[LN] Shinyuu Mob no Ore ni Shujinkou no Imouto ga Horeru Wake ga Nai Volume 1 Chapter 4 Bahasa Indonesia

 

Kiryu Kyouka

 

AAAAAAAUUUUUUUGGGGHHHHHHHHH! AKU TELAAAAAAAAAT!

...Tertipu kau! Kenapa? Kalian kira aku akan melakukan aksi yang sama tiga hari berturut-turut? Mana mungkinlah! Aku bangun dengan semangat dan pagi-pagi sekali hari ini! Aku sedang berjalan di jalan menuju penebusan!

Maka dari itu, berangkat pagiku adalah jalan-jalan yang tenang dan santai ke sekolah, sangat kontras dengan jalan menuju kematian yang panik dan terburu-buru beberapa hari lalu. Sejujurnya, aku merasa bahwa terlambat umumnya lebih baik dihindari. Maksudku, aku bertemu dengan pria mesum gila itu tempo hari hanya karena aku terlambat, dan terlambat kemarin membuatku dicambuki oleh guruku (tidak, bukan yang seperti itu; berhentilah berpikiran jorok). Aku terus mengulangi mantra yang sama pada diri sendiri: Jangan terlambat... Jangan terlambat... Jadi, perlahan-lahan, pikiranku dikosongkan dari semua pikiran lain. Aku seperti anak cupu yang sangat tepat waktu (itu bahkan tidak sedikit pun benar).

“Berhenti menempel padaku, Tsumugi! Di luar sudah cukup panas!”

“Ayolah, apa masalahnya sih?”

Oho! Dan siapa lagi orang yang jalan di depanku selain pahlawan kita, Ayase Kaito, ditemani oleh teman masa kecilnya yang periang, Kotou Tsumugi! Baru sehari sejak terakhir kali aku melihat mereka berdua, tapi entah kenapa satu hari itu terasa seperti ribuan tahun.

Cuaca semakin terik, liburan musim panas sudah dekat, dan sekolah kami baru saja berganti ke seragam musim panas.

Tsumugi melingkarkan lengannya di lengan Kaito, dan dadanya menekan tepat ke arah Kaito. Bayangkan seekor binatang kartun yang menggemaskan memantul-mantul dengan sedikit efek suara “boing, boing!”, dan kalian mungkin kurang lebih sudah bisa menebak tentang keadaan pikiranku pada saat seperti itu. Aku sebenarnya bisa merasakan-nya di telapak tanganku.

Oke, tidak, maaf, itu bohong. Aku membual, sejujurnya aku tidak tahu seperti apa rasanya. Ya, aku akui, aku tidak tahu apa-apa! Masalah?! Kuharap aku bisa merasakannya di telapak tanganku! Andaikan saja menggenggam angin terasa seperti menggenggam nenen. Astaga...

“Oh, hei. Rupanya kamu, Kou?”

“Hei…”

“Whoa, apa yang membuatmu sedih begitu pagi-pagi begini?”

Kaito, si protagonis bermata tajam, melihatku dan repot-repot menyapa. Tentu saja, nen—ahem, Kotou ikut bersamanya.

“Pagi, Kunugicchi!”

Tampaknya, menempel dengan Kaito di depanku agak berlebihan bagi Kotou.

Dia melepaskan lengan Kaito dan memberikan lambaian besar kekanak-kanakan saat dia menyapa, tersenyum bahagia dan memanggilku dengan nama panggilan yang lebih cocok untuk hewan maskot dalam game pertanian daripada manusia tulen.

“Yo, Kaito, Kotou…”

“S-Singkat banget, ya. Pagi, Kou. Hei, kamu baik-baik saja?” Kaito memiringkan kepalanya. “Kamu terdengar sangat murung.”

“Jangan dipikirkan. Cuma sedikit meratapi ketidakadilan dunia, itu saja.” Aku mengangkat bahu.

Kaito tersenyum agak tegang semacam “apa yang orang ini bicarakan sih?”. Sejujurnya, aku agak menyesal meningkatkan skalanya sampai ke tingkat “dunia.” Aku seharusnya mempersempitnya menjadi “daerah setempat.” Sebagai catatan tambahan, ini bukan berarti Kotou dan aku dalam hubungan yang buruk atau semacamnya, tapi kami jelas tidak memiliki hubungan apa pun yang dekat dengan hubungan pemeran utama cowok/cewek. Jika aku harus menjelaskan hubungan kami dengan satu kata, menurutku mungkin cukup wajar untuk bilang kalau kami berteman, mungkin sih. Dia adalah teman masa kecil Kaito, dan Kaito adalah sahabatku. Tidak ada yang aneh tentang kami yang sesekali berhubungan melalui Kaito.

Oke, izinkan aku menetapkan sesuatu terlebih dahulu: sama sekali tidak normal kalau heroine adalah orang brengsek. Jika heroine-mu jahat, mereka tidak akan menarik minat pembaca, dan rom-com-mu tidak akan laku. Jika kalian membuat heroine dengan kepribadian jahat maka kalian harus melakukannya dengan asumsi bahwa pembaca akan membencinya, dan pada saat itu kalian malah baru saja membuat karakter villain. Apakah kalian paham sampai sini? Heroine sejati tidak secara verbal menyiksa orang-orang di sekitar mereka tanpa alasan, dan, sebagai tambahan, mereka juga tidak buang air!

“Selamat pagi, Ayase-kun, Kotou-san. Dan astaga, kulihat kalian membawa tumpukan sampah berkaki dua bersama kalian hari ini.”

Dan, aku langsung terbukti salah, saat heroine berlidah tajam tulen menegaskan kembali keberadaannya.

“Ah, selamat pagi, Kyouka!” senyum Kaito.

“Pagi, Kiryu-san,” sapa Kotou dengan kurang antusias.

Salah satu teman sekelasku yang lain, Kiryu Kyouka, memasuki panggung dengan sapaan yang sangat agresif (khusus untukku). Kemudian dia memutar tombol dinginnya kembali ke posisi biasa, pada posisi jam sebelas, tersenyum sangat tulus hingga hampir memuakkan, dan memberikan salam yang sangat normal dan ramah (kepada semua orang kecuali aku), yang dibalas oleh Kaito dan Kotou. Kotou tidak pernah terlalu menyukai Kiryu—atau lebih tepatnya, tidak pandai berurusan dengannya—dan terlihat sedikit kecewa dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Aku bisa paham perasaan Kotou. Aku juga tidak bisa menanganinya.

Lidah Kiryu sangat tajam dan hatiku yang malang nan sensitif begitu rapuh sehingga dia bisa (dan secara teratur melakukannya) memotong keadaan pikiranku menjadi daging cincang dengan satu kalimat. Aku punya firasat bahwa dendam Kotou terhadap Kiryu mengalir begitu dalam sehingga membuat dendamku terlihat sangat kecil jika dibandingkan. Aku yakin mereka memiliki salah satu persaingan yang hanya bisa dimengerti oleh sesama wanita.

“Apa?” Kiryu sadar kalau aku sedang menatapnya, dan sedikit bergidik karena jijik. Hanya samar—hanya goyangan kecil—tapi Kotou tampaknya sangat sensitif terhadap gerakannya dan menyadarinya. Cahaya ceria segera memudar dari mata Kotou karena satu alasan yang sangat jelas: yaitu, dada Kiryu.

Untuk lebih jelasnya, bukan berarti Kotou tidak diberkahi aset! Dalam standar normal, Kotou sangat mengesankan! Hanya saja, jika dibandingkan dengan dia, Kiryu setidaknya dua kali... Tunggu, tidak, tiga kali lebih besar?! Apa-apaan dia itu? Mutan?!

“Tenanglah, Kotou! Kamu masih bisa memenangkan ini; dia belum mengalahkanmu!”

“Tidak ada gunanya, Kunugicchi, aku sudah tamat! Lihat saja dia—punya dia lingkaran penuh, dan di sini aku terjebak dengan pi biasa... Apa yang harus dilakukan pi untuk melawan itu...?”

Daaan dia membuatku bingung. Itu benar-benar sebuah lelucon yang tidak bisa dimengerti, tapi dia tampak seperti akan benar-benar hancur berkeping-keping dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja, jadi aku dengan putus asa mengarang dan mengambil inisiatif.

“Dan apa yang salah dengan Ï€, Kotou?! Ï€ itu hebat! Ï€ membuat penghitungan  menjadi lebih mudah karena kamu tidak perlu menulis ‘3.14’ setiap saat! Ï€ telah menjadi penyelamat bagi anak-anak pembenci matematika, yang tak terhitung jumlahnya, dari seluruh dunia!”

Aku mulai terdengar seperti penduduk-Ï€ dari planet Ï€ yang memulai setiap kalimat dengan Ï€ dalam segala situasi, tapi kata-kata penghiburku memiliki efek yang diinginkan. Kotou secara bertahap bangkit dari kedalaman keputusasaan. Tampaknya, tebakanku benar-benar tepat! Aku berhutang padamu, penduduk Ï€.

“Kamu benar-benar berpikir begitu…?”

“Yoi! Kamu adalah seorang Ï€menang! Tetaplah beraÏ€-aÏ€!”

