[LN] Shinyuu Mob no Ore ni Shujinkou no Imouto ga Horeru Wake ga Nai Volume 1 Chapter 5 Bahasa Indonesia

 

Kencan-Malam Larut-Malam

 

Kencan?”

Aku sangat kaget, aku mengulangi kata-katanya kembali. Aku benar-benar mulai bertanya-tanya apakah kami benar-benar berada dalam hubungan semacam itu... Gak. Gak, kami benar-benar tidak begitu! Setidaknya, tidak, kecuali jika aku benar-benar salah paham tentang arti kata kencan sepanjang hidupku. Aku melihat layar ponselku, dan ternyata sudah lewat jam sepuluh malam. Sebagian dari diriku terkejut pada berapa lama aku menghabiskan waktu di rumah Kiryu sementara sebagian dari diriku terkejut pada pemikiran untuk berkencan di malam hari.

“Begini... Anak laki-laki dan perempuan yang baik sudah di tempat tidur sekarang.

“Aku bolos, ingat?” kekeh Ayase. “Aku sudah menjadi gadis nakal, jadi aku tidak khawatir soal itu sama sekali. Lagipula, besok hari Sabtu, jadi apa salahnya begadang sedikit?”

“Bukankah kamu seharusnya jadi hikikomori? Sekarang adalah saat yang tepat untuk memenuhi gelarmu dan, yah, kurunglah dirimu.”

TLN: Secara harfiah, dalam bahasa Jepang "hikikomori" berarti menyendiri atau membatasi diri.

Aku tiba-tiba teringat sebuah cerita yang aku lihat di berita beberapa waktu lalu, tentang orang-orang yang menggunakan virtual reality untuk ketemuan jarak jauh. Mungkinkah itu yang dia usulkan? Sebenarnya, itu sangat masuk akal— memecahkan masalah hikikomori dan larut malam sekaligus. Kencan VR. Kencan virtual... Tunggu, tidak, ketika aku mengatakannya seperti itu, kedengarannya menyedihkan.

“Yah, aku tidak dapat menyangkal bahwa aku adalah hikikomori... Tapi, akan ada lebih sedikit orang yang keluar saat larut malam, jadi kupikir aku tidak perlu terlalu khawatir soal orang mesum.”

“Orang mesum juga tahu kalau lebih sedikit orang yang keluar di malam hari! Percayalah, bapak-bapak itu adalah pengecualian. Orang mesum normal hanya keluar pada malam hari.”

“Apa maksudnya ‘orang mesum normal?

“Oke, jika kamu mengatakannya seperti itu, kurasa semua orang mesum menurut definisinya tidaklah normal…”

Aku telah mengatakan “mesum” berkali-kali hingga kata itu mulai mengalami kejenuhan semantik. Sejujurnya, aku tidak akan keberatan sama sekali jika kata itu tetap dalam keadaan tidak-terdengar-seperti-kata-nyata selamanya.

Bodo amat. Maksudku adalah, kau tidak boleh berkeliaran di malam hari. Kita bisa bertemu kapan-kapan saat hari sudah terang.”

“Apakah kamu tidak dengar, Senpai? Aku tidak ingin keluar saat siang; ada terlalu banyak orang! Orang mesum pertama yang aku temui juga keluar di siang hari.”

Tolong jangan bicara kayak kau berasumsi akan ada orang mesum kedua suatu hari nanti.

“Selain itu, aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian sekarang,” lanjutnya.

“Huh? Apa maksudnya?

“Menyerah saja dan jalanlah denganku, oke? Ah, maksudku bukan dalam arti ‘jalan’ berdua cowok-cewek! Tapi kurang lebih jalan-untuk-kencan.”

Aku tidak mengerti...”

Pertama-tama, bukankah “jalan cowok-cewek itu artinya kencan? Astaga, bukankah “jalan-untuk-kencan” pada dasarnya identik dengan “jalan”, titik? Yang mana pun itu, tidak ada dari protes itu yang membuatku lebih cenderung menerima tawarannya.

“Oke, aku pergi sekarang! Temui aku di, hmm... Tahukah kamu dimana Taman Aoba? Yang ada jungle gym berbentuk seperti jerapah?”

“Aku tau...

Jungle gym berbentuk jerapah cukup mudah dikenali, dan aku jelas pernah melihatnya. Itu di taman kecil tepat di samping rumah Kaito. Tempat itu benar-benar biasa-biasa saja kecuali untuk jerapah yang aneh itu. Itu memiliki tiang panjat yang membentang dari lehernya ke tanah, yang selalu menurutku agak aneh.

“Sempurna! Temui aku di sana.

Aku mendengarnya membuka pintu, diikuti oleh suara angin bertiup.

“Hei, tunggu!”

“Ngomong-ngomong, tidak peduli kamu butuh waktu berapa lama, aku akan menunggumu di sana! Aku mungkin akan benar-benar diserang oleh orang mesum jika kamu terlalu lambat, kamu dengar?” kikihnya. Aku tidak tahu sikap macam apa yang dia coba lakukan, tapi aku bisa merasakan keraguan dalam suaranya. “Tolong datanglah, oke? Aku akan berada dalam masalah besar jika kamu tidak datang. Maksudku, masalah yang sangat besar... Tolong. Aku akan menunggu.

Lalu dia menutup telepon.

Aku tahu bahwa dia benar-benar cemas menjelang akhir panggilan itu. Serius, kenapa begitu memaksakan diri? Jika itu menakutkan, maka sejak awal jangan memaksakan diri untuk berkencan! Lagi pula, kenapa dia ingin bertemu di tengah malam? Apakah dia berencana menyeretku ke kedai daging sapi dua puluh empat jam untuk makan camilan tengah malam, atau semacamnya?

“Sialan...” Aku refleks bersumpah serapah.

Aku sedang tidak mood. Aku tidak akan pernah mood, tapi khusunya dua kali lipat pada saat ini. Tapi, aku tidak bisa benar-benar mengabaikannya, jadi aku akhirnya memaksa diriku ke Taman Aoba di luar kehendakku.

Bukannya aku menganggap semua yang dia katakan benar-benar serius. Aku tidak cukup mengenalnya untuk membuat penilaian menyeluruh tentang karakternya, tapi setidaknya aku bisa tahu kalau dia adalah tipe orang yang suka menggoda dan mengganggu orang. Tapi, pada satu banding sejuta kemungkinan kalau dia serius, ada juga satu banding sejuta kemungkinan dia benar-benar mengalami masalah.

