[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Chapter 3 Bahasa Indonesia
Chapter 3: Hubungan Vertikal
Sekolah hari ini selesai, jadi aku dan Touka bertemu untuk pulang sama-sama. Seperti biasa, aku mendapatkan lirikan penasaran dan tatapan tak ramah dari orang-orang yang masih sakit hati karena aku bersama Touka. Aku rasa itu adalah bagian dari keseluruhan paket — Penampilan, kecerdasan, dan kepribadian Touka yang ramah telah membuat dia menduduki puncak piramida hierarki sekolah. Dia orang terkenal, sama sepertiku; meskipun kalian mungkin akan bilang bahwa aku terkenal karena sebab yang salah. Aku kebalikan total dari Touka. Aku terlihat menakutkan dan, yang lebih parah lagi, aku tidak pernah benar-benar belajar untuk mengasah keterampilan sosialku. Aku sering menyendiri, jadi aku diberikan label “kriminal” di sekolah. Akibatnya, ada banyak rumor yang beredar tentangku.
Aku melihat ke arah Touka, mencoba menilai reaksinya. Jujur saja, aku sedikit khawatir; ini bukan pertama kalinya suasana hatinya memburuk karena para penonton. Tapi yang cukup mengejutkan, dia terlihat ceria seperti biasanya. Sebenarnya, dia terlihat terlalu ceria. Jelas ada yang aneh. Mungkin dia sudah terbiasa dengan semua orang yang cari muka karena popularitasnya yang luar biasa di sekolah? Bagiku, aku tidak yakin apakah aku akan terbiasa dengan banyaknya pria yang menatapku dan membisikkan hal-hal seperti, “Berani-beraninya kau dekat-dekat dengan Ike.”
“Hei, Bos! Bagaimana kabarmu hari ini?!” sebuah suara terdengar dari belakang kami. Aku berbalik ke arah lapangan sepak bola dan melihat seorang pria berkepala botak mendekati kami. Namanya Kai Rekka. Kalian mungkin ingat bahwa dia adalah siswa kelas satu yang mengikutiku setelah kami berkelahi karena beberapa, uh, “perselisihan,” anggap saja begitu. Kami berteman baik sejak saat itu.
Aku berhenti dan menunggu dia mengejar kami, tapi Touka sepertinya tidak terlalu senang tentang hal itu. “Untuk apa kamu berdiri di situ, Senpai? Ayo, segera pulang,” katanya dengan wajah datar.
“Oh, ayolah — kita bisa meluangkan waktu sebentar untuk berbicara dengannya, kan?” tanyaku.
“Sejujurnya, aku lebih suka tidak melakukan hal itu,” bentaknya balik.
Dia sangat marah pada Kai; meski aku tidak bisa menyalahkannya. Aku juga tidak bisa membantah Touka, terutama karena dia marah atas namaku. Pada suatu momen dalam perkelahian kami, Kai mengacungkan pisau padaku. Menurut Touka, dia tidak akan pernah bisa memaafkan Kai setelah itu.
“Yo, Bos! Mau pulang?” kata Kai, tampaknya tidak menyadari kemarahan Touka.
“Ya. Dan juga, daripada ‘Bos’, bisakah kau memanggilku Tomoki?”
“Dimengerti, Bos!” jawabnya sambil tersenyum.
Sayangnya, senyumnya tidak berarti apa-apa — sepertinya permintaanku masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Meski, itu senyuman yang bagus. Bahkan dengan kepalanya yang dicukur habis, dia tetaplah pria yang tampan.
“Sial, Tomoki membuat siswa kelas satu lain memanggilnya ‘Bos’?”
“Aku merasa kasihan pada orang itu. Aku turut berbela sungkawa.”
“Bukankah dia menggundulkan kepalanya karena Tomoki juga?”
“Sialan. Sumpah, bung — Tomoki Yuuji adalah iblis itu sendiri.”
Sekarang semua orang di sekitar kami mulai bergumam tentang betapa jahatnya aku. Apa mereka bahkan mendengar apa yang baru saja aku katakan kepada Kai? Sepertinya dia bukan satu-satunya yang memiliki masalah pendengaran.
“Kau punya waktu sebentar, Kai-kun?” tanya Touka.
“Oh, benar, aku lupa kau ada di sini bersama Bos, Touka. Mau pulang juga?” jawabnya.
Oh sial, sepertinya dia sangat kesal karena semua orang berbisik tentang kami. Aku tahu itu.
“Jadi, hei, apa kau tidak pernah menyadari bahwa dengan memanggil Yuuji-senpai ‘Bos,’ kau hanya akan membuatnya terlihat jahat? Semua orang sudah mengira dia orang gila. Sungguh, bisakah setidaknya kau memahami hal itu, yah, sekali saja? Kuhargai bahwa kau menjunjung tinggi Senpai. Tapi bukan itu masalahnya di sini. Kau bisa menghormatinya semaumu, tapi jangan kau berani-beraninya terus sewenang-wenang menggunakan panggilan omong kosong itu, atau aku bersumpah aku tidak akan membiarkan kalian berdua berinteraksi lagi.”
Semua orang terdiam setelah dia menyelesaikan ceramahnya yang penuh emosi, termasuk Kai. Kai melihat sekeliling kami, marah setelah akhirnya menyadari bahwa orang-orang telah membicarakan hal buruk tentangku, lalu menundukkan kepalanya karena malu. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya lagi, menatap mataku, menarik napas dalam-dalam, dan berkata, “Mulai sekarang aku akan berhati-hati. Aku minta maaf, Tomoki-senpai. Dan kamu juga, Touka. Ini salahku. Aku tidak akan menyadari itu kalau kau tidak mengatakannya. Terima kasih.”
Sebelum “perselisihan” kami, Kai tidak akan bisa memahami sesuatu seperti itu. Namun, setelah perkelahian kami, dia menjadi lebih terbuka untuk menerima nasihat, mengubah sikapnya, dan meminta maaf. Kupikir itu hal yang hebat, sebenarnya — ini menunjukkan seberapa besar perkembangan pria tersebut.
Aku melihat Touka. Masih berdiri diam, tapi jelas dia merasa frustrasi dengan seluruh situasi ini. Kai pasti telah menempatkan Touka di posisi yang sulit berkat permintaan maafnya. Aku sadar Touka mendecakkan lidahnya karena kesal.
“Tapi, aku punya satu hal yang ingin aku minta,” kata Kai, mengangkat kepalanya untuk menatapku. Aku mengangguk agar dia tahu dia bisa melanjutkan kalimatnya.
“Bolehkah aku memanggilmu Bos setiap kali kita berduaan, Tomoki-senpai?” bisiknya. Dia tersipu dan menurunkan pandangannya dengan malu-malu.
Huh. Dan untuk membayangkan bahwa dia pernah benar-benar ingin membunuhku beberapa hari yang lalu. Lihat saja dia sekarang. Aku merasa seperti aku adalah panutannya atau semacamnya. Jujur saja, rasanya cukup bagus untuk dilihat dalam perspektif itu.
“Tentu, jika kau mau,” jawabku. Tatapan sedihnya langsung lenyap, dan dia tersenyum cerah padaku.
“Bagus! Terima kasih, Tomoki-senpai!”
“Tidak masalah. Ngomong-ngomong, kami akan pulang sekarang. Kau harus kembali ke lapangan itu dan semoga beruntung. Kau dengar?”
“Ya! Oke, teman-teman, maaf telah mengganggu kalian! Hati-hati dijalan!” jawabnya. Dia membungkuk dan berlari kembali ke lapangan olahraga. Kupikir dia adalah salah satu pria pertama yang begitu menghormatiku.
Aku melirik Touka untuk melihat bagaimana keadaannya saat ini.
“Ada apa?” tanyanya.
“Tidak ada,” jawabku. Dia sadar bahwa aku sedang menatapnya dan mengalihkan pandangannya.
Aku tidak bisa benar-benar memberitahunya bahwa aku senang Kai menghormati dan sangat mengidolakanku. Jika aku melakukan itu, itu hanya akan merusak suasana hatinya selama perjalanan pulang kami. Dia pasti akan membalas dengan sesuatu seperti, “Sebaiknya kau tidak menyamakan kami hanya karena kami adalah adik kelasmu!”
Touka memelototi sosok Kai di kejauhan dan dengan marah bergumam, “Kau pikir ini sudah berakhir, dasar jalang psiko botak? Jangan pikir kalau aku tidak menyadari semua tatapan kotor yang kau tujukan padanya. Beraninya kau.”
“Oh, ayolah. Kau lebay. Tidak mungkin dia menatapku seperti itu.”
Dia tidak menjawab dengan kata-kata, tapi dia malah menembakku dengan tatapan mematikannya. Sebagai gantinya, aku menatap lurus ke arahnya tanpa tersentak. Meski tegang, kami saling menatap dalam diam untuk beberapa saat. Pada akhirnya, Touka-lah yang menghentikan kontes menatap kecil kami dengan memerah dan menurunkan pandangannya. Dia menarik napas dalam-dalam, yang sepertinya sedikit meredakan suasana hatinya yang buruk, dan berkata, “Sepertinya aku harus tetap waspada.”
“Kamu terlalu khawatir. Aku dan Kai tidak akan lebih dari teman.”
“Tomoki-kun, Ike-san… Aku sadar kalau aku menyela percakapan kalian, tapi apakah kalian keberatan jika aku berbicara dengan kalian? Ini tentang Kai-kun,” seseorang di belakang kami bersuara.
Aku dan Touka berbalik. Itu Chiaki Makiri-sensei. Dia dikenal sebagai guru yang sangat cantik di sekolah ini, tapi saat ini, ekspresinya tegas dan dingin.
“Dia yang mulai duluan, bukan kami,” jawab Touka dengan cepat. Dia sedikit tersenyum, tapi dia jelas waspada.
☆
Makiri-sensei membawa kami ke ruang konseling siswa di sekolah. “Silakan duduk,” katanya dengan tenang. Dia sama dinginnya seperti biasa.
Touka melakukan apa yang diperintahkan tanpa sepatah kata pun, tapi aku malah menatap Makiri-sensei. Dia adalah salah satu guru termuda dan tercantik di sekolah kami. Dia juga sangat ketat dengan semua orang, meskipun begitu, dia masih memiliki fanbase yang cukup besar di antara siswa laki-laki.
“Duduklah, Tomoki-kun,” dia mendesakku. Aku duduk di samping Touka; Makiri-sensei duduk di seberang. Meskipun Touka membuang muka, aku menatap tepat ke arah Makiri-sensei.
“Apakah kalian tahu alasanku memanggil kalian ke sini? Ini tentang Kai-kun,” dia membuka percakapan.
“Tidak, kami tidak tahu. Kami tidak melakukan kesalahan apa pun padanya, jadi, seperti, aku bahkan tidak tahu kenapa Anda merasa perlu menyeret kami kembali ke sini,” balas Touka.
Aku tidak tahu seberapa besar sikap Touka yang mau ditoleransi oleh Makiri-sensei. Aku hanya akan diam dan melihat bagaimana situasi berjalan.
“Bagaimana denganmu, Tomoki-kun? Ada petunjuk?” tanyanya, menoleh ke arahku.
“Saya tebak itu karena perubahannya baru-baru ini atau semacam itu?”
“Itu benar. Ada sesuatu yang jelas berubah dalam dirinya sejak liburan Golden Week dimulai. Satu hal yang terlihat jelas adalah penampilannya, tapi dia juga mulai memperlakukanmu secara berbeda.”
Touka menghela nafas. Aku tahu betul bahwa dia bukan tipe orang yang suka diceramahi; terlebih lagi jika Kai Rekka adalah subjeknya.
“Aku tidak terlalu mengenalnya, tapi yang aku tahu bahwa dia adalah tipe pria yang sangat peduli dengan penampilan. Aku tidak dapat membayangkan bahwa dia hanya memutuskan untuk mencukur kepalanya begitu saja. Aku juga tahu bahwa dia awalnya tidak ramah padamu, tapi sekarang dia sangat bersahabat denganmu. Tidakkah kalian juga berpikir bahwa itu aneh?”
Tidak, itu tidak terlalu aneh mengingat apa yang terjadi. Dia mencukur habis kepalanya setelah kalah dalam perkelahian kami, tapi orang-orang pasti mulai menyebarkan rumor bahwa aku telah mengubahnya menjadi “kacung”-ku atau semacamnya dan memaksa dia mencukur rambutnya. Aku berasumsi itulah alasan Makiri-sensei memanggil kami ke sini.
Tidak mungkin Makiri-sensei secara serius mempercayai hal itu, bukan? Kupikir omong kosong itu sudah sampai di telinga para guru sekarang, jadi Makiri-sensei pasti sudah mendengarnya juga. Dia kemungkinan memutuskan untuk ikut campur dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan begitu, dia bisa membelaku dan menghindari timbulnya masalah lebih lanjut. Ya, aku yakin pasti begitu. Ekspresinya kaku, tapi dia sepertinya hanya mengkhawatirkan kami. Dia telah menjagaku sejak aku mulai bersekolah di sekolah ini.
“Maaf, saya tidak tahu sebabnya,” jawabku. Aku akan mendapat masalah jika aku mengatakan yang sebenarnya — bahwa kami berdua berkelahi di atap, dan dia mengacungkan pisau padaku. Kai akan mendapatkan masalah yang jauh lebih buruk dariku karena membawa senjata ke sekolah.
Seperti yang kubilang, Makiri-sensei tegas tapi adil. Dia juga tahu persis kapan harus menerapkan aturan. Kami berdua akan dihukum dalam masalah ini. Tetap saja, aku tidak bisa memaksa diriku untuk berbohong padanya. Aku hanya akan diam saja.
“Begitu,” dia berbisik pelan sambil mengangguk. “Yah, kurang lebih aku tahu apa yang telah terjadi. Dan percayalah, sesuatu memang telah terjadi di antara kalian berdua. Memberi tahuku bahwa ‘kalian tidak melakukan kesalahan’ sambil memberi tahuku juga bahwa ‘kalian tidak dapat mengatakan apa yang terjadi’ terdengar cukup mencurigakan, tapi kuduga hasilnya baik-baik saja. Kamu dan Kai-kun akhirnya berteman setelah… entah apa yang terjadi itu. Bagaimanapun, aku tidak bisa melakukan apa pun pada kalian sekarang,” katanya sambil mendesah dalam-dalam.
Bagus. Sepertinya dia bisa mengetahuinya, dan, untungnya lagi, sepertinya kami juga tidak dihukum. Aku lega, tapi Touka sepertinya tidak merasakan hal yang sama. Malahan, dia tampak terkejut.
“Hah? Apa yang Anda katakan, Bu? Seperti, Anda tidak akan memberi kami ceramah besar-besaran atau semacamnya?” tanyanya tidak percaya.
“Ya. Aku tahu ini tampak tidak bertanggung jawab untuk mengabaikan hal ini tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang terjadi, tapi aku akan percaya jika kalian mengatakan bahwa kalian tidak bersalah. Aku tidak akan mendesak Tomoki-kun jika dia juga tidak ingin membicarakannya. Kai-kun tersenyum ketika dia berbicara dengan kalian berdua sebelumnya, seperti itu semua adalah hal yang telah lalu bagi kalian semua. Ada banyak keluhan dan pertanyaan yang beredar, dan aku benar-benar ingin itu diakhiri,” jelas Sensei. Touka tetap diam saat dia melanjutkan dengan nada serius, “Jika — entah bagaimana — aku salah, dan ada sesuatu yang terjadi di antara kalian bertiga… Aku akan menganggapnya sebagai kelalaianku, dan aku akan bertindak demikian.”
Aku menelan ludah dan berhasil mengatakan, “Ini sudah tuntas. Anda dapat mempercayai kami dalam hal ini. Saya bersumpah.”
“Yah, senang mendengarnya,” katanya sambil mendesah lega. Dia dengan cepat menambahkan, “Ada hal lain yang ingin aku katakan. Aku tahu bahwa kalian berhasil menyelesaikan masalah ini sendiri. Tapi jika kalian berada dalam kesulitan lain, silakan meminta nasihat dariku terlebih dahulu. Jangan terburu-buru dan melakukan sesuatu yang gegabah.”
Kupikir dia tidak marah pada awalnya, tapi aku rasa kami masih dalam sedikit masalah karena kami tidak meminta bantuannya. Aku agak malu, tapi juga senang bahwa ini tidak akan meningkat lebih jauh lagi.
“Dimengerti,” kataku.
“Oke…” jawab Touka lelah.
“Sepertinya aku menahan kalian berdua cukup lama. Kalian bisa pulang sekarang. Aku minta maaf karena telah menyeret kalian berdua ke sini. Hati-hati dalam perjalanan pulang, oke? Sampai jumpa,” katanya sambil berdiri. Raut tegasnya telah diganti dengan senyuman lembut.
☆
“Aku tahu bahwa jika aku mengatakan yang sebenarnya, dia akan memahami situasi kita, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa dia bisa mengerti bahkan tanpa aku mengatakan apa pun.”
Aku dan Touka sekarang sedang menuju stasiun melalui rute pulang kami yang biasa. Dia berjalan di sampingku dengan matanya terpaku padaku saat aku berbicara. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa sedari tadi, dan ekspresinya agak masam.
“Apa?” tanyaku padanya.
“Aku juga berpikir kalau dia guru yang baik. Dia tahu kapan harus menerapkan aturan dan kapan harus bersikap lunak. Ditambah, dia percaya pada kita, tapi…,” dia berkata. Jelas dia tidak yakin tentang sesuatu.
“Tapi?” aku mendesaknya.
“Bukankah kamu sedikit terlalu ‘menyukainya’?!”
“Aku sangat menghormati beliau, jika itu yang kamu maksud.”
“Bukan itu yang kumaksud. Sebenarnya, aku juga berpikir kalau dia terlalu mempercayaimu,” katanya dengan tidak senang.
Oh, tunggu… Dia mungkin bertanya padaku apakah aku menyimpan perasaan cinta pada Makiri-sensei. Kurasa dia berpikir bahwa jika itu di luar kendali, itu bisa membahayakan “hubungan” kami? Bagaimana bisa dia berpikiran seperti itu? Tidak mungkin aku bisa begitu dengan seseorang seperti Makiri-sensei. Pertama, dia adalah guruku. Kedua, dia jauh lebih tua dariku. Touka seharusnya menyadari hal itu, kan? Ya, aku tidak bisa membayangkan dia sebodoh itu. Sejujurnya, aku tidak tahu kenapa dia sangat marah padaku sekarang. Mungkin dia hanya kesal karena kami diseret ke ruang konseling untuk diceramahi.
“Apakah itu hal yang buruk?” tanyaku.
Ekspresi Touka menjadi gelap, dan dia berbisik, “Mungkin itu bukan hal yang buruk sekarang, tapi suatu hari… Bagaimana jika dia melihatku sebagai saingan potensial dan mencoba mendekatimu?”
“Bagaimana kamu bisa mengatakan sesuatu seperti itu? Dia berada di pihak kita, tahu.” jawabku, yang tidak dapat mengabaikan komentarnya. Makiri-sensei mendukung hubungan kami; kenapa dia harus mencoba menyabotase itu? Selain itu, dia guru kami. Mendapatkan tentangan darinya akan menjadi masalah besar… seperti, masalah yang amat sangat besar.
Touka tidak mengatakan apapun; dia hanya memukul lenganku. Kenapa dia merasa perlu untuk memukulku? Dan kenapa aku tidak bisa menyuruhnya untuk berhenti saat dia melakukan itu? Maksudku, bukan berarti itu menyakitkan ketika dia memukulku — malahan, itu geli. Aku hanya ingin dia berhenti melakukannya.
Sayangnya, Touka tidak berbicara sama sekali dalam perjalanan ke stasiun. Dia malah terus memukul lenganku secara sembarang.
Post a Comment