“Masih terlalu pagi untuk omong kosong macam ini!”

Duaak! Kiryu mendaratkan pukulan telak ke belakang kepalaku menggunakan tasnya, menjatuhkanku. Aku terjatuh tepat melewati dadanya, yang bahkan lebih jelas dari biasanya melalui kain tipis seragam musim panasnya. Caranya yang berayun  lembut di udara menancapkan kekejaman tajam dari kenyataan tidak adil yang kita jalani. “Boing boing” bahkan tidak cukup tepat untuk menggambarkannya. Bayangkan hewan kartun kecil menggemaskan yang sebelumnya itu dibuat home run oleh slugger major-league, dan kalian kurang lebih akan paham seberapa besar level golongan onggokannya.

Kotou pasti juga melihat itu—matanya hampa dan tak bernyawa, tanpa harapan untuk sembuh. Kiryu benar-benar diberkahi, entah dia sadar atau tidak. Kaito, sementara itu, sama terpesonanya oleh dada Kiryu seperti aku dan Kotou. Aku terkadang mengkhawatirkan Kaito, tapi sepertinya dia punya nafsu seperti kita semua! Tentu saja, yang paling bisa Kaito lakukan karena kepribadiannya adalah curi-curi pandang, dan aku menghela nafas padanya dalam hati... sambil secara bersamaan ikut curi-curi pandang.



“Tak kusangka... Tinggalkan si bodoh itu dan cepatlah, kalian berdua. Kita nanti terlambat.”

Sama sekali tidak menyadari bahwa ketiga temannya sibuk dengan dua hal yang sangat berbeda, penyerangku berjalan di depan kami.

“Y-Ya, benar. Ayo, Tsumugi. Ayo, Kou, kamu juga.”

“O-Oke…”

“Kau memukulku! Bahkan ayahku sendiri pun tidak pernah memukulku!” ocehku, terlambat tiga puluh detik.

Kami bertiga mengejarnya, Kaito di depan bersama Kotou dan aku di belakang. Kami menerima banyak cedera tadi, secara mental bagi Kotou, dan secara fisik bagiku.

“Aku tidak akan menyerah. Aku akan menang melawan Kiryu-san suatu hari nanti!” gumam Kotou tenang namum tegas pada dirinya sendiri.

Aku tidak sanggup menjawabnya. Batu tidak akan pernah bisa menang melawan kertas—ini adalah fakta kehidupan yang tragis namun tak terbantahkan. Aku benar-benar tak berdaya untuk membantu temanku melalui kesulitannya. Yang terbaik yang bisa aku pikirkan adalah “Itu, uhh, mungkin tidak akan terjadi,” dan aku tentunya tidak akan mengatakan itu keras-keras.

Maaf, Kotou, tapi seperti itulah hubungan yang kita miliki. Kamu seorang teman, memang, tapi kamu juga salah satu bunga cinta Kaito. Karakter sampingan tidak diperbolehkan sungguh-sungguh memberikan bantuan kepada para heroine. Yang paling bisa aku lakukan adalah menawarkan beberapa dorongan asal-asalan—sungguh-sungguh membantu mereka adalah wewenang eksklusif protagonis. Karakter sampingan hanya dapat mendukung salah satu dari mereka jika dia memiliki semacam dorongan motivasi, seperti diam-diam jatuh cinta padanya, atau apalah.

Hiduplah dengan kuat, Kotou. Jangan biarkan ini membuatmu jatuh! Kamu memiliki banyak kelebihan! Kamu cerdas, kamu ceria, dan meskipun kamu agak tidak pengertian, tetap menyenangkan berada di dekatmu! Sungguh, kamu akan baik-baik saja. Eh, tapi kita harus melupakan persoalan nenen itu.

Kami berdua berjalan dengan lesu di belakang Kaito dan Kiryu, sesekali bertukar satu atau dua kalimat. Kegembiraan Kotou yang biasa tidak terlihat di mana pun, tapi menyemangatinya di dalam hati adalah yang paling bisa kulakukan.

    

 

Hari berlalu, dan sekolah usai. Ya, sungguh, sudah usai. Sama sekali tidak ada hal penting yang terjadi selama pelajaran, dan meskipun akhirnya dompetku diperas oleh seorang kerdil saat makan siang, itu juga bukanlah hal istimewa. Pertanyaan penting: bukankah “Kou membelikan kou-hai-nya” terdengar seperti punch line untuk lelucon bapak-bapak yang garing? Lelucon seperti itu setidaknya sudah ketinggalan zaman! Selera humor sampah macam apa hingga dapat menghasilkan lelucon seperti itu?

“Hei, Kaito, mau pergi ke suatu tempat sepulang sekolah?”

“Tentu, kedengarannya bagus.”

Kotou tanpa malu berjalan masuk dari kelas sebelah, dan Kaito segera menerima ajakannya. Kencan sepulang sekolah: didapatkan! Itu pola biasa untuk hari-hari ketika Kotou tidak memiliki kegiatan klub.

“Ah, kamu mau ikut juga, Kiryu?” Kaito mengajak Kiryu, yang sudah selesai mengemasi tasnya dan berdiri untuk pulang. Sementara itu, Kotou terlihat sangat terganggu.

“Maaf, tapi tidak hari ini. Aku ada urusan.”

Baiklah, para laki-laki dan perempuan, dengarkan: Aku punya beberapa nasihat yang sangat penting untuk Anda sekalian. Ada banyak orang jahat dan keji di dunia ini, dan Kiryu Kyouka adalah salah satunya. Dia mungkin bilang kalau dia minta maaf, tapi ada kemungkinan nol persen bahwa dia benar-benar serius berkata begitu. Itu jelas hanya basa-basi, dan siapa pun, yang meski otaknya cuma setengah dan setidaknya punya satu mata, dapat mengetahui hal itu! Dan dia menolak ajakan dari protagonis itu sendiri? Yang benar saja, gadis itu sama sekali tidak memiliki kesadaran diri akan perannya sebagai heroine.

“Kamu ikut, Kunugicchi?”

Tunggu, apa?! Kotou, apa yang kau lakukan?! Hentikuwan!

Melihat Kiryu diajak pasti sangat mengguncang Kotou. Entah dia berharap aku bisa membantunya dengan mengalihkan perhatian Kiryu (dalam hal ini oh wow, pilihan yang salah, aku hampir pasti tidak akan berguna sama sekali), ataukah dia hanya berharap kehadiranku akan memberikannya dukungan mental. Apa pun alasannya, dia mengundangku meskipun faktanya Kiryu langsung menolak tawaran itu. Ayolah, nona. jika kau tidak membuka mulut besarmu itu, kau akan berada di kota kencan sekarang!

“Aku, ah, err...”

Apa yang harus aku lakukan?! Astaga, aku tidak bisa mengambil keputusan di saat-saat seperti ini! Aku tidak memiliki wewenang untuk ikut campur langsung ke hubungan para pemeran utama! Aku tidak bisa benar-benar menerima ajakannya, tapi aku juga tidak bisa menolaknya! Fakta bahwa heroine yang terlibat mengajakku sendiri membuat ini jauh lebih sulit untuk diatasi!

Akan jadi satu miliar kali lebih mudah jika Kaito yang mengajakku! Jika aku bilang oke, itu akan berubah menjadi salah satu adegan di mana protagonis yang tidak peka merusak kencan dan heroine menjadi sangat marah tentang hal itu. Aku juga bisa benar-benar menolak dengan “Ooooh, ada yang mau kencan niiiiih! Lihatlah Tuan Populer di sini! Gak mau aku jadi obat nyamukmu, tidak tuan!” dan menjahilinya.

Dan jika aku tidak diajak sama sekali? Tentu saja, aku akan benar-benar marah karena cemburu pada Kaito yang bodoh dan kencan sepulang sekolahnya yang bodoh. Kenapa? Kau pikir itu sangat tidak masuk akal? Mana mungkin itu masuk akal! (Kataku, mencela untuk menutupi fakta bahwa akulah yang benar-benar salah.)

“Ya, maaf, aku juga agak sibuk...” Aku tidak yakin apakah aku sudah membuat pilihan yang benar, tapi pada akhirnya aku mengeluarkan alasan yang sangat setengah matang untuk menolaknya. Kurasa sudah waktunya pulang sendiri dan merenungkan kesalahanku.

“Oh, sayang sekali. Mungkin lain kali.”

Kotou sebenarnya, terdengar sungguh-sungguh kecewa karena aku tidak bisa ikut. Aku sangat menyukai sisi dirinya yang itu, tapi aku juga berpikir kalau paling tidak, dia sebaiknya sedikit lebih agresif dalam mengejar kisah cintanya.

Saat itu aku melihat Kiryu masih di kelas. Dia berdiri di dekat pintu, diam-diam menatap ke arahku entah apa alasannya. Sesaat, mata kami bertemu. Kemudian dia memberiku tatapan kecil namun tajam dan berjalan keluar pintu. Ya, pergilah dari sini, nona! Ini bukan tontonan!

“Baiklah, ayo pergi, Tsumugi. Sampai jumpa besok, Kou.”

“Sampai nanti, Kunugicchi!”

“Ya, sampai nanti.”

Aku melihat mereka berdua pergi, dan segera mulai meragukan keputusanku. Berbicara sebagai sohib mak comblang Kaito, melihatnya pergi tanpa berusaha akan jadi pengabaian tugas yang cukup besar, kan? Dia akhirnya berkencan, dan aku malah menempatkan diriku pada posisi di mana aku tidak bisa campur tangan sama sekali? Cupu!

Tapi, tunggu dulu, oke, tidak perlu terburu-buru. Ini mungkin kesempatan besar bagi mereka berdua untuk saling membangun beberapa poin kasih sayang. Aku mungkin benar-benar hanya akan menjadi obat nyamuk jika aku ikut. Jika kau mau ikut terlibat, pastikan kau melakukannya di adegan besar, bukan di salah satu dari acara sampingan privasi itu! Buku Pedoman Karakter Sampingan sangat spesifik tentang masalah ini!

Ya, sudah diputuskan. Hari ini adalah hari yang sempurna untuk langsung pulang, menyudahi malam lebih awal dan tidur sehat kurang lebih empat belas jam. Aku akan mengisi ulang tingkat energiku sebanyak-banyaknya, itu akan membuatku langsung ke mode overdrive! Ini sempurna!

“Jadi, kamu ingin pergi kemana, Tsumugi?”

“Menurutku, mungkin kita bisa berkeliling di distrik perbelanjaan... Oh, tidak, aku tahu! Aku akan memasak makan malam untukmu hari ini!”

“Benarkah? Aku akan menelepon Hikari dan memberi tahu dia. Terima kasih, kedengarannya bagus!”

Sepuluh menit kemudian, Kaito dan Kotou sedang dalam perjalanan menuju apa yang hanya bisa digambarkan oleh pengamat luar sebagai kencan, dan seorang pria sedang membuntuti sekitar sepuluh meter, diam-diam mengamati mereka. Aku mungkin tidak perlu menjelaskan bahwa pria itu, tidak lain tidak bukan, adalah aku.

B-Bukannya aku menguntit mereka karena aku kesepian, atau apalah! Aku hanya berpikir bahwa mereka berdua mungkin akan semakin dekat satu sama lain segera, dan jika mereka begitu, aku akan dapat mengatakan “Hei, aku kebetulan memenangkan tiket ini dalam undian atau semacamnya, dan aku tidak punya siapa-siapa untuk kuajak pergi, bagaimana kalau kamu menghambil tiket ini dan mengajak Kotou?” Ini adalah gerakan mak comblang klasik, tapi aku perlu tahu tempat kencan seperti apa yang populer di kalangan anak muda akhir-akhir ini, dan mencari tahu berapa harga tiket, dan segala macam hal lainnya! Ini bukan seperti yang kalian pikirkan! Hmph!

Bukan apa-apa, Kaito sebenarnya tidak memiliki tipe tsundere dalam harem-nya. Kotou memiliki kesan ramah-nan-ceria-tapi-sedikit-kikuk, dan Kiryu mengisi slot siswa-teladan-yang-kalem-dan-dingin, tapi tidak memiliki tulang kasih sayang di tubuhnya. Tak satu pun dari dua heroine yang belum aku perkenalkan benar-benar cocok dengan sosok tsundere. Aku pernah dengar kalau model tsundere sangat dominan pada suatu masa dalam sejarah, tapi sepertinya mereka sama diinginkannya dalam harem seperti cawat yang digunakan pegulat sumo saat ini. Ini agak menyedihkan.

“Ups, harus waspada! Sepertinya mereka pergi ke toko buku itu? Siip. Langkah yang bagus, Kaito.”

Aku mengikuti dan melihat mereka berjalan menuju bagian manga. Aku mengambil posisi di titik buta yang menguntungkan, di mana aku bisa mengawasi (tepat di sekitar bagian buku referensi) dan untuk berjaga-jaga, aku mengeluarkan salah satu dari banyak alat penyamaran yang aku simpan: sepasang kacamata tanpa lensa! Dengan berpelengkapan kacamata dan berpura-pura menjadi siswa teladan, aku mengambil sembarang buku untuk berpura-pura membaca. Bukunya tentang... kotoran? Huh. Tak masalah, kurasa.

Aku mondar-mandir, pura-pura membaca tapi diam-diam mengamati Kaito dan Kotou. Hal terbaik yang aku tahu adalah, mereka sedang menelusuri majalah mingguan dan mengobrol soal manga. Dan, maksudku, mereka jelas bersenang-senang, tapi itu bukan aktivitas kencan yang paling romantis, kan? Itu adalah salah satu kelemahan terbesar Kotou dalam perang memperebutkan hati Kaito—mereka dekat, tentu saja, tapi dekat dengan cara yang hampir membuatmu berpikir bahwa hubungan mereka hanya bersifat persaudaraan. Pola pikir itulah yang sebagian besar menahan Kotou, dalam kamusku sih.

Kotou sebenarnya cukup populer di kalangan anak laki-laki lain di sekolah kami, tapi Kaito juga terjebak dalam lubang pertemanan-masa-kecil, dan hampir tidak menganggapnya sebagai perempuan sama sekali. Kecuali ada dewa cuaca jahil, yang kebetulan lewat dan memanggil hujan deras tiba-tiba demi suatu adegan T-shirt basah yang sangat memalukan, kemungkinan dia untuk keluar dari pola pikir itu dalam waktu dekat sangat rendah. Dan mengingat kalian dapat membeli payung di hampir semua minimarket akhir-akhir ini, itu mungkin tidak akan membantu. Cuk, Kaito dan Kotou adalah tipe orang yang membawa payung lipat kecil di tas mereka. Mereka sama sekali tidak memiliki kelemahan!

“Grr... Apa yang harus aku lakukan tentang ini...?”

“Hei, kau.”

“Maaf, aku tidak bisa bicara sekarang. Aku sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting.”

“Kau sadar kalau itu buku pelajaran anak SD, kan?”

“Apa? Tunggu, kenapa kau di sini, Kiryu...? Kiryu?!

Ya Tuhan, kenapa?! Murid teladan yang sadis itu sendiri, Kiryu Kyouka, kebetulan memergokiku sedang membaca buku pelajaran anak-anak bertema kotoran! Bukankah dia seharusnya sedang ada urusan lain?!

“A-Apa yang kau inginkan? Jangan bilang... Kau mengincar buku ini?!”

“Tidak. Apakah kau tidak mendengarkanku? Itu adalah buku paket anak SD.”

“O-Oh, ya? Hmm, maksudku, aku tahu itu, tentu saja. Yep.”

Berhenti sejenak untuk melihat bukunya dengan benar, aku menyadari bahwa buku itu sebenarnya adalah buku pelajaran bertema kotoran yang penuh dengan latihan kanji. Alat bantu belajar yang sempurna untuk anak yang menyukai humor toilet. Yah, kalian tahulah, semacam jenis buku pelajaran yang membuat belajar menjadi menyenangkan dengan mengubah masalahnya menjadi cerita kecil tentang kanji-man vs pasukan ketidaktahuan, atau apalah? Begitulah.

“Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Jika kau sedang mencari bagian buku bergambar, itu di sebelah sana.” Kiryu memelototiku.

“Tidakkah menurutmu kau sedikit terlalu meremehkan usia mentalku?”

“Yah, sepertinya kau bahkan belum bisa membaca kanji.”

“Aku bisa, tau!”

Bukan berarti aku terdengar sangat meyakinkan, mengingat buku paket SD yang aku pegang! Ah, sial, harus tetap tenang—jangan sampai Kaito menyadari kami.

“Dengar, kita bisa bicara nanti, oke?”

“Bicara? Kenapa pula aku ingin berbicara dengan orang sepertimu?”

“Ha ha, iya, yup, benar juga. Daah.”

Sepertinya itu adalah hal yang wajar untuk mengucapkan selamat tinggal dan kabur. Aku tidak mengira seorang heroine akan muncul entah dari mana dan benar-benar panik sesaat tadi, tapi ternyata berakhir cukup baik. Saatnya mundur!

“Tunggu.”

“Huh?”

“...Baiklah. Jika kau ingin bicara, aku bersedia.”

“Huuuuh?”

“Ini sangat pas. Aku hanya berpikir sudah waktunya kita memperjelas posisi kita satu sama lain.”

Aku benar-benar tidak suka bagaimana itu terdengar.

Kiryu memancarkan tekanan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya; Aku tidak bisa menolak. Kami memutuskan untuk mencari tempat yang lebih baik untuk mengobrol, yang akhirnya berakhir di restoran cepat saji terdekat. Tak perlu dikatakan lagi bahwa Operasi: Membuntuti Kaito dan Kotou telah gagal. Aku tidak akan mencoba menguntit mereka dengan diikuti oleh heroine lain; tidak mungkin itu akan berakhir dengan baik.

“Aku belum pernah ke tempat seperti ini sebelumnya,” gumam Kiryu pada diri sendiri sambil melihat sekeliling toko. Dia tampak terpesona, yang membuat itu terasa aneh, mengingat itu adalah restoran cabang yang benar-benar biasa, yang sebenarnya dapat kalian temukan di mana saja. Dia tampak seperti orang desa, yang melongo melihat-lihat pemandangan selama kunjungan pertama mereka ke kota besar, dan aku harus menahan tawa.