Aku belum pernah ke rumah Kiryu sebelumnya dan tidak tahu bagaimana cara kembali ke apartemenku dari sana, terutama jika aku akan mampir di taman dalam perjalanan pulang. Namun, berkat kreativitas tak terbatas dan sifat inventif umat manusia (artinya: smartphone dan GPS-ku), aku tidak kesulitan menemukan rute ke sana.

Jalan-jalan perumahan semua terlihat sama meskipun tidak gelap, namun tetap saja aku merasa tersesat, meskipun aku tahu bahwa aku berada di jalan yang benar. Aku tiba-tiba dan sangat menghargai fakta bahwa peta adalah alat yang sangat penting, tidak peduli dunia seperti apa yang kalian tinggali. Siapa pun yang memutuskan untuk menyediakannya secara gratis adalah orang suci.

“Ah, itu pasti tempatnya.”

Taman yang Ayase arahkan padaku berada tepat di tengah-tengah area perumahan. Taman itu tidak terlalu besar, tapi satu-satunya sumber penerangan di area itu adalah satu tiang lampu tua di tengahnya, jadi secara keseluruhan tempat itu cukup suram.

“Di mana dia…?”

Aku menyipitkan mata saat aku mengamati area sekitar. Aku tidak bisa melihat siapa pun secara sekilas, tapi kemudian aku melihat sesuatu bergerak di ujung penglihatanku.

Senpai...?”

“Itu kamu, Ayase? Apa yang kamu lakukan di belakang sana?”

Entah kenapa, dia berjongkok di belakang bangku terdekat. Dia berdiri agak goyah dan mengutak-atik ujung gaun terusan yang dia kenakan saat dia berjalan ke arahku.

“Selamat malam, Senpai! Yah? Bagaimana menurutmu?”

“Apanya?”

“S-Seperti, bagaimana penampilanku?”

“Apakah kamu sadar kamu bilang apa?”

​​Gadis normal tidak seharusnya berbicara seperti itu tentang diri mereka sendiri, apalagi anggota OSIS! Ayase seharusnya menjadi panutan bagi seluruh siswa (meskipun dia hikikomori saat ini)! Itulah bagian dari pesona yang (menurutku) membuat semua anak laki-laki di kelasnya klepek-klepek, meskipun penampilannya mungkin juga berperan. Bayangkan saja raut kecewa di wajah mereka jika melihat tampilan yang mengejutkan ini!

Yah, kurasa persentase tertentu, dari orang bejat, mungkin benar-benar menyukai hal itu. Oh ya, dan jika itu perkataan yang cukup memalukan hingga membuatmu tersipu, menurutku kau sebaiknya tidak mengatakan itu sejak awal!

“Jangan khawatir, Senpai. Aku hanya bertingkah seperti ini di dekatmu.”

“Jangan bertingkah seperti itu, titik! Serius, aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi ketika kamu melakukan sesuatu semacam itu.”

Dia berseri-seri, dan aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Menanti-nanti.

“Jadi, uhh, kenapa kamu bersembunyi di balik bangku?” tanyaku, mengubah topik pembicaraan.

“Seorang gadis berusaha keras untuk pamer padamu dengan mengenakan gaun favoritnya, dan kamu akan mengabaikannya begitu saja?” dia cemberut.

“Yup, kamu sudah berhasil pamer. Aku sangat terkesan. Baguslah. Jadi, kenapa bangku?”

“Apakah kamu benar-benar begitu penasaran?” Dia memberiku tatapan setengah kesal.

“Ya, tentu saja. Maksudku, bagaimana jika satu banding sejuta terjadi? Dan satu banding sejuta lain, yang akan membuatnya menjadi satu banding satu triliun, mungkin? Pokoknya, ya, tentu saja aku penasaran.”

Ada juga kemungkinan lain satu banding sejuta dia sudah bertemu orang mesum. Semakin terbiasa dengan satu banding sejuta kemungkinan yang kau dapatkan, semakin berbahayanya mereka. Bukan berarti “terbiasa” bahkan masuk akal dalam konteks ini.

“Aku...”

“Aku apa?”

“Aku takut. Menunggu dalam kegelapan seperti itu... Itu benar-benar menakutkan...” Nada suaranya turun drastis, sampai-sampai dia hampir berbisik, dan dia menatap sepatunya. “Aku juga tidak ingin mengeluarkan ponselku, karena kupikir cahaya dari layar ponsel mungkin akan menarik perhatian seseorang. Aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk menghabiskan waktu, dan rasanya seperti aku menunggu selamanya...”

Pada saat itu, dia mulai gemetar. Aku akhirnya ingat bahwa dia, pada kenyataannya, seorang hikikomori. Dia baru menjadi hikikomori selama dua hari, tapi keluar rumah dan sesuatu seperti ini masih cukup berlebihan untuknya. Sebenarnya, apakah hikikomori dua hari benar-benar dihitung sebagai hikikomori? Berapa hari yang harus kalian habiskan tanpa keluar sebelum kalian memenuhi syarat? Jika dua hari cukup, kamu bisa berakhir menjadi hikikomori tanpa sengaja saat bermalas-malasan di akhir pekan. Bukankah hal semacam ini biasanya diukur dalam, misalnya, tahunan? Ya ampun.

“Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika kamu tidak… Hei, apakah kamu dengar, Senpai?”

“Huh? Ah, ya, aku dengar. Untunglah orang mesum tidak muncul kali ini, kan?”

“Y-Yah, begitulah, tapi itu juga tidak terlalu...” Kata-kata Ayase terhenti, dan dia berbalik menghadap bangku. “Umm, bagaimana kalau kita duduk sebentar?”

“Aku tidak benar-benar ingin meluangkan waktuku di sini. Tugasku adalah mengantarmu pulang pada Kaito, aman dan sehat, lalu pulang dan tepar.”

“Apakah kamu benar-benar berpikir kalau kamu bisa tidur, bahkan jika kamu mencobanya?” Kata-katanya membawa beban yang serius, dan aku merasa diriku menegang. “Aku ada firasat setelah kita berbicara di telepon, tapi setelah aku melihatmu secara langsung sekarang, aku jadi yakin. Sesuatu terjadi padamu, kan?”

“...Apa maksudmu, ‘sesuatu’?”

“Aku tidak yakin. Sayangnya … Aku belum mengenalmu cukup lama dan tidak mengenalmu cukup baik untuk mengetahui sebanyak itu.” Dia tersenyum dengan cara yang lembut, agak ke-cewek-an. Berbicara dengannya secara langsung memberikan kesan yang sangat berbeda daripada dijahili secara brutal olehnya melalui telepon. “Tapi tetap saja, aku tahu kalau ada sesuatu, kurang lebih. Tidak apa-apa, Senpai, kamu bisa cerita padaku. Apa yang terjadi—apakah itu sesuatu yang buruk?”

Menentang semua perkiraanku, sepertinya dia mengumpulkan keberanian untuk repot-repot datang ke taman di tengah malam, hanya demi memberiku kesempatan untuk curhat. Traumanya sendiri masih jauh dari kata sembuh, dan di sinilah dia, mengkhawatirkan traumaku. Aku tidak yakin apakah dia baik hati, atau sekadar ingin tahu.

“Kamu telah melakukan yang terbaik untuk membantuku, jadi adil bagiku untuk membantumu sebagai balasannya, kan?”

Dia terdengar bersemangat dengan logikanya sendiri, dan aku menghela nafas. Namun, itu bukan helaan yang buruk—tidak sedikit pun, hingga itu sendiri sangat mengejutkanku. Ayase Hikari adalah gadis yang aneh, polos dan sederhana. Jika aku harus memberi tahukan apa yang menurutku sangat aneh, itu adalah keakrabannya yang berlebihan, mengingat kami baru saja bertemu. Dia benar-benar, dengan keras kepala bertekad untuk mendapatkan kepercayaanku, dan sesuatu tentang kehadirannya, anehnya terasa menenangkan. Kenyamanan aneh itu disertai dengan beban yang tidak menyenangkan di perutku, tentu saja, tapi aku mendorongnya.

“Oke, baiklah.”

Aku menjatuhkan diri ke bangku. Aku punya firasat dia tidak berencana untuk menghentikan topik tidak peduli seberapa keras aku berusaha menghindarinya, dan dia benar-benar berani untuk datang ke sini, semua demi aku. Setidaknya aku memiliki cukup ketulusan yang tersisa dalam diriku untuk tidak membiarkan hal itu sia-sia. Ayase tampak terkejut sesaat, lalu berseri-seri saat dia duduk (sedikit terlalu dekat) di sebelahku.

Dia berhenti, mengambil beberapa napas dalam-dalam, lalu memasang ekspresi serius dan berbalik menghadapku. Namun, aku sadar bahwa sudut bibirnya berkedut, hampir seperti dia melakukan yang terbaik untuk menahan senyum. Dia terlihat sangat konyol sampai-sampai aku hampir tertawa terbahak-bahak ketika aku mencoba mencari tahu dari mana aku harus mulai menjelaskan peristiwa hari itu. Aku memutuskan untuk memberitahunya tentang semua itu, tapi banyak aspek dari percakapanku dengan Kiryu yang cukup berbahaya dari segi privasi. Aku tidak bisa membiarkan diriku mengacau dan keceplosan soal adik laki-lakinya yang sudah meninggal karena alasan yang jelas.

“Apakah sulit untuk dibicarakan?” tanya dia, penuh perhatian. Aku sudah duduk di sana cukup lama tanpa membuka mulut. “Aku tahu kamu berada di bawah banyak tekanan. Tidak apa-apa, kamu bisa mulai dengan sesuatu yang mudah dan bergerak ke hal-hal yang lebih sulit dari sana. Santai dan perlahan. Kita memiliki banyak waktu.”

“...Ya, oke.”

Aku tidak terlalu yakin dengan bagian “banyak waktu”. Sebenarnya, jika kami memperpanjang ini lagi, kami akan dimarahi oleh polisi yang lewat karena keluar terlalu larut. Namun, aku benar-benar bersyukur untuk bagian “perlahan”. Aku sadar kalau aku pasti harus menghadapi Kiryu dan adiknya secara langsung suatu hari nanti. Tidak dapat dihindari bahwa aku akan mengetahui tentang mereka pada akhirnya juga. Kebetulan hari itu adalah hari ini. Jadi aku perlu bergerak maju, dengan langkahku sendiri, langkah demi langkah yang terhuyung-huyung.

“Hei, bisakah aku mengatakan sesuatu tiba-tiba?”

“Tentu, silakan.”

“Aku mengalami amnesia.”

“...Apa?”

“Ya, tidak ada ingatan sama sekali dari sebelum lima tahun yang lalu.”

Apaaaaa?!

“Tapi, kemudian aku bertemu dengan seseorang yang aku kenal selama masa yang aku lupakan itu, dan semuanya agak aneh dan berantakan sekarang. Kurang lebih seperti itu.”

“Senpai, stop! Time out!” Dia kaget dan mencoba menghentikanku, tapi dia sedikit telat melakukannya—aku sebenarnya sudah selesai. “Ke mana perginya ‘santai dan perlahan’ itu?!”

“Huh? Kupikir aku sudah melakukannya? Aku berbicara sangat perlahan, menurut standarku.”

“Maksudku dalam hal menceritakannya selangkah demi selangkah, bukan kata per menitnya!”

Huh? Kenapa dia panik? Aneh.

“‘Amnesia’ adalah pil yang sangat besar untuk langsung ditelan, dan kemudian kau melewatkan semua detail lainnya! Aku sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya kamu alami!”

“Memangnya kita di sekolah? Apakah kamu sedang menilai esaiku?”

“Tidak, kita tidak di sekolah, tapi jika itu yang diperlukan untuk membuatmu menganggap ini serius, maka baiklah, anggap saja kita di sekolah!”

Dia benar-benar mulai panik. Inilah pasti alasan kenapa semua orang tua selalu panik tentang bagaimana anak muda jaman sekarang terlalu sering panik.

“Pokoknya, mulai lagi, dari atas, dengan lebih detail!”

“Aku mengidap amnesia dan aku bertemu dengan seseorang yang seharusnya aku kenal. Apa yang harus dilakukan?”

“Itu bahkan lebih buruk dari yang pertama tadi!”

“Maksudku, bukan seperti membahas detailnya akan membantu, sih.”

Mempertimbangkan semua masalah privasi yang terlibat, menurutku akan lebih baik untuk hanya menjelaskan sekilas masalah tersebut dengan samar dan menyerahkan sisanya pada imajinasinya. Aku punya firasat yang cukup kuat bahwa jika aku membiarkannya menggali lebih dalam dari itu, dia akan mengorek seluruh cerita dariku.

