[LN] Shinyuu Mob no Ore ni Shujinkou no Imouto ga Horeru Wake ga Nai Volume 1 Chapter 3 Bahasa Indonesia

 

Sejarah Berulang Dengan Sendirinya

 

“Duduk.”

“Eep.”

Kunugi Kou check-in di ruang konseling siswa! Aku men-tweet sebuah pesan ke jejaring sosial dalam hatiku saat aku duduk atas perintah Sensei. Pesan itu mendapat persis nol like.

“Kenapa kau duduk di dekat pintu? Ayo, ada banyak tempat di ujung sini.”

“Oh, yah, aku cuma tidak ingin buang-buang waktu dengan berjalan jauh kesi—”

“Dan sejak kapan kau pernah tidak buang-buang waktu, Tuan Yang-Datang-Terlambat-Dua Kali-Berturut-Turut?”

“Bukan itu yang aku—”

“Duduk. Dan diamlah.”

“...Oke.”

Gagal sudah mengamankan rute pelarian. Aku akhirnya duduk tepat di tempat yang tidak aku inginkan (jauh di ujung ruangan, di dekat jendela, dengan guruku yang berposisi tepat di antara aku dan pintu). Daimon-sensei (tiga puluhan, belum menikah, cukup-seksi-tapi-juga-menakutkan, dan turun  kualitas oleh segala macam cacat kepribadian) sedang duduk di seberangku.

“Pertama, aku punya pertanyaan.”

“Oke?”

“Kenapa kamu masuk lewat gerbang belakang?”

“…”

Aku mengalihkan pandangan dengan canggung, tapi dilihat dari caranya menatapku, dia tidak berniat membiarkanku menghindari pertanyaan itu.

“Kenapa. Kamu. Masuk. Lewat. Gerbang. Belakang?” tanyanya lagi. Yup, sepertinya kami tidak akan maju-maju sampai dia mendapatkan jawaban.

“Ibu tahu sendiri bagaimana terkadang kita merasa ingin mengubah rutinitas, kan?”

“Kamu terlambat tiga jam, dan kamu cuma kebetulan merasa ingin mengubah rutinitas.”

“Aku tahu Ibu akan menungguku di gerbang depan jadi aku mencoba menghindarimu dengan menyelinap lewat belakang.” Apa? Sial! Nada suaranya begitu penuh dengan tekanan, hingga aku refleks mengatakan yang sebenarnya!

Sebagai referensi, inilah ringkasan peristiwa yang berfaedah, yang membawaku ke titik ini:

Tiba di sekolah → Menyadari Daimon-sensei mengintai gerbang depan → Memutar ke gerbang belakang → Memanjat pagar; entah bagaimana, Daimon-sensei juga ada di sana (misteri terbesar tahun ini) → Diseret ke ruang konseling siswa → Sampailah di kesulitanku saat ini.

Tapi, sungguh, aku yakin kalau aku telah melihatnya di gerbang depan! Bagaimana dia bisa menyergapku, hanya Tuhanlah yang tahu.

“Kamu tahu, ya? Kamu sudah tahu.”

Oh, benar, kurasa aku keceplosan memberikan fakta bahwa aku melihatnya dengan mengatakan itu. Ups-salahku~☆

...Tunggu, tunggu, tunggu. Dia tahu aku melihatnya?! “Ups-salahku” gundulmu! Sejak kapan aku begitu bodoh?! Dia terlihat sangat serius, tatapannya membuatku merinding! Bagaimana caraku agar dapat lolos dari ini?! Apa yang harus aku lakukan?!

“Aku sangat menyesal...”

Aku meminta maaf dengan insting belaka bahkan sebelum aku sempat berpikir! Dan maksudku dengan “meminta maaf,” ialah aku memohon penuh, dengan wajah-ditekankan-ke-meja.

“...Ayase sudah menjelaskan situasinya padaku, jadi aku mengerti kenapa kamu terlambat.”

Aku berasumsi dia sedang berbicara tentang Ayase Tua. Atau lebih tepatnya, Ayase sang MC. Atau lebih tepatnya, Ayase sang Antihero Penjahat Perang yang membuat telepon bodoh dalam mode speaker.

“Tapi tetap saja, melupakan tasmu di rumahnya adalah salahmu sendiri. Kamu mengerti maksudku, kan?”

“...Ya.”

“Lalu, tentu saja, ada bagian di mana kamu menghinaku.”

“Oke, biar aku jelaskan—”

“Apa yang sebelumnya kau bilang, hmm...? Aku ‘tante cerewet’ yang ‘sudah lama gak laku-laku, hingga pikirannya jadi gila’...?”

Daimon-sensei, tidak! Kau hanya akan menyakiti diri sendiri dengan mengulanginya! Kenapa aku bahkan mengatakan sesuatu yang jahat begitu?! Aku sudah cukup banyak menonton acara TV jelek hingga mengetahui bahwa semua hal yang berhubungan dengan kapan-nikah adalah subjek yang sangat sensitif bagi beberapa orang dewasa! Tuhan, kenapa aku jadi begini?!

“Jadi, anggap saja dirimu mendaftar untuk sekolah musim panas.” Tante cerewet bodoh ini!

“Tunggu, apa?! Tapi kita masih tiga minggu lagi dari ujian! Bukankah kamu yang bilang pada kami bahwa sekolah musim panas adalah hak istimewa bagi orang-orang yang gagal dalam ujian mereka?! Omong-omong, aku pernah dengar kalau untuk gagal ujian, nilainya harus kurang dari empat puluh persen!”

“Mau kamu gagal dalam ujianmu atau tidak, dan mau kamu menjelaskan kembali sistem sekolah musim panas kepadaku, kamu tetap masuk ke sana. Selamat.” Dia menyeringai padaku. “Lihat, SMA Oumei memberikan wewenang pada guru wali kelas untuk mengirim anak bermasalah di kelas mereka, yang tidak tahu benar dan salah, ke sekolah musim panas, terlepas dari nilai mereka. Aku menggunakan wewenang itu padamu.”

“T-Tidak, jangan! Tolong, jangan lakukan ini padaku! Apakah kamu tidak sadar betapa berharganya liburan musim panas bagi anak SMA?!”

“Aku cuma mendapatkan total satu minggu liburan musim panas. Masalah?”

“Aku amat, sangat menyesal!”

Astaga, bekerja di sekolah negeri kedengarannya parah! Tidak heran dia tidak dapat menemukan pasangan! Apakah seperti itu untuk semua orang dewasa? Astaga!

“T-Tapi, Daimon-sensei?”

“Apa?”

“Bukankah seharusnya kamu berada di kelas sekarang?”

Sudah waktunya untuk memulai jam pelajaran keempat, dan menurutku dia tidak punya waktu untuk berkeliaran di tempat seperti ini (dibaca: penjara). Dan terlepas dari kenyataan bahwa aku benar-benar, tidak dapat dipungkiri, berhak untuk mempertanyakannya...

“Aku tidak ingin mendengar itu dari seorang pria yang bolos tiga jam pelajaranku dua hari berturut-turut.”

Wali kelasku (yang kebetulan juga mengajar bahasa Jepang, serta sastra modern dan klasik) tersenyum seperti senyum yang memberi tahumu bahwa kamu benar-benar sudah tamat. Aku merasa seperti anak domba kecil polos yang ditatap oleh serigala yang kelaparan. Aku tidak batuk darah, kan? Mata tidak berputar ke belakang kepala, kan? Kau masih hidup, Kou? Kou?!

“Aku akan menghabiskan sepanjang hari ini untuk mencambukmu dengan pelajaran remedial. Itu juga masih dalam kuasaku sebagai wali kelasmu.”

Senyumannya terlihat sadis. Sekolah ini memberi gurunya terlalu banyak wewenang, suwer. Kurasa jam mengajarnya sudah berakhir untuk hari ini, jadi dia benar-benar bebas untuk tetap disini dan mengawasi sikapku. Adapun untuk pelajaran-pelajaran lain yang seharusnya aku ikuti siang ini, tampaknya pelajaran bahasa Jepang menjadi prioritas di benaknya, jadi dia tidak peduli jika aku melewati pelajaran lain.

Pikiranku, bagaimanapun juga, dipenuhi oleh pikiran lain yang jauh lebih serius. Sesuatu yang sangat serius dan berbobot sehingga menghancurkan semua hal lain yang telah kami bicarakan.

“‘Mencambukmu’ kedengarannya agak jorok, kan?”

“Matilah sana.”

“Kasarnya!”

Dia tahu kalau aku seharusnya seorang siswa, kan?! Tunggu, bukan “seharusnya”—aku adalah siswa tulen dan asli di sini! Guru macam apa yang menyuruh muridnya mati?! “Memangnya kau bisa ngomong sembarangan hanya karena aku sedikit melecehkanmu, begitukah cara kerjanya?!” ...teriakku, dalam hati.

Aku akui: itu memang salahku, dan salahku sendiri. Serta fakta bahwa aku mengakui kesalahanku berarti aku benar-benar tidak berani mengeluh. Jika, bukannya aku, namun tipe karakter utama yang duduk di sini, aku yakin Sensei akan mengatakan sesuatu seperti, “H-Hei, bodoh, kamu tidak boleh mengatakan sesuatu seperti itu kepada gurumu! Kamu adalah muridku! Kita tidak boleh! Tidak sampai kamu lulus... M-Maksudku, tidak! Aww, kamu membuatku ngomong apa sih, dasar nakal?” atau semacamnya. Meminta seorang figuran untuk mendapatkan reaksi semacam itu dari seorang guru cantik cerewet itu terlalu berlebihan, lho.

“Aku punya cukup lembar soal yang siap untuk kau kerjakan selama berhari-hari.”

Selama itu, aku sesekali melirik setumpuk kertas yang benar-benar ada di sampingnya, dan dia menjatuhkan semuanya ke mejaku. Yup, sepertinya itu memang untukku. Bagus sekali.

Inikah untuk mencambukku? Kalau gitu, kita akan berada di sini sepanjang hari, lho!”

“Kau bodoh atau apa, hah? Aku tidak punya waktu untuk itu. Kamulah yang akan berada di sini sepanjang hari. Aku akan kembali memeriksa ke sini setelah kamu selesai, jadi pastikan untuk membereskannya.”

“Guru macam apa yang menyuruh muridnya untuk mati, menyebut mereka bodoh, lalu melimpahkan banyak kertas soal ke mereka?! Itu adalah guru yang jahat! Hei, kau dengar?!”

Dia tidak dengar, karena dia sudah pergi. Inikah yang seharusnya menjadi pelajaran perbaikan? Ini hampir tidak dihitung sebagai pelajaran sama sekali! Dia baru saja meninggalkanku di ruang konseling... Sendirian...

“Heh…”

Aku tidak bisa menahan itu.

“Hehehe…”

“Itu”, tentu saja...

“Hee hee… Ha ha ha ha! AAAHA HA HA HA HA HA!”

...Tawa penuh kemenangan dan menggebu-gebu! Aku berhasil! Aku berhasil! Pemenangnya adalah aku! Ou yeah!

Maksudku, ayolah, jika ini tidak dihitung sebagai kemenangan besar, lalu apa lagi?! Aku lolos dari pengawasan kuntilanak penjaga penjara! Penjelmaan ketakutan telah meninggalkan ruangan! Tanpa ada orang di sekitar yang mengawasiku, aku bisa setengah hati mengerjakan lembar soal ini dalam waktu singkat, menghabiskan sisa hari dengan bermalas-malasan, dan menyatakan kemenangan! Sekolah musim panas kedengarannya masih menyebalkan, tapi itu juga terdengar seperti karakter latar banget, jadi persetan, itu juga berarti menang! Skenario terburuknya, aku cukup bolos saja!

“HAAA HA HA HA HA HA! WAA HA HA HA HA HA HA! HYAA HA HA HA HA HA!”

“Diam!”

“Baik! Maaf!”

Daimon-sensei datang kembali dan meneriakiku agar patuh, mengakhiri tugas singkatku sebagai kaisar ruang konseling. Pemerintahanku berlangsung total tujuh detik. Kemudian dia membuatku mengerjakan satu tronton penuh lembar soal.

    

 

Waktunya makan siang! Daaan aku kurang dari sepersepuluh jalan mendaki gunungan lembar soalku. Maksudku, ayolah, lihat saja ukuran tumpukan itu! Tapi ketika bel makan siang berbunyi, itu berbunyi untukmu (Mau kau sudah menyelesaikan tugasmu atau tidak). Aku tidak punya pilihan lain selain berjalan santai keluar dari ruang konseling. Tempat tujuanku: warung sekolah. Tujuanku: membeli sesuatu untuk dimakan.

“Ayolah, anak-anak, jangan dorong-dorong!”

Aku bisa mendengar suara wanita kasir jauh sebelum aku melihatnya. Tempat itu benar-benar gila, seperti biasa, dan seperti hari kemarin...

“Ah, um, ah...”

Sesosok cebol tertentu sedang mondar-mandir di belakang kerumunan. Rupanya dia belum belajar dari pengalaman kemarin, dan sekali lagi menatap tak berdaya dan berlinang air mata pada amukan massa manusia yang ada di antara dia dan makan siangnya.

Dia sudah tahu akan jadi seperti ini, kan? Kalau tidak, kenapa dia tidak pergi ke minimarket saja biar dia tidak kesulitan begini? Oh okelah! Bukan masalahku! Aku memilih untuk mengabaikan si kerdil, mengambil makan siangku yang kecil, berlari kembali ke ruang konselil, dan makan di sa... nil? Oke, yah, sajak itu benar-benar dipaksakan.

“Hmm?”

Saat aku memutuskan untuk melakukan itu, aku merasakan sesuatu menarik seragamku. Aku menunduk, dan tentu saja...

“Um...”

Gyaaaahhhhhhh?! Ini si cebol! Seekor udang liar mencoba nebeng denganku cuma-cuma!

“H-Hei, lepaskan!” teriakku.

“Tolong bantu aku!” pekiknya.

“Kau bahkan tidak mencoba basa-basi, ya?!”

“Selamatkanlah aku!”

“Apa artinya itu?! Hentikan, Cebol Tolol! Ketololanmu akan menular padaku kalau begini terus!”

“Namaku bukan ‘Cebol Tolol,’ namaku Yuu! Dan aku tidak tolol!”

“Lepaskan! Serius, hentikan, orang-orang akan menyamakanku dengan-mu kalau begini terus! Aku akan melakukannya; Aku akan membelikanmu sesuatu! Kan kuselamatkan kau!”

Dan beberapa menit kemudian...

“N-Nih, semoga kau senang dengan ini,” kataku sambil menyodorkan salah satu roti padanya.

“Cukup bagus, kurasa!”

“Kenapa aku harus melalui omong kosong ini sih? Seriusan...”

Membeli satu barang dari warung saja sudah cukup sulit, dan membeli dua barang membutuhkanku bekerja sangat keras. Sementara itu, Nona Kecil Gak-Mau-Repot itu bersantai di zona aman dan bahkan tidak repot-repot berterima kasih padaku dengan benar atas upayaku yang gagah berani.

“Aku mau yang madu!” dia cemberut.

“Kau banyak menuntut, ya?”

“Ayolah, aku akan membayarnya kok.”

“Sebaiknya begitu! Kau tidak akan mendapatkan keduanya jika tidak bayar!”

“Yang madu, tolong!”

“Iya, iya.”

Seriusan, apa sih yang mendorong gadis ini jadi tuyul kecil agresif? Dengan enggan aku menyerahkan roti madu-margarin yang aku beli, dan dia memberiku koin seratus yen sebagai gantinya. Sebagian dari diriku ingin memerasnya dengan pajak penjualan, tapi persetanlah, ini tak layak diperpanjang.

“Baiklah, waktunya makan siang!” soraknya.

“Ya, selamat menikmati. Aku akan pergi dari sini.”

“Tunggu, apa? Bukankah kita akan makan bareng?”

“Apa? Kau pasti bercanda. Apakah otakmu sekecil dirimu, Nona Kecil Yuuta?”

“‘Yuuta’? Itu nama laki-laki! Aku Yuu, dan aku perempuan!”

“Diam! Jika kau memohonku untuk diselamatkan, maka aku bisa memanggilmu apa pun yang aku mau, dan itu berarti kau harus jadi ‘Yuuta’! Terima sajalah!”

Untuk semua Yuuta di seluruh dunia: Aku sungguh minta maaf telah membandingkan kalian dengan udang kecil yang aneh ini. Ayo, Cebol Tolol, kau juga harus minta maaf!

“Yuu! Aku Yuu! Bukan Yuuta!”

“Kamu adalah kamu (Yuu/You), dan kamu (Yuu/You) adalah aku?”

Kurasa itu harusnya “Aku adalah aku” agar sesuai dengan polanya? Apakah itu, seperti, kita-vs-mereka, semacam “Aku adalah aku, kamu adalah kamu”? Terlepas dari itu, aku sama sekali tidak ingin ada hubungannya dengan gadis ini.

“Namaku Yuu!”

Yuuta mengeluarkan kartu pelajarnya dan menunjukkannya padaku. Memangnya dia apa? Polisi? Di kartu itu ada fotonya (di mana dia membuat wajah serius yang lucu) di atas kartunya, serta tulisan “Kelas 1-A” dan namanya.

“Yoshi Kiyuu?”

“Yo-shi-ki! Namaku Yoshiki,” dia berhenti sejenak, mungkin untuk menekankan, “Yuu!”

“Ah, Yoshiki, mengerti. Aku akan mengingatnya, Yuuta.”

“Tidak, kau tidak ingat! Kau sudah tidak ingat!”

“Kau akan tetap menjadi Yuuta sampai kau berhenti mengemis makanan padaku. Sheesh, kouhai macam apa yang menyuruh senpai mereka membelikannya roti? Dasar nona kecil yang nakal.”

“Aku bahkan tidak tahu kalau kamu adalah kakak kelas!”

“Kau adalah murid kelas satu, jadi semua orang di sekolah ini seangkatan denganmu atau di atasnya! Dan juga, kau sangat pendek. ”

“Aku sangat sensitif tentang tinggi badanku, jadi berhentilah mengungkitnya!”

Yuuta mulai berteriak keras sembari menendang-nendang ke atas, dan aku sampai pada kesimpulan bahwa mengabaikan dia sepenuhnya adalah pilihan termudah. Aku melakukan itu dan mulai menuju ke ruang konseling, tapi...

“Huh? Tidak ada ruang kelas di lorong itu, kan? Kamu mau pergi kemana?” sela gadis usil itu.

“Mungkin, bisakah kamu tidak mengikutiku?”

Kupikir itu penolakan yang cukup eksplisit, tapi Yuuta tidak mendengarnya. Dia berjalan di sampingku seolah dia mengira kami adalah teman atau semacamnya. Aku menjadi sangat kesal pada saat itu, tapi aku tahu bahwa mencoba mengusirnya hanya akan menyeretku ke perdebatan yang sama sekali tidak membuahkan hasil, jadi aku memutuskan untuk mencoba menakutinya.

“Heh heh heh, di sinilah aku menghabiskan waktuku…” Aku menyentakkan ibu jariku ke arah ruang konseling, dan memastikan untuk memasang seringai paling menyeramkan dan paling busuk yang bisa kulakukan.

“R-Ruang konseling?!”

Yup, itu jelas membuatnya terkejut!

“Kamu selama ini seorang buronan?!” lanjutnya.

“Ini bukan penjara. Dan omong-omong, aku belum benar-benar melarikan diri. Aku masih terjebak di sini.”

“Jadi kamu seorang narapidana?”

“A-Aku cuma tahanan!”

“Aku tidak merasa ada bedanya.”

Yuuta membuka pintu ruang konseling dan berjalan masuk tanpa ragu sedikitpun. Seseorang jelas bergerak jalan mengikuti irama genderangnya sendiri.

“Oh, ya, jadi seperti ini bagian dalamnya!”

“Kenapa kamu keliling-keliling seperti kamu yang punya tempat sih?”

“Kamu menjaganya lebih bersih dari yang aku kira.”

“Aku tidak tinggal di sini!” Tentu saja, aku terjebak di sini untuk saat ini, tapi aku tidak tinggal di sini! Itu perbedaan penting!

“Oh, wow, banyak sekali lembar soalnya.”

“Ya ampun, kau sudah menemukannya? Aku tidak tahan dengan anak nakal usil yang memiliki intuisi bagus.”

“Mari kita lihat apakah aku benar: Kamu melakukan sesuatu yang membuat guru wali kelasmu sangat marah, jadi dia mendekamkanmu di sini dan memberimu setumpuk besar lembar soal untuk dikerjakan. Sesuatu seperti itu, kan? Dan, coba lihat, sepertinya kamu punya lembar soal bahasa Jepang, modern, dan klasik, jadi... dia pasti dari Daimon-sensei, kan?”

“Oke, koreksi—intuisimu bagus gila.”

“Dan semua ini membawaku pada satu kesimpulan yang tak terhindarkan: kamu, Senpai, berada di kelas 2-B!”

“Apa yang dilakukan detektif ulung sepertimu di SMA?!”

Dia mungkin berukuran saku, tapi dia punya kemampuan deduktif! Setelah secara spektakuler menentukan angkatan dan kelasku, mata Yuuta berbinar bangga. Dia tampak seperti anak kecil yang sangat ingin dipuji oleh orang tuanya. Malang untuknya, butuh lebih dari sekadar menebak kelasku untuk membuatku terkesan.

“Aku benar, kan?”

“Ya, tentu saja. Aku kelas 2-B.”

