[LN] Shinyuu Mob no Ore ni Shujinkou no Imouto ga Horeru Wake ga Nai Volume 1 Chapter 2 Bahasa Indonesia

 

Hidup Terus Berjalan, Mau Suka atau Tidak

 

Entah bagaimana… aku sampai di rumah. Tiba-tiba aku terbangun di apartemenku, masih mengenakan seragam, tanpa ingatan yang jelas soal bagaimana aku bisa pulang. Kepalaku sedikit berdenyut saat aku dengan lesu mengangkat tubuhku, tapi dibandingkan dengan semalam, sakitnya benar-benar bisa ditoleransi. Jika aku harus bilang sendiri, aku pulih dari hal-hal semacam itu dengan sangat cepat.

Aku tidak benar-benar bersemangat untuk menyambut hari baru, tapi setidaknya aku sudah cukup pulih untuk beraktivitas pada tingkat dasar. Kupikir sudah waktunya untuk bersikap seperti seorang siswa dan berangkat ke sekolah. Namun, ketika aku menuju pintu, sebuah pikiran muncul di benakku, jadi aku melirik ponselku. Yeeeup, jam sepuluh pagi. Sudah jelas terlambat. Mungkin aku seharusnya tidak repot-repot mandi setelah bangun, tapi aku benar-benar basah kuyup oleh keringat dan aku setidaknya harus mandi.

“Oh, huh. Panggilan tak terjawab?”

Terlihat dari ponselku, Kaito mencoba meneleponku sebelumnya. Dia mengirim SMS setelah aku tidak mengangkatnya, yang berisi: “Kamu meninggalkan tasmu di tempatku semalam.” Yang, kalau dipikirkan lagi, akan menjelaskan kenapa aku merasa begitu tidak terbebani: Aku sebenarnya ber-tangan kosong.

Aku mengiriminya pesan balasan: “Maaf, baru lihat ponsel. Bawakan ke sekolah untukku, ya?”

Aku tahu dia mungkin ada di kelas, tapi aku tidak membiarkan hal itu menghentikanku. Jika dia lupa membisukan ponselnya, dia mungkin akan diceramahi. Mengingat jam saat ini, kurasa dia mungkin di tengah-tengah pelajaran bahasa Jepang, yang kebetulan diajar oleh seorang guru lajang bersumbu pendek yang pernah tampil sebentar sejauh ini. Dia masih muda dan memiliki penampilan yang baik, tapi ketidaksabarannya untuk menikah telah mendorongnya ke dalam kegilaan yang sedikit menyabotase diri sendiri. Dia, dengan kata lain, adalah contoh khas karakter klise lain yang sudah banyak digunakan. Aku yakin jika ponsel Kaito berdering di depannya, dia akan menggunakan itu sebagai kesempatan untuk melampiaskan rasa frustrasinya pada Kaito. Mwa ha ha ha!

Huh? Tunggu sebentar. Jika ponselnya berdering dan dia melihat pesanku, bukankah dia malah akan meledak padaku? Maksudku, aku adalah orang yang dengan santai mengirim SMS ketika aku seharusnya berada di kelas.

Oh, sial. Oooooh, sial! Kode merah! Aku tidak ingin diceramahi dua hari berturut-turut! Aku telah jatuh ke dalam bahaya serius untuk diturunkan dari “figuran sahabat” menjadi “siswa bermasalah”, dan menjadi “siswa bermasalah” cukup identik dengan salah langkah dari jalur cepat menuju rute guru!

Maksudku, tentu saja, memiliki karekter sahabat yang jatuh cinta mati-matian pada gurunya dan ditolak secara brutal tentunya merupakan perkembangan rom-com yang dapat diterima, dengan asumsi guru itu sendiri belum menjadi bagian dari harem. Ini, seperti, memanusiakan sahabat, dan memberi penonton kesempatan untuk melihat sisi rapuhnya, dan hal-hal serupa. Tapi plotnya belum cukup berkembang untuk hal semacam itu terjadi! Jika kalian melompat langsung ke episode sahabat di awal permainan ini, sangat mungkin dia akan dihapus dari sisa cerita tanpa pernah benar-benar mendukung protagonis!

Pola pikirku benar-benar berubah 180 derajat dan aku berdoa dengan tergesa-gesa agar guru kami tidak malihat pesan itu. Beberapa detik kemudian, ponselku berbunyi.

Kaito: Ketinggalan di rumah.

“Fiuh… Huh?”

Untuk sesaat, aku lega kalau dia tampaknya tidak ketahuan, tapi tunggu dulu, di rumah? Dia meninggalkannya... di rumah...?

“Dia meninggalkannya di rumah?!”

Artinya: tasku saat ini tergeletak ditinggalkan di rumah keluarga Ayase?!

Kaito: Hikari ada di rumah, jadi kamu bisa ambil sendiri.

Gaaaaahhhhhhhh?!

Aku nyaris tidak bisa menahan teriakan setelah pesan terakhir itu. Dia tidak sekolah untuk menjaga tasku?! Kenapa pula dia melakukan itu?! Ada yang perhatian, dan kemudian ada yang terlalu perhatian ke arah yang aneh dan sama sekali tidak membantu!

Kou: kenapa?!

Kaito: Dia bilang dia sakit.

Bukan bagian itu! Maksudku, oke, bagian itu juga, tapi bukan itu!

Kou: kamu tidak bisa membawa tasku ke sekolah sekalian?!

Kaito: Wkwk gak

Kou: jadi apa, kamu berharap adikmu yang sakit menungguku?!

Kaito: Hikari bilang dia tak masalah dengan itu.

Apa?! Tak masalah apanya?! Jangan main-main denganku, bung! Gaaah, terserahlah— berdiri diam mengirim pesan tidak akan mengubah apa-apa!

Kupikir sebaiknya aku meneleponnya saja, tapi bahkan sebelum aku selesai berpikir begitu, dia malah meneleponku. Hehehe, kerja bagus, sobat! Kita benar-benar sefrekuensi!

“Hei, Kaito! Persetan yang—”

“Kunugi.”

“...O-Oh.”

“Kau punya nyali, datang terlambat dua hari berturut-turut.”

“D-D-D-Daimon-sensei?!”

“Aku kurang lebih paham situasinya. Pergilah ambil tasmu, lalu cepatlah datang ke sekolah!”

Kok dia bisa tahu soal situasinya? Kenapa dia membiarkanku pergi mengambil tasku? Kenapa dia tidak menyuruhku pergi ke sekolah sekarang juga?!

“Paham?”

“Y-Ya, Bu!”

Itu adalah hasil akhirku. Maksudku, aku tidak bisa benar-benar menolak perintah langsung dari guruku. Aku merasakan wajahku memucat, dan saat keputusasaan muncul, aku mendengar Daimon-sensei berkata “Makasih, Ayase” saat dia mengembalikan ponsel ke Kaito.

“Jadi, uhh... aku tutup sekarang ya,” kata Kaito.

“‘Tutup sekarang’ pantatmu, dasar pengkhianat! Monster macam apa yang menjual sahabatnya sendiri kepada gurunya?! Sialan, tante cerewet itu sudah lama gak laku-laku hingga pikirannya menjadi gila! Kita masih muda nan bebas, dan itu membuatnya kesal! Inilah tepatnya kenapa dia tidak dapat suami!”

“Kou…”

“Apa?!”

“Aku sangat menyesal. Panggilannya dalam mode speaker.”

Dia menutup telepon.

 “…..Apa?”

Butuh beberapa detik yang panjang dan menyakitkan untuk menguraikan kata-kata terakhirnya.

Mode speaker? Apakah itu sama artinya dengan apa yang aku pikirkan? Benar, kan? Artinya benar-benar sama persis seperti yang aku pikirkan. Tapi tunggu, tidak, ayolah, yang benar saja? Dia mendengar semua itu? Lalu, itu berarti...

“Ya. Matilah aku.”

Dia akan mengarahkan tangan besi kemarahan kepadaku, tak diragukan lagi. Itu jelas akan dihitung sebagai hukuman fisik, tapi mustahil untuk berpikiran kalau hal itu akan menghentikannya! Untuk setiap kesalahan, ada harga yang harus dibayar—itulah aturan utama masyarakat. Aku tidak hanya harus pergi mengunjungi rumah Kaito dan menghadapi adiknya untuk mengambil tasku, aku juga harus berjalan ke sekolah untuk dihajar.

“Apakah hari ini tidak bisa lebih sial lagi…?”

Sebagian dari diriku mau tidak mau berharap untuk dapat tidur saja sepanjang hari ini.

    

 

“Akhirnya sampai…”

Aku menghela napas berat sambil menyeka keringat dari alisku. Rumah keluarga Ayase: sekilas tampak seperti rumah keluarga lainnya, tapi aku tahu pasti bahwa Ayase Hikari bersembunyi di suatu tempat di dalam sana, menungguku. Saat aku mengulurkan jari gemetaran ke arah interkom, terpikir olehku bahwa ini adalah kesempatan pertama kami benar-benar saling berinteraksi satu sama lain sejak pertemuan kami kemarin pagi

Ayo, berhenti panik! Tentu saja aku mungkin sudah muntah-muntah kemarin, tapi itu hanya karena semuanya terjadi begitu tiba-tiba! Aku punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri hari ini; ini akan baik-baik saja!

Memikirkan pertemuan pertama kami membuatku menyadari sesuatu yang aneh: Dalam perjalanan ke rumahnya, aku telah melewati tempat di mana kejadian itu terjadi, dan terlepas dari amukan si cabul yang ditangkap di daerah itu kemarin, tidak ada satu tanda atau poster peringatan bahaya akan orang asing yang terlihat. Aku sedikit menduga kalau itu akan menjadi berita yang cukup besar, tapi tampaknya belum ada kabar yang menyebar tentangnya. Entah karena itu, atau mungkin insiden seperti itu sudah terjadi begitu sering di sekitar sini sehingga hal itu bahkan tidak layak diberitakan? Apakah bencana itu hanyalah puncak gunung es?

TLN: istilah puncak gunung es (tip of the iceberg) adalah suatu masalah atau kesulitan untuk menggambarkan bahwa masalah yang tampak hanyalah sebagian kecil dari masalah yang lebih besar

“Nah, itu tidak mungkin. Tidak mungkin.”

Tetap fokus, Kunugi Kou! Tidak ada lagi penyimpangan mental yang aneh! Orang itu hanya karakter komedi, kau tidak akan bertemu dengannya lagi! Atau begitulah yang aku katakan pada diri sendiri—hidupku tidak akan pernah sama jika aku tidak berpikiran begitu.

“Gah, sial, hentikan! Jangan munculkan dia lagi dalam ingatanku! Blokir memori itu! Aku hanya perlu mengambil tasku. Selama aku bisa mendapatkan kembali tasku, semuanya akan baik-baik saja.”

Siluet si bugil yang mengerikan itu muncul di benakku, tapi aku mengusirnya dan akhirnya menekan tombol panggil interkom. Itu membuat suara “ding-dong!” ceria, dan beberapa detik kemudian, aku mendengar jawaban.

“Ya?”

Itu adalah suara seorang gadis. Mempertimbangkan reaksiku semalam, aku terkejut dengan betapa normal nada suaranya — mungkin karena mesinnya menengahi percakapan kami.

“Hei, ini Kunugi. Teman Kaito? Tampaknya aku meninggalkan tasku di sini.”

Aku menjawab dengan sedikit gugup dan mendengar suara helaan napas pelan dari interkom.

“Aku akan segera kesana, Senpai!”

Pintu depan terbuka sesaat kemudian untuk mengungkapkan (tentu saja) adik perempuan Ayase Kaito: Ayase Hikari. Dia sama good looking-nya dengan Kaito, dan dia tampak sedikit gugup saat dia mengintipku dari balik pintu.

“Hmm?”

“Um, Senpai…?”

“Hmmmmm?” Aku tidak merasakan tanda-tanda reaksi alergi yang menyebabkan mual seperti kemarin. “Kamu Ayase Hikari, kan? Yang asli?”

“Um, ya?”

“Oooh? Hmm? Hmm. Oke, oke!”

“Ah, aduh!”

Aku sangat gembira sehingga aku menepuk bahunya dengan ramah. Singkat cerita, sepertinya alergiku sudah sembuh! Dia adalah gadis yang sama dari yang kemarin, tidak diragukan lagi. Dia memiliki rambut cokelat yang sama dengan Kaito, yang panjangnya sedikit di atas bahunya, dan matanya yang besar dan bulat lebih memberikannya kesan imut daripada cantik. Tapi meskipun bilangnya begitu, dia normal. Sungguh biasa-biasa saja. Dia imut, dia adalah adik protagonis, dan dia dikejar di dekat kompleks oleh seorang bapak-bapak telanjang kemarin, tapi dia masih normal. Melihatnya dalam pandangan baru itu, aku sadar kalau tidak ada yang perlu aku takuti sama sekali.

“Oke, aku agak buru-buru di sini, jadi aku akan mengambil tasku dan—”

“Silakan, masuklah sebentar!”

“Tas... Tasku...?”

Huh? Tunggu, aku di sini untuk mengambil tasku, kan? Kenapa dia malah mengajakku masuk?

Ketika aku sedang sibuk menggaruk-garuk kepala karena bingung, dia menghilang masuk ke rumahnya. Aku melihat sekeliling, tapi tidak ada tanda-tanda tasku terlihat dari pintu masuk.

“M-Maaf mengganggu?”

Kurasa ini tak masalah? Ya, ini tak masalah. Aku mengikutinya ke ruang tamu, di mana aku melihat dia sedang sibuk melakukan sesuatu di dapur.

“Apakah kamu penggemar teh, Senpai?”

“Umm, nah, tidak juga.”

“Oh, oke. Kalau begitu, kopi?”

“Gak juga. Kamu sungguh tidak perlu repot-repot; jika aku bisa mendapatkan tasku, aku akan—”

“Oke, air, kan! Maaf, aku mau menawarkan sesuatu yang lebih menarik, tapi kami kehabisan soda. Aku seharusnya menstoknya terakhir kali aku pergi ke toko.”

Dia pergi ke wastafel dan mengisi gelas dengan air. Sepertinya dia menggunakan suara keran sebagai alasan untuk mengabaikanku.

“Ah, makasih.”

Rupanya dia sudah menyeduh teh untuk dirinya sendiri, yang dia taruh di meja ruang tamu bersama dengan segelas air untukku. Dia duduk, dan aku mengikutinya, menarik kursi di seberangnya. Lalu dia hanya kurang lebih... menatapku. Itu sangat tidak nyaman.

“Senpai?”

“Ah, ya?”

“Terima kasih banyak untuk yang kemarin.”

“Oh, maksudmu soal bapak-bapak menyeramkan itu?”

“Tolong jangan bicarakan dia. Aku... mencoba untuk melupakan itu.”

“Ya, benar juga.”

Aku setuju dengan dia untuk yang satu itu, tapi semakin aku mencoba untuk melupakan pria itu, semakin jelas bayangan itu tumbuh. Setidaknya aku sudah mencoba memozaikkan dia dalam mata batinku, tapi entah bagaimana itu hanya membuat semuanya menjadi lebih kotor. Kenapa orang aneh seperti itu harus ada sejak awal?! Bagaimanapun juga, sepertinya Hikari belum selesai berbicara. Dia mulai berbicara lagi, perlahan dan gugup, seolah dia memilih setiap kata dengan sangat hati-hati.

“Aku ingin melakukan sesuatu untukmu… sebagai ucapan terima kasih.”

“Tidak usah, santai saja.”

“Tapi kamu sudah menyelamatkanku!”

“Dari sudut pandangku, itu lebih merupakan situasi membela diri.”

Itu hanya karena naluri bertahan hidupku yang membuatku menendang orang itu, jadi aku tidak bisa berpura-pura seperti seorang pahlawan. Dan juga, apakah kami berdua sama sekali tidak memiliki kesamaan lain untuk dibicarakan selain pria itu? Rasanya seperti aku akan mulai berhalusinasi tentang seorang bapak-bapak menyeramkan yang mencoba menghantui kami berdua kapan saja—dan tentu saja, tidak lama setelah aku memikirkannya, satu bapak-bapak menjijikkan seukuran bahu melayang di udara di antara kami. Gejalaku sudah stadium akhir.

“Hei, enyahlah!” Aku berteriak dalam hati, dan dia menghilang secepat dia muncul. Roh jahat: kalah! Baiklah, saatnya mengganti topik selagi ada kesempatan!

“Jadi, ngomong-ngomong...” lanjutku.

“Ya?”

“Err, bukankah kamu harus pergi ke sekolah hari ini?” tanyaku secara mendadak, dan menyadari sedetik kemudian kalau itu adalah gerakan yang buruk. Ekspresinya muram dan dia menatap lantai.

“Aku... terlalu takut untuk pergi keluar.”

Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut. Maksudku, siapa yang tidak akan ngeri tentang pergi ke luar, atau jadi sedikit takut pada sembarang pria di jalan setelah bertemu dengan bapak-bapak... MESUUUUUUM?! Ya Tuhan, kupikir aku sudah menyingkirkannya, tapi dia kembali! Dan dia memberikanku acungan jempol?! Keluar! Kubilang, Keluar!

“Sial, ini tidak berhasil...” gumamku pada diri sendiri.

“Huh?”

Rupanya dia mendengarku.

“Jika aku ingin kembali ke kehidupanku yang damai, bapak-bapak itu harus pergi...”

“‘Bapak-bapak’?”

“Selama kamu dibelenggu oleh trauma bapak-bapak, kita berdua akan terjebak dengannya seumur hidup! Bajingan tua itu! Secara harfiah selamanya! Kamu paham maksudku, kan?!”

“Tidak, sungguh tidak!”

“Dengar, dengarkan aku tentang ini. Bayangkan sahabatmu mati, oke?”

“Umm, oke?”

“Benar, sahabatmu...” Mati... Aku membeku, mulutku masih setengah terbuka. Hikari memiringkan kepalanya dengan bingung. Sesuatu tentang caranya menatapku membuatku merasakan sensasi menghancurkan yang aneh jauh di dalam dadaku...

“...Senpai?”

“Ah, tidak, maksudku... Lupakan soal ‘sahabat’ itu. Bayangkan, um, seseorang tak dikenal yang kamu lihat di jalan sesekali tiba-tiba mati.”

“Ini terasa kurang personal sekarang.”

“Mana mungkin begitu! Semua kehidupan sama berharganya!”

“B-Benar, itu benar.”

Aku mulai menyedihkan, dan dia terlihat merasa sedikit gelisah. Oke, bukan, tapi sangat gelisah.

“Jadi, bayangkan kamu akhirnya pergi ke pemakaman orang itu.”

“Tapi, kurasa aku tidak akan diundang ke pemakaman seseorang yang aku hampir tidak kenal, sih...”

“Anggap saja kau diundang. Ikuti sajalah.”

“Umm, oke, kurasa. Ini semakin sulit untuk dibayangkan, tapi aku akan berusaha yang terbaik.”

Gadis ini selalu membantah hipotetisku! Setidaknya biarkan aku menyelesaikan skenarionya tanpa diganggu, tolonglah! Dia bilang kalau dia akan berusaha yang terbaik, jadi aku memutuskan untuk mencobanya lagi dan melihat apa yang terjadi.

“Jadi kamu ada di pemakaman, oke? Kamu akhirnya melihat tubuhnya di peti mati. Bukankah itu membuatmu berpikir, seperti, ‘Oh, wow, orang ini sudah mati’?”

“Sebenarnya, kupikir aku akan menyadari kalau dia sudah mati pada saat aku diundang ke pemakamannya.”

“Tidak, maksudku, kayak, pada saat itu, kamu akan benar-benar merasa begitu.”

“Aku akan ‘merasa’ begitu...? Oke, kurasa aku mengerti.” Astaga, dia sangat pandai menjaga ketenangannya. Bahkan mungkin sedikit pragmatis? Apakah memang seperti itu anak-anak zaman sekarang?

“Tapi kamu masih memiliki semua ingatanmu tentang orang itu. Seperti, kamu akan selalu berpikir, ‘Oh, benar, kami selalu mengobrol di tempat itu’ atau semacamnya.”

“Benar.”

“Jadi, selama kamu memiliki ingatan itu, orang itu akan tetap hidup di suatu tempat di hatimu. Meskipun itu hanya kenangan, dia tidak akan pernah hilang.”

“Kurasa begitu. Ya, itu masuk akal.”

Dia mengangguk, tampaknya yakin. Aku dan gadis, yang tenang serta pragmatis itu, telah melampaui perbedaan kami dan mencapai satu pemahaman. Kalian melihat logika semacam ini dalam semua jenis cerita besar yang mengharukan. Selama kalian tidak melupakan mereka yang telah tiada, mereka akan hidup selamanya; kalian akan membawanya bersama. Muncul setiap saat, benarkan? Tapi...

“Tapi itu berarti selama kamu tidak melupakan pria mesum yang menjijikkan itu, dia akan hidup di dalam dirimu selamanya!”

Apa?!

“Bahkan jika dia dipenjara seumur hidup, di hatimu, dia akan selalu berada di sisimu!”

“Logika macam apa itu?!”

“Bahkan jika dia mati dan dikubur secara sosial, bekas luka yang dia tinggalkan di benak para korbannya akan tetap ada selamanya!”

“Itu hal terburuk yang pernah aku dengar!”

Dia mulai berlinang air mata. Aku benar, kan? Kan?! Dan, err, maaf. Ini menyiksa bagiku juga, entah itu penting atau tidak.

“Dengar, aku tidak menyukainya lebih darimu. Aku hanya mengikuti arus ketika aku menyelamatkanmu, tapi berbicara sebagai seseorang yang memiliki pengalaman yang sama sepertimu dengan si bugil aneh itu, aku ingin menyingkirkannya sesegera mungkin.”

“K-Kamu sebaiknya tidak melakukan kejahatan apa pun, oke?”

“Mana mungkin aku begitu! Apakah kamu tahu betapa bodohnya itu?! Jika aku benar-benar membunuh orang itu, aku akan berakhir di buku sebagai Pembantai Bapak-Bapak (Bapak-Bapak Slayer)! Tidak mungkin aku tahan jika si mesum itu dicatat dalam catatan permanenku!”

Tidak akan ada harapan yang tersisa untukku lagi jika aku berakhir dalam situasi itu! Kematian akan menjadi satu-satunya pilihan, tapi bahkan jika aku bunuh diri, dia akan benar-benar menghantuiku sampai ke akhirat. Aku bahkan tidak ingin memikirkan kalau berita kematianku nanti akan tertulis: “Didorong untuk bunuh diri oleh trauma mental karena membunuh seorang pria cabul setengah baya”!

“Oke, lihat, ini mulai suram. Mari kita membicarakan sesuatu yang menyenangkan untuk merubah suasana. Adakah topik bagus yang terlintas dalam pikiranmu, Ayase Hikari?”

“Hmm, topik bagus... Sebenarnya, pertama-tama— ‘Ayase Hikari’?”

“Hah? Itu namamu, kan?”

“Ya, tapi bukankah agak aneh memanggil seseorang dengan nama lengkapnya?”

“Generasi leluhur yang tak terhitung jumlahnya mewariskan nama belakang mereka kepadamu, dan orang tuamu menaruh cinta dan perhatian dalam memilih nama depanmu! Kamu mau menghina semua niat baik mereka?!”

“Aku tidak bermaksud seperti itu sama sekali!”

Wajah Ayase Hikari memerah karena marah. Upayaku untuk menghidupkan percakapan itu sukses besar! pikirku, menyeringai seperti dalang nihilisme yang rencananya berjalan seperti yang direncanakan.

“Baiklah kalau begitu, aku akan memanggilmu Ayase.”

“Nama belakangku, ya?”

“Generasi leluhur yang tak terhitung jumlahnya mewariskan—”

“Aku tidak menghina mereka! Aku tidak akan mengejek leluhurku!”

“Lalu apa masalahnya?”

“...Baiklah, kamu menang.” Ayase cemberut, entah kenapa. Ayolah, percakapan ini tidak akan kemana-mana!

“Pokoknya, topik yang menyenangkan! Kamu pasti memiliki suatu topik dalam pikiranmu, kan?”

“Aku tidak punya apa pun dalam pikiranku, tidak ada...”

“Oh! Jika bisa, buatlah topik soal cowok. Kamu memiliki gambaran buruk tentang laki-laki yang tertanam di kepalamu sekarang, jadi akan lebih baik jika kamu bisa menimpanya dengan yang bagus.”

“Itu malah membuat ini semakin sulit... Ah.”

Tiba-tiba dia melihat ke arahku, seolah-olah sebuah pikiran baru saja muncul di benaknya. Mata kami bertemu untuk kesekian kalinya hari itu, dan untuk sesaat aku merasakan hawa dingin yang mengerikan menjalari tubuhku. Wajahku memucat dalam sekejap. Sementara itu, Ayase, sedikit tersipu.

“Ada, yah, seseorang yang membuatku sedikit tertarik…”

Oh, sial. Perasaan takut langsung menghampiriku. Menjadi sahabat dari seorang protagonis yang tidak peka itu berarti kalian tidak boleh menjadi tidak peka, kalau tidak seluruh plot akan terhenti. Itulah sebabnya aku telah berusaha keras untuk tetap menyadari seluk-beluk emosional semua orang, dan itulah kenapa aku bisa tahu ke mana arah perkataannya. Mungkin sarafku membuatku membaca terlalu banyak ke dalam emosinya, tapi setidaknya tanda-tanda peringatannya itu jelas. Tanpa aku sadari, sensasi mual yang sama dengan yang aku rasakan kemarin mulai membanjiriku lagi.

“Aku, um…”

Sebuah suara dalam diriku berteriak: Berhenti! Bukan demi Ayase—tapi, demi kepentinganku sendiri. Kenangan samarku akan masa lalu yang menyenangkan namun kejam sekali lagi kembali kepadaku. Tatapannya membakar hatiku menjadi abu.

“Senpai, saat kamu menyelamatkanku, aku—”

Berpikir. Berpikir. Berpikir! Bagaimana caranya agar aku bisa menghentikannya? Bagaimana cara agar aku bisa merubah pikirannya? Bagaimana cara agar aku bisa lari dari semua ini? Aku berpikir dan berpikir, tapi semakin aku fokus, semakin pikiranku didominasi oleh satu gambar — hari itu, desa, gadis, dan...

“BERHENTI!”

Aku berteriak sebelum aku bisa menahan diri. Aku tidak bertindak berdasarkan logika apa pun. Aku hanya meronta dengan liar untuk menekan ingatan yang muncul dalam diriku. Tapi entah bagaimana, itu benar-benar berhasil. Ayase membeku, kalimatnya belum selesai, dan menatapku dengan kaget.

“Eh, umm… Senpai…?”

“Ah, tidak, maksudku...”

Ayase terdengar terguncang, dan aku juga goyah, bergumam tidak jelas. Aku berkata pada diriku sekali lagi: gadis di depanku adalah Ayase Hikari. Dia hanya seorang gadis yang sedikit lebih muda dariku, itu saja. Gadis yang sangat normal. Menenggelamkan atau menghindari kata-katanya karena murni keegoisan akan sangat tidak benar bagiku. Namun...

“Yah, kau tahu, kita bisa memikirkan metode yang lebih baik lain kali.”

Aku memanfaatkan keraguannya dan menghindari topik pembicaraan. Ya tuhan, aku sungguh menyedihkan. Karakter sampingan sampah macam apa yang mendorong agar perasaan adik protagonis tetap ambigu?

“Kurasa boleh juga.”

Aku tidak tahu apakah dia mengetahui niatku, tapi dia menjawab dengan gumaman tenang dan menyesap tehnya. Percakapan terhenti saat dia perlahan menikmati tehnya. Sepertinya dia mencoba mengambil waktu sejenak untuk menenangkan dan memulihkan diri.

“Jadi, ya, singkat cerita: kamu tidak boleh membiarkan lelaki tua itu membelenggumu lagi.”

“Namun, aku masih tidak sanggup untuk pergi ke luar… Aku takut dengan apa yang mungkin terjadi, dengan semua pria yang ada di luar sana…”

Kekhawatirannya benar-benar masuk akal. Mereka bilang jika kalian menemukan satu kecoa di rumahmu, dijamin ada sarang penuh kecoa yang tersembunyi di tempat yang tak terlihat, dan logika itu melampaui ranah hama rumahan. Ada tujuh setengah miliar orang di planet ini, jadi, malahan, merupakan hal yang mengejutkan kalau dia hanya bertemu satu bugil kotor sejauh ini. Tiga sorakan untuk keajaiban, kurasa.

“Bukankah teman-temanmu akan mengkhawatirkanmu?”

“Kurasa mungkin, tapi…” Dia terdiam, terlihat sedikit terguncang, sebelum menundukkan kepalanya dengan putus asa, tangannya sedikit gemetar. Aku sadar pada saat itu kalau mendorong diskusiku lebih jauh lagi mungkin hanya akan membuatnya lebih sakit. Bukan berarti kalau aku sejak awal adalah seorang penasihat terlatih, sih.

Aku membawa jalan berpikir itu selangkah lebih maju dan mengingatkan diriku sendiri bahwa aku juga bukanlah seorang protagonis. Gadis-gadis dengan aura heroine seperti Ayase lebih pantas bersama seorang pejuang suci legendaris, atau setidaknya karakter utama yang tepat. Dia membutuhkan pahlawan sejati untuk menyelamatkannya dari bapak-bapak iblis yang menghantuinya. Dan, coba tebak? Itu adalah hari keberuntungannya! Aku mengenal pahlawan itu—dan kebetulan pahlawan itu lebih dekat dengannya daripada siapa pun.

“Kamu memiliki kakakmu yang ada untukmu, kan? Maksudku Kaito. Kamu akan baik-baik saja jika dia ada, kan?”

“Ku…rasa begitu. Dia keluarga, jadi tentu saja aku tidak takut berbicara dengannya.”

“Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kamu mulai dengan pergi ke suatu tempat bersamanya?”

“Bersama Kaito?”

“Kenapa tidak? Kalian berdua cukup dekat, kan?”

Dia terlihat agak kecewa dengan itu. Aku terkejut oleh reaksi itu dan mencondongkan tubuh ke depan.

“Tunggu, kalian tidak dekat? Apakah kalian tidak akur?”

“Tidak seperti itu.” Dia bergeser tidak nyaman.

“Kamu membuatkan bekal untuknya setiap hari, kan?”

“Yah, itu, karena memasak adalah salah satu tugasku.”

“Bukankah kamu mencintainya?”

“Mencintainya?”

“Yah, misalnya, sebagai seorang pria.”

“Sama sekali tidak!”

 Dia tidak hanya malu tentang hal itu. Dia benar-benar, sangat marah, dan teriakannya hampir membuatku terguling ke belakang kursi. Tapi ayolah, dia adalah adik perempuan protagonis dalam rom-com, kan? Apa dia tidak memiliki perasaan untuk kakaknya? Maksudku, oke, dari perspektif “akal sehat”, kerabat sedarah saling menyukai seperti itu sangat tidak lazim. Aku benar-benar paham kenapa dia enggan mengakuinya kepada sembarang pria yang baru saja dia kenal.

Meski begitu, kalian akan berpikir bahwa ketika aku membicarakan itu, dia akan langsung masuk ke mode tsundere, atau membantah terlalu berlebihan, atau semacamnya. Seperti, sesuatu yang mengisyaratkan plot twist rom-com klasik! Dilihat dari reaksinya saja, aku hampir berpikir kalau Ayase sebenarnya, terus terang tidak menyukai kakaknya, tapi itu tidak mungkin! Tidak ada yang namanya adik perempuan yang tidak menyukai kakak laki-lakinya!

Tepat setelah itu, Ayase menghela nafas dan memutar matanya. Dia mungkin menyadari apa yang aku pikirkan.

“Apakah kamu punya saudara kandung, Senpai?”

“Tentu saja tidak punya.”

“Kalau begitu, kurasa masuk akal kalau kamu tidak tahu ini. Dengar, mungkin benar kalau saudara kandung itu ‘istimewa’ satu sama lain, dalam artian tertentu, tapi secara umum, kebanyakan orang menganggap saudara kandung mereka lebih 'menjengkelkan' daripada yang lain.”

Whoa! Apa dia barusan benar-benar mengatakan itu?! Maksudku, ya, kamu terkadang mendengar perkataan itu, tapi tidak dari seorang adik perempuan! Karakter adik perempuan tidak seharusnya berbicara seperti itu!

“Kami tinggal berdua sekarang karena keadaan keluarga, tapi kami sama sekali jarang mengobrol.”

Apakah dia tidak peduli dengan pemungutan suara popularitas?! Dia sadar kalau ini akan membuatnya dicemooh oleh para penggemar, kan?!

“Maksudku, sejak awal kami tidak punya banyak hal untuk dibicarakan.”

Semuanya tsun! Tidak ada dere-nya!

“Tapi, terkadang dia bertanya padaku apakah aku ingin mandi bersamanya, sih.”

Ooof, ya, memang terdengar seperti dia banget. Jujur saja, itu agak aneh.

“Yah, um,” aku membuka mulutku, mencoba kembali ke inti masalah. “Ngomong-ngomong, tujuannya di sini adalah rehabilitasi! Kenapa tidak mulai dengan membiasakan diri berada di dekat kakakmu, dan... Um... Begitulah…”

Kapalnya benar-benar tidak menunjukkan tanda-tanda akan berlayar sama sekali, dan ketika fakta itu perlahan-lahan menenggelamkan kapalnya, aku memutuskan bahwa mungkin sudah waktunya untuk mengalihkan pembicaraan. Maaf, Kaito. Aku tidak tahu apakah aku bisa menatap matamu mulai sekarang...

“P-Pokoknya, kamu bisa mulai dengan membiasakan diri sama kakakmu, lalu beralih ke orang lain yang cukup dekat denganmu. Seperti, ya, salah satu teman priamu atau semacamnya. Kamu...punya beberapa, kan?”

“Teman pria, ya…?”

“Atau, seperti, pacar atau semacamnya.”

“...Aku tidak punya.” Dia melotot padaku. Benar, oke, maksud diterima. Salahku.

Jika aku adalah protagonis, sekarang adalah bagian di mana aku akan mengatakan sesuatu seperti (bayangkan bagian selanjutnya ini dengan suara seksi) “Kamu tidak punya pacar? Sayang sekali! Padahal kamu sangat cantik begini!” Lalu dia akan tersipu dan menjadi bingung, mungkin sih. Sayangnya, aku bukan protagonis, dan suaraku bahkan tidak sedikit pun seksi.

“Oh. Masuk akal.”

“Apa maksudnya itu?”

“Huh?”

“Kenapa ‘masuk akal’ kalau aku tidak punya pacar?”

Tatapannya berubah menjadi pelototan penuh. Kuduga, menyiratkan kalau wajar saja dia tidak akan berada dalam suatu hubungan pastilah telah membuatnya tersinggung? Dia terlihat sangat kesal.

 “Jadi, apakah aku sama sekali tidak menarik? Apakah begitu?”

Oooh, oke, sku mengerti sekarang. Komentarku yang asal ceplos pasti telah melukai harga dirinya.

“Tidak, bukan itu maksudku,” kataku, mencoba untuk memulihkan situasi. “Aku hanya berpikir kalau, yah, kamu kan baru mulai masuk SMA, jadi kuduga kamu pasti masih belum punya pacar."

“Aku sebenarnya cukup populer, cuma mau ngasih tahu saja! Aku sudah beberapa kali ditembak dan mendapat surat cinta.”

“Oh, ya. Itu cukup mengesankan.”

Tentu saja, yang benar-benar mengesankan adalah orang-orang masih mengirim surat cinta di zaman sekarang ini. Aku sendiri tidak pernah mendapatkannya, jadi aku tidak akan tahu. Aku penasaran apakah Kaito pernah mendapatkannya? Tidak heran sih, tapi aku tidak benar-benar yakin. Mungkin aku harus membobol tasnya dalam waktu dekat ini.

“Memikirkan semua itu membuatku takut lagi. Aku merasa kalau beberapa orang yang mengajakku pacaran atau menulis surat-surat itu, eh, agak jahat.”

“Ahh, ya, aku mengerti. Misalnya, bayangkan jika kau memiliki kekuatan gaib super untuk membuat orang-orang di sekitarmu jadi sangat terangsang, mereka akan berubah jadi bugil! Itu akan sangat membantumu menghadapi situasi seperti itu lagi. ”

“Kadang-kadang kamu mengatakan beberapa hal yang cukup aneh, Senpai. Kekuatan super itu tidak nyata, lho?”

“Tepat sekali! Kekuatan super itu tidak nyata, jadi, kemungkinan kamu diserang oleh orang tak dikenal sangat kecil!”

Mata Ayase melebar, dan dia tersenyum. Kurasa dia menerimanya.

“Kamu punya cara yang sangat aneh untuk menghibur orang.”

“Apakah kamu tidak terkesan?”

“...Terima kasih.”

“Tunggu, apa?”

“Kamu mencoba membuatku merasa lebih baik, kan? Aku menghargainya.”

Ayase tersenyum cerah. Sesaat kemudian, dia berdiri dan berjalan ke TV di ruang tamu. Dia menjangkau belakang TV dan mengeluarkan kantong plastik.

“Apa itu?”

Aku memperhatikannya dengan linglung—sampai dia mengeluarkan sesuatu dari kantong tersebut, aku berteriak.

“Tasku?!”

“Yup!”

Dia mengangguk, tampaknya tidak merasa ada yang salah dengan situasinya.

“Kenapa tasku ada di belakang sana?!”

“Kupikir kamu akan pergi jika aku langsung mengembalikannya, jadi aku menyembunyikannya.”

Dia menyembunyikannya...? Oke, tapi kenapa? Sebelum aku sempat menanyainya, Ayase menyelipkan tasku di bawah lengannya dan mengeluarkan smartphone-nya.

“Maukah kamu memberikanku nomormu, Senpai?”

“Huh? Untuk apa?”

Kali ini aku langsung menanyainya, dan mendapat tatapan tajam sebagai jawaban.

“Kamu akan membantuku menghapus pria itu dari ingatanku, kan? Aku harus menghubungimu untuk itu.”

“Tunggu, aku?”

“Ya, kamu.”

Tertekan oleh senyumnya, dengan enggan aku mengeluarkan ponselku, membuka menu kontakku, dan membeku.

“Senpai?”

“Ah, um…”

Aku berpikir sejenak, lalu mengajukan usul.

“Aku tak keberatan memberikan nomorku, tapi mari kita hanya telponan saja, oke?”

“Hanya telponan? Jadi, tidak boleh SMS atau email?”

Dia mengerutkan kening, tidak tahu apa yang aku tuju.

“Tahukah kamu apa kata mereka: kamu akan mendapatkan sekitar kurang dari tujuh puluh persen informasi melalui pesan daripada secara langsung. Mempertimbangkan keadaanmu saat ini, aku agak khawatir aku akan mengirim pesan yang ceroboh dan memperburuk keadaan.”

“Kalau begitu, baiklah. Setidaknya itu lebih baik daripada alternatifnya.”

Logikaku sangat lemah, tapi Ayase tampak puas, dan akhirnya aku memberinya nomor teleponku sambil merahasiakan emailku. Saat aku melangkah menjauh darinya, dia menggumamkan sesuatu dengan sangat pelan, aku tidak bisa memahaminya sama sekali. Meh, tidak ada alasan untuk kepo. Mungkin lebih baik tidak mendengarnya.

“Oke, maaf sudah mengganggumu. Oh, dan terima kasih untuk tasnya.”

“Sama-sama, Senpai.”

Dia memberikan tasku, dan kami berpamitan. Jelas tidak ingin membiarkan dia menahanku di sini lebih lama dari yang sudah dia lakukan.

“Aku akan meneleponmu dalam waktu dekat,” tambahnya.

“...Baik.”

“Oh, dan Senpai?”

“Ya?”

“Aku akan melakukan yang terbaik untuk melewati ini. Jadi, um... Jika terjadi sesuatu, maukah kamu datang menyelamatkanku lagi?”

“Tidak harus aku, kan? Maksudku, kamu bisa meminta pada Kaito, atau Kaito, atau mungkin Kaito…”

“Jika aku tahu kalau kamu mengawasiku, itu akan membantuku tetap termotivasi untuk menjadi lebih baik.”

“...Oh? Yah kalau begitu, aku akan melakukan apa yang aku bisa.”

“Bagus! Aku akan mengandalkanmu, Senpai.”

Ayase menyeringai, dan aku membalas senyumannya dengan senyumanku yang sedikit tegang. Lalu aku keluar dari rumah keluarga Ayase. Satu atau dua blok jauhnya, aku berhenti sejenak untuk menghela napas.

“Ayase Hikari, ya? Astaga…”

Aku memikirkannya saat aku berjalan menuju sekolah, terbebani oleh beratnya tasku sekali lagi. Di satu sisi, dia tampak baik-baik saja ketika dia berbicara denganku; di sisi lain, dia adalah siswi teladan di OSIS, dan bolos sekolah meskipun ada tekanan untuk hadir di sekolah yang mungkin dia rasakan. Tampaknya akan tepat untuk bilang kalau luka emosionalnya jauh lebih dalam daripada yang bisa aku lihat di permukaan. Menyembuhkannya akan membutuhkan banyak waktu dan usaha, jadi aku harus banyak berpikir tentang cara terbaik untuk melakukannya.

Sesuatu tentang Ayase mengingatkanku pada-nya. Kepribadian mereka benar-benar berbeda. Tentu saja, mereka berdua cantik, tapi selain itu, mereka sejujurnya bahkan tidak terlihat mirip. Namun tetap saja, entah bagaimana, sesuatu yang tidak dapat kujelaskan membuatku saling menghubungkan mereka berdua. Satu hal yang aku tahu pasti adalah, bahwa aku harus melakukan sebanyak yang aku bisa untuk tidak terlibat dengannya.

Tidak ada hal baik yang datang karena terlibat dengan Ayase Hikari. Itu akan berakhir dengan bencana. Sama seperti dengan-nya.