“Yah, oke, baiklah.” Dia terdengar kurang senang. Kurasa dia mungkin berasumsi bahwa aku tidak cukup percaya padanya untuk memberikan cerita lengkapnya. Dia berkata “baiklah,” tapi itu pasti “baiklah” yang semacam “ini sebenarnya tidak baik-baik saja.” Dia jelas-jelas merajuk.

“Bagaimana kamu bisa mengalami amnesia?”

“Apakah itu berarti kamu benar-benar percaya padaku?”

“Tentu saja. Kenapa pula kamu harus berbohong padaku?”

Astaga, gadis ini terlalu lugu! Kuharap dia tidak menelan cerita seperti itu mentah-mentah dari sembarang orang.

“Ini pertama kalinya aku bertemu dengan orang yang amnesia betulan,” lanjutnya. “Apakah kamu mengalami kecelakaan besar, atau sesuatu seperti itu?”

“Yang dibutuhkan hanyalah satu setruman langsung ke otak dan buum! Da-dah, ingatan!”

“Tidak mungkin itu yang terjadi.”

Penyebab-nya bukanlah masalah sebenarnya di sini, jadi mari kita lanjutkan untuk saat ini. Masalahnya adalah dengan mengalami amnesia, aku akhirnya menyakiti orang ini dengan sangat parah, dan aku tidak yakin apa yang harus aku lakukan tentang itu...”

“Kamu benar-benar baik, ya, Senpai?” Ayase tersenyum padaku lagi, tapi aku cemberut sebagai tanggapan.

“Kamu mengejekku, kan?”

“Gaklah! Kehilangan ingatan pastilah menjadi masalah yang sangat besar bagimu, tapi kamu lebih khawatir soal kenalanmu itu daripada soal dirimu sendiri.”

Oke, kurasa jika kau repot-repot menjelaskannya seperti itu, itu hampir terdengar seperti aku orang yang baik.

“Dengar, aku jelas orang yang salah di sini. Itu semua dimulai karena aku lupa segalanya. Itu semua salahku.”

“Apakah kamu sengaja membuat dirimu amnesia?”

“Jangan tanya aku… bukan aku yang melupakan semuanya. Kamu harusnya tanya pada aku yang dulu tentang itu.”

Aku tidak berbohong, secara teknis. Lagipula, aku tidak memiliki ingatan apa pun ketika aku terbangun sebagai diriku yang sekarang. Tentu saja, aku memiliki semua detail yang dijelaskan padaku setelah itu terjadi.

“Ngomong-ngomong, orang seperti apa kenalanmu ini?”

“Kami teman sekelas, kurasa.”

“Itu artinya kalian akan bertemu Senin depan, kan?”

“Ya, tentunya...”

Wow, lihatllah aku, seorang pembolos mengkhawatirkan kehidupan sekolahku. Namun, dia benar—jika aku tidak membuat rencana yang solid untuk menghadapi situasi ini sebelum Senin depan, aku dalam bahaya serius kehilangan statusku sebagai sahabat karib! Figuran tidak diizinkan untuk memiliki alur cerita yang panjang dan berlarut-larut soal kesusahan mereka!

“Ngomong-ngomong, hubungan macam apa yang kamu miliki dengan orang ini sebelum kamu kehilangan ingatan?”

“Maksudku, aku tidak ingat, tapi menurut dugaan, kami berteman saat SD.”

“Teman? Hmm.”

“Kurasa kami berdua tinggal di prefektur lain, dan bersekolah di sekolah yang sama. Kami bertemu lagi di sini secara kebetulan, berkat orang tuanya yang dipindahkan karena pekerjaan dan sebagainya.”

 “Begitu ya, begitu… Omong-omong…”

Oke, jelas “omong-omong”-nya sudah kebanyakan. Ada apa? Apakah aku sedang berbicara dengan Ayase “Omong-omong” Hikari? Aku melirik ke arahnya saat itu, dan memperhatikan bahwa ekspresinya cukup suram. Seperti, suram yang menakutkan, dan dia melihat tepat ke arahku. Jika ini adalah film horor, ini akan menjadi bagian di mana suara biola menyeramkan akan mulai berdengung sebagai musik latar—lalu, tiba-tiba, keheningan total.

“Apa jenis kelamin orang itu?”

...Huh? Hanya itu? Kau memainkan suara biola menyeramkan hanya untuk itu? Dari semua pertanyaan lain yang ada!

“D-Dia perempuan...?”

“Begitukah?” Nada suaranya bisa membuat pria kena radang dingin. Untuk sesaat, aku bahkan tidak percaya suara itu datang darinya. “Ngomong-ngomong. Apakah dia imut?”

“Tidak yakin apakah ‘imut’ adalah kata yang cukup tepat...”

“Berarti, ‘cantik.’ Sudah diputuskan. Kau bersalah seperti yang dituduhkan.”

“Kok gitu?!” Baik dalam “kok aku bersalah” dan hanya “kok gitu” yang simpel?!

“Kamu mengabaikan panggilan teleponku untuk main mata dengan gadis lain? Aku tidak menyangka, Senpai! Sepertinya kamu sangat perlu diomeli.”

“Tidak, serius, pada kayak lima level berbeda, kok gitu?! Kita bahkan tidak pacaran, kan?!”

“Tentu saja kita pacaran! Kita sudah jadian selama hampir delapan tahun.”

“Ap—tidak, itu—kau bercanda, kan...?”

“Tentu saja bercanda.”

“YEAH! YA IYALAH!”

Oke, sebenarnya, lelucon tentang Zona Tanpa Ingatan itu sudah di luar batas. Yang aku tahu, apa pun bisa terjadi selama masa itu! Seluruh hubungan dengan Kiryu muncul entah dari mana, dan aku tidak tahu harus mempercayai apa lagi.

“Kamu benar-benar amnesia, ya?” Ayase menyilangkan tangannya, mengangguk sambil berpikir. Kurasa reaksiku tadi pasti meyakinkannya.

“Apakah kamu mengujiku?”

“Teehee, aku merasa kayak ingin melakukannya saja.”

Lalu, apa-apaan tatapan mematikan itu?!

“Yah, mengingat ini sangat terkait dengan amnesiamu, sulit bagiku untuk menggali detailnya. Tapi setidaknya, ada satu hal yang bisa aku katakan.” Dia berdeham, berdiri, lalu berjalan tepat di depanku dan membungkuk untuk menatap lurus ke mataku. “Ini tidak sepertimu, Senpai.”

“Apanya yang tidak sepertiku?”

“Dulu ketika kita berbicara soal bapak-bapak mesum menjijikkan itu, kau langsung blak-blakan tanpa memikirkan sama sekali soal perasaan orang lain. Bukankah terpaku pada detail dan terlalu memikirkannya di luar karaktermu? Jika tidak sengaja menyakiti seseorang membuatmu merasa sedepresi ini, lalu kenapa kamu baik-baik saja memperlakukanku seperti barang rusak?”

“Astaga, nusuk cuk!” Terkadang, gadis ini benar-benar pintar memilih cara yang paling kacau untuk menyinggung sesuatu!

“Mungkin, menurut teman lamamu, kamu yang sekarang adalah orang yang sepenuhnya berbeda dari yang dia kenal. Tapi, itu lebih dari lima tahun yang lalu! Kamu dulu anak SD, kan? Bukankah aneh jika selama masa itu, kamu tumbuh secara fisik tapi tidak berubah sama sekali secara mental? Kamu akan menjadi anak kecil dalam tubuh orang dewasa! Kamu akan menjadi remaja yang berlarian dengan dot di mulutnya!”

“Tidak, aku tidak akan begitu!”

Aku mungkin tidak ingat apa pun soal masa laluku, tapi aku cukup yakin kalau aku tidak akan berlarian dengan dot dalam keadaan apa pun. Anak-anak seusia itu sudah terlalu tua untuk pakai dot, cuk!

Bahkan saat dia main-main denganku, Ayase masih tetap menatap mataku. Ekspresinya sama sekali tidak cocok dengan nada bercandanya. Sambil terlihat cukup serius, dia juga tampak gugup.

“Kalau begitu, katakan saja padanya! Katakan padanya bahwa meskipun kamu telah berubah, kamu masihlah satu-satunya Kunugi Kou.”

“Aku adalah... satu-satunya aku?”

“Mungkin aku sedikit tidak adil pada teman masa kecilmu yang cantik, tapi menurut pandanganku, menjalani kehidupan yang ingin kamu jalani lebih penting daripada menyelamatkan perasaannya.” Wajah Ayase tersenyum sekali lagi. “Dan bagaimanapun hasilnya, aku akan selalu menerimamu, Senpai!”

Ya, aku tidak dapat menyangkalnya: benar-benar ada kemiripan. Mungkin tidak sopan bagiku untuk berpikir tentang dia seperti ini, tapi tidak peduli bagaimana pun aku melihatnya, Ayase mengingatkanku pada-nya. Ini tentang bagaimana dia tampaknya selalu melompat dari satu hal ke hal berikutnya, cara ekspresinya berubah dengan cepat, dan cara dia secara langsung menangani masalah ketika diharuskan, meruntuhkan tembok yang aku bangun di sekeliling hatiku—mau aku suka atau tidak.

Itu membuatku ingin melakukan apa yang dia katakan. Untuk mempercayakan segalaku padanya. Untuk membiarkan dia memanjakanku.

“Baiklah,” jawabanku muncul, secara alami dan langsung. “Aku tidak tahu apakah ini ide yang bagus. Aku akan mencoba hidup seperti yang aku inginkan, dan jika aku jatuh dan terbakar, yah, maka sudahlah.”

“Itu benar! Jika berakhir buruk, datanglah temui aku. Aku akan melakukan yang terbaik untuk menghiburmu!” Dia menyemangatiku dengan senyuman.

Dari semua hal, dia menyebutku baik, lalu hingga mengkhawatirkanku bahkan lebih dari dia mengkhawatirkan dirinya sendiri. Dia jauh lebih baik daripada aku... Atau mungkin “baik hati” akan menjadi kata yang lebih tepat? Dia adalah heroine sejati, yang berlari keluar ke dalam kegelapan, terlepas dari luka yang masih menggerogoti dirinya, dan aku merasa setidaknya aku harus mengungkapkan rasa terima kasihku.

“Terima kasih, Ayase.” Sejauh ungkapan terima kasih, itu singkat, tapi itu datang dari hatiku.

“Ah… Dengan senang hati!”

Aku yakin aku sedang memasang senyum alami, yang tak dipaksakan, pada saat itu. Melihat senyum tulus Ayase sendiri membuat itu mudah untuk ditebak.

Baiklah, tunggu saja, Kiryu! Persetan Senin depan—aku akan menghadapi ingatanmu tentang Kunugi Kou secara langsung, dan takutnya mengatakan itu berarti juga menghadapimu secara langsung. Aku akan menghadapimu sebagai diri sendiri: Kunugi Kou yang sangat kau benci!

“Achoo!” Sementara aku sibuk dengan tekadku dan menyatakan perang melawan Kiryu di pikiranku, Ayase mengeluarkan bersin kecil yang menggemaskan, lalu tersipu.

“Ya, kurasa malam jadi sangat dingin, bahkan selama musim panas.”

“A-Aku permisi dulu!”

“Aku akan mengantarmu pulang. Meski, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kukatakan pada Kaito jika dia memergoki kita, sih.”

“Jangan khawatir, aku tahu aku bisa mengarang sesuatu yang akan membodohinya.”

Nah, sungguh percaya diri. Aku terkekeh saat kami berangkat, berjalan berdampingan dengan hanya sesekali lampu jalan yang menerangi arah. Kami tidak bicara. Dia tetap diam, dan aku sangat senang untuk mengikuti teladannya.

Saat ini aku hanya figuran biasa. Aku kebetulan adalah sahabat kakaknya, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa aku tidak cocok untuk berbicara dengan heroine sekaliber dia. Bahkan, seandainya Ayase memiliki perasaan untukku dalam satu atau lain cara, itu sama sekali tidak akan pernah terjadi. Itu tidak boleh terjadi.

 

“Nah, sudah sampai. Selamat malam, Senpai!”