“Ingin sesuatu? Aku berpikiran ingin mengunyah sesuatu.” Kupikir aku mungkin sebaiknya bertanya. Ini masih cukup cepat untuk makan malam, tapi jika aku akan nongkrong di tempat makanan cepat saji, kenapa tidak makan sekalian? Tentu saja, aku tahu betul kalau Kiryu akan memutuskan untuk minum dan hanya itu.

Orang sok seperti dia selalu berbicara tentang kalori, atau kandungan natrium, dan menolak menerima makanan cepat saji (asumsiku). Mereka salah mengira kalau meremehkan makanan cepat saji membuat mereka terlihat elit, tapi kenyataannya adalah, bahwa orang paling sok selalu memiliki otak yang paling kecil (oke, jadi aku punya sedikit keluhan). Aku sudah bersiap pada keangkuhan Kiryu yang berbenturan dengan selera rakyat jelataku dan berputar ke percekcokan kedua kami hari ini. Aku akan terkejut.

“Hmm... Baiklah, kurasa aku juga akan memesan sesuatu.”

“Whoa, seriusan? Kau benar-benar makan makanan ini?”

“Aku belum pernah mencobanya, tapi keluargaku tidak akan pulang hari ini, jadi…”

Aduhai! Sesuatu tentang kalimat itu anehnya terkesan erotis! Mungkin itu caranya tersendiri untuk malu-malu memelintir rambutnya dengan jari saat dia mengatakan itu? Terlepas dari kepribadiannya, dia memiliki semua bakat untuk menjadi wanita cantik yang mengalihkan dunia, sehingga bahkan gerakan terkecilnya pun dapat memiliki efek seperti itu. Mayoritas pria akan jatuh cinta padanya dalam sekejap jika dia bisa terus bertingkah seperti itu! Jika kau merekamnya dan menjadikannya sebagai nada dering, kalian akan mendengar kata-kata Kiryu “keluargaku tidak akan pulang hari ini” di seluruh kota dalam sehari, tidak diragukan lagi!

Meski begitu, semua siratan kamu-bisa-menginap-malam-ini yang paling mulia di dunia tidak dapat mengubah fakta bahwa kami tidak sedang berada di rumahnya. Kami berada di restoran cabang asli bertema taman, serta kemungkinan aku dan Kiryu berakhir dalam hubungan semacam itu secara substansial kurang dari satu banding sejuta.

Percakapan agak terhenti setelah titik itu. Kami menunggu antrean sampai giliran kami tiba, lalu kami melangkah ke konter bersama untuk melihat menu. Dan maksudku, seperti, bersama-sama. Berdekatan yang terasa tidak nyaman. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi ini! Aku dan Kiryu tidak akan pernah saling berdiri sedekat ini dalam keadaan normal! Ini benar-benar tidak terpikirkan! Aku membungkuk untuk melihat tanda terdekat yang mengiklankan menu spesial restoran saat ini, yang dengan menguntungkan dapat membuatku agak menjaga jarak.

“Apakah kau sudah tahu akan pesan apa?” tanya dia.

“Ayup. Kau?”

“Tidak, belum… Aku heran dengan variasi menunya. Aku mendapat kesan bahwa tempat-tempat seperti ini hanya menyajikan hamburger, tapi tampaknya mereka memiliki sandwich ayam, ikan, udang — bahkan ada pilihan berbasis sayuran...” gumam Kiryu pada diri sendiri. Dia benar-benar terpikat oleh menunya.

Sementara itu, pegawai tokonya, benar-benar terpikat oleh Kiryu, dan aku tidak bisa menyalahkannya. Sangat jarang melihat seorang gadis seperti dia bertingkah  tidak waspada. Aku sudah melakukan sesuatu kayak “Tunggu, mungkinkah dia sebenarnya kembarannya?!” kemarin, jadi aku tidak akan menggunakan jurus itu (dengan enggan).

Dia menghabiskan beberapa menit merenungkan pilihannya. “Baiklah, aku sudah memutuskan,” katanya, mengambil langkah ke samping. Aku anggap itu berarti dia ingin aku yang memesan duluan.

“Aku mau pesan menu spesial di papan tanda — err, burger telur rebus. Dengan kentang goreng, makasih.”

“Aku juga sama.”

Dia menjiplak pesananku! “Aku telah memutuskan” pantatmu! Aku mengangkat alis padanya, dan dia mengalihkan pandangan.

“Seperti yang pernah ditulis Yoshida Kenkou: ‘Bahkan dalam hal-hal yang paling sepele, kalian harus mengikuti jejak yang lebih berpengalaman.’”

Wow, sungguh hal yang sangat sepele untuk mengutip kata-kata literatur klasik! Aku cukup yakin kalau Yoshida Kenkou tidak memikirkan kentang goreng ketika dia menulis perumpamaan itu, tapi memangnya aku tahu apa, aku bukan biksu Buddha abad ke-14.

“Kau mau minum apa?”

“Minum…?” Dia melirik ke arahku.

“Itu sepaket dengan makanannya.”

“...Begitu ya.” angguknya.

Mengikuti pola yang sudah ada, seharusnya aku pesan duluan lagi, tapi aku tidak berencana menurutinya. Aku akan membuatnya memilih minuman duluan, suka atau tidak! Maksudku, akan sangat memalukan jika dia meniru minumanku juga. Kami akan terlihat seperti teman, atau apalah! Aku sudah memilih minumanku, tentu saja — aku selalu memesan minuman yang sama.

“Baiklah... aku akan minum jus apel.”

“Guh!”

“Dan kamu, mas?”

“...Jus apel.”

“Sudah kuduga,” sela Kiryu. Iya, kah?! Kau menyindirku, nona?!

Kiryu merengut saat kami mengambil minuman dan kuitansi kami, lalu mencari meja. Tempat makan cepat saji khusus ini sebenarnya adalah salah satu tempat yang mengantarkan makananmu setelah selesai dibuat.

“Baiklah, kalau begitu.” Kiryu Kyouka duduk tepat di depanku, lengannya disilangkan, dan menatapku. Dia tidak begitu menyentuh jus apelnya. Catatan tambahan, menyilangkan lengannya membuat dadanya lebih mecolok dari biasanya. Jangan menatapnya! Mataku!

“Sudah cukup lama sejak kita berbicara empat mata seperti ini.”

 “Sungguh cara yang aneh untuk mengatakannya, ketika ini adalah pertama kalinya kita berbicara seperti ini.” Aku menyesap jus apelku. Itu keluar lebih keras daripada yang aku inginkan — aku agak terkejut dengan betapa besar aku sendiri terdengar tidak bahagia. Kerutan Kiryu semakin dalam.

“Ya, aku sudah mengira kau akan berpura-pura bodoh.”

“Soal apa?”

“...Soal aku.”

“Berpura-pura bodoh apanya? Namamu Kiryu Kyouka, kau adalah gadis cantik nomor satu yang diakui oleh semua orang di kelas kami, dan kau sangat dingin kepada banyak pengagummu sehingga kau langsung mengabaikan mereka, bukannya menolak mereka dengan benar. Kau juga anak jenius dengan nilai tertinggi di angkatan kita, dan memiliki sabuk hitam di Aikido.”

“K-Kau tahu banyak rupanya.”

“Aku melakukan tugasku dengan baik.”

Aku sudah mencari tahu semua heroine potensial Kaito, mengumpulkan semua informasi yang dapat aku temukan dengan beberapa pencarian. Tentu saja, aku tidak tahu berat badan, ukuran atau apa pun yang bersifat pribadi, tapi Kiryu masih terlihat jijik.

“Begitu ya,” dia menghela nafas, dan menyesap jusnya. “Ah... Ini sebenarnya enak juga.”

“Iya, kan? Untuk ukuran cabang resroran, jus apel tempat ini sangat enak.”

Dari apa yang aku tahu, perusahaan ini awalnya adalah sebuah kebun, dan mereka mendapatkan apel untuk jus mereka dari sana. Ini adalah jus unik yang lezat yang hanya bisa kau dapatkan dari cabang khusus ini!

“Kau punya selera yang bagus,” sindirnya.

“Huh? Apakah itu tadi sindiran? Karena aku yakin, sebenarnya! Aku selalu punya! Kapan saja, di mana saja, aku memiliki selera terbaik!”

“Tidak, aku tidak sedang menyindir. Tidak kali ini.”

“Apa maksudmu ‘kali ini’?”

“Aku benar-benar terkesan, untuk sekali ini.”

“Okelah, sindiran atau tidak, kau jelas mengolok-olokku!”

Kami terus saling berdebat seperti itu selama beberapa waktu, dan cukup mengejutkan, itu tidak terasa jahat sama sekali. Ketika aku benar-benar berhenti memikirkan itu, aku tidak pernah benar-benar melakukan percakapan panjang dengannya sebelumnya. Kenyataan bahwa tidak adanya Kaito yang berdiri di antara kami mungkin membantu.

“Terima kasih sudah menunggu! Dua hidangan burger telur rebus.”

Untungnya, makanan kami tiba tepat saat percakapan mulai mereda. Kiryu menatap burgernya yang terbungkus sejenak, lalu melirik ke arahku.

“Apa?”

“Mana alat makannya?”

“Ya Tuhan, paling tidak, bisakah kau mencoba untuk tidak bersikap kayak klise hidup?”

“Canda, kok.” kekehnya, lalu makan kentang goreng, tampaknya tidak peduli sedikit pun jarinya akan berminyak. Jika aku memotret momen itu, para penggemarnya mungkin akan berbondong-bondong mendatangiku, menyerahkan uang mereka untuk ditukarkan dengan itu. Mungkin aku akan menyimpan fotonya untuk diriku sendiri juga.

“Ini tentunya perkembangan yang aneh, kan?” renung Kiryu.

“Hmm?”

“Aku tidak pernah membayangkan kita akan makan bersama-sama seperti ini. Yah, hanya kita berdua.”

“Apa maksudnya?”

Bahkan jika hanya kami berdua di meja, restoran cepat saji yang ramai tidak benar-benar memiliki suasana hanya-berdua. Aku tidak dapat menyangkal bahwa itu adalah perkembangan peristiwa yang cukup aneh, tapi aku juga merasa aneh karena setuju dengannya ketika dia duduk tepat di depanku seperti itu. Tapi, aku benar-benar memikirkan itu. Astaga, aku benar-benar picik.

“Kau masih sama seperti biasanya dalam beberapa hal, tapi pada akhirnya, kau benar-benar telah berubah.”

“Tunggu, apa maksudnya itu?”

“Pertanyaan bagus.” Kiryu tampak tenang dari luar, tapi cara dia menyesap jusnya terasa aneh.

Sementara itu, alisku berkerut, kerutan yang jelas, dan ada rasa sakit berdenyut yang sedikit mengganggu di dahiku. Dia bermain-main denganku, dan itu benar-benar mulai membuatku kesal.

“Soal jus apel,” lanjutnya.

“Kenapa?”

“Kenapa kau suka?”

“Kenapa...? Maksudku, begini, aku hanya suka. Hanya berpikiran kayak, itu enak saja... Tahukah kau soal buah terlarang dalam Alkitab? Beberapa orang mengatakan bahwa itu adalah sebuah apel, jadi kupikir apel akan sangat cocok untuk renungan emosi gelap yang diam-diam menggerogotiku!”

“Kamu suka karena itu manis, tapi sedikit asam juga.”

Aku bertingkah seperti orang idiot lagi, tapi Kiryu tidak mau ikut-ikutan, dan bergumam pelan hingga aku hampir tidak mendengarnya.

“Tunggu, apa?”

“Atau begitulah yang aku dengar.” Kata-katanya terasa sangat berat. Apakah dia sedang menginterogasiku sekarang?

“...Dari siapa?”

“Seberapa banyak yang kau ingat ketika kau masih kecil?”

Aku hampir bercanda soal ‘menjawab pertanyaan dengan pertanyaan’, tapi aku menahan diri. Dia terdengar sangat serius, dan aku tahu kami akan mencapai pokok masalah yang sebenarnya. Tapi, kenangan masa kecil, ya...?

“Ketika aku masih kecil? Aku tidak tahu. Itu sudah lama sekali.”

“...Seperti kenangan dari SD, misalnya.”

Kurasa itulah yang dia tuju selama ini. Aku memejamkan mata dan mencoba mengenang ingatanku kembali, tapi tidak muncul apa-apa selain kegelapan yang gelap gulita.

“Maaf, tapi aku sama sekali tidak begitu ingat dari waktu itu.”

“Ya, sudah kuduga kau tidak ingat. Kau tidak akan pernah seperti ini jika kau ingat...”

“Oke, lihat, ini semakin membosankan. Berhentilah bertele-tele dan katakan saja padaku! Apa maumu?”

Dia melotot lagi. Itu benar-benar terasa seperti dia menyalahkanku atas sesuatu, dan aku sendiri semakin kesal. Tidak mungkin dia tahu, tapi pertanyaannya telah menyentuh topik yang sangat menyakitkan untukku. Itu menarik perhatianku pada kebenaran tertentu bahwa aku melakukan yang terbaik untuk tetap menguncinya dengan aman di sudut pikiranku yang dalam dan gelap.

Namun, jika dia benar-benar ingin menariknya keluar dariku—jika dia begitu yakin bahwa sesuatu akan berubah jika aku memberinya penjelasan—maka baiklah. Harga diriku tidak terlalu berharga, jadi sekarang adalah waktu yang tepat untuk membuangnya.

“Aku tidak memiliki ingatan apapun dari sebelum lima tahun yang lalu.”

“Kau...apa? Tidak ada ingatan...? Kau bukannya hanya lupa?”

 “Aku tidak tahu apakah ini berbeda dengan lupa, sungguh, tapi aku sama sekali tidak ingat apa pun dari sebelum titik itu. Dari sudut pandangku, sepertinya sejak awal aku tidak pernah memiliki ingatan dari saat itu.”

 “Jadi, kamu amnesia?”

“Kamu bisa menyebutnya begitu, kurasa.”

“Jadi... Kamu sama sekali tidak ingat Daiki?”

“Daiki?”

“Adikku.”

Dia mengucapkan kata-kata itu dengan susah payah.

“Kiryu Daiki. Nama itu tidak mengingatkanmu sesuatu...?”

“...Tidak. Maaf.”

Dia mengepalkan tinjunya begitu kuat, tangannya gemetar. Sepertinya dia gemetar karena berusaha menahan sesuatu, tapi aku tidak tahu apa itu, dan aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya.

“A... Aku membencimu,” dia berhasil mengatakannya.

“Ya, aku kurang lebih sudah tahu itu. Kata-kata hinaan yang terus-menerus adalah petunjuk yang cukup besar.”

“Tentu saja aku akan begitu! Aku akhirnya bisa bertemu denganmu lagi setelah sekian lama, tapi kau bertingkah seolah-olah kau tidak mengenalku, dan kau tidak pernah mengatakan sepatah kata pun tentang Daiki. Kupikir kau berpura-pura bodoh. Mana mungkin aku bisa mengira kalau kau mengalami amnesia?”

Dia tampak seperti akan menangis, dan aku benar-benar bingung. Bagaimana jika aku tidak kehilangan ingatan? Dia terlihat sangat lemah, begitu sedih dan rapuh, sehingga aku mau tidak mau memikirkan perandaian yang sama sekali tidak berguna itu. Aku ingin membantunya.

Akulah yang melupakannya, tapi Kiryu adalah orang yang mencemoohku tanpa memahami keadaanku. Sudah sangat jelas seberapa besar rasa menyesalnya itu sekarang. Jika akan jadi seperti ini, mungkin akan lebih baik kalau kami membiarkan kesalahpahaman ini berlarut-larut selamanya.

“...Ayo pergi ke tempat lain. Akan sulit untuk membicarakan hal ini di sini,” gumamnya.

Kiryu bahkan baru saja akan mulai makan hamburgernya. Dia membungkusnya kembali dan memasukkannya ke dalam tas—kurasa dia pikir membuangnya akan mubazir. Aku bahkan belum menyentuh burger-ku, jadi aku mengikutinya, menyimpan burgerku di tas dan berdiri.

Sejujurnya, aku tidak berpikir kami akan mendapat banyak keuntungan dari melanjutkan percakapan ini. Aku tidak sanggup untuk mengingat adiknya, dan aku sadar bahwa, bahkan dalam keadaanku saat ini, aku tidak akan dapat menghindar dari terlibat dengannya jika dia memberi tahuku tentang adiknya. Sayangnya, sudah agak terlambat untuk mundur. Aku harus jadi bajingan gila jika aku ingin menginjak-injak seluruh perasaannya seperti itu, dan aku tidak cukup bertekad untuk memainkan peran semacam itu.

“Kita akan pergi ke mana?”

“Rumahku. Itu tidak jauh.”

Hal yang tak terbayangkan telah terjadi. “Keluargaku tidak akan pulang hari ini” benar-benar telah berubah menjadi ajakan ke rumahnya. Namun, untuk sekali ini, aku tidak ingin mengoceh tentang hal itu. Aku membiarkan Kiryu memimpin jalan, mengikutinya dalam diam menyusuri jalan-jalan distrik perbelanjaan yang berangsur-angsur gelap.

    

 

Kiryu tinggal di rumah keluarga tunggal dua lantai yang indah. Aku masih terperangah dengan kenyataan bahwa aku sedang mengunjungi rumah si Kiryu Kyouka, ratu kecantikan kelas 2-B. Akhirnya mulai terasa nyata, dan aku akhirnya menyadari betapa besar peristiwa itu sebenarnya.

“Hei, apakah kau punya teman?”

“Kenapa kau bisa tanya begitu?”

“Bukan apa-apa, sungguh... Hanya bertanya-tanya apakah tidak apa-apa bagi seseorang sepertiku untuk menjadi teman sekelas pertama yang dibawa pulang ke rumah oleh si Kiryu Kyouka...”

“Aku tidak terlalu peduli. Dan, selain itu... kau sejak awal bukan temanku.”

Jika aku bukan temanmu, apakah kau tidak bisa mencoba untuk mengurangi ekspresi sedihmu tentang semua ini? Dia hampir pasti tidak sadar bagaimana ekspresi wajahnya, meskipun, dia melakukan yang terbaik untuk bersikap tidak gelisah saat dia membuka kunci pintu dan berjalan masuk ke dalam. Dia benar-benar membiarkan pintu terbuka juga. Mengingat sikapnya yang biasa, bukannya aku berharap dia akan perhatian dengan menahan pintu untukku, tapi seperti, rasanya canggung ditinggalkan di luar sana seperti itu. Aku memutuskan untuk memperbolehkan diriku masuk.

Tunggu, apakah hanya perasaanku saja, atau dia memang baru saja mengakui kalau dia tidak punya teman...? Nah, tidak mungkin, temannya hanya tidak pernah datang ke rumahnya. Ya. Seharusnya begitu.

Fakta bahwa dia sangat cantik selalu membuatnya sulit untuk didekati, dan terlebih lagi, dia memiliki semacam aura “jangan sentuh aku” yang sulit dijelaskan. Tentunya pasti begitu — dia tipe orang yang agak sulit untuk memulai percakapan! Aku mengangguk pada diri sendiri, diyakinkan oleh rasionalisasiku sendiri saat aku dengan patuh mengikutinya ke dalam kediaman Kiryu.

“Maaf mengganggu...”

“Lewat sini.”

Ada tangga tepat setelah pintu masuk, dan aku langsung bingung ketika Kiryu mulai menaikinya. Bukankah kita akan pergi ke ruang tamu? Apakah ruang tamunya ada di lantai dua di rumah ini? Itu akan sangat aneh.

“Hei, kita mau kemana?”

“Kamarku.”

“………Huh?”

“Ayo, cepatlah.”

“Kamarku,” maksudnya, kamar Kiryu Kyouka? Gak, gak, gak, gak! Ini sangat amat kecepatan! Aku tidak bisa menangani ini!

“Whoa, tunggu dulu! Kau benar-benar meremehkan pentingnya mengajak anak cowok SMA, yang benar-benar biasa, ke kamar cewek!”

“Aku tidak peduli.”

“Pedulilah! Setidaknya sedikit—hei!”

Kiryu akhirnya kehilangan kesabaran pada gerutuanku, mencengkeram lenganku, dan menyeretku menaiki tangga dan menyusuri lorong. Aku punya cukup waktu untuk melihat namanya tertulis di pelat pintu sebelum dia mendorongku masuk.

“Tunggu di sini.”

Dia berbalik dan berjalan keluar, meninggalkanku sendirian di kamarnya.

Oke, serius, gadis itu ada masalah apa sih? Kami melewati begitu banyak tahap hingga benar-benar membuatku takut! Kenapa kau meninggalkan teman sekelas (catatan: bukan sahabat; pastinya hanya teman sekelas) sendirian di kamarmu?! Siapa yang tahu hal aneh macam apa yang bisa aku lakukan di sini! Ada pria di luar sana yang berkeliling di jalan sambil telanjang di pagi hari, tau?!

Bahkan jika dia memiliki sabuk hitam Aikido dan bisa mengalahkan warga biasa sepertiku, rasa waspadanya terlalu rendah. Maksudku, aku seorang pria, lo!

“Jadi, ini kamar Kiryu...”

Bahkan saat aku panik, aku tak bisa menahan diri untuk melihat sekeliling. Mejanya bersih dan rapi, dan ada boneka aneh dari beberapa karakter maskot, yang tidak aku ketahui, di tempat tidurnya. Ada rak (penuh dengan buku yang terlihat terlalu membosankan untuk seleraku) dan gantungan di dinding, di mana aku berasumsi dia menaruh seragamnya saat dia tidak sedang memakainya. Ada juga lemari (tertutup) dan meja rias (tertutup, dan hampir pasti penuh dengan jenis pakaian yang diimpikan pria secara rutin). Sebuah karpet diletakkan di lantai papan kayu. Kurangnya bantal untuk duduk adalah petunjuk yang cukup jelas bahwa dia tidak terlalu sering menerima tamu.

Dan di sinilah aku, ditinggalkan sendirian di kamar gadis yang asli dan tulen. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sendirian, jadi aku duduk di tengah karpet dan menunggu Kiryu kembali, tidak bergerak sedikit pun. Aku yakin sebagian besar anak laki-laki SMA akan senang sekali diundang ke kamar cewek cantik seperti ini, tapi mengingat subjek yang ada, aku merasa lebih seperti seorang narapidana yang menunggu untuk dieksekusi.

“Aku kembali.”

Kiryu kembali beberapa menit kemudian. Dia membawa sesuatu, tapi itu bukan segelas teh selamat-datang-di-rumahku seperti yang kuharapkan, melainkan semacam buku besar.

“Apa itu?”

“Album foto... dari saat aku masih SD.”

“Oke, tapi kenapa?”

“Kamu pasti bisa menebak, amnesia atau tidak.” Dia menghela nafas saat membukanya. “Kita bersekolah di SD yang sama.”

“Huh, begitukah?”

Sebenarnya, aku kurang lebih sudah menebaknya. Jika aku tidak dapat menebak itu dari situasinya, aku akan memiliki keraguan serius tentang kemampuan pemahaman bahasaku secara keseluruhan. Akan mengerikan kalau aku begitu buruk dalam Bahasa Jepang, mengingat aku seharusnya sudah dicambuk dengan mata pelajaran itu.

“Aku cukup yakin kita satu-satunya siswa di SMA Oumei yang bersekolah di sekolah itu. Lagi pula, itu ada di prefektur lain.”

“Jadi kamu pindah ke sini?”

“Ya. Pekerjaan ayahku mengharuskannya pindah ke daerah ini.”

Itu berarti benar-benar kebetulan bahwa kami saling bertemu lagi. Kurasa dari sudut pandangnya, sepertinya aku mengejarnya. Ingatanku yang hilang membuatku sulit untuk menilai seberapa besar sebenarnya kebetulan itu—seluruh situasi ini masih terasa hampir tidak nyata sama sekali bagiku.

“Tapi, SD yang sama... Seperti apa sih? Misalnya, bagaimana anak-anak saling berinteraksi?”

Itu mungkin terdengar cukup blak-blakan, tapi karena aku tidak ingat apa pun dari masa itu, aku sebenarnya sungguh-sungguh penasaran. Tentu saja, itu mungkin adalah salah satu hal yang berbeda untuk masing-masing orang. Kiryu duduk di tempat tidurnya, masih memegang album foto.

“Aku tidak begitu yakin bagaimana menjawabnya. Ini berbeda untuk setiap orang.”

“Yah, aku punya firasat kau akan mengatakan itu.”

Dia memberikan jawaban jelas dengan penuh ketulusan, dan aku kurang lebih harus menerimanya. Kemudian percakapan terhenti. Jika kalian membandingkan percakapan dengan permainan lempar tangkap, maka taktik khas Kiryu adalah menangkap bola dan pulang. Keheningan itu memekakkan telinga.

“J-Jadi, teman SD ya? Apakah seperti lagu anak-anak itu? Yang, bertemanlah dengan seratus orang, makan sianglah di puncak Gunung Fuji, melakukan tur keliling Jepang dan membuat seluruh dunia tertawa kegirangan, sesuatu semacam itu?”

“Aku tahu lagu itu, tapi aku dapat bilang dengan yakin bahwa tidak ada satu pun siswa SD dalam sejarah yang pernah melakukan semua itu.”

“Oke, masuk akal! Astaga, mengingat turunnya tingkat kelahiran dan sebagainya, jangankan seratus teman, kau sudah cukup beruntung hanya memiliki seratus anak yang seangkatan denganmu!”

“Ya, benar.”

...Hening. berdengung.

“Kurasa kamu tidak keberatan jika kita langsung ke intinya?”

“Ya, silakan.” Aku menyerah untuk berpura-pura bodoh. Jika aku melakukannya lebih jauh dari ini, dia akan menganggapku sebagai tipe pria yang tidak bisa membaca suasana sama sekali (dengan asumsi dia belum beranggapan begitu), jadi aku diam-diam membungkuk dan melihat albumnya.

“Apakah itu aku?”

Salah satu gambar di halaman album yang dibuka Kiryu terdapat gambar versi muda dirinya, bersama dengan seorang anak laki-laki yang hampir tidak bisa kukenali sebagai diriku sendiri. Aku bisa tahu dalam sekejap kalau itu adalah dia — tampaknya, dia memiliki ciri wajah mencolok yang sama sebagai anak kecil. Dia dan anak laki-laki itu saling menempel, begitu dekat sehingga wajah mereka hampir bersentuhan dan tersenyum, senyum cerah dan polos yang bisa kalian bayangkan untuk anak-anak seusia mereka. Sulit dipercaya seorang gadis seperti itu tumbuh menjadi ratu es sekeras batu yang kukenal sekarang. Label di halaman itu memberi tahuku bahwa gambar itu berasal dari karyawisata kelas dua.

“Kurasa kita cukup dekat?”

“Memang.”

“Oh… Huh.”

Aku tidak menyangka dia akan setuju semudah itu. Itu agak membuat canggung.

“Urutan tempat duduk diatur berdasarkan ABC, dan nama kita menempatkan kita tepat berdekatan satu sama lain.”

“Aaah, mengerti. Ya, itu masuk akal.”

Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya, tapi dia benar. “Kiryu” dan “Kunugi” cukup berdekatan, menurut abjad. Tentu saja, kami sekarang sekelas lagi, dan urutan tempat duduk masih berdasarkan abjad, tapi kami memiliki seorang anak bernama Kudou di kelas juga kali ini dan akhirnya kami terpisah satu meja. Nama keluarga kami dekat, tapi tidak begitu dekat hingga di antara nama kami tidak akan terhalang. Tidak heran kami menjadi teman jika kami duduk berdekatan sepanjang waktu. Anak kecil memang seperti itu.

...Catatan tambahan, “diatur menurut ABC”? Tentunya Kiryu adalah tipe orang yang akan mengatakan “diatur menurut abjad”? Kenapa? Apakah dia mencoba terlihat imut dengan bertingkah di luar karakter?

“Kamu duduk tepat di belakangku, dan sama sekali tidak pernah bisa duduk diam, bahkan selama pelajaran. Kamu selalu menjahiliku selama pelajaran, dan guru akan selalu memarahi kita berdua bersama-sama.”

“Ah. Err... Maaf?”

“Bukan berarti aku menyimpan dendam soal itu. Malahan, aku bersyukur.”

Dia dengan sedih mengusapkan jarinya di halaman album.

“Saat itu aku sangat pemalu, dan tidak bisa mendapatkan teman, tidak peduli seberapa keras aku berusaha...”

“Wow, mengingat seperti apa kamu sekarang, aku... benar-benar bisa membayangkan itu. Ya, maaf, itu memang benar.”

“Aku tidak pemalu lagi. Aku hanya tidak terlalu merasa perlu untuk bersosialisasi.”

Itu pastinya memang benar juga. Aku tidak bisa memikirkan satu kali pun aku melihatnya mengobrol dengan teman sekelas kami. Dia mungkin menghabiskan waktu lebih lama untuk menjawab pertanyaan guru kami di kelas ketimbang berbicara dengan teman-temannya. Tapi sebaliknya, Kiryu sayang, mengatakannya seperti itu menyiratkan bahwa kamu hanya membuat-buat alasan! Tentu saja aku tahu dia akan memberiku tatapan mematikan jika aku mengatakan itu, jadi aku tutup mulut.

“Kurasa itu berarti kita dulu berteman.”

“Kurasa...” ujarnya, sebelum memperbaiki pernyataannya. “Ya, aku percaya kalau kita berteman.”

“Kamu tidak terlalu yakin tentang itu. Kenapa? Apa kau juga amnesia?”

“Tidak. Hanya saja segalanya... rumit saat itu.”

Sembari bicara, dia meletakkan jari-jarinya di atas gambar aku yang masih muda. Rumit, ya? Kurasa bahkan anak SD pun dapat mengalami banyak kejadian.

“Kau adalah orang yang sangat penting bagi Daiki.”

“Daiki... Itu adikmu, kan?”

Kiryu baru saja memberitahuku tentang dia di restoran, jadi namanya masih segar di pikiranku. Aku beranggapan bahwa dialah inti dari semua ini—alasan dia membawaku ke rumahnya. Sejujurnya, tidak peduli seberapa banyak aku berpura-pura tenang dan bercanda... jika aku bisa menemukan kesempatan untuk melarikan diri, aku pasti akan melakukannya.

Aku sangat menyesal sudah ikut bersamanya. Sebagian diriku bertanya-tanya apakah, mungkin saja, ada kemungkinan kalau mendengar ceritanya akan membuatku teringat sesuatu. Tapi itu tidak ada gunanya. Melihat foto lama diriku dan mengetahui bahwa aku dan Kiryu dulu adalah teman tidak memicu ingatanku sama sekali. Bahkan tidak terdengar familiar. Kiryu Kyouka, Kiryu Daiki, dan bahkan Kunugi Kou muda di dalam gambar—bagiku, mereka semua hanyalah karakter dalam sebuah karya fiksi. Tak satu pun dari mereka bahkan terasa nyata sedikit pun.

Kiryu mengeluarkan foto lain dari mejanya. Foto itu menunjukkan versi dirinya yang sedikit lebih tua—mungkin sekitaran SMP, atau lebih—sedang tersenyum dan berdiri di samping seorang anak laki-laki yang hanya bisa kuanggap sebagai Daiki. Bahkan dalam sebuah gambar, sesuatu tentang penampilan Daiki menurutku terasa sangat lemah.

“Daiki sakit-sakitan sejak dia lahir. Dia tidak bisa pergi ke sekolah sama sekali, dan bahkan ketika dia pergi ke sekolah, dia sepertinya tidak pernah mendapat teman.”

Kiryu bersaudara  sama dalam bagian itu. Memiliki lingkaran pertemanan dapat membuat dunia berbeda ketika berhubungan dengan sekolah, dan menurut dugaan, terutama SD sulit untuk dilalui ketika kalian terisolasi. Anak-anak kecil benar-benar kejam dalam hal mem-bully.

Sifat-sifat yang bisa membuatmu mendapatkan teman di SD adalah hal-hal seperti enerjik, cepat, atau kuat. Pintar atau sakit-sakitan itu tidak berguna. Malahan, itu akan membuatmu menjadi sasaran bully. Aku tidak dapat mengingat dengan tepat seperti apa mereka secara langsung, tapi cukup mudah untuk membayangkan bahwa mereka berdua termasuk dalam kategori yang terakhir.

“Pasti sangat sulit untuknya, ya?”

“Tidak juga.”

“Huh. Benarkah?”

“Sungguh. Karena kau ada di sana.” Dia tersenyum tipis, tapi aku tidak paham sama sekali. Kenapa aku muncul dalam percakapan di titik ini?

“Tapi tunggu, dia tidak seangkatan dengan kita, kan?”

“Tidak, dia satu tahun di bawah kita. Tapi kau dan aku, yah... kita berteman.”

“Oooh…” Kurasa, ketika kau mengatakannya seperti itu, hal yang sangat biasa untuk mengenal teman-teman saudaramu.

“Daiki sangat mengagumimu. Dia pikir kau adalah orang paling lucu yang pernah dia temui, dan menganggapmu sebagai panutannya. Hanya kau yang dia bicarakan, bahkan setelah kami sampai di rumah, dan berkatmu-lah dia mulai menantikan pergi ke sekolah. Kondisinya tidak pernah stabil sehingga dia tidak bisa pergi setiap hari, tapi setiap kali dia ke sekolah, kita bertiga akan bersama-sama berjalan kaki ke sekolah…”

“Astaga… aku, ah, maaf aku tidak bisa mengingat semua ini.”

“Benar...” Suara Kiryu menjadi pelan dan lembut. “Kau tidak akan bertanya di mana Daiki sekarang?”

“Yah, umm... Bolehkah?”

“...Kondisinya memburuk tiga tahun lalu. Dia tidak pernah pulih…”

 “Ah…”

Sehubungan dengan fakta kalau Kiryu begitu yakin keluarganya tidak akan ada di rumah dan pengetahuan bahwa Kiryu punya adik laki-laki, aku sebenarnya sudah menduganya, dan melihat foto itu sedikit banyak menegaskannya. Tetap saja, mendengarnya secara langsung membuatku tidak bisa berkata-kata.

“Waktu yang dihabiskan Daiki bersamamu sangat berarti baginya. Lebih dari segalanya, kecuali mungkin waktu yang dia habiskan bersama keluarganya. Dia kurang lebih berhenti sekolah setelah kau pergi.”

“Setelah aku ‘pergi’...?”

“Kau menghilang entah ke mana saat kita kelas lima, beberapa saat sebelum liburan musim panas. Kau telah berjanji untuk bermain bersamaku dan Daiki selama musim panas, tapi tentu saja itu tidak pernah terjadi. Kau tidak pernah memberitahukan apa pun soal pindah ke sekolah baru, dan orang tuamu menghilang bersamamu, jadi bahkan ada rumor yang beredar bahwa kau mungkin menjadi korban pembunuhan-bunuh diri keluarga.”

Kata-katanya membawa tekanan, bersama dengan pertanyaan implisit: apakah aku benar-benar tidak ingat semua ini? Tapi kebenaran dari masalah ini adalah aku tidak ingat. Aku bahkan tidak ingat seperti apa rupa orang tuaku sendiri. Aku menggelengkan kepalaku, dan dia tampak kecewa.

“Aku mengagumimu. Ketika kita di SD dulu, kau sangat energik, lucu, dan memiliki bakat dalam memimpin anak-anak yang berkumpul di sekitarmu. Bukan hanya aku dan Daiki—seluruh kelas mengidolakanmu. Kau luar biasa...”

“Wow. Betulkah?”

“Jadi, keadaanmu sekarang hanyalah...”

Dia tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi aku bisa menebak ke mana arahnya: dia tidak tahan dengan aku yang baru. Setelah menghadapi emosinya yang murni dan tanpa pamrih, aku bisa tahu. Itu bukan hanya soal permusuhan—aku bisa mendengar kekecewaannya, rasa sakitnya, dan kesedihannya, semua bercampur menjadi satu dalam suaranya. Mendengarkan itu sungguh menyiksa.

“Aku langsung tahu kalau itu kau saat aku melihatmu di upacara pembukaan, tapi kau bertingkah seolah kau tidak mengenalku sama sekali... Melihatmu—melihat Kunugi Kou, yang menatapku seolah aku bukanlah siapa-siapa baginya, itu menyakitkan. Aku akhirnya membencimu karena itu satu-satunya caraku untuk bisa melindungi diriku sendiri.”

Melindungi diri sendiri dengan membenci orang lain, ya? Dia mati-matian menahan emosinya, menahannya agar tidak meluap. Ini pertama kalinya aku melihatnya terlihat begitu rapuh. Aku bertanya-tanya apakah aku yang dulu tahu tentang sisi dirinya ini.

“Apakah kau ingat saat aku mencoba berbicara denganmu, saat kita masih kelas satu?”

“...Ya.” Aku mengingatnya dengan sangat jelas, sebenarnya. Aku sangat curiga—kenapa wanita cantik seperti dia berbicara dengan pria sepertiku?

Sekitar setengah tahun setelah kami masuk SMA Oumei, dan aku sudah mengamankan peranku sebagai sahabat Kaito. Kupikir Kaito telah melakukan sesuatu untuk mendapatkan perasaan Kiryu, menyebabkan Kiryu menemuiku sebagai cara untuk lebih dekat dengan Kaito. Ketika dia mulai mencelaku setelah pertemuan pertama kami, aku mengelompokkan perbuatannya ke dalam kategori yang sama.

Kupikir perasaannya pada Kaito menjelaskan segalanya tentang dirinya, tapi ternyata anggapan itu salah arah. Aku mempercayai itu karena itulah yang ingin aku percayai, tapi faktanya adalah, dia telah mengejarku sejak awal. Kaito tidak ada hubungannya dengan itu. Dia hanya ingin berbicara denganku...

“Maaf.”

Apa lagi yang bisa aku katakan? Bukan berarti meminta maaf akan memperbaiki segalanya. Aku tidak bisa mengingat satu hal pun soal Kiryu atau adiknya. Dia mencurahkan semua perasaannya padaku, tapi tetap saja, tidak ada yang terasa nyata sama sekali. Itu hampir memualkan. Di sanalah dia, menceritakan semua kisah tentang masa laluku, dan di sinilah aku, tidak dapat melihatnya sebagai apa pun selain sejarah orang lain.

Bagian terburuknya adalah, aku tahu itu mungkin tidak ada hubungannya dengan amnesiaku. Kiryu mungkin merasakannya juga: masalahnya bukan pada ingatanku, melainkan pada diriku sendiri. Ketidakmampuanku untuk berempati padanya adalah kekuarangan dalam karakterku, sesimpel itu. Tidak peduli berapa lama aku menghabiskan waktu melihatnya menderita karena sejarah kami, aku masih tidak akan bisa menghadapi masa laluku sendiri. Aku terlalu takut. Itulah satu-satunya alasanku.

“Dari semua hal, malah amnesia, ya...? Kenapa?! Bagaimana kau bisa lupa?! Satu-satunya orang yang tersisa untuk mengingat Daiki adalah keluargaku dan kau! Tolong... Tolong, ingatlah dia... Aku tahu aku tidak masuk akal, dan aku tahu aku egois, tapi jika kau tidak mengingatnya, maka... maka Daiki... Daiki akan benar-benar mati…”

“Kiryu...”

Dia menangis. Tapi tetap saja, bahkan setelah semua itu, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku bukanlah Kunugi Kou yang dia inginkan. Aku ingin mengarang sesuatu sekarang juga, untuk mengatakan kebohongan putih dan meyakinkannya, setidaknya untuk saat ini, tapi aku tidak bisa mengeluarkannya. Dia menatapku, diam-diam, air mata mengalir di wajahnya yang penuh duka. Itu semua terlalu berat untukku, dan aku dengan canggung membuang muka.

“...Saat aku masuk SMA dan menemukanmu lagi, aku senang…pada awalnya. Aku tidak pernah puas dengan semua penjelasan kenapa kau menghilang, dan kupikir jika aku bisa mengatakan beberapa patah kata padamu, itu sudah cukup untukku... Bagiku dan keluargaku, dari sedikit orang yang mengenal Daiki, kau adalah orang yang istimewa. Aku pikir itu sudah cukup.”

Dia berhenti sejenak, menelan emosinya untuk membuat satu pernyataan terakhir, dingin, dan pasti.

“Tapi aku salah. Kou-kun yang kami semua cintai... Dia sudah tidak ada lagi.”

Aku meninggalkan rumah keluarga Kiryu—aku sebetulnya melarikan diri darinya. Aku berada di keadaan linglung dalam perjalanan keluar, nyaris tidak mampu mendengar kata-kata perpisahan Kiryu. Dengan setiap langkah yang aku ambil, semakin sulit untuk mengingat langkah yang datang sebelumnya. Perkataan mentah Kiryu yang sebelumnya bergema di pikiranku, menenggelamkan yang lainnya.

Bagaimana perasaannya pergi ke sekolah sampai sekarang? Bagaimana perasaannya setiap kali dia melihatku? Bagaimana perasaannya saat dia makan hamburger itu? Dan bagaimana perasaannya, menceritakan semua tentang adik laki-lakinya?

Mungkin jika dia melabrakku setelah upacara pembukaan, mungkin jika kami berakhir di kelas yang sama saat kelas satu, segalanya akan jadi berbeda di antara kami. Tapi berandai-andai tidak akan mengubah apa pun.

“Bagaimana aku bisa lupa, ya…?”

Jika aku memberitahunya bagaimana aku kehilangan ingatanku, apakah itu akan memuaskannya? Hah, mana mungkin.

“Jika aku mengatakan itu padanya, aku yakin dia akan menampar wajahku. Dia akan mengira aku membuat-buat omong kosong untuk menghindari masalah ini.”

Aku bisa membuat semua alasan yang kuinginkan, tapi kenyataannya adalah, bahwa akulah yang sepenuhnya menyebabkan ini terjadi pada diriku sendiri dengan kehilangan ingatanku—tidak, tapi dengan membuang ingatanku. Aku melakukannya demi diriku, dan diriku sendiri. Aku yakin bahwa Kunugi Kou di masa lalu, Kunugi Kou yang dicintai Kiryu, akan memberitahuku bahwa itu adalah keputusan yang tepat jika dia ada di sini.

Tapi, keputusan itu menyiksa Kiryu. Aku memberinya harapan, lalu menjatuhkannya kembali ke dalam keputusasaan. Aku bersembunyi di balik amnesiaku, memaklumi tindakanku, dan membuatnya menyalahkan dirinya sendiri karena membenciku, meskipun pada akhirnya itu semua adalah salahku. Kiryu memiliki hak untuk menyalahkan dan mencaci maki diriku, tapi bahkan jika dia melakukan itu, sangat mungkin dia hanya akan membuat dirinya merasa lebih buruk lagi.

“Aku benar-benar bajingan.”

Mungkin inilah aku. Mungkin yang paling bisa kulakukan hanyalah membuat orang menderita. Aku iri dengan diriku di SD. Aku yakin dia akan bisa melakukan semua hal yang aku inginkan, semua hal yang tidak sanggup aku lakukan sendiri, dan dia akan membuatnya terlihat mudah.

“Kenapa mereka harus peduli dengan orang tak berguna sepertiku…?”

Saat aku mengerang lemah pada diriku sendiri, ponselku berdering. Tiba-tiba aku merasa lega seperti dapat jawabannya. Itu dia—kesempatanku untuk lari dari segalanya. Aku bahkan tidak repot-repot memeriksa siapa yang menelepon. Aku hanya membuang semua pikiran campur aduk, yang kacau dan menggangguku ke luar pikiranku dan mencoba untuk memaksa diriku yang normal muncul ke permukaan lagi. Aku yang ideal: sahabat karib protagonis, orang tolol yang ceria, sembrono, tak penting, yang satu-satunya sifat yang kayak orang dewasa adalah kebanggaannya yang berlebihan. Dengan usaha yang tidak sedikit, aku memaksakan mengucap salam.

“Halo?”

Tentu saja, kembali normal tidak mungkin semudah itu. Bahkan aku pun bisa mendengar berat dan kakunya nada suaraku sendiri.

“Akhirnya kamu mengangkatnya, Senpai!”

Sebuah suara memotong rasa pusing, yang hampir seperti rasa mual, yang menguasaiku. Suara seorang gadis yang baru-baru ini kukenal.

“Apakah itu kamu, Ayase...?”

“Tentu saja! Ini kouhai kecilmu yang imut, dengan Ayase Hikari di sini!”

Kedengarannya seperti dia mencoba bercanda denganku, tapi aku sedang tidak mood untuk memberinya jawaban yang layak. Satu atau dua detik keheningan berlalu sebelum dia lanjut bicara.

“Bisakah kamu datang menemuiku?”

Dan dia melanjutkan.

“Ayo berkencan, Kunugi Kou-senpai.”

Dia terdengar sangat serius.