[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Chapter 9 Bahasa Indonesia

 

Chapter  9: Belajar Bareng

 

Akhir pekan sudah berakhir, dan kembali ke kesibukan biasa.

Pelajaran hari ini sudah berakhir. Kegiatan klub sedang ditunda untuk saat ini karena ujian yang akan berlangsung minggu depan. Bukan berarti aku peduli akan hal itu, karena aku sejak awal tidak pernah ikut klub, jadi begitulah.

Saat aku bersiap untuk pulang, Ike dan Asakura memanggilku. Biasanya, mereka akan langsung menuju klub masing-masing, tapi kurasa hari ini sedikit berbeda.

“Hei, Tomoki. Ingin ikut dan belajar bersama kami di DonMac? Profesor Ike di sini akan ikut dengan kita, jadi semuanya akan berjalan lebih lancar,” kata Asakura sambil menepuk bahu Ike.

Ike menatapnya sambil tersenyum dan berkata, “Aku tahu kau menyukai aktivitas klubmu, tapi terkadang, kau harus memprioritaskan studi-mu.”

“Mau bagaimana lagi, bung? Bermain bola voli membuatku merasa muda dan bebas. Aku bahkan tidak peduli tentang mendapatkan nilai bagus. Selama aku lulus, itu bukanlah masalah untukku. Kenapa kau tidak bisa membiarkanku belajar semalam sebelum ujian saja dan biarlah seperti itu?”

“Kau tidak peduli mendapatkan nilai bagus? Itu bukanlah sesuatu yang harus kau banggakan, bung,” jawab Ike.

“Jadi aku bisa gabung dengan kalian?”

Keduanya bertukar tatapan bingung.

“Maksudku, tentu saja. Kami baru saja mengajakmu untuk ikut dengan kami, bukan?” kata Asakura dengan tidak percaya.

Aku tidak menyangka akan diajak belajar bareng — dari segala hal — hari ini, tapi aku sangat senang mereka melakukannya. Mereka benar-benar membuat hariku menyenangkan.

“Ya, tentu saja aku akan ikut,” jawabku. Mereka tertawa terbahak-bahak.

“Apa? Kalian akan pergi belajar sama-sama?!” sela Hasaki tiba-tiba. Dia kemudian menambahkan, dengan senyum cerah, “Aku juga luang siang ini — apa kalian keberatan jika aku ikut?”

Asakura menyamakan senyumnya dan dengan bercanda menjawab, “Kamu ingin ikut juga?! Bagus! Aku mulai sedikit depresi karena harus belajar dengan dua orang bodoh ini.”

“Tentu, aku tidak keberatan,” kata Ike.

Aku mengangguk setuju.

“Bagus! Ayo lakukan yang terbaik, teman-teman!” serunya.

“Ayo pergi ke DonMac di depan stasiun,” saran Asakura.

Namun, saat kami akan pergi, kami dihentikan oleh seseorang yang menerobos masuk ke kelas.

“Yuuji-senpai! Ayo pulang bareng!” teriak Touka.

Jika tidak salah ingat, aku berjanji padanya bahwa kami akan belajar sama-sama untuk ujian,  bukan?

“Maaf, Touka, tapi kami akan pergi dan belajar di DonMac dekat stasiun,” beritahuku padanya.

Dia terlihat terkejut dengan itu. Dia memandang kami satu-satu dan berakhir padaku. Tiba-tiba, dia menoleh ke Asakura dan bertanya, “Kamu mau pergi dengan mereka? Bolehkah aku ikut juga?”

Huh. Kukira dia akan membuat keributan besar karena aku memprioritaskan pergi dengan orang lain, tapi solusinya membuatku merasa sedikit kurang gugup tentang hal itu.

“Tentu saja kau boleh ikut! Semakin banyak gadis cantik, semakin meriah!” jawab Asakura dengan riang. Nada suaranya tiba-tiba berubah, menjadi lebih suram saat dia berkata, “Tapi jangan bermesraan saat kita belajar, oke? Sungguh, aku serius. Kumohon.”

“Oh baiklah, itu sungguh disayangkan. Tapi setidaknya kita akan bersama, kan, Senpai? Bukankah itu satu-satunya hal yang kita perlukan untuk bahagia?” katanya sambil tersenyum.

Kenapa dia harus mencoba membuat setiap situasi tentang kita? Bukankah kita sudah cukup meyakinkan semua orang tentang “hubungan” kita?

Asakura memperhatikan ekspresi masamku, dan kedua orang itu menepuk kedua bahuku dengan lembut. Hasaki tidak mengatakan apa-apa, malah membalas dengan senyum pahit. Itu mungkin karena Touka memutuskan untuk ikut, dan itu akan membuat segalanya menjadi canggung. Oh sudahlah, ini bisa menjadi kesempatan besar lainnya untuk membuat mereka saling bicara, meskipun hanya sebentar. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini.

Jadi sepertinya, pada akhirnya, kami semua akan pergi ke DonMac bersama-sama. Kami mengemasi barang-barang kami dan meninggalkan kelas.


Ike, Asakura, dan Hasaki memimpin jalan, dengan Touka dan aku yang mengikuti di belakang mereka. Dia sepertinya sedang dalam mood yang bagus hari ini.

“Kau mengejutkanku tadi,” kataku.

“Apa maksudmu?” tanyanya.

“Aku mengira kau akan kesal karena aku memilih pergi dengan Asakura dan yang lainnya. Malahan, kau memutuskan untuk ikut. Jadi, begitulah, aku cukup terkejut.”

“Huh? Bukankah kau sedikit terlalu jujur ​​padaku, Senpai?” katanya sambil tersenyum. Dia menambahkan, dengan pipinya yang sedikit memerah, “Kurasa aku pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi aku di sini hanya karena kamu, Senpai. Aku tidak peduli tentang kakakku dan yang lainnya. Selain itu, mendapatkan lebih banyak teman selalu merupakan hal yang baik dalam kasusmu.”

Selalu menyenangkan melihatnya bertingkah seperti ini. Dia tidak memiliki banyak momen yang membuatku berpikir, “Sial, dia benar-benar bisa menjadi orang yang baik ketika dia mau,” tapi semakin sedikit momen itu, itulah yang membuatnya semakin berharga.

“Makasih,” kataku padanya.

Dia tampak terkejut dengan tanggapanku dan dengan gugup berkata, “Oh, tapi jangan salah paham tentang apa yang aku katakan! Aku senang kamu punya teman, tapi aku benar-benar melarangmu nongkrong berduaan dengan gadis lain! Aku tidak mau ada yang curiga tentang hubungan kita dan apa pun itu.”

“Jangan khawatir. Aku bahkan tidak ingat pernah memiliki kesempatan untuk berduaan dengan gadis lain; kaulah satu-satunya.”

“Ya, aku tidak mempercayainya. Tapi tentu, terserah kau mau bilang apa, kurasa,” balasnya sambil menatap punggung Hasaki.

Kurasa dia ada benarnya — sejak kami menjadi “teman”, kami berdua bisa sering bergaul. Aku yakin akan ada lebih banyak peluang bagi kami untuk berduaan di masa mendatang, tapi tetap saja…

“Aku tidak berpikir mereka akan membicarakanku dan Hasaki. Semua orang tahu kalau dia ada perasaan sama Ike,” jawabku.

“Bukankah orang-orang sudah menyebarkan rumor tentang kalian berdua?” gumamnya.

“Kau seharusnya tidak perlu terlalu menggubris rumor bodoh tentangku yang ‘mengancam’ dia.”

“Ya, tapi aku masih mengkhawatirkannya, lho…?” bisiknya saat dia mengarahkan pandangannya ke bawah lagi. Mungkin, entah bagaimana, aku harus menghiburnya? Namun, sebelum aku dapat mengatakan apa pun, dia tiba-tiba menyela, “Tapi semua itu tak masalah! Kita hanya perlu melawan omong kosong itu dengan bersikap lebih mesra di depan semua orang!”

“…Kurasa,” kataku sambil tersenyum paksa.

“Um, ngomong-ngomong, aku masih berpikir akan menyenangkan jika kita belajar berduaan suatu hari nanti. Maksudku, itu yang dilakukan oleh pasangan, kan?” tanyanya sambil menatap lekat-lekat ke bawah dan gelisah. Dia mengulurkan tangan untuk menarik salah satu lengan bajuku dan menambahkan, “Sebaiknya kau meluangkan jadwalmu hari Sabtu ini. Mengerti?”

“Tentu, aku akan melakukannya.”

Pipinya memerah karena kata-kataku. Dia mengangguk, tersenyum, dan berseru, “Bagus! Aku tidak sabar!”


Akhirnya kami sampai di tempat belajar kami. Seorang pelayan dengan cepat bergegas menyambut kami, tapi saat dia melihatku, senyum ramahnya berubah menjadi ekspresi murni ketakutan. Terlepas dari itu, dia membawa kami ke meja kosong.

“Oke, Senpai, kau dan aku akan duduk di sisi ini!” seru Touka dengan cepat saat dia mengantarku ke satu sisi meja. “Kakakku bisa duduk di seberang bersama Asakura-senpai. Dengan begitu, akan lebih mudah baginya untuk membantu Asakura belajar. Hasaki-senpai bisa duduk di ujung meja, oke?”

“Kedengarannya bagus,” kata Asakura, dan dia menuju ke tempat duduknya.

Ike mengikutinya dengan, “Kau duluan, bung.”

“Jadi di sini tempat dudukku ya. Oke,” kata Hasaki sambil duduk di samping Ike.

Dia tidak terlihat terlalu senang dengan pengaturan tempat duduknya. Mungkin dia ingin berada di samping Touka? Setelah dia yakin semua orang berada di tempat yang ditentukan, Touka tersenyum dan menjatuhkan dirinya di sampingku.

Kurasa bagian yang mudah sudah berakhir; sekarang saatnya bagian yang sulit: belajar. Oh boy.

“Kukira semuanya ingin minum, tapi kalian ingin yang lain dari itu?” tanya Asakura sambil menekan tombol di meja yang digunakan untuk memanggil pelayan. Semua orang menggelengkan kepala saat pelayannya tiba dan menerima pesanan Asakura. Kami semua memutuskan untuk membeli tiket minuman, yang berarti kami bisa memakai kran minuman dengan isi ulang gratis selama kami di sini.

“Oke, teman-teman — aku akan pergi mengambil minuman sekarang, jika tak masalah. Aku akan mengambilkan punyamu juga, oke, Senpai?” kata Touka sambil berdiri.

“Tentu, makasih,” jawabku.

“Aku mengerti!” jawabnya sambil tersenyum dan pergi.

“Oh, kalau begitu kurasa aku harus pergi dan mengambilkan minuman untukku dan semua orang. Haruma, Asakura, kalian tak masalah dengan ini?” tanya Hasaki sambil menatap mereka.

“Tentu. Kalau begitu, aku mau Loca Cola! Makasih!” balas Asakura.

“Aku mau teh saja, makasih,” tambah Ike.

“Baiklah! Aku akan kembali sebentar lagi!” serunya. Dia berdiri dan mengikuti Touka.

“Sepertinya segala hal di antara kalian berdua berjalan dengan baik, eh?” tanya Ike padaku begitu dia memastikan gadis-gadis itu berada di luar jangkauan pendengaran.

“Apa maksudmu dengan itu?” tanyaku.

“Bolehkah aku mengatakannya lebih jelas? Aku berbicara tentangmu dan Touka?” katanya dengan tidak percaya.

“Aku sangat cemburu!” kata Asakura sekeras yang bisa ditoleransi secara sosial.

Sungguh menyebalkan bahwa mereka masih percaya bahwa hubungan kami ini asli. Kuharap aku bisa mengatakan kebenarannya sekarang.

“Berkatmu, Ike, begitulah,” kataku singkat.

“Touka cenderung menjadi… orang yang sulit, katakan saja begitu. Umumnya, dia tidak akan pernah mau berbaik hati pada siapa pun, jadi, sepertinya, sungguh luar biasa dia mau repot-repot untuk mengambilkanmu minuman,” jelas Ike.

“Yuuji, dasar bajingan beruntung…” omel Asakura.

Apa yang harus aku katakan? Aku tidak bisa memberikan tanggapan yang baik. Oh, Fiuh—Touka kembali. Waktu yang tepat. Dia memegang gelas di masing-masing tangannya, dan dia memberikan salah satunya padaku.

