[LN] Shinyuu Mob no Ore ni Shujinkou no Imouto ga Horeru Wake ga Nai Volume 1 Prolog Bahasa Indonesia

 

Prolog

 

UGRAAAAHHHHHHH!

Aku meringis, menjauh dari auman buas monster itu. Monster itu dipenuhi luka, basah oleh darahnya sendiri, namun ia tetap mengamuk: raja dari semua monster, Archfiend. Sebelum mendapatkan julukan itu, dia hanyalah seorang manusia seperti yang lainnya—bahkan manusia yang sangat baik hati.

Aku mendengar suara menelan ludah; Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari kalau suara itu berasal dari tenggorokanku sendiri. Gagang pedangku dibalut kain untuk mencegah darah membuat gagangnya menjadi terlalu licin, tapi sekuat apa pun aku berusaha, aku tidak bisa menghentikan ujung pedangku gemetar. Aku tidak tahu apakah tanganku gemetar karena ketakutan ataukah karena benci pada gagasan kalau aku harus berhadapan dengan dia. Jika itu karena benci, mungkin aku bisa menganggap itu sebagai tanda bahwa masih ada harapan yang tersisa pada rasa manusiawiku sendiri.

“Koh…!”

Aku mendengar suara sedih memanggil namaku. Itu adalah suara Alexion, seorang ksatria dan rekan seperjuangan yang menemaniku dalam perjalanan panjangku mengejar perdamaian. Dia dan teman-temanku yang lain sudah terluka parah. Aku belum pernah mendengar suara dua orang lainnya dalam beberapa waktu ini, tapi aku tidak punya waktu untuk memeriksa apakah mereka mati atau hanya tidak sadarkan diri. Aku menjaga pandanganku tetap fokus pada Archfiend itu saat aku memberikan isyarat tangan cepat pada Alexion, memerintahkannya untuk mundur.

Aku tahu aku akan terbunuh jika aku menunjukkan celah sekecil apa pun, tapi tentu saja bahkan celah yang sangat kecil dari mengirimkan satu isyarat tangan pun tidak lolos dari Archfiend. Matanya menyipit dalam tatapan penuh haus darah dan mengeluarkan raungan mengerikan lainnya, cukup kuat untuk mengguncang bumi itu sendiri.

“Ukh... Astaga, itu—”

Mataku melebar saat Archfiend menyatukan tangannya, mewujudkan bola energi sihir. Saat bola energi itu meluas, puing-puing di sekitarnya menjadi debu — aku benar-benar dapat melihat sekilas bahwa aku akan tamat jika aku membiarkan bola itu menyentuhku.

GRAAAHHH!

Makhluk itu melemparkan bola itu lurus ke arahku tanpa ragu sedikit pun. Jika aku menghindar, bola itu akan langsung menghantam teman-teman yang tergeletak di belakangku. Tidak ada waktu untuk berpikir—aku harus bertindak.

Extension Blast!"

Aku mengayunkan pedang suciku, mengukir garis horizontal sempurna di udara. Sambaran pedangku membentuk ledakan sihir sendiri yang melesat ke depan, bertabrakan dengan bola Archfiend tersebut dan meledak dengan hebat. Aku telah membunuh musuh yang tak terhitung jumlahnya dengan serangan ini dulu, namun yang paling bisa dilakukan oleh serangan ini sekarang adalah menghapus mantra Archfiend itu. Tapi tetap saja, aku terus maju.

“Haaaaaah!”

Aku berlari melewati tabir asap yang ditimbulkan oleh ledakan, memompa sihir murni mengalir di pembuluh darahku, dan menutup jarak dalam sekejap. Dengan itu, hasil pertempuran sudah diputuskan. Yang harus aku lakukan adalah mengayunkan pedangku untuk satu serangan terakhir, dan semuanya akan berakhir. Hanya itu yang diperlukan—atau begitulah menurutku.

GRAAAAH!

“Ukh?! Aaaah!”

Tangan Archfiend muncul di detik terakhir. Cakar yang panjang dan setajam silet (tentu saja dia tidak punya itu ketika masih manusia dulu) menembus bahuku. Rasa sakit yang mengaburkan dan kuat menembusku, menyakiti seluruh tubuhku seperti arus listrik. Itu sangat menyiksa sehingga aku pasti akan pingsan jika bukan karena perlindungan ilahi yang diberikan padaku sebagai Pahlawan.

Sakit, terbakar, tanganku gemetar, dan pikiranku mati rasa—tapi aku tidak bisa berhenti. Aku adalah seorang Pahlawan, dan merupakan tugasku untuk menjatuhkan musuh umat manusia dan memimpin dunia menuju perdamaian.

Setidaknya aku bersyukur karena bahu kiriku-lah yang telah tertusuk, membiarkan lengan dominanku masih berfungsi. Setidaknya, aku masih bisa mengayunkan pedangku. Lengan kiriku sudah tamat, tapi aku berhasil menggunakan kekuatan terakhir lengan kiriku untuk menangkap tangan Archfiend dengan cengkeraman maut.

GRAAAH?!

Dia mengayunkan lengannya dengan liar, mencoba menghempaskanku, tapi aku tidak akan melepaskan cengkeramanku semudah itu. Aku tahu kalau lenganku tidak akan berguna lagi seketika aku melonggarkan cengkeramanku. Aku tidak akan bisa mendekati Archfiend, apalagi menangkapnya lagi.

“Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Balrog!”

Aku memanggil nama monster yang kukenal saat dia masih manusia dulu. Balrog percaya bahwa kekuatan sihir dapat membawa keselamatan bagi orang-orang di seluruh dunia. Dia akan mencurahkan jiwa dan raganya untuk mengembangkan mantra baru dengan rasa gembira dan antusiasme, seperti seorang anak yang mendapatkan mainan baru, bekerja keras demi keluarganya dan orang-orang yang berharga baginya. Dia adalah sahabatku.

Namun pada akhirnya cita-citanya terinjak-injak. Semua yang dia cintai dicuri darinya, semua orang yang dia sayangi secara brutal, kejam, dan mengerikan dibunuh oleh keserakahan manusia. Dalam kemarahan dan kesedihannya, Balrog jatuh, tubuhnya berubah oleh sihirnya sendiri menjadi bencana alam seperti sekarang ini. Pikirannya hancur berkeping-keping, digantikan dengan keinginan kuat untuk memusnahkan umat manusia.

Kemungkinan besar, suaraku tidak bisa lagi menjangkaunya—kenapa? Suaraku adalah suara pria yang gagal melindungi semua yang dicintainya. Tapi tetap saja, aku tetap bersuara.

“Aku akan mengakhiri ini... Aku akan mengakhirimu, apa pun yang terjadi!”

GRAAAAAUGH?!

“Aku tidak akan pernah melepaskanmu! Seharusnya aku tidak pernah meninggalkanmu sendirian... Kamu mengajariku bahwa manusia bisa menjadi hangat dan baik, bahkan di dunia yang mengerikan dan menyedihkan ini. Tapi aku... aku tidak bisa ada untukmu di saat kamu menderita. Aku tidak bisa berada di sana ketika kamu membutuhkanku! Aku tidak mau memiliki penyesalan seperti itu lagi!”

Aku menangis, dan ketika penglihatanku kabur dan bergetar, rasanya seperti kesadaranku bagai telur diujung tanduk. Meski begitu, aku bertahan sekuat tenaga, kekuatan dari perasaanku memberikanku kekuatan yang aku butuhkan untuk terus maju.

“Aku ingin menyelamatkanmu, tapi aku tidak memiliki kekuatan seperti itu. Aku hanya bisa menghancurkan; mengubah monster kembali menjadi manusia di luar kemampuanku. Tapi itu tidak masalah. Aku tetap ingin menyelamatkanmu... Jadi aku akan melakukan semua yang aku bisa!”

—Koh.

Aku mendengar suaranya. Suara yang dia gunakan untuk berbicara.

—Terima kasih.

GRAAAAAAHHHH!

Tapi dia tidak berbicara lagi. Yang bisa dia lakukan hanyalah berteriak—ratapan hewan dari rasa derita, sedih, marah, putus asa, dan ribuan emosi lainnya yang bercampur aduk. Jeritannya mendorongku maju, dan aku membiarkan diriku terbawa oleh momentum, melompat ke arahnya dan mengayunkan pedang suciku dalam lamunan yang tak mementingkan diri sendiri. Pedangku menghantam dan aku membelah kepala Archfiend—kepala Balrog—membelah mulus seluruh tubuhnya menjadi dua.

—Sekarang akhirnya aku bisa bersama Lyra lagi.

Tubuh Balrog mulai hancur, larut menjadi debu. Dia akan mati seperti semua iblis lainnya.

—Maaf sudah membebanimu dengan ini.

“Sialan, dasar bodoh...”

Aku terhuyung-huyung ke depan, ambruk ke gunung debu yang dulunya adalah Balrog. Sungguh ironis bahwa abunya-lah yang menjadi bantalan saat aku jatuh, menghindarkanku dari rasa sakit karena ambruk dengan keras.

“Aku adalah seorang Pahlawan.”

Aku menangis. Air mataku keluar tak henti-hentinya, dan tak terkendali.

“Jadi ini memang sudah tugasku.”

Aku tidak bisa lagi mendengar suaranya. Aku bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar berbicara padaku, ataukah itu hanya khayalan dari imajinasiku.

“Kenapa...? Kenapa kamu harus menjadi Archfiend terkutuk?!”

Air mata mengaburkan pandanganku. Darah masih mengalir dari luka-lukaku yang tak terhitung jumlahnya dan aku nyaris tidak sadarkan diri. Meskipun begitu, aku mengerti dengan sangat jelas: Aku baru saja membunuh sahabatku.

Archfiend atau bukan, monster atau bukan, dia tetaplah sahabatku. Dan aku sudah membunuhnya... dengan kedua tanganku sendiri.