Pada akhirnya, kami tiba di rumahnya tanpa banyak bicara. Dia mengucapkan perpisahan dengan cepat dan berlari ke dalam, bahkan tidak meluangkan waktu agar aku dapat menjawabnya. Kudengar Kaito meneriakkan sesuatu sesaat kemudian—cukup mudah untuk menebak bahwa dia mengkhawatirkan adiknya, mengingat bagaimana Ayase berlari keluar rumah tanpa menjelaskan apapun padanya. Kaito mungkin sudah duduk menunggunya sepanjang waktu. Ayase Muda mengaku tidak naksir Ayase Tua, tapi aku masih yakin bahwa Kaito mengidap sister complex parah. Aku lega melihat Ayase dirawat dengan baik. Namun...

“Sejujurnya, Hikari-chan benar-benar terasingkan di sekolah akhir-akhir ini...”

Aku memikirkan kembali apa yang Yuuta katakan padaku di ruang konseling. Dia menjelaskan bahwa Ayase menghadapi beberapa masalah, tapi tidak terlalu spesifik masalah apa itu. Meski begitu, hanya ada sedikit alasan kenapa seorang siswa SMA mungkin akan dikucilkan oleh teman-temannya. Ayase Hikari berhasil bergabung dengan OSIS sebagai murid kelas satu—yang hanya diperbolehkan memilih satu siswa baru untuk mewakili angkatan mereka. Perwakilan, silih berganti, ditentukan oleh ujian masuk: siapa pun yang mendapat nilai tertinggi akan mendapat tugas tersebut.

Saat aku kelas satu, Kiryu adalah perwakilan terpilih angkatan kami. Tampaknya, dia menolak tugas OSIS tersebut, sehingga membuat OSIS tak memiliki anggota baru. Jadi aku tidak benar-benar tahu bagaimana rasanya berada di kelas dengan anggota OSIS kelas satu, tapi aku masih yakin bahwa bergabung dengan OSIS pasti membuat Ayase mendapatkan banyak rasa hormat dan sorotan dari teman-temannya. Kemungkinan penyebab pengucilannya muncul secara alami dari sana: kecemburuan.

Pada akhirnya, tentu saja ini semua hanya asumsiku. Aku tahu bahwa jika aku tidak salah menduga, mungkin ada lebih dari satu alasan kenapa dia tidak ingin pergi ke sekolah. Tentu saja, ini bukan waktunya untuk memikirkan hal-hal itu. Aku harus fokus untuk memecahkan masalah di depanku, dan khawatir tentang masalah Ayase setelah masalahku selesai.

Tak lama setelah itu, aku tiba di tujuanku berikutnya, yang kebetulan juga merupakan tempatku melarikan diri beberapa jam yang lalu: rumah Kiryu. Memeriksa ponsel, aku mengetahui bahwa saat ini sudah lewat tengah malam, jadi kurasa orang tuanya kemungkinan besar sudah pulang. Aku tidak cukup bodoh untuk memanggil mereka melalui interkom. Astaga, bahkan jika aku melakukan itu, aku akan memiliki peluang tinggi untuk membangunkan dan mengganggu mereka daripada berhasil menghubungi Kiryu.

Karena itulah, aku memutuskan untuk bersembunyi di balik tiang listrik terdekat dan menunggu kesempatan. Aku mampir ke minimarket dalam perjalanan ke rumahnya untuk membeli sebotol susu dan roti kacang merah, yang sekarang aku keluarkan dari tasku.

“Jika kamu akan melakukan pengintaian, kamu harus makan camilan pengintaian klasik!” kataku, entah pada siapa.

Omong-omong, aku sebenarnya tidak suka pasta kacang merah. Dan juga, makan junk food larut malam sangat buruk untukmu. Sejujurnya, aku hanya membeli roti ini karena itulah yang selalu dimakan polisi ketika mereka mengintai di drama polisi. Senjata rahasiaku yang sebenarnya adalah (tolong, bunyikan genderangnya)...

“Sampo! Mingguan!”

Itu adalah rekan tepercayaku untuk pengintaian malam ini: majalah saran mingguan yang sepenuhnya berpusat soal sampo. Aku belum pernah membaca majalah ini sebelumnya, tapi begitu memasuki garis pandangku, majalah ini menarik perhatianku sepenuhnya. Oh, dan harganya hanya 208 yen, sudah termasuk pajak! Dengan kata lain, sangat murah! Cukup lumayan untuk harganya juga, jika aku harus bilang sendiri sih (dan aku melakukannya). Aku yakin jika aku melilitkannya di pinggangku dan menyelipkan bajuku di atasnya, itu bahkan akan melindungiku dari perampok yang membawa pisau. Hiburan dan penerapan praktis: semuanya ada di sini! Tanpa basa-basi lagi, mari kita lihat ke dalam.

Aku membuka majalah dan disambut oleh lautan sampo yang sesungguhnya. Halaman demi halaman botol sampo, disusun satu demi satu dengan gaya katalog, masing-masing dengan ulasan yang cukup luas terlampir di sana.

Hmm, hmm, begitu ya, begitu! Peringkat tiga ratus sampo terbaik tahun ini, ya? Astaga, aku bahkan tidak tahu mereka membuat berbagai jenis sampo sebanyak ini! Yang ini mengklaim bahwa “pria yang cakap memulai hari liburnya dengan memilih sampo yang cakap!” Memangnya pria sejati sangat peduli dengan sampo? Aku baru tau. Aku sebaiknya mencatat yang satu itu.

Tunggu, tunggu, tunggu sebentar—ini majalah mingguan, kan? Seperti, mereka mengeluarkan yang baru setiap minggu?! Bagaimana itu mungkin? Editor mereka pastilah lulusan PhD sampo universitas hingga dapat menerbitkan ini dengan kecepatan begitu! Maksudku, kelebihan dari semuanya itu menurutku agak bodoh, tapi itu sendiri juga cukup menghibur. Ini pastilah seperti apa rasanya gegar budaya. Aku mengalaminya sendiri.

Ini juga memiliki bagian yang cukup luas tentang asal-usul sejarah sampo dan trivia sampo, belum lagi apa yang aku cukup yakini sebagai semacam serial manga? Manga pertempuran, pada saat itu, bertema dan dibintangi oleh pekerja konstruksi. Dan manga itu sebenarnya cukup bagus! Sejujurnya aku penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya! Tapi, maksudku, begini lo. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan sampo, kan? Huh.

Aku membeli barang ini secara spontan setelah menarik perhatianku, tapi ternyata ini adalah alat utama untuk menghabiskan waktu. Aku bertanya-tanya apakah anak-anak jaman sekarang tumbuh dengan membaca hal-hal seperti ini? Itu membuatku sangat ingin membeli sampo, aku hampir tidak bisa menahannya. Ternyata dunia sampo begitu dalam dan luas, kalian bahkan mungkin harus mengimpor sebotol sampo dari luar negeri jika kalian menginginkan barang yang benar-benar bagus.

