaksakan diri seperti sebelum menikahi Anima.
“Dengan senang hati,” kicau Luina menjawab, lalu dengan terampil melepas jepitan pakaian itu dan memasukkannya ke dalam keranjang.
Mencuci pakaian telah menjadi salah satu pekerjaan harian Anima selama beberapa bulan terakhir, jadi dia pikir dia sudah cukup baik dalam hal itu. Namun, saat mengamati Luina, Anima segera sadar bahwa perjalanannya masih panjang.
Ah, aku harus bekerja juga.
Anima mulai menurunkan pakaian, melirik Luina setiap beberapa detik untuk memastikan agar dia tidak terpeleset di rumput. Tak lama kemudian, keranjang mereka menumpuk tinggi berisi pakaian untuk lima orang, dan mereka pun selesai mengambil cucian.
“Kan? Sudah kubilang kita akan selesai dalam sekejap.”
“Itu hanya karena kamu mahir melakukannya. Aku terkejut kamu bisa secepat itu dalam cuaca yang dingin ini.”
“Aku bisa melakukan apa saja saat kamu ada di sisiku.”
“Aku pun merasakan hal yang sama, tapi tolong jangan terlalu memaksakan diri.”
“Kamu sangat khawatiran.”
“Tentu saja. Karena aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu!”
Luina memeluknya erat sembari wajahnya berseri-seri. Anima ingin tetap tenang, tapi dia tidak mungkin menahan kegugupan yang ditinggalkan oleh pelukan istrinya. Anima pun mengunci lengannya di pinggang Luina dan memeluknya balik, hingga Luina membenamkan wajahnya ke dada Anima.
“Kamu sangat manja hari ini,” komentar Anima.
“Itu karena kamu memanjakanku setiap hari. Aku mungkin akan menjadi lebih ketergantungan daripada bayi kecil kita nantinya.” Kata-kata Luina meyakinkannya bahwa Anima memang sungguh membantu. Mengetahui bahwa dia mengurangi beban seseorang, sudah cukup untuk membuatnya bahagia, tapi ketika seseorang itu adalah istrinya yang cantik, yang menatapnya dengan senyum lembut sambil meringkuk dalam pelukannya, itu membuatnya benar-benar kegirangan.
“Aku suka senyummu. Ini sangat imut.”
“Kamu jauh lebih imut daripada aku.”
“Kamu membuatku malu.”
“Baguslah. Kamu tambah imut saat malu. ”
Anima berjuang untuk mengendalikan perasaannya—seperti halnya Luina, yang menatap Anima dengan tatapan mempesona—tapi rasa cintanya terlalu kuat untuk dilawan. Dia tidak bisa menahan godaan dari bibir kecil istrinya, yang tetap lembab dan menggoda bahkan di udara musim dingin yang kering.
Anima membungkuk, dan mereka berdua pun berbagi ciuman. Ketika Anima akhirnya menarik bibirnya mundur, Luina gelisah dengan malu-malu.
“Aku ingin lagi…” bisik Luina, menatap jauh ke dalam mata Anima.
Waktu kehilangan semua arti saat Anima menanamkan ciuman lagi di bibir Luina. Hanya ada mereka berdua di taman—tidak ada yang lain. Bibir mereka terpisah sekali lagi, tapi Luina tetap linglung selama beberapa saat.
“Anima… aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu. Jika bisa, aku ingin menghabiskan sepanjang hari menciummu, tapi kita tidak bisa membiarkanmu masuk angin. Haruskah kita masuk ke dalam?”
“Benar juga sih…”
Dengan enggan, Luina melepaskannya. Anima mengambil keranjang cucian, dan mereka pun masuk ke dalam rumah.
“Kita jangan berisik,” Luina memperingatkan sembari perlahan membuka pintu. “Anak-anak sedang tidur di ruang makan.”
Ketika Anima pertama kali pergi ke luar, anak-anak sedang duduk di meja untuk menggambar. Beberapa waktu telah berlalu sejak Anima pergi; mereka tampaknya telah selesai menggambar dan tertidur pada waktu itu.
Dengan hati-hati, diam-diam, mereka berdua melangkah ke dapur. Luina jelas telah berhenti memasak untuk memeriksa keadaan Anima, karena ada kubis yang telah dipotong di atas talenan.
“Apakah kamu sedang membuat sup kubis?”
“Ya, dengan sosis. Daging penting untuk menu seimbang.”
“Aku jadi ngiler. Sini, biarkan aku menyiapkan pancinya untukmu.”
Setelah Luina mengucapkan terima kasih, Anima pun menuangkan air dari kendi yang dia isi di sumur pagi itu ke dalam panci.
“Oh tidak!”
Saat Anima meletakkan panci di atas kompor, Luina berteriak. Dia tampak sedikit terkesiap.
“Ada apa?!”
“Kita cuma punya empat sosis…”
Anima menghela nafas lega. Anima sempat takut bahwa dia pikir Luina tidak sengaja terluka atau semacamnya.
“Porsiku tidak perlu sosis,” kata Anima.
“Tidak bisa gitu!” ucap Luina. “Kamu banyak bekerja dan membutuhkan daging untuk mengisi staminamu. Selain itu, satu sosis juga tidak cukup untuk anak-anak. Mereka masih dalam masa pertumbuhan; mereka perlu makan dengan baik agar tetap sehat!”
Luina benar sekali. Sementara Anima tidak terlalu peduli dengan porsinya sendiri, dia tidak bisa membiarkan anak-anaknya kelaparan. Mereka menyukai daging, dan mereka tidak boleh makan tanpa daging di bawah pengawasannya.
“Aku akan berlari ke kota dan membelinya. Toko daging seharusnya masih buka.”
“Terima kasih banyak.”
Mengambil kantung kulit yang berisi koin tembaga dan satu keranjang, Anima pun segera pergi ke Garaat.
◆◆◆
Post a Comment