“Baiklah! Kupikir ada kemungkinan sepuluh persen atau lebih bahwa guru yang mengirimmu ke sini sama sekali bukan wali kelasmu, jadi aku agak khawatir.”

“Apa yang membuatmu menentukan persentasenya di angka segitu, dan dari mana kau bisa menentukannya?”

Yuuta duduk di kursi paling jauh yang sebelumnya aku tempati, terlihat sangat menikmatinya. Dia merobek kantong plastik kemasan roti madunya.

“Baiklah, waktunya makan! Istirahat makan siang tidak berlangsung selamanya!”

“Tentu tidak.”

Aku terlalu jengkel untuk membantah lagi. Itu tidak sepadan dengan usahanya. Aku tidak mau terganggu dengan omong kosong itu lagi. Saatnya makan-dengan-cebol! Berhati-hatilah untuk mengeluarkan kemasan desikan kecil sebelum kalian makan! Kebetulan, makananku adalah roti gulung biasa yang diisi dengan krim kue.



“Oh, ngomong-ngomong, Senpai...”

“Tidak sopan makan sambil ngomong.”

“Siapa namamu?”

“Kunugi Kou.”

“Wow, namamu secara mengejutkannya mudah didapat!”

“Aku terkejut bahwa kau terkejut dengan itu!”

“Yah, aku belum lama mengenalmu, tapi aku bisa tahu kalau kamu adalah orang yang paling suka membantah yang pernah kutemui. Kupikir kamu pasti akan mencoba menghindari pertanyaan itu.”

“Kau jelas-jelas mengolok-olokku, bukan?”

“Tapi aku akan mengingatnya! Kunugi Kou—kalau begitu, kurasa aku akan memanggilmu Kunugi-san.”

“Kau bahkan tidak menyangkalnya, ya?”

Bahkan hanya dengan mengetahui namaku saja sudah cukup untuk membuat Yuuta menyeringai menyebalkan. Kami baru bertemu kemarin, dan dia sudah benar-benar meremehkanku (entah bagaimana). Ini yang pertama kalinya.

Saat itulah aku tersadar: Yuuta berada di kelas yang sama dengan seseorang.

“Hei, Yuuta?”

“Ya?”

“Kamu di kelas 1-A, kan? Apakah Ayase Hikari ada di kelasmu?”

“Hikari? Ya, ada.”

“Kalau begitu, aku punya pertanyaan untukmu.”

Dan istirahat makan siangku berlalu...

“Lihat, lihat! Dua lawan satu lagi! Bagaimana menurutmu, cebol?!”

“Grr... Satu ronde lagi! Ini akan menjadi berbeda kali ini, aku bersumpah!”

“Kalian pikir apa yang sedang kalian berdua lakukan?!”

“Apa? bukankah sudah jelas? Kami sedang menguji teori bahwa jika kau memainkan kartu setan dengan dua orang, itu akan selalu menjadi satu kartu lawan dua... Tunggu dulu, huh?”

Aku terlambat sadar bahwa setan di kehidupan nyata (guru wali kelasku) sedang mengamati misi kami untuk menemukan kebenaran di balik rahasia permainan kartu. Aku berhenti sejenak untuk menilai situasinya, dan sampai pada kesimpulan bahwa aku, um, mungkin baru saja mengacau dengan sangat parah lagi.

“Ssst, Yuuta! Sekarang jam berapa?”

“Um, sepertinya jam dua tiga puluh… Tunggu, dua tiga puluh?! Jam pelajaran kelima sudah dimulai beberapa waktu yang lalu!”

“Eh, ya, ai dah! Aku menyuruhmu kembali ke kelas ketika bel berbunyi, tapi kau bilang kalau ini lebih penting dan membantahku!”

“A-Apa? Nuh-uh, tidak, aku tidak melakukan itu!”

“Ini salahnya, Daimon-sensei! Dia menyeretku ke dalam ini! Aku tidak bermalas-malasan atas kehendak bebasku sendiri, aku bersumpah!”

“Apa?! Kunugi-san, dasar pengkhianat hina! Dia berbohong, Daimon-sensei; dia memaksaku masuk! Ini semua salah si brengsek bau ini!”

“Apa kau bilang?! Aku tidak bau!”

“Ya, kau bau! Kau ‘busuk’ kayak dalam ‘BO’!”

 “’B’ adalah singkatan dari ‘body,’ dan aku tidak bau! Aromaku luar biasa!”

TLN: BO adalah singkatan Body Odor atau Bau Tubuh

Dia membungkuk dan mendengus. “Tidak, itu ‘busuk’ oke, setidaknya untukmu!”

“Brengsek...”

Anak nakal mungil ini! Tentunya dia sadar kalau bahkan aku pun, Kunugi Kou, yang terkenal di tanah airku karena keramahtamahanku, terkadang bisa marah, kan? Karena aku sekarang benar-benar marah! Sebagai senpai-nya, kupikir sudah saatnya aku mengajari udang kecil kurang ajar ini apa yang terjadi ketika kau bicara sembarangan dalam masyarakat hierarkis ini!

“Apakah kalian berdua sudah selesai?” timpal Daimon-sensei.

“Err.”

“Uwuu!”

Aku dan Yuuta membeku di hadapan puncak mutlak hierarki setempat. Dia tersenyum.

“Kuharap kau sudah siap menanggung akibatnya, Kunugi. Dan kau—kau adalah anak kelas satu, kan? Yoshiki, kan?”

“Aw, astaga…”

“Dia tahu namamu? Habislah sudah kau.”

“Terserah. Kembalilah ke kelas,” Daimon-sensei menghela nafas.

“Terima kasih banyak, Sensei!”

“Apa?!” jeritku.

“Heh heh heh, kalau begitu aku pergi dulu! Selamat bersenang-senang, Kunugi-san!” Yuuta menyebutku saat dia pergi.

Si kerdil itu dibebaskan! Aku sangat kesal melihat Yuuta menghilang tanpa hukuman sehingga aku benar-benar berteriak.

“Ini tidak adil! Kenapa dia?!”

“Oh? Kau pikir ini tidak adil, ya?”

“Ah, um, tidak, aku...”

“Kurasa itu berarti lembar soal ini tidak cukup untuk membuatmu mengerti maksudnya, ya?”

“Ah, aha ha…”

Setelah itu, ingatanku kabur. Yang bisa aku katakan dengan pasti adalah bahwa tanpa aku sadari, matahari telah terbenam, dan aku dibiarkan duduk sendirian di ruang konseling dengan tumpukan besar lembar soal (selesai!) yang ditumpuk di atas mejaku. Aku menghabiskan beberapa saat menatap kosong pada pantulan diriku, yang keok dengan menyedihkan, di jendela, lalu akhirnya memaksakan diriku ke ruang staf untuk menyerahkan tugasku dan mengembalikan kunci ruang konseling. Ketika aku sampai di sana, beberapa guru yang tersisa memberi tahuku bahwa Daimon-sensei sudah pulang sejak lama. Nenek lampir itu!

Saat aku meninggalkan sekolahku, di luar sudah gelap gulita. Yah, tentu saja, tidak benar-benar gelap gulita. Ada banyak lampu jalan yang tersebar di sana-sini, dan tempat usaha yang masih buka pada malam hari membuat lingkungan sekitarnya tetap terang. Tahukah kalian perasaan ketika kalian melihat ke langit malam berbintang dan berpikir “malam ini gelap, dan aku sendirian, terisolasi di alam semesta yang luas dan terbentang”? Yah, sangat sulit untuk menikmati kebosanan palsu masa remaja semacam itu ketika kalian berada di kota besar dan tidak dapat mengayunkan tongkat tanpa merusak bola lampu.

Aku berjalan pulang, sangat menyadari bahwa dengan setiap langkah yang diambil oleh sains, umat manusia secara keseluruhan kehilangan sesuatu yang mendasar dan esensial. Hingga, begitulah, perenunganku terganggu oleh ponselku yang bergetar di saku. Aku mengeluarkannya dan mengetahui bahwa aku mendapat panggilan dari nomor tak dikenal.

“Halo?”

“Selamat malam, Senpai!”

“Geh. Kamu?”

Aku merasa diriku mengernyit secara refleks. Itu panggilan dari Ayase Hikari, yang sebelumnya aku berikan nomorku hari ini.

“Apa maksudmu, ‘geh’?”

“Maksudku, yah... Apakah menurutmu normal untuk menelepon seseorang di hari yang sama saat kamu mendapatkan nomornya?”

“Memangnya tidak normal, ya?”

“Jangan tanya aku. Aku tidak selalu bertukar nomor telpon dengan orang lain.”

“Secara teknis, kita tidak bertukar nomor sama sekali, lo. Kamu memberiku nomormu, namun bahkan tidak meminta nomorku.” Aku mendengar dia terkekeh. Sepertinya dia senang. “Jadi, bagaimana sekolah hari ini, Senpai?”

“Memangnya kamu siapa? Ibuku?”

“Ayolah, katakan saja padaku! Aku belum pergi ke sana sendiri, jadi aku penasaran.”

“Aku bisa memikirkan satu cara untuk memecahkan masalah itu: yaitu, pergi ke sekolah.”

“Aku tidak akan melalui semua masalah ini jika semudah itu! Is dah.”

“Is dah?” Is dah, katanya! Dilihat dari sikapnya yang menantang, jalan pemulihan Ayase masih panjang. Umumnya, orang-orang yang balik membentak dalam situasi seperti ini jauh lebih buruk daripada orang-orang yang hanya dalam diam mengkhawatirkannya.

Yang lebih penting lagi, aku sebenarnya tidak memiliki cukup materi untuk menindaklanjuti permintaannya. Tidak hanya aku berada di kelas dan angkatan yang berbeda darinya, aku juga menghabiskan hari ini dengan diam di ruang konseling akibat dosa berat karena terlambat. Dalam arti tertentu, aku sama terkurungnya dengan Ayase itu sendiri, meskipun terkurung di tempat yang sepenuhnya berbeda. Memangnya apa yang harus dipelajari oleh orang terkurung dari orang terkurung yang lain? Tidak ada hal produktif yang akan muncul dari percakapan semacam itu.

“Tanyakan pada seseorang yang memang ada di kelasmu. Seperti Yuuta, atau apalah.”

“Yuuta? Menuruku tidak ada yang namanya Yuuta di kelasku, lo...”

“Ada kok! Kau tahu, si cebol? Yuu, um... Yuu... Yuu apalah-namanya.”

“Maksudmu Yuu-chan? Yoshiki Yuu?”

“Ya, dia!”

“Kenapa kamu kenal dengan Yuu-chan?”

Yikes. Dia terdengar sangat marah, di sana.

“K-Kenapa aku jadi kayak diinterogasi?”

“Aku tidak menginterogasimu; aku hanya mengajukan pertanyaan sederhana.”

Lagi: Memanganya dia siapa? Ibuku?! Dia pasti tipe orang yang tidak pernah mengakui bahwa mereka marah, bahkan ketika mereka benar-benar marah! Atau setidaknya itulah kesan yang aku dapatkan darinya.

Namun, setelah dipikir-pikir, kenapa aku jadi khawatir begitu soal hal ini? Aku cuma tidak sengaja bertemu Yuuta; itu benar-benar kebetulan. Kemudian, aku kebetulan memberinya makan dan kebetulan bermain kartu dengannya. Hanya itu yang ada di antara kami, jadi kenapa aku malah langsung mencari alasan? Sialan, meskipun seandainya aku mencoba PDKT dengan Yuuta, tidak ada alasan bagiku untuk merasa bersalah soal itu! Bukan berarti aku bisa membayangkan akan PDKT dengan Yuuta sejak awal, sih.

“Kami hanya kebetulan bertemu dan akhirnya mengobrol.”

“Dengan Yuu-chan, dari semua orang yang ada? Itu sulit dipercaya.”

“Dari semua orang yang ada?” Kenapa dia bisa bicara begitu? Aku tidak terlalu mengenal Yuuta dengan baik, tapi aku tidak mendapat kesan bahwa berbicara denganku sama sekali tidak sesuai dengan karakternya. Dari yang kulihat, dia hanyalah gadis bodoh yang nakal dan egois. Kenapa dia yang berbicara denganku jadi hal yang mengejutkan...? Apakah Ayase dan aku membicarakan Yuu yang sama?

Hmm. Tunggu, apakah kami benar-benar membicarakan Yuu yang sama? Tidak mungkin...?!

“Apakah dia punya…kembaran?!”

“Dia anak tunggal. Apakah kamu idiot, Senpai?”

Apakah komentar terakhir itu benar-benar perlu diucapkan?

“...Aku bercanda.”

“Heh heh, iya, kah?”

“Memangnya apa yang lucu?”

Apakah itu lucu? Apakah aku benar-benar membuatnya geli dengan mengatakan itu? Benarkah? Aku benar-benar heran bahwa ada manusia lain di luar sana yang terpengaruhi oleh selera humorku yang biasa-biasa saja. Dan untuk berpikir itu dia, dari semua orang yang ada! Panggil aku Michael Jordan, karena ternyata lelucon itu adalah slam dunk!

“Aku hanya merasa bahwa jika kita bisa membuat obrolan kecil yang konyol dan tidak berfaedah seperti ini, itu pasti artinya kita sudah cukup dekat satu sama lain!”

“...Itu tidak lucu.”

Sekian untuk leluconku! Sekian untuk selera humorku! Kupikir aku mencetak slam dunk, tapi ternyata selama ini aku traveling! Maafkan aku, Mikey, karena telah menodai namamu!

TLN: Traveling / Walking: Pelanggaran dalam bola basket.

“Kamu tidak perlu malu-malu tentang itu,” kata Ayase.

“Aku tidak malu! Dengar, oke, biar aku luruskan ini. Aku senpai-mu; kamu adalah kouhai-ku. Kamu mengalami pengalaman yang cukup ekstrem hingga terluka, dan aku cukup jantan dan baik hati untuk menawarkan bantuan padamu. Hanya itu.”

“Ya, aku tahu. Jadi cepatlah dan selamatkan aku, Senpai!”

“Apakah hanya perasaanku saja, ataukah itu cara agar terdengar lebih intens daripada ‘tolong aku’? Hentikan itu! Aku benar-benar tidak pandai berurusan dengan pilihan kata yang intens seperti itu!”

“Kata-kata yang intens, ya? Seperti ‘genosida’?”

“Apakah ‘genosida’ benar-benar hal pertama yang terlintas dalam pikiranmu ketika kau mendengar ungkapan ‘pilihan kata yang intens’? Saling terkait dengan: apakah ada yang salah dengan otakmu?”

“Bagaimana kalau kamu melihat ke dalam kepalaku dan mencari tahu?”

Gimana caranya?! Astaga, gadis ini sudah kelewat “proaktif” dan “ramah” dan langsung menuju si “pembacok kepala”!

“Hanya bercanda! Tee hee—kena kau!”

“Oh, diamlah. Selain itu, sejauh ini, seluruh percakapan ini hanya jadi lelucon.”

“Kamu jahat, Senpai! Tepat ketika obrolan kecil kita menjadi hidup... Dan juga, aku benar-benar serius soal bagian selamatkan aku itu, lho?”

Ayase bercanda di telepon, jelas bersenang-senang dengan sepenuh hati, dan aku tidak bisa menahan diri dari menghela nafas.

“Sepertinya kamu baik-baik saja, saat ini. Tidakkah menurutmu kamu akan baik-baik saja kembali ke sekolah?”

“Jelas tidak! Hanya berbicara dengan seorang anak laki-laki melalui telepon selama ini saja sudah membuatku gatal-gatal!”

“Oof, sungguh kasar. Kurasa lebih baik aku menutup telponnya, sampai jumpa.”

“Tidak, aku bohong kok! Itu tidak benar! Aku baik-baik saja!”

“Kamu harus berpikir dua kali sebelum berbohong seperti itu. Bukankah ibumu mengajarimu bahwa berbohong adalah langkah awal menuju kehidupan kriminal?”

“Aku bisa mengatakan hal yang sama persis untukmu.”

Hei, wah, time out! Aku seorang pria yang terkenal karena kejujurannya—tidak mungkin aku pernah berbohong! Tapi, permisalan saja, seandainya aku berbohong soal sesuatu entah kapan itu... “kebohongan” apa yang dia bicarakan? Bisakah aku benar-benar tahu dengan pasti apa yang dihitung sebagai “kebenaran” dan apa yang dihitung sebagai “kebohongan”? Aku meragukan itu! Ada banyak “kebenaran” sebanyak jumlah orang di planet ini, dan pemikiran soal kebenaran objektif adalah kebohongan objektif itu sendiri!

“Mari kita tunda pembicaraan itu untuk saat ini, Senpai. Apa kamu akan datang lagi besok?”

“Datang ke mana?”

“Tentu saja ke rumahku!”

“Aku tidak tahu kenapa itu jadi ‘tentu saja’, dan kenapa aku harus pergi ke rumahmu? Bukan seperti aku punya sesuatu untuk dilakukan di sana juga sih.”

“Kamu benar-benar durjana, ya?”

“Kata-kata jadul, ya?!”

Aku mendapatkan kesan berbeda bahwa dia sedang mengolok-olokku, dan berurusan dengan sikapnya itu melelahkan. Umumnya, aku tidak benci menghabiskan energi untuk hal-hal samar semacam ini, tapi aku sudah harus berurusan dengan Ayase di pagi hari, gadis terpendek di planet ini saat makan siang, dan lembar soal di sore hari. Aku tidak berniat membiarkan hariku menjadi sandwich melelahkan yang dibuat dengan roti Ayase.

Aku benar-benar lelah—serupa dengan tipe pebisnis Jepang (dibaca: budak korporat) yang bekerja dari pagi hingga larut malam, dikasihani oleh seluruh dunia karena kehidupan mereka yang penuh derita. Gaya hidup semacam itu terlalu ambisius bagi seorang siswa, dan, yang terpenting, menyiksa dalam segala hal. Aku bahkan tidak dibayar! Tidak ada cuti sakit juga!

“Oke, tapi sungguh, aku harus segera pergi.”

“Oh? Oke, kalau begitu—selamat malam, Senpai!”

Dia menutup telepon sebelum aku sempat melakukannya. Aku bisa tahu dari nada suaranya saja bahwa dia juga menyeringai. Aku memeriksa ulang ponselku, memastikan panggilan sudah selesai, lalu menghela napas. Meskipun aku benci untuk mengakuinya, kami memiliki chemistry yang baik. Sejujurnya aku menikmati percakapan itu. Kurasa aku seharusnya tidak meremehkan adik perempuan si pemeran utama, tapi aku sadar kalau aku tidak bisa membiarkan hubungan ini berkembang lebih jauh.

Lagi pula, aku adalah figuran! Aku adalah sobat protagonis, yang terbaik! Ayase Hikari memiliki bakat sebagai heroine tulen, dan tidak mungkin seseorang sepertiku bisa menjadi pasangan yang cocok untuknya. Tapi beberapa keanehan karma yang luar biasa terus menyatukan kami. Satu hal yang pasti: jika aku ingin memutuskan hubungan kami saat ini dan mengembalikan ulang segala hal seperti seharusnya, aku tidak bisa hanya duduk diam dan menunggu. Aku harus secara aktif menyudahi ini, bagaimana pun caranya.

Di satu sisi kau membodohiku, orang tak dikenal yang kebetulan menyelamatkannya dari amukan si bugil. Di sisi lain kau membodohinya, gadis yang trauma hingga membolos tapi pada saat yang sama terus berusaha untuk lebih dekat denganku. Hubungan kami canggung dan setengah matang, tapi pasti ada petunjuk di suatu tempat sana yang akan membuatku mengungkap misteri Ayase.

Dalam semua standar biasa, meskipun aku menduduki peran “sahabat” yang didambakan, sobat sepertiku tidak akan pernah mendapatkan cewek biasa, apalagi adik perempuan protagonis. Tapi meskipun aku hanya pemain latar, kurang lebih, aku juga seorang manusia. Aku tidak benar-benar senang dipermainkan secara sepihak sebagai hiburan orang lain, dan itu menjadi dua kali lipat ketika hal itu menempatkan statusku, yang sebagai sahabat pemeran utama, dalam bahaya. Aku berusaha amat sangat keras untuk mendapatkan posisi ini, dan tidak mungkin aku mengambil peran sampingan yang dapat mengancam hal itu!

Aku tahu persis apa yang harus kulakukan, dan aku merasakan seringai muncul di wajahku. Jika aku melihat ke cermin pada saat ini, aku yakin aku akan melihat setan menatapku balik...

“Mwa ha ha… Kau akan menyesal telah meremehkanku, aku berjanji… Sudah waktunya bagiku untuk menunjukkan kekuatanku yang sebenarnya!”

Pernyataanku yang berani bergema di kedalaman jurang malam... Oke, tidak, hal itu agak aneh dengan di bawah cahaya lampu jalan.

Kring-kring!

Kemudian bel sepeda menenggelamkannya. Pria tak dikenal mengayuh sepeda melewatiku.

“Heh!” tawanya.

“Hei, apa yang kamu tertawakan?! Ini adalah momen besarku, brengsek! Pikirkan urusanmu sendiri! Dan beli lampu untuk sepedamu sana, cuk! Polisi akan menangkapmu jika mereka melihatmu berkeliaran tanpa lampu! Goblok!”

Aku mengomelinya sebelum aku sempat menahan diri. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar mendengarku atau tidak, tapi ketika aku melihatnya mengayuh sepeda ke kejauhan yang cukup terang, aku hanya bisa memikirkan satu hal:

Astaga, untunglah dia tidak marah dan putar balik.