[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Chapter 4 Bahasa Indonesia

 

Chapter 4: Ungkapan Perasaan

 

Keesokan hari, dan aku ada di sekolah seperti biasa. Aku membuka loker untuk mengambil beberapa barang, tapi aku melihat ada sesuatu yang sebelumnya tidak ada di sana.

“Apa-apaan ini?”

Ada surat di dalamnya; Aku mengambil surat itu dan memeriksa kedua sisinya. Kedua sisinya benar-benar kosong. Karena surat ini ada di dalam lokerku, aku tidak dapat berasumsi bahwa itu tanpa sengaja berakhir di sini karena kesalahan. Aku akan membuka dan melihat isinya saja.

“Temui aku di belakang gedung olahraga saat istirahat makan siang,” bunyi surat itu dengan tulisan tangan yang sangat indah.

Ini pasti semacam lelucon. Ini bukan pertama kalinya aku menerima surat kaleng seperti ini, tapi itu selalu berakhir dengan aku yang berdiri diam ketika aku pergi ke tempat yang disebutkan surat itu. Jadi pengirimnya ingin aku menemui mereka di belakang gedung olahraga, huh? Karena ini jelas merupakan salah satu surat palsu yang mencoba menipuku, aku akan mengabaikannya. Aku memasukkan surat itu ke dalam tas, memakai sepatuku yang lain, dan pergi ke kelas.

Saat aku masuk, suara obrolan di kelas menghilang. Meski itu hanya berlangsung satu atau dua detik — semua orang kembali ke percakapan mereka masing-masing bahkan sebelum aku mencapai tempat duduk. Sampai tahun lalu, kelas akan terdiam dan tetap seperti itu sampai guru tiba. Untungnya, itu tidak terjadi tahun ini.

“Pagi, Yuuji.”

“Yo.”

Pria di sana yang baru saja menyapaku dengan senyum paling cerah adalah Ike Haruma. Dia tampan, atletis, cerdas secara akademis, dan sangat populer di kalangan siswa dan guru di sini. Terlebih lagi, dia adalah ketua OSIS kami — dia adalah sosok yang paling dekat dengan pahlawan super. Aku menganggapnya sebagai pemeran utama yang jelas dari kisah ini. Maksudku, memangnya siapa lagi? Dia juga salah satu dari sedikit teman yang aku miliki. Kupikir dia satu-satunya orang seusiaku yang dapat berbicara langsung kepadaku.

“Pagi, Tomoki.”

Ups, koreksi. Aku lupa tentang teman baruku sejenak. Namanya Asakura Yoshito, seorang anggota klub bola voli. Kami bertemu belum lama ini melalui acara yang diselenggarakan oleh OSIS. Meskipun pada awalnya dia takut padaku sama seperti yang lain, dia dapat mengenalku sedikit lebih baik. Sekarang, kukira kami berada pada tahap di mana dia dapat berbicara kepadaku seolah-olah aku orang normal.

“Hei,” jawabku.

“Ada apa, Yuuji? Kamu tidak terlihat ceria hari ini,” kata Haruma.

Bagaimana bisa dia menyadari itu? Apakah terlihat jelas kalau aku agak tidak bersemangat?

“Seriusan? Dia tampak seperti biasa,” jawab Asakura cepat.

Tentu saja dia orang pertama yang akan menyadarinya — Aku dan Ike sudah saling kenal cukup lama. Ditambah, dia sangat tanggap secara umum.

“Sepertinya aku sedikit kesal, ya,” gumamku.

Ada dua alasan kenapa suasana hatiku memburuk: pertama, sesuatu tentang surat itu. Sebagian dari diriku ingin mengabaikannya, tapi sebagian dari diriku berharap bahwa mungkin — untuk kali ini — itu bukanlah lelucon. Kedua, seseorang memelototiku sejak aku masuk ke kelas. Seseorang itu tidak lain adalah Hasaki Kana. Dia cenderung mengawasiku setiap kali aku berada di kelas, tapi hari ini, itu terlihat lebih jelas dari biasanya. Aku belum pernah melihatnya begitu terpaku padaku sebelumnya. Itu agak menjengkelkan.

Aku tahu bahwa dia tidak begitu menyukaiku, meskipun dia agak menghormatiku dengan caranya sendiri. Tetap saja, itu tidaklah menyenangkan untuk dilihat seperti kau adalah benda pajangan di museum.

“Kau menemukan surat di dalam lokermu?” tanya Ike tiba-tiba.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku mengambil surat itu dari tas dan menyerahkan itu padanya. Asakura juga memeriksanya.

“Tidak ada nama pengirim, ya? Isinya hanya mengatakan untuk menemui mereka di sana… Mungkin itu prank?” tanyanya dengan curiga.

“Ya, menurutku juga begitu. Aku mungkin akan mengabaikannya,” kataku.

“Ya, bung, jangan khawatir tentang itu,” Ike meyakinkanku.

Aku harus bilang, sangat menyenangkan bisa melakukan percakapan normal seperti ini dengan orang lain. Ike memeriksa surat itu lagi dan sepertinya menyadari sesuatu.

“Tulisan ini…,” dia berbisik saat dia melihat ke ujung kelas.

Aku mengikuti pandangannya dan akhirnya bertemu dengan mata Hasaki. Huh? Aku membuang muka, tapi apakah itu benar-benar yang Ike lihat? Dia pasti sedang melihat orang lain, kan?

“Uh… sebenarnya, Yuuji, aku tidak bisa benar-benar memberitahumu dari siapa surat ini, tapi menurutku kamu harus menanggapi ini dengan serius,” katanya.

Huh, aneh dia berubah pikiran begitu cepat. Siapapun penulis misterius itu, dia pasti menghormati mereka — dia kelihatannya senang sekarang. Aku tahu Ike suka membantu orang lain, jadi aku hanya bisa berasumsi bahwa surat itu asli. Bagaimanapun, dia adalah pemeran utama cerita ini; jika dia bilang bahwa aku harus pergi, maka aku akan melakukannya.

“Tentu, kenapa tidak?” Kataku. Ike menghela nafas lega.

“Kamu tahu ini dari siapa?” tanya Asakura.

“Ya. Surat itu asli. Pengirimnya bukanlah seseorang yang akan melakukan hal seperti itu,” jawabnya.

“Baiklah, jika kamu berkata begitu, Ike,” jawab Asakura dengan mengangkat bahu. Dia tidak mendesak topik itu lebih jauh — itulah seberapa besar dia mempercayai Ike.

Bel berbunyi, dan semua orang duduk. Sepertinya aku akan menunggu sampai istirahat makan siang.


Setelah jam pelajaran pertama selesai, aku mengeluarkan ponselku dan mengirim SMS ke Touka tentang rencanaku.

“Maaf, tapi sore ini aku akan sibuk. Makanlah bersama temanmu atau sebagainya,” ketikku. Saat aku hendak memasukkan kembali ponselku ke saku, balasan Touka langsung tiba. Dia mengirimiku salah satu emoji mengerikan itu. Kali ini, itu adalah wajah merah marah dengan gelembung kecil bertuliskan “Huh?” Diikuti dengan teks: “Knp km mlkukan itu? Ak tdk ingin mkn siang tnpmu?”

Aku minta maaf karena ada hal lain yang harus aku lakukan untuk kali ini. Aku tahu dia ingin memanfaatkanku sehingga para pria tidak mengganggunya dan sebagainya, tapi ayolah, berikan aku sedikit kelonggaran, oke? Ini hanya untuk sehari. Dia sangat populer, jadi aku yakin ada banyak orang yang ingin makan bersamanya. Ditambah lagi, dia benar-benar perlu memiliki teman di kelasnya. Teman sejati. Namun, memangnya aku siapa bisa berbicara seperti itu? Aku hampir tidak punya teman!

“Maaf,” jawabku.

Dia langsung mengirimiku emoji lagi. Kali ini, bukannya marah, itu karakter kecil jelek yang sedih.

Uh, bagaimana aku harus menanggapi ini? Aku berharap dia menggunakan kata-kata daripada emoji… Oh, tunggu, dia sedang menulis sesuatu sekarang.

“Ak hny akn menunggu di atap ok? Selesaikan ursnmu dgn cpt & temui aku stlh km selesai!”

Setidaknya, aku senang dia sangat ingin bersamaku.

“Oke,” jawabku singkat. Aku tidak terlalu memikirkannya. Aku hanya ingin mengakhiri percakapan secepat mungkin. Ngomong-ngomong, kurasa sudah waktunya pergi ke gedung olahraga.

“Yuuji!” panggil Ike tepat sebelum aku meninggalkan kelas. Ada apa dengannya? Dia terlihat sangat merasa bersalah sekarang, itu sedikit konyol.

“Kupikir semuanya akan baik-baik saja, tapi untuk jaga-jaga… Jika sesuatu yang buruk terjadi, telepon saja. Oke?” katanya.

“Tentu. Akan kulakukan. Ngomong-ngomong, aku pergi dulu untuk melihat tentang apa semua ini,” jawabku.

“Baguslah,” jawabnya, terdengar lebih percaya diri dari sebelumnya.


“Aku benar-benar minta maaf karena kamu harus repot-repot datang ke sini tiba-tiba.”

Ternyata Hasaki Kana lah yang menungguku di belakang gedung olahraga. Dia sangat serius sekarang, tidak seperti biasanya, jadi aku hanya mengangguk untuk mendesaknya melanjutkan tujuannya. Sayangnya, dia terdiam.

Yah, ini canggung. Aku sempat berpikir ini akan menjadi lokasi utama untuk pengakuan cinta seperti yang ada di cerita cinta, tapi aku benar-benar berpikir berlebihan. Jangan terlalu terburu-buru di sini. Momen keheningan berlangsung untuk beberapa saat sampai dia tiba-tiba berkata dengan ekspresi penuh tekad di wajahnya, “Maafkan aku, tapi bisakah kita mulai sebagai teman dan melihat bagaimana keadaan akan berkembang dari situ?!”

Tunggu, apa? Kau bercanda kan?

Itu sudah cukup mengherankan bahwa dialah yang menulis surat itu, tapi aku tidak pernah membayangkan kalau dia melakukan itu sehingga dia bisa mem-friendzone-kanku tanpa menyatakan cinta terlebih dahulu.

Aku sungguh bingung. Ini adalah hal terakhir yang aku perkirakan.

“Apa?”

Aku tetap diam, dan Kana menutup matanya dan sedikit gemetar.

“Hasaki…”

“Y-Ya?” dia berhasil mencicit.

“Apakah kamu baru saja mem-friendzone-kanku?”

“Huh?” bisiknya, bingung.

“Apa?” tanyaku, menambah kebingungan.

Keheningan canggung lainnya berlangsung di antara kami. Sekali lagi, Hasaki-lah yang memecahkan keheningan. Dia, dengan jelas bingung, menggelengkan kepalanya dengan ringan dan berkata,

 



“M-Mem-friendzone-kanmu? Huh? Maksudmu aku melakukan itu padamu, Tomoki-kun? A-Aku hanya bermaksud untuk meminta maaf atas semua yang terjadi di antara kita. Aku memang bilang kalau kita sebaiknya mencoba menjadi teman, kan?”

Dia sepertinya baru sadar apa yang sebenarnya dia katakan sesaat setelah dia selesai berbicara, karena dia mulai panik.

“Oh, tunggu… A-Apakah aku sebenarnya baru saja…? T-Tunggu, tidak mungkin!” dia menjadi gugup.

“Um, Hasaki?”

“Tidak! Aku tidak bermaksud seperti itu! Itu bukan alasanku meminta maaf! Aku baru saja berpikir bahwa karena kita tidak dalam hubungan yang baik akhir-akhir ini, aku ingin meminta maaf karena memperlakukanmu dengan sangat buruk! D-Dan aku…! B-Bagaimanapun! Aku tidak memiliki keberanian untuk menolak seorang pria sebelum dia mendapat kesempatan untuk menembakku, oke?! Jadi, bukan itu maksudku!” teriaknya dengan air mata berlinangan di matanya.

“Oke, sekarang masalah permintaan maaf sudah selesai, kalau begitu, bagaimana dengan keseluruhan bagian ‘Bisakah kita mulai sebagai teman dan melihat bagaimana segala sesuatunya berjalan dari sana’ itu?”

“Oh, itu. Uh, yeah, itu kurang lebih seperti yang kubilang…” gumamnya dengan gemetar.

“Aku tidak mengerti kenapa kamu begitu ingin menjadi temanku.”

Matanya semakin basah pada komentarku. Aku yakin dia tidak punya argumen untuk membalasku.

“A-Aku selalu ingin menjadi temanmu.”

“Ya, maaf, tapi aku tidak mempercayai itu. Setiap kita bertemu, wajahmu selalu merah padam, dan kamu memelototiku. Cukup jelas bahwa kau sangat tidak menyukaiku,” balasku.

Wajahnya memerah seperti yang aku katakan. Kurasa mengatakan kesalahannya seperti itu terlalu memalukan untuk bisa dia tangani.

“A-Apa?! Kamu menyadari itu?! A-aku hanya…! Aku tidak pernah, um, memandangmu dengan cara yang buruk! Ya, memang benar aku menjadi semerah  tomat setiap kali aku melihatmu, tapi tetap saja!” dia tergagap sambil gelisah.

“Kalau begitu, kenapa kau sering menatapku?”

“Itu karena… Yah, aku…”

Dia tak bisa berkata-kata. Setelah sekali lagi momen keheningan yang canggung itu, dia tiba-tiba menjadi bersemangat dan mengatakan, “Aku melihatmu karena… karena itu membuatku malu! Aku belum pernah melihat pria setampan dirimu, Tomoki-kun!”

…Tunggu, apa-apaan itu? Apakah aku tidak salah dengar? Apakah dia berbohong? Mungkinkah itu semacam lelucon? Jika ya, aku tidak akan tertawa! Bagaimana bisa dia menganggapku menarik? Aku yang disebut kriminal sekolah ini! Kupikir pria seperti Ike akan menjadi tipenya.

Ya, itu dia — dia pasti berbohong. Tapi kalau begitu, apa yang dia mau? Satu-satunya hal yang dapat kupikirkan adalah memanfaatkanku untuk mendekati Touka. Lagian, aku adalah “pacarnya”. Dia terlihat sangat gelisah sekarang, dan itu tidak mengherankan. Aku menyadari maksudnya; Aku tidak akan mempercayai kebohongannya.

“Beritahukan padaku sesuatu, Hasaki — apakah kamu pernah berhasil berbaikan dengan Touka?”

Ekspresinya berubah saat aku menyebut Touka, dan dia membuang muka.

“Tidak, semenjak saat kita semua makan bersama dan aku meminta maaf. Aku belum mendapat kesempatan untuk berbicara dengannya setelah itu…” katanya, memaksakan senyum.

Oh, aku mengerti sekarang. Aku mengerti kenapa dia ingin menjadi temanku. Semua ini palsu. Dia bahkan rela berbohong demi mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan apa yang sebenarnya dia inginkan? Jelas bukan berteman denganku, itu sudah pasti. Yang aku yakini adalah bahwa dia ingin memanfaatkanku untuk mencapai tujuannya… apapun itu.

“Tapi kenapa kamu bertanya padaku tentang dia?” tanyanya, masih terlihat sangat gelisah.

Tujuannya sangat jelas. Dia ingin berteman dengan Touka lagi, dan dia bersedia memanfaatkanku sebagai batu loncatan untuk mencapai hal itu.

“Oh, aku tahu!” teriaknya tiba-tiba, mengganggu jalannya pikiranku. “Kamu tidak perlu melakukan itu. Maksudku, hanya jika kamu tidak masalah dengan itu, tapi…”

Dia memiliki tampilan luar yang imut dan kikuk, tapi siapa sangka dia diam-diam  sangat cerdik dan licik?

“Aku suka jika aku bukan hanya temanmu, tapi juga teman Touka. Jika kamu dapat membantu kami kembali akur, aku akan sangat senang! Hanya jika kamu tidak masalah dengan itu!” teriaknya sambil menatap lurus ke mataku. Dia lebih teguh dari yang pernah aku lihat. Dia akhirnya gelisah dan menganggap diamku sebagai kata tidak.

“A-Aku tahu kamu tidak mau melakukan itu… kan?” katanya dengan ragu-ragu.

Aku sedang memikirkan jawabanku sekarang. Hubungan macam apa yang mereka miliki dulu? Touka menyebutkan bahwa mereka akrab sampai “seseorang” masuk SMP. Sekarang aku sangat penasaran untuk mendengarnya dari sudut pandang Hasaki.

“Apakah kalian berdua sebelumnya akrab?” tanyaku.

Dia menjawab dengan ekspresi sedih, “Mhm. Rumah kami dekat, jadi kami dulu sering nongkrong bersama. Aku selalu akrab dengan Haruma, tapi aku dan Touka… yah, lagian juga kami berdua perempuan, kan? Jadi kami sangat akrab. Kami dulu seperti kakak adik, lho?”

Saat menyebutkan mereka sedekat kakak adik, ekspresinya berubah, dan dia menyeringai lebar. Sial, seberapa dekat mereka? Siapa yang bisa menduga Touka memiliki seseorang yang bisa dia sebut “Mbak?” Mungkin aku hanya tidak punya banyak imajinasi, tapi aku tidak bisa membayangkan Touka bertingkah imut dan manis seperti itu.

“Yah, sampai aku masuk SMP,” katanya muram. Sampai beberapa saat yang lalu, dia tampak sangat bahagia. Sepertinya ceritanya sangat mirip dengan Touka.

“Apa terjadi sesuatu yang membuat kalian berdua semakin merenggang?”

Dia ragu-ragu sejenak sebelum menjawab. “Apakah Touka-chan mengatakan sesuatu?” tanyanya.

“Yang dia katakan padaku adalah kalian berdua memiliki hubungan yang baik dulu. Tidak ada yang lain,” jawabku.

“Jika begitu, aku juga tidak akan mengatakan apa-apa. Aku harap kamu tidak keberatan. Jika dia tidak memberitahumu, maka aku juga merasa tidak nyaman membicarakan hal itu. Aku sadar aku meminta bantuan besar darimu, dan aku bersikap tidak adil dengan tidak memberi tahumu seluruh situasinya, tapi…”

“Maksudku, jika kamu tidak ingin membahasnya lebih dalam lagi, lebih baik jangan. Jangan dipikirkan.”

“…Oke, terima kasih,” katanya dengan sedikit tersenyum.

Huh, mereka berdua bereaksi dengan cara yang hampir sama tentang topik ini.

“Izinkan aku menanyakan satu hal — aku tahu kau melakukan ini agar kau bisa akrab dengannya lagi. Aku mengerti itu. Tapi kenapa kau tidak mencobanya sendiri?”

“Aku selalu ingin memperbaiki keadaan di antara kami, tapi setiap kali aku mencoba mencari cara agar kami bisa akur lagi, aku tidak mendapatkan ide. Aku sempat berpikir untuk melibatkan Haruma, tapi pada akhirnya aku tidak melakukannya. Dia dan Touka-chan juga tidak akur, jadi itulah yang terbaik.”

Mereka memiliki jaringan hubungan yang cukup kusut, mereka bertiga. Jadi tampaknya, pada dasarnya dia ingin melakukan sesuatu, tapi dia tidak dapat memikirkan apa pun, dan terus seperti itu selama bertahun-tahun hingga sekarang. Pada akhirnya Hasaki tidak bisa berbuat apa-apa.

Tapi ada satu faktor yang ditambahkan sejak Touka masuk SMA — yaitu aku. Mungkin dia tidak ingin melibatkan Ike, tapi aku pacarnya Touka. Segalanya bisa berjalan berbeda denganku. Kurasa itu adalah apa yang dia incar?

Aku minta maaf karena menjadi pembawa kabar buruk, tapi sebenarnya aku bukanlah pacar Touka, meskipun dia berpikir sebaliknya. Aku sadar bahwa aku dan Touka memiliki hubungan saling percaya, tapi itu pun ada batasnya. Aku tidak berpikir bahwa salah satu dari kami saling percaya sepenuhnya, dan memang seharusnya begitu.

Yah, bukan berarti hal yang ingin dia capai itu hal yang mustahil. Seharusnya ada cara untuk melakukannya. Setidaknya itulah yang aku pikirkan.

“Oke, Hasaki. Aku akan membantumu,” kataku.

Setelah mendengarkan cerita dari kedua pihak, aku telah mengambil keputusan. Aku ingat bagaimana Touka tersenyum, meski hanya sedikit, saat dia memberitahuku tentang hal itu. Aku pikir mungkin, jauh di lubuk hatinya, dia juga benar-benar ingin memperbaiki hubungannya dengan Hasaki. Mungkin aku seharusnya tidak ikut campur dalam kehidupan mereka. Maksudku, itu bukan urusanku. Tapi jika aku bisa melakukan sesuatu untuk membantu mereka kembali akrab, agar mereka kembali ke masa-masa di mana mereka memperlakukan satu sama lain seolah-olah mereka saudara, maka aku akan mengambil risiko dan melibatkan diriku ke dalam kekacauan ini.

“S-Sungguh?!” teriak Kana dengan semangat, dengan senyum berseri-seri yang menyertainya.

“Ya, sungguh,” jawabku dengan anggukan. “Aku juga ingin Touka bahagia, tahu?”

Sejujurnya, dia dan Hasaki sangat mirip dalam hal mengekspresikan emosi mereka. Hasaki terlihat bingung.

“Apa?” tanyaku.

“Oh, tidak ada. Hanya saja caramu mengatakan itu terdengar saaaaangat mencurigakan,” katanya dengan tatapan tajam.

Astaga, apa dia benar-benar tidak ada masalah denganku? Dia bilang dia tidak membenciku, tapi ada apa dengan tatapan itu? Itu hanya membuatku ragu bahwa dia memang ingin menjadi temanku. Lucu sekali bagaimana dia mau memanfaatkan seseorang yang dia benci hanya untuk berteman dengan seseorang yang saat ini membencinya. Dia pasti sangat mencintai Touka, huh?

“Ngomong-ngomong, kurasa sekarang kita berteman, kan? Kuharap kita bisa akrab, Tomoki-kun.”

“Tentu, begitu pun aku.”

Dia mengeluarkan ponselnya saat aku menyelesaikan kalimatku.

“Huh?” seruku. Dia melihat aplikasi chatting. Apa yang sebenarnya dia lakukan?

“Uh… Oh, benar! Ayo bertukar nomor HP! Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu!” serunya.

“Oh, jadi itu sebabnya kamu mengeluarkan ponsel. Tentu.” Aku mengeluarkan ponselku juga, dan kami bertukar nomor. Ngomong-ngomong, penting untuk dicatat bahwa ini adalah pertama kalinya aku bertukar nomor HP dengan gadis sebayaku.

“Daaan selesai. Aku akan mengirimkan beberapa pesan nanti, jadi pastikan kamu menjawabnya. Jangan hanya dibaca, oke?” katanya sambil terus mengutak-atik teleponnya.

Dia terlihat tidak terlalu antusias dengan semua ini, jadi aku juga tidak terlalu senang. Apa yang sedang terjadi? Apakah dia benar-benar ingin tetap berhubungan denganku? Ekspresinya saat ini memberitahuku kebalikannya, tapi tetap saja…

“Tentu, aku akan membalas saat kamu mengirimiku pesan,” jawabku.

“Baguslah!” katanya dan mendesah lega.

Oh yah, masa bodohlah. Bagaimanapun, aku dan Hasaki sekarang adalah “teman”, kurasa, meskipun itu hanya untuk membantu satu sama lain mencapai tujuannya masing-masing.

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya