[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Chapter 2 Bahasa Indonesia
Chapter 2: Janji
Istirahat makan siang. Aku belum melihat tanda-tanda keberadaan Touka, jadi aku akan bertanya pada Ike apakah dia ingin makan bersama — lupakan saja, dia datang.
“Hai, Yuuji-senpai! Ayo makan siang bereng!”
Cuma mengingatkan kalian, Touka seharusnya adalah pacarku. Percayalah, dia berusaha sekuat tenaga untuk memastikan bahwa semua orang dan ibu mereka tahu hal itu. Hanya untuk memperjelas, kami tidak benar-benar pacaran. Sebenarnya, kami memalsukan hubungan ini.
Tapi ya, kembali ke kenyataan — dia memasuki kelasku sambil berteriak dengan semangat hingga mata semua orang tertuju pada kami. Aku balas menatap mereka, dan mereka mengalihkan pandangan mereka dan kembali ke urusan mereka masing-masing. Tidak peduli berapa kali itu terjadi, aku tetap tidak merasa bahwa tindakan mereka lucu.
Kadang-kadang aku yakin mereka melakukannya dengan sengaja, tapi siapa yang peduli hal itu pada saat ini. Mungkin aku harus sedikit mengubah rutinitas: Daripada memelototi mereka, aku bisa memberikan reaksi baru kepada mereka dan melihat bagaimana mereka akan bereaksi. Sudah sebulan berlalu, dan semua gimik ini sudah tidak jaman lagi.
Aku berdiri dan menuju ke pintu masuk untuk menemuinya. Saat melakukannya, aku bisa merasakan tatapan orang lain terpaku padaku; tatapan itu adalah milik Hasaki Kana. Dia tidak benar-benar mempercayai hubungan kami, dan dia sangat tidak mempercayaiku. Aku benar-benar ingin berbicara empat mata dengannya, untuk mencoba menjelaskan semuanya, tapi aku belum mendapatkan kesempatan.
“Ayolah, Senpai! Kamu seharusnya sedikit lebih bersemangat ketika aku datang menemuimu! Sebagai permulaan, mungkin jangan berjalan seperti anjingmu baru saja mati?”
Oke, Bu. Maaf, aku kurang antusias. Astaga.
“Ya, masa bodoh. Tempat biasa?” jawabku, mencoba mengubah topik.
Dia tampak kesal sesaat pada responku yang acuh tak acuh, tapi kemudian sedikit tersipu saat aku menyebut “tempat biasa” kami — halaman sekolah. Huh, itu aneh.
“Ada apa?” tanyaku.
“Oh, tidak, aku hanya… Hari ini, aku sebenarnya ingin kita pergi ke atap saja. Apakah boleh?” tanyanya sambil mengalihkan pandangan.
Dia membawa keranjang, jadi aku bisa menebak alasan dia ingin pergi ke sana.
☆
Kami tiba di atap. Biasanya, tempat ini dilarang untuk siswa, tapi suatu hari Touka menyadari bahwa kunci pintunya rusak. Karena itu, kami sudah sering naik ke sini.
“Senpai, bisakah kamu membentangkan tikar?”
Aku mengangguk tanpa berkata-kata, mengambil tikar lipat yang diletakkan di dekat pintu masuk, dan meletakkannya di lantai. Jika aku tidak salah ingat, Touka membawa tikar itu ke sini beberapa hari yang lalu. Aku tahu dia juga sangat tertarik untuk menambahkan lebih banyak barang untuk ditaruh di sini. Dia sempat menyebutkan ingin membawa meja atau sebagainya? Kurasa, dalam waktu dekat, atap akan menjadi tempat dengan banyak kegunaan.
Kami duduk di atas tikar.
“Selamat, Senpai — hari ini adalah hari keberuntunganmu! Aku, kekasihmu tercinta, telah menyiapkan bekal untukmu! Kamu tidak lagi harus makan sandwich kantin menjijikkan yang selalu kamu beli. Kamu senang?” kicaunya. Dia mengambil sepasang kotak bekal dari keranjangnya dan memberikanku satu.
Beberapa hari yang lalu, aku pernah memintanya untuk membuatkan makanan untukku, jadi kurasa itulah sebabnya kami ada di atap hari ini. Jika kami mengadakan piknik di halaman, di mana semua orang dapat melihat kami, aku sudah bisa membayangkan tatapan tajam yang mereka arahkan padaku. Hampir semua cowok yang ada di sekolah akan iri padaku.
“Terima kasih. Dan ya, aku cukup senang tentang ini.”
“O-Oh, benarkah?! Harus kuakui, kamu cukup manis kalau kamu jujur!” katanya sambil membuang muka, wajahnya berwarna merah cerah.
“Jadi maksudmu, karena kamu yang membuat ini, aku bisa mengharapkan sesuatu yang lebih baik daripada ‘sandwich yang menjijikkan’ itu?”
Pipinya mengembung karena ucapanku.
“Apa?” tanyaku.
“Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa aku tidak membuatkanmu bekal hanya karena ‘kamu ingin bekal,’ oke?! Aku melakukannya karena, yah…”
Ya, ya — karena kita “sedang pacaran’. Aku mengerti. Meskipun ini palsu, aku merasa seolah-olah aku dan Touka sangat percaya akan satu sama lain. Mungkin dia membuatkan bekal untukku hari ini sebagai hasil dari persahabatan itu. Atau mungkin dia merasa perlu melakukannya karena situasi kami. Meski, aku harap itu karena hasil persahabatan kami — yang membuatku merasa lebih bahagia.
“Tentu. Terima kasih. Aku akan memakannya sekarang, jika kamu tidak keberatan,” kataku saat membuka tutup kotak bekal itu.
Di dalamnya ada berwarna-warni makanan yang tersusun rapi. Ini terlihat cukup menarik.
“Oke, Senpai, buka mulutmu!” seru Touka. Dia mengambil sumpitnya, mengambil sepotong asparagus berbalut daging asap dari kotak bekal, dan memberikannya kepadaku.
“Uh… Kau tahu kau tidak harus menyuapiku, kan?”
“Ada apa denganmu, Senpai? Siapa tahu seseorang sedang memata-matai kita sekarang, lho. Kita harus memainkan peran itu untuk jaga-jaga!” katanya sambil tersenyum.
“Apa-apaan yang kau bicarakan i — Mmph!”
Dia bahkan tidak membiarkanaku menyelesaikan kalimatku sebelum memasukkan makanan ke dalam mulutku dengan seringai jahat. Aku sangat ingin memarahinya, tapi makanan ini sebenarnya cukup enak; Aku akhirnya mengunyah makanan itu tanpa mengeluh. Aku menikmati rasanya. Ya ampun, ini lezat. Aku tidak bisa berkata-kata
“Jadi… bagaimana rasanya, Senpai?” katanya dengan seringai jahat yang sama.
“Cukup enak,” bisikku.
“Baguslah,” katanya sambil mendesah lega.
Melihat senyumannya yang seperti itu mencerahkan suasana hatiku, dan kekesalanku benar-benar hilang. Aku benar-benar lupa tentang fakta bahwa dia hampir membuatku tersedak. Kurasa dia memperhatikan aku balik tersenyum padanya dan menganggap itu menyeramkan, karena senyumannya langsung menghilang.
“Ada apa?” tanyanya.
Aku tidak dapat bilang padanya bahwa senyumannya meningkatkan semangatku. Aku harus memikirkan hal lain untuk dikatakan.
“Hanya saja, tolong, jangan tiba-tiba memasukkan makanan ke mulut orang seperti itu” jawabku setegas mungkin.
“Oh, oke! Aku pasti akan memberitahumu lain kali!” jawabnya. Dia mengambil sepotong telur dadar dari kotak bekalnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Ya ampun, apakah itu berarti dia berencana untuk melakukan hal itu lagi? Ugh, masa bodoh. Tersenyum dan makanlah saja, Tomoki. Tersenyum dan makanlah.
☆
Kami sudah selesai makan, jadi sekarang kami menyeruput teh dan mengobrol sambil menunggu waktu istirahat selesai. Aku tiba-tiba teringat tatapan Hasaki Kana di kelas. Sepertinya aku bisa bertanya pada Touka tentang hal itu.
“Kamu dan Hasaki sudah saling kenal selama bertahun-tahun, kan? Jika tidak salah ingat, bisa dibilang, pada dasarnya kalian adalah teman atau semacamnya, kan?”
Senyuman Touka lenyap saat dia mendengar nama Kana.
“Um, kenapa kamu bertanya padaku tentang itu?”
“Aku hanya ingin tahu tentangnya.”
Tatapan mematikan yang dia berikan padaku saat Touka melangkah masuk dan memanggil namaku terlintas di benakku. Aku ingin dia mengakui hubunganku dengan Touka, mengingat dialah yang paling bersikukuh apakah hubungan itu “asli”. Aku tahu mereka berdua tidak akur sekarang, tapi aku ingin tahu seperti apa mereka sebelumnya. Bohong jika aku bilang aku tidak penasaran.
“Oh, jadi kamu ingin tahu tentang itu, ya? Tapi, uh, menurutmu apakah itu ide yang bagus untuk, yaah, membicarakan gadis lain di depan pacarmu? Kamu benar-benar tidak peka dalam sesuatu yang berhubungan dengan wanita, ya? Bagaimana kalau, entahlah, tidak melakukan hal itu sama sekali?” katanya. Wajahnya biasa, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa dia marah.
Ya ampun, dan padahal sampai tadi dia sangat senang. Itu juga bukanlah candaan — dia benar-benar kesal, dan itu semua salahku. Aku mengingat kembali saat Kana dan Ike ikut makan siang bersama kami. Touka sangat brutal terhadapnya, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa Kana akan menjadi topik yang menjengkalkan bagi Touka bahkan ketika dia tidak ada.
“Aku minta maaf. Aku hanya ingin memahami alasan dia tidak mau menerima hubungan kita; itu saja. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua, yang membuatmu berperilaku seperti yang kamu lakukan sekarang. Tapi jika kamu tidak ingin membicarakannya, lupakan saja. Aku tidak akan memaksamu untuk membahasnya,” aku mencoba menjelaskan dengan lembut.
“Oooh… Jadi itu yang kamu maksud. Mengerti,” katanya sambil menghela nafas lega. Dia jelas terlihat tidak terlalu kesal sekarang.
“Menurutmu apa maksudku?”
Dia menghela nafas lagi dan melemaskan postur tubuhnya, tapi tidak memberiku tanggapan apa pun. Sungguh? Sekarang akulah yang jadi kesal. Akhirnya, dia angkat bicara.
“Kurasa kami cukup akrab sampai seseorang lulus SMP.”
“Apakah terjadi sesuatu?”
“Ya, anggap saja begitu. Aku merasa itu karena alasan yang cukup bodoh, jadi aku tidak ingin membicarakannya,” gumamnya sambil memainkan poni.
“Oke. Jika begitu, aku tidak akan mengungkitnya lebih jauh lagi,” jawabku.
“Makasih!” serunya sambil tersenyum.
Sayang sekali, tapi jika Touka tidak mau terbuka untuk menjelaskan semuanya, maka aku tidak berhak untuk ikut campur. Seolah-olah direncanakan, bel berbunyi pada timing yang tepat.
“Ayo kembali ke kelas.”
“Ya.”
Kami berdiri, mengembalikan tikar ke tempatnya, dan kembali ke dalam. Tepat saat kami akan berpisah, Touka berbalik dan menarik salah satu lengan bajuku.
“Oh, benar — aku lupa memberitahumu sesuatu, senpai!”
“Apa?”
“Sebenarnya, ini baru terlintas di pikiranku. Kamu ada tes minggu depan, kan?”
Sekarang setelah dia menyebutkannya, ya. Siswa kelas satu akan menjalani tes putaran pertama, begitupun kami siswa kelas dua.
“Sepertinya begitu. Dan…?”
Dia terlihat bingung dengan jawabanku, tapi dengan cepat tergantikan oleh rasa kesal.
“Apa maksudmu, ‘dan’? Kita akan belajar bareng untuk ujian tengah caturwulan, duh! Pastikan untuk meluangkan jadwalmu!”
“Huh? Tapi kamu kelas satu. Belajar kelompok dimaksudkan untuk membantu satu sama lain. Bagaimana mungkin belajar kelompok kita bisa berguna meski sedikit?”
“Yah, kamu bisa membantu kouhai kecilmu yang lucu di sini dalam belajar!”
“Tidak. Kamu mendapatkan skor tertinggi di angkatanmu. Ditambah lagi, acara yang diadakan OSIS untuk siswa kelas satu tempo hari sudah lebih dari cukup untukmu. Bukankah kamu bilang bahwa kamu bisa belajar sendiri?”
Sebuah urat muncul di dahinya, dan dia kehilangan ketenangannya, “Tapi bukankah kita, kamu tahu, sepasang kekasih?!”
Kuharap aku bisa memarahinya dan membalas dengan, “Tidak, kita bukan pasangan!” Tapi sayangnya, aku tidak bisa, jadi aku hanya mengangguk dalam diam.
“Tahukah kamu, ketika pasangan mengadakan ‘belajar kelompok’ bereng, mereka belum tentu ‘belajar’, kan?”
“Oke, Socrates. Hentikan omong kosong yang samar-samar itu dan langsung ke intinya?” bentakku. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia maksud dengan semua ini. Dia ingin mengadakan belajar kelompok di mana kami tidak belajar? Gagasan macam apa itu?
TL Note: Socrates adalah filsuf dari Yunani
Dia menatapku tanpa kata. Keheningan yang canggung terus berlanjut sampai aku memecahnya.
“Sigh… Oke, oke. Lagipula aku akan belajar di rumah sendirian, jadi baiklah. Aku akan meluangkan jadwalku,” gumamku, dan wajahnya berbinar.
“Bagus! Aku tidak sabar! Aku akan memberitahumu detailnya nanti, oke?!” jawabnya dengan nada senang. Dia akhirnya meninggalkan sisiku untuk kembali ke kelas. Tepat sebelum dia melewati pintu, dia berbalik lagi dan melambai padaku.
Kenapa dia begitu gembira tentang belajar kelompok ini? Aku tidak mengerti, dan aku tidak bisa tidak merasa bahwa itu akan sangat merepotkan. Namun, aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk mengalami hal semacam ini sebelumnya. Jadi kurasa aku mungkin sebenarnya menantikan hal itu juga. Ya ampun, aku agak malu sekarang.
Post a Comment