[LN] Jakushou Soshage-bu no Bokura ga Kamige wo Tsukuru made Volume 1 Chapter 18 Bahasa Indonesia
Chapter 18 - Memilih Jalan Berduri
Ketika Kai mengirim pesan pada Akane, dia langsung membalas. Tampaknya, seperti biasa, aliran waktu terasa cepat untuk ketua klub. Namun, “— Kekhawatiran, tidak perlu. Aku akan mengosongkan jadwalku dalam tiga hari,” adalah balasannya.
Pada hari Sabtu, empat hari setelah mengirim pesan itu, Akane tiba di Niigata.
Kai berjalan ke arah stasiun kereta sesaat setelah tengah hari dan menaiki tangga penghubung ke peron kereta peluru/shinkansen. Kemudian Kai menunggu di depan gerbang tiket sejenak. Ketika dia mendengar kereta datang dari Tokyo, sensasi terbakar akibat rasa cemas menyala seperti sumbu, yang merayap ke atas dari bagian bawah kakinya. Detak jantungnya semakin cepat. Pengusaha, beberapa pria muda yang tampak seperti mahasiswa, dan para keluarga bersama anak-anak mereka, naik eskalator untuk turun dari peron tinggi kereta. Kai menajamkan matanya untuk memastikan bahwa dia tidak akan melewatkan Akane, tapi Kai tidak perlu melakukan itu.
Di ujung paling belakang, Akane dengan hati-hati berjalan ke jalan setapak yang sekarang kosong. Langkah kakinya ringan dan tajam saat ia perlahan mendekat. Meskipun ini akhir pekan, dia masih mengenakan seragam SMA Tsukigase yang sama. Rambut hitam Akane yang panjang dan lurus sama seperti yang dalam ingatan Kai, dan sangat lurus yang tergerai sampai ke pinggangnya.
Kai khawatir rasa mualnya akan kembali menyerang ketika dia melihat Akane, tapi untungnya tidak begitu. Kai menyapanya, “Lama tidak bertemu... Ketua.”
Akane, tidak seperti biasanya, terkejut oleh sapaan Kai, dan matanya sedikit melebar. “—Formal, tidak perlu. Kau mengatakan sesuatu yang paling aneh.”
“Aneh?” tanya Kai.
“Aku bukan lagi ketuamu, kan?”
“...Benar juga.”
“Tidak perlu merasa berkecil hati,” kata Akane. “Aku tidak bermaksud menegurmu. Sebenarnya... Hm. Aku menantikan hari ini, hari di mana aku dapat berbicara denganmu sebagai Kurenai Akane.”
Kai tidak bisa merasakan sedikit pun kepalsuan dalam kata-katanya. Ketika keduanya pertama kali mulai saling berbicara, Kai baru saja menjadi pengguna tak dikenal dari LW. Dia mengirim pesan lewat tiket dukungan untuk menjelaskan isi pemikiran, analisis, dan permintaannya tentang setiap hal kecil sampai suatu hari, Akane menghubunginya. Begitulah cara dia bergabung dengan klub social game.
Keduanya meninggalkan stasiun dan menuju ke kafe yang direkomendasikan Misako kepada Kai atas permintaannya, di mana mereka memesan dua coffee blend lalu duduk. Setiap meja diatur seperti ruang pribadi, dengan dinding menghalangi pandangan meja di sebelahnya. Sepertinya ini adalah tempat yang tepat untuk mendiskusikan hal-hal rumit, dan Kai menyadari bahwa Misako mungkin sudah memikirkan hal itu ketika menyarankan tempat ini. Kai belum memberitahukan detail apa pun padanya, tapi Misako anehnya tanggap dalam situasi seperti ini. Kemungkinan Misako telah membaca sikap Kai.
Kopi mereka tiba setelah beberapa menit menunggu, dan mereka masing-masing menyesap satu teguk.
“...Cukup enak.” Akane menghela napas dalam-dalam, seolah ingin menikmati rasa kopinya sebelum lanjut bicara. “Hari ini, kamu datang untuk mendiskusikan masalahmu,” kata Akane. “Aku sangat sadar hal itu. Namun, aku juga memiliki masalah yang ingin aku diskusikan denganmu. Maafkan aku, tapi aku ingin kamu mendengarkanku terlebih dahulu.”
“Aku... mengerti,” kata Kai perlahan. Dia telah mempersiapkan diri untuk ini sebelum datang: bagaimanapun juga, orang yang lebih dulu mengirim surat, yang menunjukkan niatnya untuk berbicara adalah Akane. Kai tahu itu, dan dia tahu apa pun yang akan dikatakan Akane berada di luar kendalinya. Tapi, meski begitu, hatinya masih gelisah.
Anehnya, Akane memberinya senyum sedih. “Jangan membuat wajah kaku seperti itu,” katanya sedih. “Akulah yang gugup di sini.” Kemudian senyumnya menghilang dan berubah menjadi ekspresi tenang dan serius, yang mengingatkannya pada tembikar tanah. Skenario tak terduga itu membuat Kai tercengang.
“Aku benar-benar minta maaf,” kata Akane, rambut hitam panjangnya berayun ke depan saat dia menundukkan kepala dalam-dalam ke arah Kai. Mengabaikan keterkejutan Kai, Akane lanjut bicara, “Aku tahu semua yang terjadi. Aku tidak masalah jika kamu memilih untuk menyalahkanku, karena tanggung jawab keluarnya kamu dari sekolah kami adalah tanggung jawab klub... tanggung jawabku sendiri.”
“T-Tolong hentikan!” kata Kai memohon. “Itu bukan tanggung jawabmu… aku yang memilih untuk melakukannya sendiri. Aku tidak ingin kamu kemari dan meminta maaf seperti ini!”
“Permintaan maafku tidak mengubah apa yang telah terjadi,” lanjut Akane. “Kamu mungkin tidak menginginkannya, dan jika begitu, maka ini hanya untuk kepuasan diriku sendiri. Namun, aku... aku tidak ingin menjadi manusia yang bisa dengan masa bodohnya menjalani hari-harinya tanpa penyesalan—tanpa meminta maaf—mengetahui bahwa aku telah gagal menyelamatkan kolega dan teman yang penting.”
“Ketua…”
“Sudah kubilang,” ucap Akane mengingatkannya, “Aku bukan lagi ketuamu.”
Kai mendapati dirinya berjuang keras untuk memberikan tanggapan yang tepat atas permintaan maafnya. Terima kasih, ucap Kai dalam hati, sebelum menyadari bahwa berterima kasih pada Akane di sini mungkin salah. Maaf, pikir Kai selanjutnya, tapi meminta maaf padanya akan sama salahnya.
Berbicara kepada Akane tentang situasi pada saat itu akan menyebabkan kegemparan, dan Itou Haruka akan kehilangan tempatnya di klub. Yakin bahwa akan jadi begitu, Kai memilih untuk tidak bercerita pada Akane hari itu.
Namun, ada kemungkinan bahwa setelah mendiskusikan situasinya dengan Akane, Akane akan menemukan cara untuk membereskan masalahnya dengan rapi. Bagi Akane, baik insiden tersebut maupun tindakan Kai adalah kejadian di masa lalu; dia baru mendengar ceritanya setelah kejadian itu selesai.
Kai telah siap untuk disalahkan atas pilihannya... Kai tidak pernah menduga bahwa Akane akan meminta maaf. Dan... Akane memanggilnya kolega. Akane mengakui Kai. Kata-kata Akane memberinya perasaan bahagia yang sederhana namun mendalam.
“Namun, alasan aku menghubungimu bukan hanya untuk meminta maaf,” kata Akane selanjutnya.
“...Bukan hanya itu?”
“Biarkan aku langsung ke intinya. Apakah kamu tidak ingin kembali pada kami?”
“...Apa?” tanya Kai terkejut.
“Pembicaraan dengan sekolah telah diselesaikan,” jelas Akane lebih lanjut. “Semua masalah keuangan dan biaya semacam itu telah diselesaikan untuk tujuan proposal ini.”
“Apakah itu berarti…” Saat Kai mencoba untuk memilah-milah arus informasi yang Akane lemparkan ke arahnya, otak Kai jadi berasap. Entah bagaimana, Kai berhasil menggerakkan mulutnya untuk membentuk kata-kata, berkata, “Aku bisa kembali ke Tsukigase?”
“Benar,” angguk Akane. “Kami tidak dapat mempublikasikan kebenaran masalah itu tanpa persetujuanmu; jika kamu tidak menginginkannya, maka pengumuman publik hanya akan lebih berbahaya. Namun, jika kamu menginginkan hal seperti itu, maka kami berencana untuk mengungkapkan seluruh kebenaran kepada publik dan memperbaiki reputasimu yang telah rusak. Jika kamu memiliki kondisi tambahan, aku akan mewujudkannya.”
Bisakah kamu benar-benar melakukan itu? adalah pikiran pertama Kai, tapi dia kemudian ingat bahwa gadis yang duduk di depannya tidak lain adalah orang yang memimpin Klub Social Game SMA Tsukigase, Kurenai Akane itu sendiri. Fakta bahwa dia membuat tawaran seperti itu berarti pekerjaan di balik layar sudah diselesaikan. Untuk menerima kembali seorang siswa yang sudah pernah berhenti sekali pasti harus melakukan diskusi serius dengan orang-orang yang bertanggung jawab di sekolah, tapi sepertinya Akane juga telah menyelesaikan pekerjaan itu.
Satu-satunya yang tersisa adalah jawaban Kai. “Sebelumnya…” ucap Kai pelan.
“Ya?”
“...Kamu bilang aku masih kolegamu—temanmu. Itu membuatku sangat senang,” kata Kai mengakui, sambil berpikir, Dan itulah kenapa aku tidak akan ragu. Tiga wajah. Cerah, gaduh, dan kasar: ekspresi mereka yang biasanya muncul di benak Kai. “Aku juga punya teman yang ingin aku ikuti. Jadi... aku tidak bisa kembali.”
“...Begitu ya,” kata Akane.
“Kamu tidak ... tampak begitu terkejut.”
“Ketika aku menerima pesanmu, aku merasa bahwa tidak ada banyak harapan untuk membawamu kembali.” Senyum Akane tampak sedikit kesepian.
Pesan awal Kai untuk Akane berisi satu permintaan bantuan. Permintaan itu adalah yang terbesar dan satu-satunya cara agar dia bisa melawan takdirnya.
“Biarkan aku mengatakan ini sekarang,” kata Akane, merogoh saku baju seragamnya. Jari-jarinya yang ramping mengeluarkan satu memori USB, yang membuat suara gemerincing pelan saat dia meletakkannya di atas meja. “Aku berencana untuk membantumu dengan segala cara yang aku bisa.” Sebelum Kai bisa meraih dan mengambil USB, tangan Akane memotongnya dan dia menambahkan, “Tapi, apakah kamu yakin tentang ini?”
Tatapan Akane sedang mengujinya, dan Kai menatap balik langsung ke arahnya. “...Sebuah nama yang telah ternoda akibat pengembangan game hanya dapat dibersihkan dengan pengembangan game,” kata Kai perlahan. “Itulah sebabnya… aku akan membangun kembali Rondo.”
Sebelumnya, Akane telah menyatakan bahwa dia akan memperbaiki reputasi Kai yang rusak, yang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Tentu saja, Kai membutuhkan itu terjadi, tapi kesan mengerikan yang ditinggalkan oleh namanya sekarang tidak akan dapat terhapus hanya dengan sekedar sebuah pengumuman. Tidak peduli seberapa keras dia berteriak bahwa dia tidak bersalah, nama kotor yang beredar di internet akan menempel seperti noda yang tidak terpengaruh oleh mesin cuci.
Tidak ada cara untuk menghapus masa lalu—tidak ada cara untuk membuat hal itu tidak pernah terjadi. Kalau begitu, hanya ada satu hal yang harus dilakukan. Peringkat Rondo telah turun setelah insiden itu, dan Kai akan membangunnya kembali. Daripada menghapus pers negatif, dia akan menimpanya dengan kabar angin yang sangat positif. Kai akan membalik semuanya. OSIS tidak akan bisa mengatakan apa-apa tentang kelakuan buruk Shiraseki Kai. Dia yakin bahwa ini adalah jalan yang harus dia ambil.
“Jika kamu gagal, lukamu hanya akan bertambah dalam,” kata Akane memperingatkannya. “Apa kamu mengerti itu?”
Kai mengangguk dalam-dalam. Respon Kai bertindak sebagai kunci gerbang, dan Akane menjauhkan tangannya. Akane memberi isyarat padanya untuk mengambil USB itu, dan Kai mengambilnya.
“Semua data yang diperlukan telah dimasukkan,” kata Akane. “Jika ada hal lain yang kamu butuhkan, hubungi aku. Ini jelas merupakan data rahasia, jadi pastikan untuk membuangnya dengan benar.”
“Ya… Terima kasih banyak.”
“Satu hal lagi,” Akane melanjutkan. “Batas waktumu adalah dua minggu.”
“...Dua minggu,” kata Kai mengulangi.
“Sejak awal, kami berencana menggunakan pertemuan mingguan untuk membahas arah masa depan Rondo dalam waktu dua minggu. Ini adalah masalah serius bagi kami semua di Tsukigase. Aku tidak dapat mengubah jadwal untukmu... Aku harap kamu mengerti.”
“Aku mengerti,” katanya singkat.
“—Tekad, tak tergoyahkan. Respon yang bagus, Shiraseki. Aku menantikan proposalmu.” Setelah mengucapkan itu, Akane meninggalkannya dan kembali ke Tokyo.
◇
“K-Kai-kun, apa kamu yakin ini tak apa-apa...?” Kai mengangguk setuju saat Nanaka melihat ke arahnya. Nanaka menelan ludah kuat-kuat dan berkata, “Kita mulai...!”
Nanaka memegang palu di tangan kanannya, dan memancarkan rasa gugup. Perhatian penuhnya tertuju pada meja ruang klub, yang ditutupi koran dan ada kantong plastik yang berisi satu stik memori USB di tengah meja.
“Hyahhh!” jeritnya. Suara pukulan serta pecahan plastik dan logam yang tumpul mengiringi teriakan Nanaka dan bergema di seluruh ruangan. Getaran tumpul mencapai ujung jari Kai, saat dia duduk di depan laptopnya di meja yang sama.
“Oh,” Kai mengingatkan Nanaka, “pastikan untuk memecahkan bagian yang ada kepingan hitamnya.”
“Aku mengerti!” ujar Nanaka.
“Anggota rendahan klub yang bukan anggota resmi tidak berhak memerintah Nanaka seperti ini,” cibir Eru.
“Eru, tidak apa!” kata Nanaka meyakinkan. “Jangan khawatirkan dia, Kai-kun!”
Kai merasa dia mendengar Eru mendecakkan lidahnya dengan cukup pelan sehingga Nanaka tidak akan mendengarnya, tapi Kai bisa mendengarnya. Kai memutuskan untuk tidak mendengarnya juga, dan mengembalikan perhatiannya ke laptop di depannya.
Dia melihat data yang sudah diekstrak dari USB, yang sekarang dihancurkan Nanaka; informasi internal tentang keadaan Girls' Symphonic Rondo. File-file ini berisi semua data tentang keadaan Rondo saat ini: nilai KPI mencakup waktu setelah dia pergi dan waktu sebelumnya, dan ada dokumen yang telah ditulis oleh tim analisis data Tsukigase.
Mempertimbangkan bahwa itu adalah informasi rahasia tingkat paling tinggi, Kai harus sangat berhati-hati dalam penyebarannya. Dia tidak tahan pada pemikiran untuk membawa USB-nya kemana-mana dan melakukan kesalahan, jadi dia memutuskan untuk memindahkan semua data ke komputernya dan dengan cepat menghancurkan USB. Ada metode untuk memulihkan data bahkan setelah menghapus isi di dalam USB, jadi cara tercepat untuk menyelesaikan tugas ini adalah dengan menghancurkan USB-nya secara fisik. Kai cukup yakin itulah yang Akane maksud dengan, ‘Pastikan untuk membuangnya dengan benar.’
Buk, Buk, Bak, Bak, Krak, Krak. Kai mendengarkan suara usaha keras Nanaka sambil memeriksa dokumen dan menghela nafas tanpa sadar.
“Wah. Itu desahan yang dalam,” kata Aya.
“...Maaf.”
“Itu bukan sesuatu yang harus kamu mintai maaf, tapi aku tidak menyangka kamu akan mengambil risiko ekstrem tanpa rencana seperti ini.”
“Ya ampun, kau benar-benar giga-masokis,” kata Eru mengamati lagi.
“Itu lebih buruk dari sebelumnya…” kata Kai.
“...Dan? Senpai? Kamu masih tidak memiliki sesuatu yang ingin kamu diskusikan dengan kami?” saran Aya dengan tajam.
“Ada…” begitu banyak yang ingin aku diskusikan, pikir Kai, tapi data yang dia hadapi saat ini telah melumpuhkan otaknya.
Sejak kebocoran informasi, peringkat Rondo jatuh dari hari ke hari. Itu akhirnya jatuh pada titik di mana peringkatnya stabil — yang terdengar hebat, sampai kalian menyadari bahwa itu telah mencapai peringkat bawah.
Dilihat dari KPI-nya, masalah tersebut bermula dari penurunan penjualan yang sangat besar, yang langsung turun pada hari kejadian. Tidak ada jejak pendapatan yang terlihat sekarang. Penjualan mereka tidak sampai nol, tapi tampaknya satu-satunya pendapatan mereka adalah dari pengguna yang baru memainkan game yang menghabiskan uang, dan bahwa pengguna inti lama sudah lama berhenti melakukan pembelian.
Pengguna berhenti membeli, dan penghasilan mereka turun: siapa pun bisa mengerti sebanyak itu. Masalahnya adalah apa yang terjadi selanjutnya. Biasanya, alasan yang mendasarinya adalah seperti: ‘Pengguna berhenti bermain game dan dengan demikian jumlah pengguna aktif kami lebih rendah,’ atau ‘Kami belum mengadakan event menarik, sehingga tingkat pembelian per pengguna tertinggal.' Kemudian, dari sana, mereka dapat menguraikan dan menganalisis kenapa orang berhenti bermain, atau kenapa orang tidak menikmati suatu event.
Kai tidak bisa melakukan itu untuk Rondo. Meskipun penghasilannya kurang, basis pengguna Rondo tidak turun. Faktanya, jumlah penggunanya telah meningkat, yang mungkin karena badai besar dari liputan media yang menyertai kebocoran informasi tersebut. Retensi tidak menjadi masalah, karena banyak pengguna terus bermain bahkan setelah insiden itu. Namun, gacha-nya sendiri belum tersentuh.
Bahkan ketika karakter yang populer di antara pengguna inti dirilis, tidak ada sedikit pun pergerakan dalam penjualan Rondo. Sebelum skandal itu, mereka bisa memperkirakan peningkatan pendapatan yang besar dari event semacam itu.
Kai bisa paham jika mungkin saja basis pengguna tidak menganggap gacha tersebut menarik, tapi jelas bukan itu masalahnya: pengguna masih di sana, bermain Rondo. Tapi, karena ketidakpercayaan terhadap gacha—atau lebih tepatnya, manajemen game—mereka berhenti menghabiskan uang.
Itulah keadaan Rondo saat ini.
“Hmm... ini benar-benar sulit diatasi,” gumam Aya.
“...Dasar bodoh. Jika mereka tidak menyukai game-nya, mereka seharusnya menghapusnya,” kata Eru, mengejek basis pemain Rondo yang plin-plan.
“Jangan bilang begitu,” kata Kai padanya. “Jika mereka menghapus aplikasinya, itu adalah pukulan maut untuk kita…” dia harus senang karena masih ada pengguna yang tersisa.
“Apakah seluruh ketidakpercayaan itu ditujukan pada gacha?” tanya Nanaka dengan penasaran sambil terus memukul-mukul stik USB.
“Menurutku tidak salah untuk berasumsi begitu,” kata Kai setuju.
“Yah, sejak awal gacha Rondo sangat terkenal buruk karena kebrutalannya,” tambah Aya.
“Benar... begitulah.” Dilihat melalui kacamata sinis, keburukan itu dapat dianggap sebagai pencapaian tertinggi Ginjou sebagai direktur utama Rondo. Dia telah menerapkan satu sistem penghasil uang baru untuk mengambil tempat nomor satu Tsukigase sebagai miliknya. Kai telah terjebak dalam siklus kerja yang melelahkan dalam upaya mengimplementasikan event dan kampanye untuk menyeimbangkan filosofi manajemen Ginjou yang tidak ramah pengguna.
Aya mengetukkan tinju ke telapak tangannya. “Bagaimana kalau yang satu itu? ‘Guaranteed Gacha,’” sarannya. “Itu cukup umum, kan? Gacha di mana kamu harus membayar uang sungguhan, tapi setiap sepuluh tarikan gacha akan menjamin dapatnya salah satu unit paling langka. Jika sudah terjamin, maka kepercayaan tidak ada hubungannya dengan itu, kan? Meski itu bukan gayaku sih.”
“Itu bisa menjadi salah satu ide kita, tapi... Menurutku akan sulit untuk membuatnya berhasil.” kata Kai menjelaskan. “Itu tidak akan berarti apa-apa jika unit langka yang kamu dapatkan masih acak. Ditambah lagi, itu lebih merupakan solusi sementara. Itu hanya akan meningkatkan penjualan selama periode event tersebut dirilis... Dan kita tidak dapat melakukannya sesering itu.”
“Wah, benar juga. Bukan itu yang kita butuhkan saat ini,” kata Aya mengakui.
“Gacha itu sederhana, sayangku,” ucap Eru, memberikan opininya. “Jika karakternya imut, maka orang akan melakukan gacha. Menurutku, rencana yang sempurna adalah membuat ilustrasi baru yang sangat imut, hingga membuat orang jantungan. Lalu masukkan itu ke dalam game.”
“Pffffft,” kata Aya, pura-pura terkekeh. “Jika mereka jantungan, maka mereka tidak bisa me-roll gacha. Astaga, inilah alasan kenapa yang cupu gacha itu menyebalkan!”
“Aku tidak meminta pendapat seseorang yang dalam tengkoraknya tidak ada isi,” balas Eru.
“Itu benar,” renung Kai, pura-pura tidak mendengar mereka berdua bertengkar. “Menarik minat pengguna dengan gambar yang indah tidaklah salah... tapi tampaknya, mereka sudah pernah mencobanya dan gagal.”
Bukan berarti tim manajemen yang menangani Rondo saat ini sedang bermain-main. Dalam upaya putus asa untuk mengatasi situasi mereka saat ini, mereka mengalami fase di mana mereka menugaskan banyak seniman untuk menggambar karakter gacha. Tetap saja, penjualannya belum meningkat.
“Kalau begitu aku kehabisan ide,” kata Eru. “Jika kau duduk di sini dan mencari-cari kesalahan saran kami, maka aku yakin kau punya idemu sendiri?”
“Eru, jangan bilang begitu,” kata Nanaka memperingatkan.
“Tidak…” Dia benar, pikir Kai. Sejujurnya, perkiraan awalnya naif, terlalu naif. Dia tidak menyangka harus memeras otaknya untuk KPI yang tidak dapat diuraikan ini. Tapi jika dia memikirkannya secara mendalam, maka dia seharusnya sudah mengantisipasi ini. Orang-orang berbakat dari tim pengembangan Tsukigase telah memikirkan masalah ini secara menyeluruh dan masih menemui jalan buntu. Kai seharusnya sudah mengira akan berhadapan dengan tembok besar seperti ini.
Pelajaran yang pernah Kai pelajari dari Akane muncul di benaknya. - Kelakuan jahat, dilarang. Dalam keadaan apa pun, kau tidak boleh mengkhianati kepercayaan pengguna, Shiraseki. Apa yang kamu bangun dapat hancur menjadi debu dengan sangat mudah, dan tidak akan pernah kembali seperti semula. Social game yang telah kehilangan kepercayaan penggunanya tidak lebih dari sekam berlapis emas.
Sampai saat ini, dia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan betapa sulitnya mengelola social game yang tidak lagi dipercaya oleh pengguna. Berbicara secara harfiah; social game tidak memiliki bentuk fisik — dan ini sering merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan item yang diperoleh pengguna dalam social game — itu murni data digital. Tidak ada apa pun yang dapat kalian pegang di tangan, dan suatu hari, layanan game akan berakhir dan semuanya akan hilang tanpa jejak hingga ke angka satu dan nol yang pernah membangunnya. Alasan kenapa pengguna memainkan social game meskipun demikian adalah karena—mungkin secara tidak sadar—pada tingkat tertentu, mereka memercayai manajemennya. Membuat orang percaya pada nilai dari sesuatu yang tidak dapat mereka pegang dapat dikatakan sebagai prinsip dasar di balik social game.
Sekarang, untuk Rondo, fondasi itu goyah.
“Aku berhasil!” kata Nanaka, dan suaranya membawa Kai kembali dari pikirannya yang dalam. Nanaka memegang kantong plastik, yang di dalamnya ada sisa-sisa stik memori USB yang sudah dimusnahkan. Tidak salah lagi—tidak ada yang bisa mengekstrak data dari ini.
“Bolehkah aku melihatnya juga?” tanya Nanaka.
“Oh, tentu.” Kai menyodorkan laptop ke arah Nanaka, yang duduk di sebelahnya.
“Nana-sen, bisakah kamu memahami KPI sekarang?” tanya Aya.
“H-Hanya sedikit!”
“Tidak,” kata Kai tidak setuju. “Nanaka-san sekarang tahu lebih dari cukup kalau masalah hal-hal mendasar.” Setidaknya, gadis yang melihat DAU (Daily Active Users / Pengguna Aktif Harian) dan membacanya sebagai DAU (Dragon and Uncle / Naga dan Paman) sudah tidak ada lagi. Selain itu, saat ini Kai akan menerima bantuan dari siapa pun selama mereka membantunya memikirkan terobosan.
Klik, klik. Suara Nanaka menulusuri layar laptop terdengar. Setelah meluangkan waktu untuk memeriksa dokumen, matanya... entah kenapa, bersinar.
“Ini luar biasa!” serunya. “Ada begitu banyak orang yang bermain!”
“Y-Ya,” kata Kai setuju. Tanggapan Nanaka begitu lugas sehingga Kai tidak bisa menemukan hal lain untuk dikatakan.
“Jika mereka bermain, mereka pasti senang, kan?” tanya Nanaka. “Tapi masih belum ada penjualan…”
“Menurutku itu... kesimpulan alami,” kata Kai setuju sekali lagi. Jika game-nya tidak menyenangkan, maka jumlah pengguna akan sama hancurnya dengan penjualan. Itulah alasan kenapa situasi mereka saat ini sangat berantakan.
“Hmm…” Nanaka memiringkan kepalanya ke depan dan ke belakang saat dia melihat ke arah layar. “...Apakah menurutmu semua orang akan membayar jika sepuluh yen satu?”
“Nanaka...”
“Nana-sen...”
Tatapan Eru dan Aya jadi kosong sempurna secara bersamaan. Keduanya sering bentrok satu sama lain, tapi dalam situasi ini reaksi mereka sama.
“T-Tapi dengarkan aku dulu,” kata Nanaka membela diri. “Apakah kalian tidak pernah berpikir seperti ini saat kalian masih kecil: ‘Jika semua orang di Jepang masing-masing memberiku sepuluh yen, maka aku akan menjadi jutawan!’ Benarkan?”
“Nanaka...”
“Nana-sen...”
“Astaga! Kalian berdua sangat kejam!” Nanaka menggembungkan pipinya dan tiba-tiba menoleh ke arah Kai. “Kai-kun, kamu pernah memikirkan itu sebelumnya, kan?!”
“...Umm……”
“Ah, itu sepertinya tidak,” kata Aya.
“Itu adalah wajah seseorang yang terlalu pesimis untuk berpikir ada orang yang akan memberinya uang,” tuduh Eru.
Memangnya wajah seperti apa itu? Kai bertanya-tanya. Meski begitu, pengamatan Eru sebaliknya tepat, jadi Kai tidak bisa mengatakan apa pun untuk membela diri.
“Abaikan jutawannya, seperti yang Nanaka-san katakan, fakta bahwa kita memiliki banyak pengguna aktif sungguh menakjubkan, dan faktanya, itu...” tidak... salah... sama sekali. Benar juga, Kai sadar. Itu menakjubkan.
Sebelum dia bisa mengatakannya, Kai merasakan sesuatu meledak dan melintas di benaknya. Itu dia, pikirnya. Mereka sudah memiliki banyak pengguna aktif. Banyak orang memainkan game mereka. Dalam dan dari dirinya sendiri, itu adalah sesuatu yang layak dipuji. Selain itu, pengguna tidak langsung berhenti; kebanyakan dari pengguna masih bermain.
...Mungkin dia telah berpikir terlalu keras dan menggali pencerahannya lagi.
“...Kai-kun? A-Apakah saranku seburuk itu...?”
Dia menggelengkan kepalanya untuk tidak setuju pada kekhawatiran Nanaka. “Nanaka-san, karenamu... kupikir aku sudah mendapatkannya,” kata Kai. “Ini adalah ide skala besar, jadi aku yakin itu akan sangat merepotkan, dan itu akan memakan banyak waktu... tapi jika kalian semua tidak keberatan—”
“Kai-kun.” Nanaka menggembungkan pipinya dengan sengaja saat dia memotong perkataan Kai. “Ini adalah Klub Social Game SMA Meikun.”
“B-Benar,” kata Kai setuju.
“Kita adalah teman,” kata Nanaka tegas.
“... Iya.”
“Jadi, jangan ragu untuk bicara saat kamu membutuhkan bantuan kami. Benarkan?” Nanaka berbalik untuk menegaskan kembali pernyataannya dengan yang lain, dan kedua gadis yang lelah itu berkata, ‘Ya ampun, kepribadianmu menyebalkan,’ tertulis di seluruh wajah mereka.
“...Maaf,” kata Kai. Mereka punya waktu sampai Jumat depan: apakah dia bisa mengubah ide terobosannya menjadi rancangan yang meyakinkan atau tidak hanyalah masalah waktu.
“Aku baru saja memikirkan ini,” Kai mulai menjelaskan selanjutnya, “tapi dengarkan aku…”
Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya
Post a Comment