Oke, oke, ini beberapa trivia untuk kalian: Kalian bisa membuat sampo sendiri di rumah hanya dengan cuka dan soda kue! Sampo buatan sendiri adalah segalanya dalam novel fantasi remaja. Seperti, karakter utama akan dipindahkan ke dunia lain dan menggunakan pengetahuan modern mereka untuk “menciptakan” keajaiban peradaban modern (benar sekali, sampo) dan nge-cheat jalan mereka menuju kemakmuran. Sebenarnya, itu selalu menggangguku—maksudku, kebanyakan orang tidak begitu saja menghafal resep sampo, kan? Kehidupan macam apa yang harus kalian jalani untuk berakhir dengan pengetahuan khusus seperti itu? Kau harus menjelaskan banyak hal, Isekai-san!

Sampo Mingguan sebenarnya memasukkan komentar tentang topik ini: “Para penulis cerita itu tidak benar-benar tahu apa yang mereka buat. Mereka hanya mencari semuanya di internet!” Ayolah, orang-orang sampo, kalian tidak bisa mengatakan hal-hal seperti itu begitu saja! Pemimpin editor juga menulis komentar, mengatakan, “Jika aku dipanggil ke dunia lain, aku akan mengakhiri semua perang dengan kekuatan sampo! Aku akan menciptakan revolusi sampo!” Membacanya saja sudah membuatku merinding.

...Ya, agak menyenangkan untuk mengintip budaya yang sepenuhnya asing seperti ini sesekali. Bagian trivia dan kolomnya cukup menarik, dan sejujurnya aku agak senang melihat sampo terbaik apa yang akan mereka masukkan ke edisi minggu depan. Bukan berarti aku benar-benar akan membelinya sih.

 

Ketika aku akhirnya selesai membaca edisi Shampoo! itu, rasa takut tiba-tiba menyerangku. Aku cukup yakin aku pernah membaca makalah tentang bagaimana saat lewat jam tengah malam, gelombang elektronik yang dipancarkan oleh bulan melakukan sesuatu pada tubuh manusia yang memacu adrenalin? Uh, mungkin?

Pokoknya, kupikir aku mungkin telah menjadi korban Sindrom Lonjakan Energi Larut Malam. Sampai beberapa saat yang lalu, aku dalam mode “Woo-hoo, pesta yang sebenarnya baru saja dimulai! Putar dan nyalakan, ya ya ya!” habis-habisan, tapi sayangnya energi itu pergi ke jalan kereta Cinderella, meninggalkanku dengan tidak lebih dari labu imajiner untuk menemaniku sampai fajar.

Selain itu, mantra yang tertinggal bukanlah sepasang sandal kaca, melainkan kasus serius dari kelelahan dan keputusasaan yang disebabkan oleh kurang tidur. Aku pernah dengar bahwa jika kalian membuat kebiasaan menggunakan dorongan energi larut malam itu, kalian dapat berakhir dengan gangguan tidur sungguhan, tidak dapat tidur pada jam yang wajar bahkan jika kalian mau. Astaga, tubuh manusia terkadang sangat merepotkan, kan?

Aku membaca Sampo! Sampai habis tiga kali berturut-turut, mencoba mencari semua kesalahan ketik dalam upaya putus asa untuk mencambuk otakku, yang melambat secara bertahap, kembali ke bentuk semula, sebelum akhirnya aku mendengar suara kereta mulai melaju di rel terdekat. Sambil melirik ke atas, aku mengetahui bahwa langit baru saja memulai transisinya dari hitam pekat ke biru. Pagi akhirnya menyingsing. Terima kasih, Tuan Matahari. Terima kasih, Sampo!.

Aku memasukkan Sampo! di kantong yang aku dapatkan dari minimarket dan memasukkannya ke dalam tasku, di mana aku menemukan hamburger-ku yang dari kemarin. Aku benar-benar lupa, dan burger­nya sangat dingin. Meh, bodo amat. Aku akan menyimpannya untuk nanti.

Aku punya hal yang lebih penting untuk dikhawatirkan saat ini—khususnya, fakta bahwa tidak ada tanda-tanda kehidupan yang datang dari keluarga Kiryu. Saat ini hari Sabtu, jadi orang tuanya mungkin tidak bekerja dan kemungkinan mereka akan tidur sampai siang. Mungkin Kiryu sendiri juga akan begitu? Aku tidak mempertimbangkan itu sama sekali dan mulai panik.

Dan saat aku mulai panik tentang kesalahan fatal dalam rencana utamaku, sinar mentari pagi yang hangat menyinari sekelilingku, dan pintu terbuka. Keluarlah seorang wanita muda yang sangat cantik berambut hitam panjang: Kiryu Kyouka sendiri. Auranya yang bersih dan tertata rapi agak kontras dengan pakaian olahraga tidak modis yang dia kenakan. Antara itu dan cara dia mengikat rambutnya, lalu mulai melakukan pemanasan di depan pintu rumahnya, aku berasumsi dia akan keluar untuk jogging hariannya.

Jadi tunggu, bukan hanya dia murid teladan yang sempurna, dia bahkan cukup berdedikasi untuk menjaga jadwal olahraga tetap konsisten? Bahkan di akhir pekan?!

Ambisi mengerikan macam apa yang mendorong gadis ini?! Kau melakukan semua ini dengan salah lagi, Kiryu—bagian atasmu seharusnya terlalu berat untuk dapat jadi ahli dalam hal olahraga karena otakmu yang besar! Entah itu, atau kau mungkin memiliki semua keterampilan dalam olahraga, tapi tidak punya stamina! Begitulah cara karakter sepertimu menarik penonton! Bekerja keras demi perbaikan diri tidak akan membuatmu mendapatkan penggemar!

 

Namun, itu pas untukku. Aku menampar pipiku untuk berusaha mencegah kabut kantuk menutupi pikiranku, lalu melompat ke depannya. Itu seharusnya mencegahku ngantuk, kan? Maksudku, jika yang diperlukan untuk menghilangkan kantuk adalah dengan melihat seorang gadis cantik saja, kita tidak perlu kopi, tapi tetap saja!

“Kiryu!”

“Aaah?! Tunggu... Kunugi-kun?”

“Aku ingin kamu jalan denganku!”

“...Apa?”

Ah, ups. Aku menginjak ranjau. Kiryu memberiku tatapan membunuh alami. Kalian tahulah bagaimana hal semacam ini terjadi—kalian memiliki seluruh paragraf penjelasan dalam pikiran, tapi kemudian kalian sangat mengantuk sehingga diringkas menjadi satu kalimat dan artinya berakhir menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Hanya salah satu dari “Oh tidak, sekarang tampaknya aku menyatakan cintaku padanya!” agak ups-salahku.

Kami secara resmi telah bergerak melampaui wilayah Senin yang canggung. Kami masuk ke dalam wilayah “‘Jadi, hei, kau kenal si Kunugi itu? Dia, yah, benar-benar mengajakku pacaran, lho?’ ‘Ya Tuhan, tidak mungkin, sungguh? Kyouka-chan yang malang!’ ‘Kyouka-chan, kayak, benar-benar menangis, Kunugi! Minta maaflah!’ ‘Ganti rugi, lalu matilah! Gya ha ha!’”. Aku akan mendapatkan pelecehan verbal dari semua orang, tidak diragukan lagi. Aku melesat lurus menuju akhir yang buruk.

“Aaah, bukan, bukan itu maksudku! Bukan ‘jalan’ dalam artian pacaran! Maksudku, seperti, secara harfiah, ‘pergi bersamaku ke tempat tertentu’!”

“‘Tempat tertentu?”

“...Kota tempat kita tinggal sebelum aku kehilangan ingatanku.” Mata Kiryu melebar karena terkejut. “Aku mungkin akan ingat sesuatu jika aku benar-benar pergi ke sana, kan? Ini mungkin tidak berhasil, tapi kupikir setidaknya patut dicoba.”

“Begitu... ya. Baiklah kalau begitu. Aku akan ikut denganmu.”

Dia butuh beberapa saat untuk berpikir, dagunya bertumpu pada tangannya, sebelum akhirnya dia setuju.

“Benarkah? Kau yakin?"

“Hanya saja, pertama-tama…” Kiryu menatapku dari atas ke bawah, menilaiku dan jelas tidak menyukai apa yang dilihatnya. “Kau memakai pakaian yang sama seperti kemarin. Kau belum pulang sejak saat itu?”

“Err, ah, ya, kurasa.”

Nyatanya, aku masih mengenakan pakaian yang sama seperti kemarin—dengan kata lain, seragam sekolahku. Tak perlu dikatakan lagi bahwa aku juga belum mandi, dan bahkan pakaian dalamku tak perlu disebutkan lagi.

“Kalau begitu, pulanglah, mandi, dan ganti baju. Aku tidak tahan berada di dekat orang jorok.”

Kasar, tapi wajar.

“Mengerti, baiklah. Kalau begitu, mari kita ketemuan di stasiun sebentar.”

“...Aku minta maaf sudah membuatmu mengalami semua masalah ini.”

“Tidak, aku baru saja kepikiran kalau aku sangat ingin mandi. Aku sangat berkeringat dan lengket, aku membuat diriku kotor. Kelembaban musim panas adalah yang terburuk, ya kan?”

“Bukan itu maksudku.” Bukan? Huh. “Kamu menunggu di sini sepanjang malam hanya untukku, kan?” Dia tampak gusar, tapi pada saat yang sama, dia tersenyum.

Ketika aku benar-benar memikirkannya, aku tersadar: bukankah mengintai rumah seseorang sepanjang malam cukup penguntit-banget? Sudah agak terlambat untuk menyadari hal itu, tapi kalau dipikir lagi, aku sangat senang dia tidak melaporkanku ke polisi.

“Kamu pria yang canggung.”

Aku berkeringat dingin di dalam hati, tapi Kiryu memiliki jalan pikiran yang berbeda dan bergumam pada dirinya sendiri dengan nada yang hampir sedih. Apakah aku orang yang canggung secara keseluruhan atau tidak, yang jelas aku merasa canggung setelah mendengar itu, atau setidaknya malu. Aku memaksakan seringai untuk mencoba menutupinya.

“Tak apa. Semua ini adalah ideku. Maksudku, kurasa akan lebih mudah jika aku punya cara untuk menghubungimu, tapi kamu tidak pernah memberi tahuku nomormu tidak peduli berapa kali aku bertanya.”

“Setelah kamu menyebutkannya, itu benar juga. Kalau begitu, haruskah kita bertukar nomor?”

Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya.

“Huh? Seriusan? Semudah itu?”

“Maksudku, kamu selalu bertanya sebagai lelucon—itu selalu terasa seperti kau sedang mengolok-olokku. Siapa pula yang akan memberikan nomor mereka dalam keadaan itu? Kau mungkin akan menyalahgunakannya entah bagaimana.”

“Baaaaik, masuk akal...”

“Tapi mengingat semua yang telah terjadi, aku tidak keberatan lagi. Diganggu olehmu, maksudku.” Dia mengeluarkan ponselnya saat dia dengan santai menjatuhkan bom itu padaku. Nada suaranya sangat sugestif—siapa pun selain aku mungkin pingsan hanya karena mendengarnya berbicara seperti itu.

“Maksudku…bukan berarti kita tahu apakah aku perlu menghubungimu lagi setelah ini,” tambahku dengan ragu-ragu.

“Aku merasa kau akan menghubungiku lagi. Sebenarnya tidak lama lagi.”

“Baiklah jika kamu bilang begitu…”

Aku tidak benar-benar mengerti, tapi aku tetap bertukar nomor dengannya. Sejauh yang aku tahu, bahkan Kaito pun tidak berhasil mendapatkan nomornya. Aku mungkin benar-benar menjadi orang pertama di kelasku yang memperolehnya, dan anehnya aku sangat bersemangat tentang hal itu.

“Oke. Apakah jam sepuluh di stasiun tak masalah untukmu?”

“Baiklah.”

Rencana kami ditetapkan, aku kembali ke rumahku untuk merapikan diri. Sejujurnya, aku terkejut melihat seberapa lancar segalanya berjalan. Mengenai apakah perjalanan ini akan menjadi lebih baik atau lebih buruk dalam jangka panjang, yah ... Bagaimanapun juga, tentu saja itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa. Aku berjalan dengan bersemangat dan melompat dalam langkahku.

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya