[LN] Shinyuu Mob no Ore ni Shujinkou no Imouto ga Horeru Wake ga Nai Volume 1 Chapter 1 Bahasa Indonesia

 

Pertemuan Datang Di Saat Kau Paling Tidak Mengharapkannya

 

SIALAN, AKU TERLAMBAT?!

Sudah jam delapan lewat tiga puluh, cuk!

Inilah aku, berlari dengan kecepatan penuh di jalan menuju sekolah, tahu betul kalau sekolah telah dimulai sejak tadi. Tak perlu dikatakan lagi kalau di mulutku ada sepotong roti... Maksudku, sungguh, di mulutku memang ada sepotong roti, tapi ternyata sangat sulit berlari seperti itu. Aku akhirnya memasukkan roti itu ke dalam kantong plastik, lalu meletakkannya ke dalam tas sebagai langkah penutup.

Aku tiba-tiba menjadi sangat sadar kalau satu-satunya orang yang bisa bersenandung riang saat mereka terlambat sekolah dalam keadaan seperti ini pastilah fiktif. Aku tidak begitu masa bodoh untuk memiliki sikap semacam itu, cuk! Dan jika pun aku begitu, aku akan bolos sekolah sepenuhnya! Jadi aku terus berlari, memaki bajingan-bajingan tak punya beban yang fiktif itu… sampai aku tiba-tiba berhenti.

“Haaah... Urrph... Bleugh…”

Yoi, berlari sampai kelelahan di musim panas yang terik adalah cara yang bagus untuk membuat dirimu muntah. Aku menyandarkan diri di tiang telepon terdekat, muntah-muntah saat mencoba mengatur napas. Benar-benar menyedihkan.

“Persetan... Mungkin sebaiknya aku bolos saja.”

Dalam kelelahanku, proses berpikirku berubah menjadi logis. Maksudku, jika aku bolos sekolah hari ini, aku tidak perlu memaksakan diri untuk terus berlari, kan?

“Ayolah, ini hanya satu hari! Apa salahnya?” Setan kecil di bahuku berbisik ke telingaku.

“Kau seharusnya tidak berlarian seperti ini! Kau tidak pernah tahu kapan sebuah mobil akan melaju kencang di tikungan; itu terlalu berbahaya. Kau sebaiknya pulang dan beristirahat untuk hari ini.” Malaikat kecil di bahuku yang lain menawarkan pendapat alternatif. Memang, ini bisa menjadi perdebatan terbaik abad ini... Tunggu dulu, huh? Mereka malah sependapat! Nah, sangat sependapat!

“Yup, waktunya minggat.”

Saat aku membuat keputusan, aku merasakan beban berat yang sangat besar dari bahuku terangkat. Bagi manusia kecil nan lemah sepertiku, sangat tidak terpikirkan untuk menentang kehendak duo malaikat-iblis pelindungku! Mereka yang memutuskan, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa, loh! Aku, Kunugi Kou, adalah orang yang bebas, dan karena itulah tidak ada yang bisa menghentikanku untuk meninggalkan jalan menuju sekolah dengan penuh kemenangan. Ya, ini akan menjadi satu langkah kecil untukku, satu lompatan besar dalam perjalananku menuju jalan kenakalan!

Maksudku, realistis saja: orang sepertiku, yang bolos sekolah selama sehari, tidak akan membuat seluruh masyarakat terhenti. Kalian akan mendapatkan lebih banyak hal dalam hidup jika kalian tidak memusingkan hal-hal kecil dan hidup di saat ini! Mungkin. Aku sudah siap untuk berangkat dan menikmati buah kebebasanku sepenuhnya.

Kyaaaaaahhhhhhhh!

Tiba-tiba, teriakan cewek terdengar.

Tiga kata (yang akan aku tulis dalam singkatan agar lebih sopan) muncul di kepalaku: WTF?

“WTF?”

Aku benar-benar mengatakannya dengan keras, karena itu adalah situasi yang tidak wajar muncul untukku. Perkembangan klise-kayak di komik semacam ini seharusnya tidak terjadi padaku! Aku figuran, astaga, bukan karakter utama! Bukankah seharusnya dia yang mengalami hal-hal seperti ini?!

Sayangnya, kenyataan adalah nyonya kejam yang tidak memikirkanmu, tidak peduli seberapa besar kamu menginginkannya. Sementara aku membeku karena terkejut, seorang gadis muncul dari sisi jalan di sebelah kanan, hanya sedikit di depanku. Seorang gadis cantik. Yup, seorang gadis yang cantik dan menarik. Seorang gadis cantik yang memiliki ekspresi sangat  ketakutan terlukis di seluruh wajahnya, tapi tetap saja seorang gadis cantik.

Aku memiliki firasat buruk kalau aku tahu apa yang sedang terjadi. Ini adalah salah satu adegan di mana seorang wanita muda yang menarik diserang oleh buaya darat gila, dan sembarang pria yang kebetulan berada di dekatnya menyelamatkannya, sehingga ia dipromosikan ke status protagonis. Kupikir jika dugaanku benar, ini mungkin saja kesempatan yang dikirim oleh surga untuk menghadiahiku, karena telah begitu tenang dan kooperatif dalam peranku sebagai figuran.

Tapi tahukah Anda, Dewa? Aku tidak mau mengatakannya, tapi kupikir Anda mungkin salah paham di sini. Aku tidak ingin promosi yang Anda tawarkan kepadaku sedikit pun. Kebetulan aku menyukai gaya hidupku yang damai, tenang, dan membosankan—sebenarnya, aku sangat menyukainya! Aku tidak ingin ada peristiwa besar nan gila. Aku ingin menjalani hidupku dengan cara yang sama seperti yang dilakukan miliaran orang sebelumku: dengan melihatnya perlahan-lahan menitis ke kesia-siaan dalam keadaan penuh, kebosanan yang biasa-biasa saja. Jika Anda ingin mengabulkannya, itulah keinginanku.

Sebagai catatan, sampai menempatkan seorang gadis mengalami sesuatu yang cukup traumatis hingga membuatnya berteriak seperti itu, hanya untuk memberikan kenaikan pangkat pada seorang figuran? Dasar egois, Dewa. Dasar kikuk, botak sombong.

Jadi, maafkan aku, gadis cantik tak dikenal. Dewa mungkin yang memikirkan perkembangan ini, jadi ini bukan tanggung jawabku, tapi aku masih merasa harus minta maaf karena aku tidak bisa membantumu di sini. Dengan asumsi kalau aku membaca situasi dengan benar, suatu berandalan yang benar-benar jahat akan datang menerobos keluar dari sisi jalan tersebut untuk mengejarnya. Kemungkinan besar, dia mengejarnya karena dia terpesona oleh kecantikannya. Bahkan mungkin ada lebih dari satu berandalan. Begitulah biasanya hal-hal seperti ini terjadi.

Masalahnya, figuran yang benar-benar bisa menangani hal semacam itu paling  banyaknya cuma satu dari sejuta orang. Itu bisa saja orang yang memendam kekuatan tersembunyinya, atau orang yang telah belajar karate melalui kursus, atau sesuatu yang super spesial lainnya-atau-apalah yang mirip itu. Ini adalah tanggung jawab yang terlalu berat untuk aku tangani.

Meski begitu, aku tidak akan bisa tidur nyenyak jika aku meninggalkannya tanpa membantu sama sekali. Malahan, berdiri di belakang dan menonton bencana seperti ini terjadi tepat di depan mataku tanpa berkedip akan menjadi sangat ke-protagonis-an dengan cara tertentu. Jika aku tidak membantunya, kemungkinan besar dia akan meneriakkan sesuatu seperti “Hei, kenapa kau tidak membantu?! Orang macam apa yang tidak membantu dalam situasi seperti ini?!” dan menyeretku ke dalam kekacauan di luar kehendakku.

Karena itulah, aku harus melawan klise dengan klise. Waktunya untuk operasi “Polisi, di sini!” Ini sebenarnya cukup mudah. Langkah pertama: telpon polisi. Langkah kedua: beri tahu mereka di mana kau berada dan apa yang terjadi. Secara harfiahnya begitu. Maksudku, ayolah, dia wanita yang lemah dan ini adalah Jepang, negara yang damai dan tenang. Kemungkinan dia dibuat pingsan dan diculik sebelum polisi muncul sangat rendah, mungkin sih!

Sementara aku sibuk dengan monolog dalam hati tentang langkahku selanjutnya, gadis itu tersandung kakinya sendiri dan wajahnya jatuh duluan tepat di depanku. Itu adalah perkembangan yang klise banget, hampir membuatku ingin bertanya padanya apakah aku boleh melihat naskahnya.

“Umm, hei, apakah kamu baik-baik saja?”

Naluri pengamat tidak bersalah-ku muncul dan aku berbicara dengannya. Sial! Gadis itu melihat ke arahku dengan kaget, lalu tersentak mendengar suara langkah kaki yang berderap di sisi jalan yang dilewatinya. Langkah kaki itu membuatku lebih bingung daripada ketakutan, yaitu karena itu hanya suara kaki satu orang. Dilihat dari berat suaranya, aku dapat mengira kalau dia adalah orang bertubuh besar, dan juga sangat lambat. Sekilas wanita ini terlihat sangat sehat, jadi aku bertanya-tanya: bukankah dia bisa berlari lebih cepat dari pengejar misteriusnya? Dengan kecepatan si pengejar, itu tidak akan terlalu sulit kan.

Tentu saja, sementara aku terganggu oleh semua omong kosong itu, aku melewatkan kesempatanku untuk A: menelpon polisi dan B: lari saja. Saat itulah, seolah-olah dikirim oleh takdir itu sendiri untuk mengejekku atas kecerobohanku… makhluk itu muncul.

“Ayoyah, ceuwek cuantik! Tunggu daku!”

Gyaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh?!

“Apa— Augh?!

“Makhluk itu” benar-benar menjijikkan, dan pandangan sekilas padanya memicu kuat refleksku akan bahaya sehingga aku menendangnya mundur tanpa berpikir dua kali. Makhluk... ini adalah seorang lelaki tua telanjang. Aku tidak akan memberitahu kalian detail yang mengerikan — percayalah, kalian pasti tidak ingin mendengarnya, dan aku tentunya tidak ingin membicarakannya. Anggap saja dia seorang eksibisionis yang sangat parah sehingga hanya menghirup udara yang sama dengannya saja sudah cukup untuk membuatku menyesal telah bangun pagi ini.

Ayolah, yang benar saja?! Di adegan semacam ini, yang muncul seharusnya preman jalanan, bukannya malah bapak-bapak bugil! Dunia nyata tidak memiliki filter untuk menyensor sampah kayak gitu dengan mozaik!

Ngomong-ngomong, kemunculan mendadak si cabul adalah perkembangan yang benar-benar tak terduga sehingga aku jadi melancarkan kaki emas pemenggal-ku (yang mampu menghancurkan tulang belakang bahkan petinju berleher paling tebal sekalipun!) padanya. Karena itulah, kupikir sudah waktunya untuk membatalkan operasi “Polisi, di sini!” dan beralih ke operasi “Polisi, dia ada di sini!” Proses sebenarnya persis sama—cukup putar tombol putus asa hingga 1200%. Itu benar, saatnya untuk mode berani 1200%. Cukup terima kenyataan dan ayo lakukan itu…

“Ah, umm!”

“Apa—huh?!”

Terkejut oleh suara yang tiba-tiba, aku secara refleks bersembunyi di balik tiang telepon terdekat. Aku tidak berkesempatan melihat, tapi aku yakin kalau orang yang bicara padaku adalah gadis yang dikejar oleh pria mesum menjijikkan itu. Sekarang, memang, aku hanya melihat wajahnya sekilas dan aku sebenarnya hanya mendengarnya berteriak sampai saat itu, tapi aku masih memiliki keyakinan mutlak pada kesimpulanku. Buktiku: kami sebenarnya adalah satu-satunya orang di sekitar sini saat ini. Ya, kalian bisa sebut aku Sherlock.

“Ah... Um, t-terima kasih!”

Dia terdengar bingung.

Dia ingin berterima kasih padaku? Oooh, oke, aku mengerti. Ya, kukira itu alur yang wajar dalam situasi semacam ini. Bagaimanapun juga, aku adalah pahlawannya. Dia memang bukan preman jalanan, tapi dalam arti tertentu, dikejar-kejar oleh seorang ekshibisionis setengah baya, yang punya berat badan berlebih, bahkan lebih menakutkan daripada premis skenario preman, dan aku telah menyelamatkannya dengan menghabisi pria itu dalam satu pukulan tendangan. Satu atau dua ucapan “terima kasih” adalah hal yang pas di sini.

Benci untuk mengatakannya, tapi gadis ini keliru. Aku bukanlah pahlawan; Aku adalah warga negara biasa, seorang pria yang pengaruh terbesarnya pada masyarakat luas adalah menghisap oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida. Singkatnya, aku tidak lebih dari seorang figuran. Aku ingin memastikan agar dia tidak akan berpendapat aneh tentangku, jadi aku tetap bersembunyi di balik tiang dan mencoba menghancurkan harapannya seblak-blakan mungkin.

“Namaku tidak layak disebutkan.”

“Aku, um, sebenarnya belum tanya.”

Cuk, kecepetan gue! Tapi, jujur saja, sih, aku terkejut dia bisa bersikap tenang padaku secepat itu. Kalian tidak akan pernah mengira kalau dia dikejar-kejar oleh orang mesum beberapa saat yang lalu. Cewek ini punya keberanian.

“Sepertinya kamu baik-baik saja, yah.”

“Tidak juga, kok… aku masih gemetaran…”

“Oh, jangan khawatir—aku juga.” Aku menjulurkan satu kaki dari belakang tiang dan menggoyangkannya. Tidak ada reaksi. Rasanya seperti suhu tiba-tiba turun beberapa derajat, tapi itu mungkin hanya perasaanku saja. “N-Ngomong-ngomong, aku akan memanggil polisi, jadi kamu sebaiknya cepat-cepat keluar dari sini. Diam disini terlalu lama sama saja kayak minta diinterogasi polisi!”

“U-Um, tunggu! Siapa namamu?”

Aku mencoba mengarahkan percakapan ke kesimpulan yang wajar, tapi dia tetap menanyakan namaku. Dan tepat setelah aku juga gagal total dalam menggunakan gerakan super “nama tidak layak disebutkan”! Mungkinkah pemilihan situasi gadis ini lebih buruk dariku? Tidak mungkin aku bisa melakukan itu lagi; skill-ku masih cooldown, oy! Dia membuatku terpojok—satu-satunya pilihanku yang tersisa adalah memberitahukannya namaku!

Atau setidaknya itulah yang mungkin dilakukan, tapi aku adalah karakter pendukung sampai akhir, dan namaku benar-benar tidak layak disebutkan. Selain itu, menjadi pahlawan dan menyelamatkan gadis-gadis cantik adalah tugas seorang protagonis. Kisah cinta antara si cantik dan si buruk rupa sudah diterima baik pada saat ini, tapi sama sekali tidak ada pasar ataupun permintaan untuk romansa antara si cantik dan si figuran.

Bahkan seandainya aku mengalah pada sisi bejatku dan mencoba mendekatinya, aku tahu persis bagaimana ini akan berakhir. Dalam skenario terbaik, kami akan merasa tidak cocok, kami akan terpisah, dan akhirnya hubungan kami tentu saja akan gagal. Namun, jika aku benar-benar mengacau, sangat mungkin aku kena tikung oleh protagonis! Maaf, tapi itu tentu saja bukan fetishku, dan tidak ada kemungkinan aku akan mendekati situasi yang mungkin akan mengarah ke situ. Karena itulah, hanya ada satu gerakan yang tersedia untukku.

“Ayase Kaito.”

“Huh?”

“Namaku Ayase Kaito. Ayase Kaito, siswa kelas 2-B SMA Oumei. Aku tahu kalau aku bilang namaku tidak layak disebut, tapi jika kamu benar-benar memaksa, namaku Ayase Kaito. Golongan darah A, ulang tahun 23 September. Itulah aku: Ayase Kaito.”

Aku memberi tahunya sebuah nama tanpa berbalik menghadapnya, lalu pergi tanpa memberinya kesempatan untuk bereaksi! Jika aku harus bilang sendiri, ini jalan keluar yang tampan dan berani dalam lebih dari satu cara! Lihatlah aku, semuanya, aku benar-benar protagonis! Tapi pria keren yang kabur tergesa-gesa bukanlah aku, sang figuran latar Kunugi Kou—melainkan Ayase Kaito dari kelas 2-B SMA Oumei.

Sebagai catatan, nama itu bukanlah nama sembarangan yang aku buat spontan. Sebaliknya, aku sebenarnya sangat bangga pada diriku sendiri karena sudah melakukan perbuatan baik. Lagian, Ayase Kaito bukanlah figuran sepertiku: dia adalah yang asli, protagonis tulen. Gadis itu juga tidak pernah melihat wajahku dengan baik. Yang dia lihat hanyalah punggung seorang pria yang mengenakan seragam SMA Oumei. Dia juga akan melupakan seperti apa suaraku dalam waktu singkat.

Gadis, yang tulus dan pemberani, seperti dia tidak diragukan lagi akan mengambil tindakan dengan cara yang paling mirip dengan heroine. Dia akan muncul di kelas B, memanggil Ayase Kaito untuk berterima kasih padanya, dan kasusnya akan ditutup dengan semua orang berbahagia. Jika dia benar-benar salah satu heroine terpilih, maka hanya dengan sekali melihat aura protagonis rom-com-nya yang luar biasa, gadis itu akan jatuh ke dalam pesonanya.

Dia mungkin salah satu protagonis tidak peka yang super klise, tapi dia juga seorang pria jantan, dan aku tidak bisa membayangkan dia akan bisa bilang tidak pada seorang gadis cantik yang datang padanya. Dan bum, begitulah, seorang heroine baru ditambahkan ke daftarnya, gadis itu bertemu pahlawannya, dan kehidupan sehari-hariku tidak berubah! Itu adalah situasi saling menguntungkan di ketiga belah pihak, kalau aku tidak salah sih.

Aku melaporkan si penyerang saat aku melarikan diri, lalu menuju ke SMA Oumei tercinta dengan senyum di wajahku dan melompat-lompat kecil seiring langkahku. Seluruh bencana itu cukup berat untuk diatasi, terutama untuk hal pertama di pagi hari, tapi pada akhirnya semua orang kecuali pelakunya-lah yang kalah. Inilah contoh keadilan terbaik!

“Seeeeeeelamat pagi!”

Aku hampir seenergik mungkin, dan mengeluarkan semacam sapaan keras dan antusias, yang sama sekali tidak pernah aku lakukan saat aku membuka pintu kelas. Tidak ada di dunia ini yang bisa menghentikanku sekarang! Kalian pikir kalian bisa menghalangiku?! Maju sini, cuk!

“...Selamat pagi, Kunugi.”

“Oh, Daimon-sensei! Selamat pagi!”

“Perlu nyali agar bisa muncul seperti itu saat kamu terlambat, lho?”

“Terlambat...? Oh.”

“Ayo keluar, Kunugi. Maaf, semuanya, belajarlah sendiri dulu untuk sekarang. Aku akan segera kembali.”

“...Aku lupa kalau aku mau bolos.”

Kemudian dia menceramahiku habis-habisan.

❤ ❤ ❤ ❤ ❤

 

“Apakah kamu yakin ada otak di dalam kepalamu itu, Kou?”

“Oh, diamlah... Lagi pula, apa-apaan tante cerewet itu? Guru macam apa yang meninggalkan kelas cuma untuk menceramahi satu orang?”

“Bukankah dia terlalu muda untuk disebut tante? Dia masih berusia dua puluhan, kan?”

Aku terkapar di atas meja, masih dalam keadaan syok akibat ceramah yang tidak berhenti sampai ke istirahat makan siang ... Atau, sebenarnya, dalam keadaan syok akibat kenyataan karena bertemu dengan orang mesum hingga membuatku benar-benar lupa kalau aku berencana untuk bolos. Aku muncul di sekolah dalam keadaan sepenuhnya tidak siap.

Yang duduk di dekatku, menghela nafas putus asa pada guyonanku, adalah Ayase Kaito yang disebutkan sebelumnya. Tampan luar dalam, rambut cokelat alaminya ditata dengan baik dan senyumnya yang menawan membuat ketampanannya semakin mencolok. Namun, meskipun begitu, aku tidak pernah merasa dia adalah salah satu dari tipe idol nasional yang dapat menarik perhatian siapa pun dan semua orang. Tidak, dia memiliki jenis popularitas yang sangat spesifik, yang hanya menarik orang-orang tertentu, yang semuanya adalah wanita cantik yang menakjubkan. Singkatnya, dia adalah definisi pemeran utama rom-com klasik. Dia seperti salah satu dari orang-orang yang hanya mengincar gadis-gadis cantik,  kurasa.

Dengan beberapa kejadian aneh, akhirnya aku cukup dekat dengan pria seperti itu sampai aku dapat menyebut diriku sebagai sahabatnya. Dengan kata lain, aku bukan sekedar figuran: Aku adalah figuran dengan atribut Sahabat, salah satu karakter yang nyaris menempel di peringkat bawah pemungutan suara popularitas dengan selisih tipis! Ya, inilah aku, sang figuran-komplotan-mak comblang-sahabat protagonis!

“Ngomong-ngomong, kita punya hal yang lebih penting untuk dibicarakan! Kudengar kalau kamu dan Kotou Tsumugi mesra-mesraan pagi ini?!”

“‘Mesra-mesraan’?” balas Kaito. “Kami hanya jalan bareng ke sekolah, sama seperti biasanya. Kami sudah saling kenal sejak lama dan rumah kami bersebelahan; itu benar-benar biasa, kok.”

“Oh, benarkah? Lalu apa maksud dari yang kudengar ini, kalau kalian berpegangan tangan, huh?! Huuuu?!”

“Dia memelukku dan aku menyilangkan tangan, itu saja.”

“Memangnya yang mengalir di nadimu itu apa sih, brengsek?! Es?!”

“Tentu saja, darah.”

“Ah, benar, ya. Gak salah sih.”

Suara bantahannya seperti tembok bata yang dijatuhkan untuk menghalangi jalan argumenku, dan aku menjatuhkan diri kembali ke kursi setelah barusan aku bangkit berdiri dengan antusias. Kebetulan, Kotou Tsumugi adalah Madonna (referensi yang ketinggalan jaman, tapi masih berlaku) yang ada di kelas sebelah dan terlebih lagi merupakan teman masa kecil Kaito. Kalian pasti berpikir seseorang di posisinya akan berakhir di kelas yang sama dengannya, tapi ternyata dia dan tuan yang-membantah-argumen-ku di sana itu sama-sama tidak beruntung dalam hal tersebut.

“Ayase-kun.”

Dan, sama sekali tidak mengejutkan siapa pun, seorang gadis lain muncul untuk berbicara dengan Kaito. Aku mungkin bahkan tidak perlu repot-repot menerangkan kalau dia cantik. Dia memiliki rambut hitam halus yang panjangnya sampai ke pinggang, dan tatapan tajam di matanya memberikannya kesan berkemauan keras. Itu benar—dia adalah pemain terbaik yang muncul pada setiap rom-com, heroine siswa teladan yang super sadis, kasar secara verbal (yang juga kebetulan sangat penyendiri): wanita cantik kita, sambutlah dia, Kiryu Kyouka!

“Jika kamu berbicara dengan sampah, baunya kemungkinan besar akan menempel padamu.”

“Apa kau bilang?!”

Tumpukan sampah yang duduk di kursiku—yaitu aku—berdiri, penuh tekad dan membuat kursi tersebut berdenting ke belakang. Aku mungkin figuran, tapi aku memiliki hak untuk melawan ketika aku dihina secara sepihak dan tidak adil! Persetan, aku akan tetap melawan meski aku memiliki hak atau tidak — berdiri melawan ketidakadilan adalah takdir seorang pria!

“Hmm?”

“Lupakan saja!”

Menarik, gedebuk.

Satu pelototan berikutnya dan aku menilai kalau pertarungan yang aku pilih tidak dapat dimenangkan, diam-diam menarik kursiku kembali ke posisi semula dan duduk seperti tidak ada yang terjadi. Kursiku pasti sangat terkejut dengan semua berdiri dan duduk dadakan yang aku lakukan hari ini. Lagi pula, istirahat siang adalah waktu untuk makan siang, bukan untuk ribut. Aku akan mengampunimu kali ini, Kiryu.

“Apa? Ada yang ingin kau katakan padaku?”

Dia membanting tangannya ke mejaku dan memelototiku. Sudahkah aku  menyebutkan kalau dia mengintimidasi?

“Maaf…”

Aku tidak bisa menahan tekanan dan secara refleks mengeluarkan koin lima ratus yen dari dompetku, menggesernya ke seberang meja untuk menunjukkan permintaan maaf.

“Menyedihkan…”

Kaito menghelas nafas jengkel, tapi dia salah. Aku sama sekali tidak menyedihkan! Aku hanya sedikit ketakutan dan memutuskan untuk membiarkan uang yang berbicara! Oke, ya, sangat menyedihkan ketika aku mengatakannya seperti itu, tapi masih ada satu hal yang harus aku perjelas.

“Hei, sebaiknya kau tidak meremehkanku! Aku ingin kau tahu kalau ini adalah semua uang yang aku miliki atas namaku! Kau mendapatkan tabungan seumur hidupku sebagai uang tebusan di sini, jadi aku tidak ingin mendengarmu menyebut ini menyedihkan!”

“Aku tidak ingin uang recehmu.”

Uang receh?! Dialah yang mencari masalah yang tidak pantas denganku, dan ketika aku dengan gagah berani menawarkan semua yang kumiliki untuk menyelesaikan masalah ini, dia berani menyebutnya sebagai uang receh?!

“Aku sangat menyesal; tolong maafkan aku…”

Bahkan uang tebusan pun tidak bisa mengeluarkanku dari masalah ini, jadi aku tidak punya pilihan lain selain meminta maaf seperti orang normal. Bersujud di lantai akan membuat seragamku kotor, jadi aku menekan wajahku ke atas meja dengan membungkuk dalam-dalam. Dan juga, dia bilang dia tidak menginginkan lima ratus yen milikku, jadi aku menyimpannya kembali di dompetku. Fiuh.

“Ayolah, Kyouka, sudahlah. Ayo pergi makan siang, oke?”

Kiryu terlihat sangat kesal, tapi Kaito memotong dengan senyuman untuk menenangkannya. Nah, itu tidak diragukan lagi adalah gerakan seorang protagonis. Pertahankan, bung, mantab jiwa!

“...Kalau begitu, baiklah.”

Mengingat betapa cepatnya dia mengikuti saran Kaito, ya, dia pasti seorang heroine. Bahkan jika dia memiliki sikap buruk soal itu. Tentu saja, akan jauh lebih baik jika dia membuka percakapannya dengan Kaito tanpa menghiraukanku. Dan ngomong-ngomong, berapa lama lagi dia berencana memelototiku? Kau membuatku sangat sulit untuk keluar dari sini, Kiryu.

“Kaitooo! Ayo makan siang!”

Dan dengan waktu yang tepat, sebuah gumpalan energi berkepala kosong tertentu menerobos masuk ke dalam kelas. Lebih ke arah “imut” daripada “cantik”, dia adalah tipe gadis yang selalu digambarkan orang sebagai binatang kecil yang menggemaskan: teman masa kecil Kaito, Kotou Tsumugi (yang sudah aku perkenalkan sebelumnya, jadi itu sudah selesai) . Dia membuat kebiasaan muncul di kelas kami setiap siang untuk makan siang bersama Kaito layaknya heroine. Catatan tambahan: menurut dugaan, adik Kaito membuatkan makan siang untuknya. Sumpah, cowok itu punya sister complex. (Ya, aku iri.)

“Ah, Kiryu-san!”

“Ada apa, Kotou-san?”

Kotou akhirnya menyadari kalau Kaito sedang bersama Kiryu, dan memberinya pandangan yang sedikit tajam. Sebagai saingan dalam cinta, keduanya tidak benar-benar akur. Kalian mungkin tahulah apa yang mereka katakan tentang pertarungan wanita.

“Ya ampun, Kaito, kamu tidak pernah berhenti mengesankan.”

“Apa? Aku tidak mengerti.”

“Benar, tepat sekali.”

Aku mengobrol dengan Kaito saat aku berdiri. Tentu saja bukan untuk bergabung dengan kelompok obrolan kecil mereka—aku mau pergi membeli makan siang di warung sekolah. Atau, lebih tepatnya, menggunakannya sebagai dalih untuk meninggalkan tempat menyesakkan ini.

“Jangan berlebihan, oke?”

“Serius... Berlebihan gimana?” jawab Kaito dengan salah satu komentarnya yang sangat hampa seperti biasanya, sebagaimana layaknya seorang protagonis yang super tidak peka.

Aku meninggalkan dia dan sepasang heroine-nya, lalu berjalan keluar kelas. Dua heroine sudah cukup untuk membuat percakapan tetap berjalan, jadi bahkan jika aku di sana pun, aku hanya bagus dalam menghasilkan white noise, yang, kalian tahulah, itu tidak terlalu membantu ketika kalian mencoba untuk melakukan percakapan.

TLN: White noise adalah derau acak yang memiliki kerapatan spektral datar yaitu, derau yang memiliki amplitudo atau intensitas yang sama, di seluruh rentang frekuensinya. Contohnya kayak suara hujan, suara jangkrik, suara kipas, dll.

Lagi pula, aku tegaskan kembali: Aku tidak lebih dari figuran mak comblang dari protagonis, Ayase Kaito. Aku memiliki sedikit peran untuk dimainkan — sesekali aku akan sangat iri padanya, atau berkomentar pada heroine-nya yang nyaris tidak berada di sisi aman dari batas pelecehan seksual — tapi meskipun begitu, aku pada dasarnya adalah seorang figuran. Campur tangan yang berlebihan dengan urusannya tidak diperbolehkan. Ini jelas bukan karena aku malas-malasan, lho! Ini hanya salah satu saat ketika kalian menyelesaikan pekerjaan dengan tidak bekerja sama sekali, sumpah!

Aku tiba di warung sekolah, masih belum sepenuhnya yakin sebenarnya pada siapa aku mencoba memberikan alasan beberapa saat yang lalu. Aku tidak yakin apakah itu karena kami memiliki seorang protagonis di dalam sekolah atau apa, tapi warung sekolahku persis seperti yang kalian lihat di setiap klise rom-com yang pernah ada: benar-benar sangat ramai setiap hari. Segerombolan siswa benar-benar mengerumuni konter dalam pertempuran mati-matian untuk mendapatkan roti mereka hari ini. Ayolah, bung, ini disebut “istirahat makan siang” karena kalian seharusnya istirahat, bukannya malah menghancurkan wajah orang lain! Aku mungkin akan lebih baik pergi ke minimarket daripada terlibat dalam hiruk-pikuk ini...

GRAAAAHHHHHHHHH!

Hal berikutnya yang aku tahu adalah, aku berteriak seperti orang gila saat aku terjun ke kerumunan. Tunggu. Apa?

Tubuhku...bergerak sendiri?! Jangan bilang kalau kekuatan klise-lah yang memaksaku untuk bertindak begini?!

Tersapu dalam pusaran anak-anak SMA yang kelaparan, aku mengeluarkan teriakan perang, mengulurkan tangan sejauh yang aku bisa, dan entah bagaimana berhasil mengambil satu buah sandwich. Pada saat yang sama, aku melemparkan koin lima ratus yen yang aku bawa ke kasir! Saksikanlah teknik pamungkasku: tangkap dan lepaskan!

“Heh, simpan saja kembaliannya.”

“Ini dia, kembaliannya tiga ratus yen.”

Aku mengedipkan mata, dan tiba-tiba memegang tiga ratus yen. Apakah kasir wanita itu semacam monster?! Y-Yah, bodo amat, ini tak masalah. Pada akhirnya, aku mendapatkan sandwich bacon, selada, dan tomat (disingkat BST. Pasti kalian tidak tahu yang itu, kan?) dengan harga jual. Saatnya bergegas kembali ke kelas.

“Hmm?”

Saat aku berbalik dari warung sekolah, aku kebetulan melihat seorang gadis tertentu.

“Uwuu…”

“Uwuu?!” Apakah dia benar-benar baru saja mengatakan “uwuu,” dan apakah dia tidak sadar betapa konyolnya itu terdengar?!

Dia gadis yang cantik tapi sangat mungil—sangat kecil, bahkan, aku hampir mengira dia anak SD—dan dia mundur dari kekacauan yang menghalanginya ke warung sekolah. Untuk sesaat kupikir dia mungkin tersesat dan salah masuk sekolah, tapi karena dia mengenakan seragam kami, aku terpaksa menyimpulkan kalian dia adalah siswia asli SMA ini. Yang terbaik yang bisa aku ketahui adalah, dia berharap untuk membeli makan siang tapi tidak berhasil menembus dinding manusia yang menghalangi jalannya.

Tentunya aku merasa agak kasihan padanya, tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk mengabaikannya. Hal paling menyedihkan dari semua itu adalah, bahwa orang yang kebetulan menyadarinya adalah figuran sepertiku. Jika Kaito ada di sini menggantikanku, dia mungkin akan menyodorkan sandwich-nya sambil tersenyum dan mengatakan sesuatu seperti “Kamu makanlah dari ujung situ, aku akan makan dari ujung yang lain, dan kita akan bertemu di tengah-tengah.” Namun aku, di sisi lain, tidak begitu murah hati!

Keroncong.

“Hmm?”

Saat aku lewat di depannya, aku mendengar sesuatu yang terdengar seperti suara perut yang keroncongan. Itu sangat jelas, dan juga sangat keras. Aku cukup terganggu hingga menghentikan langkahku, dan gadis kecil itu menatapku, sangat memerah. Dia pasti sudah mendengar ucapan “hmm”-ku yang sembrono.

“Uwuu…”

Kita bertemu lagi, uwuu. Apakah itu bahkan suara sungguhan? Apakah sebenarnya ada makhluk hidup di planet ini yang bersuara seperti itu? Apa pun itu, jika aku mengabaikannya dan pergi setelah diperhatikan seperti itu, aku akan terlihat seperti monster. Aku membayangkan halaman depan berita di koran sekolah: “Siswa Lokal Mengabaikan Anak yang Kelaparan; Dikucilkan oleh Masyarakat.” Kalian tidak pernah tahu kapan media mungkin mengintai di pojok ruangan dan mencari berita utama.

“Hei, cebol.”

“K-Kau mau apa...?”

Rasanya satu-satunya pilihanku adalah mengatakan sesuatu padanya, jadi aku melakukannya, tapi dia menatap lantai dan menjawab dengan nada suara yang sangat lemah. Astaga, sekarang aku terlihat seperti sedang membully-nya!

“Mau ini?”

Aku menggantungkan BST-ku di depannya dan matanya mendongak ke atas lagi, menatapnya erat saat aku mengayunkan BST-ku bolak balik. Jujur saja, ini cukup lucu. Dia juga mulai ngiler.

“M-Maksudmu aku boleh memilikinya?!”

“Hah! Mana mungkinlah, tolol.”

“Apaaa?!”

Singkirkan ekspektasi itu untuk protagonis. Kau benar-benar berpikir ada yang namanya makanan gratis di dunia ini? Oh, dasar naif!

“Tidak gratis, sih. Empat ratus yen dan ini jadi milikmu.”

“Apa?! T-Tapi, itu harganya dua ratus yen di warung, lo...”

“Hmm? Memangnya kenapa? Ada masalah sama harganya? Ayolah, kamu sangat menginginkannya sehingga kamu terbayang-bayang mencicipinya, kan? Aku sih tak masalah makan ini sendiri kalau kau tidak mau, lho? Ayo, kamu mau? Kamu mau?!”

Aku memamerkan sandwich, menggoyangkannya tepat di depan wajahnya. Seseorang pasti berbisik, “Wow, sungguh bajingan” di belakangku, tapi bukan urusanku!

Kalian semua dengan riangnya mengabaikan si kecil mungil yang kelaparan ini semenit yang lalu, jadi berhentilah sok suci dan ucapkanlah ocehan munafik kalian sama pantat sana!

“Uwuu…”

Yup, dia meng-uwuu-ku lagi. Kurasa itu gerakan spesialnya. Dia juga sedikit berkaca-kaca.

“Aku akan membelinya...”

Dia terdengar amat, sangat enggan, tapi dengan takut-takut dia mengeluarkan empat ratus yen. (Catatan tambahan: cukup aneh untuk mengatakan kalau kau “akan” membeli sesuatu ketika kamu kayak gitu dalam proses membelinya.) Tapi bisnis melampaui semua batas! Bahkan jika kau berbicara seperti orang aneh, kesepakatan tetaplah kesepakatan! Ini adalah kebenaran sejati! Saksikanlah aku, wahai para penonton!

“Terjual! Ini dia, cebol.”

“Terima kasih... Tunggu, huh?”

Si cebol itu berkedip kebingungan. Kemungkinan besar, dia merasakan koin dingin dan keras yang aku sisipkan ke tangannya melalui bawah sandwich. Tiga ratus yen yang diberikan paksa oleh kasir wanita itu padaku.

“Rahasiakan ini di antara kita berdua saja, oke?”

Dia ragu-ragu, tapi aku memberikan paksa sandwich itu ke tangannya. Maksudku, ayolah, mana mungkin aku bisa mengambil uang dari anak SD! Abaikan saja bagian di mana aku dapat seratus yen lebih!

Makan siangku hilang, tapi aku tetap tenang dan pergi. Bocah itu tampak bingung, seperti dia tidak begitu mengerti apa yang baru saja terjadi saat dia terus melirik bolak-balik antara aku dan uang receh di tangannya. Aku memutuskan untuk pergi dengan hebat dan cepat saat dia masih memproses situasi.

“Hei, tunggu dulu.”

Tapi wanita yang menjaga warung sekolah itu punya pikiran lain. Tampaknya dagangannya telah terjual habis saat aku dan bocah itu melakukan transaksi kami, dan sekarang dia memiliki terlalu banyak waktu luang.

“Gerakan yang mulus, Nak.”

“Aku cuma terlalu malu untuk melakukannya secara normal.”

Aku sangat terkejut bahwa dia mengetahui niatku sehingga aku mengungkapkan yang sejujurnya tanpa sadar. Aku telah mencoba melakukannya dengan sombong, tapi tampaknya aku benar-benar payah dalam improvisasi! Pada akhirnya, semuanya tampak sangat konyol. Astaga, malunya aku!

“Nah, bukankah kamu pria biasa yang baik? Aku memiliki sesuatu yang istimewa untukku sendiri, tapi kupikir aku akan menjualnya padamu saja,” katanya sambil meletakkan roti gulung di konter.

“Apakah kamu seorang malaikat, nona?!”

“...Harganya empat ratus yen.”

“Apakah kamu seorang pemeras, nona?!”

Aku membelinya. Sore itu, aku diingatkan sekali lagi: kau tidak pernah bisa mempercayai seorang penjual.

❤ ❤ ❤ ❤ ❤

 

Pulang sekolah! Betapa indahnya kata-kata itu bagi mereka! Aku tidak tahu siapa yang menciptakan ungkapan itu, dan aku selalu bertanya-tanya apa artinya “masuk” sekolah, tapi intinya adalah itu selalu memulangkan semangatku entah ke mana. Kurasa ini adalah salah satu perasaan yang hanya bisa kau hargai selama masa remaja, ya? Semakin tua kalian tumbuh, semakin kalian kehilangan percikan khusus seperti itu. Ini tragis, sungguh.

“Hei, Kou, ada kegiatan hari ini? Mau mampir ke tempatku?”

“Aku mau!”

Aku + Kaito = sahabat! Kami + bermain = senang, senang!

Kaito mengundangku ke rumahnya setelah sekolah usai, dan aku langsung setuju. Ini benar-benar normal bagi kami—kami selalu nongkrong bareng. Tentu saja, aku punya keraguan. Maksudku, jika dia punya waktu untuk nongkrong bareng denganku, bukankah akan lebih baik kalau dia menggunakannya untuk nongkrong dengan cewek saja? Tapi di sisi lain, dia yang tidak pernah bosan denganku adalah bagian dari apa yang membuat dia begitu menawan, dan bagian dari apa yang membuatku sangat ingin mendukungnya. Umumnya, aku tidak pernah menolak ajakannya. Bukan seperti aku punya kesibukan lain juga sih.

Omong-omong soal hiburan sepulang sekolah, Kotou ada di klub memasak. Mengingat dia tidak muncul di kelas kami begitu bel berbunyi, kupikir dia mungkin memiliki kegiatan klub yang membuatnya sibuk. Selain Kotou dan Kiryu, aku tahu dua heroine/kandidat lain yang menyukai Kaito. Salah satunya adalah adik kelas di tim lari, dan yang lainnya adalah ketua OSIS. Ciri-ciri mereka semua cocok dengan model heroine sepenuhnya, tapi kebanyakan dari mereka selalu sibuk dengan berbagai kegiatan. Kaito, sementara itu, tidak berada di klub sama sekali, dan akibatnya memiliki banyak waktu luang.

Melihat dia yang seorang protagonis, sebagian dari diriku berpikir bahwa dia harus membuat klub yang aneh dan meragukan (yang hanya bisa ada di rom-com seperti ini) dan mengajak semua heroine-nya untuk bergabung ke dalam klub. Mengingat bahwa mereka semua berusaha paling keras di berbagai klub dan kegiatan mereka, menarik mereka keluar untuk bergabung dengan klub baru terasa seperti akan merusak karakter mereka. Dalam kasus terburuk, mereka bisa kehilangan semua pesona ke-heroine-an mereka!

Dan selain itu, klub rom-com selalu berakhir dengan duduk-duduk dan mengobrol sambil menikmati cemilan, atau berlarian dan saling goda-godaan sambil membantu orang-orang yang datang kepada mereka meminta nasihat. Sekolah macam apa yang akan menyetujui klub seperti itu?

Singkatnya: para heroine semuanya sibuk, jadi sangat wajar bagiku untuk mendapatkan tiket emas ke rumah Kaito. QED. Catatan: Kiryu Kyouka langsung pulang sendiri saat bel berbunyi. Sungguh, apa masalahnya sih? Mulailah berkelakuan baik, cewek!

TLN: Q.E.D. adalah singkatan dari frasa bahasa Latin Quod Erat Demonstrandum yang berarti "yang sudah dibuktikan" atau "yang sudah terbukti".

❤ ❤ ❤ ❤ ❤

 

“Hei, ayo masuk!”

Aku melangkah ke rumah Kaito yang mungkin kosong. Kedua orang tuanya tinggal di luar negeri untuk bekerja, meninggalkan seluruh rumah dua lantai mereka pada Kaito dan adik perempuannya. Tentu, ini adalah klise yang basi seperti halnya klise, tapi ini juga luar biasa, jadi kalian tidak akan melihatku mempertanyakannya.

Aku cukup sering datang ke rumahnya, tapi entah kenapa aku belum pernah benar-benar bertemu dengan adiknya, yang satu tahun lebih muda dari kami. Tampaknya dia bersekolah di sekolah yang sama dengan kami, dan karena dia anggota OSIS, namanya muncul sesekali. Namanya mungkin Hikari, atau semacamnya? Aku tahu kalau kau harus mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian masuk untuk bergabung ke OSIS sebagai anak kelas satu, jadi kupikir dia seharusnya adalah tipe siswa berprestasi. Karena kami berada di angkatan yang berbeda, aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk berhubungan dengan Ayase Kecil di sekolah, dan kegiatan OSIS-nya cenderung membuatnya tetap di sana melewati waktuku pulang ketika aku main ke rumahnya. Sejauh yang aku tahu, kami bahkan tidak pernah berpapasan.

“Mau main game?”

“Oke saja.”

Kaito memberikanku stik dan memuat game balap populer di TV-nya. Kami melakukan banyak hal saat nongkrong bareng—terkadang kami mampir makan dalam perjalanan pulang, terkadang kami hanya bermalas-malasan dan mengobrol, terkadang kami membaca manga bareng, terkadang kami bermain video game... Hal yang benar-benar biasa, sungguh. Kebetulan, konsol gamenya dipasang di ruang tamu, dan sofanya sangat empuk. Serius, sofa ini sangat nyaman; Aku menyukainya.

“Omong-omong, kau tahu kalau kita akan segera ujian, kan? Sudah belajar, Kaito?”

“Eh, sedikit.”

“Ya, ujian tidak pernah benar-benar membuatmu takut, ya?”

“Kurasa. Maksudku, Renge-san selalu membantuku belajar untuk ujian.”

“Apa kau bilang?! Maksudmu, kau diajar oleh ketua OSIS dari SMA Oumei kita tercinta dan pewaris Perusahaan Myourenji, Myourenji Renge?!”

“Kau benar-benar mengatakannya dengan lebay... Dan selain itu, kau juga selalu muncul di kelompok belajar kami!”

“Itu tidak ada hubungannya!”

“Hei! Lepaskan stik-ku, dasar curang!”

Mobil Kaito jatuh ke peringkat bawah. Namun, hanya ada satu kelemahan dalam strategi brilianku: Aku tidak bisa memperhatikan stikku sendiri saat aku mengacaukan stiknya. Aku terseret ke peringkat bawah bersamanya, dan kami finish dengan selisih tipis untuk posisi terakhir.

“Tidak mungkin... Apakah selama ini kau mengincar ini, dasar monster?!”

“Ayolah, bung, kau bunuh diri sendiri dan kau tahu itu.”

“Aku mau tanding ulang!”

Kaito memperburuk situasi, dan aku memberikannya tatapan mematikan saat aku memulai ronde baru lagi. Tapi, sebelum aku bisa menyelesaikannya, aku mendengar bunyi ceklek pintu ruang tamu terbuka.

“Kaito...?”

Itu adalah suara seorang gadis. Dia, entah bagaimana, terdengar agak murung dan begitu aku mendengarnya, aku merasa jantungku berdetak kencang.

“Oh, apakah itu kamu, Hikari? Kamu sudah pulang?”

Kaito tampak terkejut melihatnya. Namun, dia jelas adik perempuannya sungguhan… Tapi tidak, tentu saja tidak. Itu tidak mungkin.

“Ah…”

Gadis itu, Ayase Hikari, melihatku. Matanya melebar, dan aku cukup yakin kalau aku terlihat sama terkejutnya dengan dia.



“Oh, benar, kurasa ini pertama kalinya kalian berdua bertemu, ya? Ini temanku, Kunugi Kou. Kou, ini adik perempuanku, Hikari.”

“...Halo.”

 “Sudah kuduga—kau adalah pria yang tadi pagi…”

Sebagian dari diriku ingin bertanya apakah ibunya tidak pernah mengajarinya cara membalas sapaan yang sopan, tapi pada saat itu, aku bahkan tidak memiliki keinginan untuk bersikap bawel kayak gitu. Itu benar-benar bukan waktunya.

“Pagi ini? Apakah terjadi sesuatu?”

“Dia, um, kurang lebih sudah menyelamatkanku.”

Penjelasannya, dalam satu kata, singkat. Dia mungkin tidak ingin membicarakan detailnya, dan wajar saja, ya kan? Maksudku, deri segala macam masalah yang ada, dia malah jadi korban serangan brutal yang dilakukan oleh bapak-bapak bugil menjijikkan! Seragamnya cukup kusut, jadi kuduga dia langsung pulang setelah kejadian itu, ambruk ke ranjang karena syok, dan tidur sepanjang hari. Namun klise lain ditambahkan ke sini ... Maksudku, itu tidak sepenuhnya tidak terduga, sih, tapi ya ampun...

“Dia menyelamatkanmu? Kerja bagus, Kou, makasih.”

“Tidak, bukan masalah besar, kok.”

Astaga, kau akan berpikir kalau aku buruk dalam berkomunikasi sama orang lain! Biasanya aku akan jadi, kayak, “Apa kamoe bilang?! Apakah nona tjantik ini benar-benar saudara kamoe, Tuan Kaito?! Sesoengguhnya, wajahnya adalah wajah yang mampoe mengalihkan doenia; Akoe mungkin saja akan pingsan karena syok! Akoe mohon padamoe, wahai kakanda sang malaikat, izinkanlah rakyat jelata yang hina ini meminang adikmu! Suwer duwer!” atau sesuatu semacam itu, tapi aku bahkan tidak dalam mood yang cukup baik untuk bertingkah seperti itu.

Cewek dari pagi ini ternyata malah adik Kaito! Dengan kata lain, begitu aku menyatakan diriku sebagai Ayase Kaito, dia—yaitu, Ayase Hikari—tahu pasti kalau aku berbohong. Aku benar-benar malu. Maksudku, tingkat horor dan rasa malu yang setingkat kayak penjahat-terkutuk-yang-diarak-menuju-tiang gantungan! Bukan berarti aku pernah merasakan itu secara langsung, sih.

“Terima kasih banyak untuk pagi ini, Kunugi Kou-senpai.”

Setidaknya, dia tidak cukup gugup hingga melupakan namaku yang Kaito perkenalkan padanya, dan berterima kasih padaku dengan sopan membungkuk formal. Aku kebetulan memperhatikan kalau punggungnya benar-benar basah oleh keringat.

“S-Santai aja.”

Yeeep, ini buruk. Ini semua buruk. “Adik perempuan” adalah atribut yang benar-benar laku untuk heroine rom-com. Mereka memegang posisi sosial tanpa syarat di sebelah protagonis sejak mereka lahir, dan mereka sangat efektif melawan rasa harga diri protagonis, menumbuhkan dorongan yang tak tertahankan untuk melindungi mereka dalam segala keadaan!

Selain itu, dengan tingkat kelahiran Jepang yang benar-benar buruk akibat kemerosotan ekonomi dan negara yang berhasil beroperasi di bawah kebijakan satu-anak-per-keluarga yang dipaksakan sendiri, sosok adik perempuan secara bertahap menjadi spesies yang terancam punah! Tidak diragukan lagi, seorang adik perempuan akan menjadi tambahan yang sangat diperlukan untuk harem rom-com Kaito. Tentu saja, kenyataan kalau mereka memiliki hubungan darah membuat itu menjadi hubungan terlarang, tapi itu hanya meningkatkan kemungkinan kalau dia akan menjadi tsundere!

Meski begitu, jika adik perempuan protagonis akhirnya mengenal karakter latar yaitu sahabat protagonis, tanpa ada protagonis sebagai penengah, sangat mungkin bahwa para pembaca yang haus darah bisa memperlakukan dia layaknya lacur dengan sangat brutal, dan menjatuhkannya dalam pemungutan suara popularitas! Belum lagi soal betapa buruknya jika mereka malah berakhir dalam hubungan pasangan setelah figuran menyelamatkan sang adik dari tukang gila (memiliki bakat gila yang yang luar biasa, dia memanfaatkan kegilaannya dan menjadikan itu sebagai pekerjaan sehari-harinya). Ya, tidak ada pilihan; aku harus menenangkan diri... Ahem, ahem!

“Ups, baru ingat! Ada urusan lain yang harus dilakukan! Sampai jumpa!”

 Jalan berpikirku kacau balau, dan aku mendapati diriku beralasan untuk keluar dari situasi itu tanpa aku sadari. Aku cukup yakin kalau aku telah berhasil membodohi mereka dengan bicara cepat yang agak konyol itu. Melakukan gerakan seperti itu seharusnya menjadi hak istimewa protagonis, tapi saat-saat putus asa membutuhkan tindakan putus asa. Memang, aku berakhir dalam situasi yang tidak perlu dan sangat canggung ini hanya karena aku mengklaim nama Ayase Kaito untuk menipu adiknya, tapi jika aku tidak memuluskan semuanya dengan sedikit tipuan, aku tahu pasti kalau masalah akan menjadi sangat tidak terkendali.

Tapi kemudian—

—Hei, Koh. Maukah kamu bertemu dengan adikku kapan-kapan?

—Adikmu?

—Ya. Aku bercerita sedikit tentangmu, dan kurasa dia ingin bertemu denganmu secara langsung sekarang.

“Ukh!”

Sebuah gambaran yang jelas—sebuah adegan dari masa lalu—terlintas di benakku, dan rasanya seperti ada sesuatu yang mencoba merangkak naik dari lubuk hatiku dan menuju tenggorokanku. Aku menutup mulutku dengan tangan tanpa sadar. Melirik ke atas, aku melihat Kaito dan adiknya sama-sama menatapku dengan kaget.

“Whoa, hei! Ada apa, Kou?! Kau sangat pucat, dan kau berkeringat banyak…”

“Bukan apa-apa! Sampai nanti!”

Aku sama saja seperti melarikan diri dari rumah keluarga Ayase, berlari di jalan sampai aku menemukan sebuah taman. Aku berlari ke toilet umum, merosot di atas toilet, dan memuntahkan isi perutku.

—Hee hee! Kamu memang orang yang lucu, Koh.

Aku terengah-engah. Apa yang sebenarnya aku lakukan? Dia bukanlah dia. Dia tidak mirip seperti dia. Dia cuma adik perempuan seperti yang lain, dan hanya itu. Kenapa aku panik seperti ini...?

Tapi, entah kenapa...kenangan itu meluap kembali. Aku lari. Aku mencoba untuk melupakannya. Kupikir aku sudah lama lupa, tapi itu tidak mau berhenti. Itu bukanlah aku lagi! Aku bukanlah siapa siapa! Aku hanya karakter latar biasa yang tidak berguna, yang hanya ada untuk menjadi sahabat seseorang — aku hanya seorang figuran! Aku seperti lengkuas yang kau singkirkan ke pinggir piring dan tidak pernah kau makan!

—Koh, tolong...jaga...kakak...

 “AAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHH!

Aku berteriak. Yang bisa aku lakukan hanyalah berteriak. Entah itu deruan penyesalan, ketakutan, atau kemarahan, aku tidak tahu. Itu adalah luapan emosi yang murni dan kacau, meluap dari mulutku tanpa akhir.

Tiba-tiba, suara retakan tajam membuatku tersadar kembali.

Aku telah menghancurkan dudukan toilet dengan tangan kosongku.