“Makasih,” kataku saat menerima minuman. Aku tidak sabar untuk meneguknya… Tunggu, dia membawakanku kopi hitam. Kenapa ini adalah pilihannya dari semua pilihan yang ada di menu?

Ike terkekeh dan berkata, “Sekarang setelah kupikir-pikir, dia bahkan tidak menanyakan apa yang kau mau.”

“Jadi dia sangat mengenalmu hingga dia bahkan tidak perlu bertanya? Sial, aku terkesan,” kata Asakura.

“Oh, ayolah, teman-teman — bukankah ini, semacam, impian setiap gadis untuk mengetahui segala hal tentang orang yang mereka sukai? Setidaknya itulah yang aku coba lakukan,” kikik Touka. Bahkan di belajar bareng ini, dia berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan semua orang tentang sandiwara kami. Kau sungguh tidak pernah mengecewakan, Touka.

“Oh, jadi Tomoki-kun suka kopi, ya? Aku akan mengingatnya juga!” tambah Hasaki tiba-tiba. Dia kembali ke meja dan meletakkan minuman di atasnya.

“Tapi kenapa kamu mau repot-repot mengetahui tentang seorang teman sekelas random?” bentak Touka, mengambil sikap defensif.

“Yah, aku baru saja berpikir bahwa mungkin akan ada saat di mana aku yang harus mengambilkan minuman. Tidak apa-apa, Touka-chan—tidak perlu khawatir. Aku tidak akan berani coba-coba mencuri pacarmu yang luar biasa itu,” jawabnya dengan senyum paksa yang terlihat jelas.

Aku perlu mengingat bahwa Hasaki mencoba akrab dengan Touka, bukannya aku. Andai saja Touka tahu… Dia menatap curiga pada gadis lain sejenak, lalu mengambil napas dalam-dalam dan berhasil menenangkan diri. Dia mengatakan, “Jika begitu, kurasa aku tidak keberatan. Ngomong-ngomong, mari kita mulai belajarnya! Jika ada sesuatu yang aku tidak tahu, aku harap seseorang di sini dapat membantuku! Ting Ting!”

TL Note: Suara kedipan mata

“Aku payah dalam belajar, jadi jangan repot-repot banyak bertanya padaku,” tambahku.

“Oh, ayolah! Jangan jadi seperti perusak kemeriahan!” rengek Touka sambil mengembungkan pipi dan cemberut.


Kami belajar sekitar satu jam atau lebih. Yah, aku bilang kami, tapi kebanyakan adalah Ike yang membantu Asakura dan Hasaki. Akibatnya, dia tidak punya banyak waktu untuk belajar dengan tenang. Touka juga menanyakan pertanyaan aneh sesekali; Cukup mengejutkan, semuanya adalah pertanyaan yang benar-benar bisa aku bantu.

“Sialan, Senpai—sebenarnya kau sangat pintar,” kagum Touka setelah aku membantunya dengan pertanyaan yang sangat menantang.

“Yah, selama ujian tahun lalu, Yuuji menduduki peringkat ketujuh di angkatan kami. Dia sebenarnya cukup cerdas,” imbuh Ike.

“Apa?! Ketujuh?! Itu luar biasa, Senpai! Aku tidak tahu kenapa kakakku terlihat begitu sombong tentang hal itu, tapi ya, itu luar biasa! Menurutku, sangat keren karena kau punya otak yang mengimbangi! Sepertinya aku semakin jatuh cinta padamu sekarang!” serunya sambil melihat ke arahku.

Ike tersenyum pada kami, dan Hasaki tertawa kecil. Sayangnya, tidak semua orang senang melihat Touka bicara dengan semangat, karena Asakura dengan muram menambahkan, “Apa yang kubilang tentang jangan bermesraan saat belajar?” Dia menutupi kepalanya dengan tangannya agar tidak melihat kami.

Aku mengalihkan perhatianku pada Hasaki. Begitu aku bisa melihat wajahnya dengan baik, tiba-tiba—dan agak sembarangan—aku sadar bahwa aku belum membantunya dengan Touka. Aku memang berjanji padanya bahwa aku akan melakukan sesuatu, jadi sebaiknya aku mengubah suasananya sekarang. Tidak ada lagi topik “romansa” yang aneh ini.

Aku menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Sebenarnya, aku tidak pernah mengira kalau belajar dengan orang lain akan sangat menyenangkan.”

Ini bisa menjadi awal yang baik bagi kami—kami bisa membentuk sekelompok kecil teman dan mulai lebih sering berkumpul. Itu akan memberi Hasaki kesempatan untuk lebih sering berada di dekat Touka. Semua orang berhenti berbicara dan menatapku dalam diam. Apakah aku salah? Apakah ini hanya satu kali saja?

“Ayo belajar bereng lagi besok. Apakah semua orang setuju dengan itu?” tanya Ike sambil tersenyum.

“Tentu! Menurutku ini juga cukup menyenangkan!” tambah Touka.

“Seharusnya katakan sesuatu sebelumnya, bung. Aku juga ikut!” tambah Asakura, sekarang kembali ke dirinya yang normal dan ceria.

“Aku biasanya ada kegiatan klub tenis seusai sekolah, tapi akan menyenangkan belajar dengan kalian kapan pun aku bisa,” kata Hasaki.

Aku tidak bisa berkata-kata dan hampir menangis. Semua orang di sini sangat baik padaku. Aku tidak yakin apakah mereka bahkan ingin bertemu setelah ini, tapi mereka benar-benar ingin nongkrong lagi?

Akhirnya, aku berhasil membisikkan sesuatu dengan lemah, “Y-Ya.”

“Sebenarnya, Tomoki, aku ingin menanyakan sesuatu—apakah Ike adalah teman pertamamu?” tanya Asakura tiba-tiba padaku.

Sebelum aku sempat menjawab, Touka nimbrung dan berseru, “Sebenarnya tidak! Ternyata, dia punya teman saat SD. Itu jauh sebelum dia mengenal kakakku!”

“Oh? Siapa itu?” tanya Ike.

“Um… Hanya itu yang aku tahu tentangnya, jadi…” suara Touka mengecil.

Suaranya dingin. Hah, dia pasti marah karena Ike menanyakan rincian yang tidak dia ketahui. Dan Touka juga sangat percaya diri. Kalau begitu aku yang akan melanjutkannya.

“Sebelum aku mulai masuk SMP, aku sering pergi ke tempat kakekku di tengah pedesaan selama liburan musim panas. Ada anak lain yang juga menghabiskan liburannya di sana. Kami seumuran dan menghadapi keadaan yang sama, jadi kami akhirnya berteman karena itu. Namanya Natsuo.”

Saat aku menyebut namanya, terdengar suara benturan keras. Sepertinya gelas Hasaki terlepas dari tangannya dan pecah karena benturan, karena ada cairan yang menggenang di atas meja.

“Whoa, kamu baik-baik saja? Nih, gunakan ini,” kata Asakura sambil dengan cepat menyerahkan serbet padanya.

“Y-Ya. Maaf tentang itu; Kurasa aku sedikit melamun,” katanya.

Dia menerima serbet dan mulai membersihkan kekacauan itu. Entah kenapa, daripada focus membersihkan, dia malah menatapku dan Ike sembari membersihkan.

“Jadi… seperti apa si Natsuo ini?” tanya Touka dengan nada kaku.

“Dia sangat lemah dan sensitif. Bung, biar kuberitahu — dia menangis hampir pada setiap hal sepele. Tapi dia juga berani; anak yang sangat baik,” jelasku.

Setidaknya, itulah yang terlintas di benakku ketika aku mengingat kembali kenanganku yang tersisa tentangnya.

“Dan seperti apa ciri-cirinya?” tanya Ike.

“Faktanya, dia sangat imut. Semacam, dia bisa dengan mudah disalahartikan sebagai perempuan jika dia tidak menjelaskannya. Aku ingat kalau dia juga memiliki rambut yang sangat indah—rambut pendek, cokelat, dan sangat terawat. Luar biasa. Aku yakin dia sekarang dikerubungi wanita.”

Suara aneh lainnya membuatku tersentak dari ingatanku. Hasaki sudah selesai membersihkan dan dengan panik mencatat sesuatu di buku catatannya. Suaranya cukup keras sehingga menarik perhatian semua orang juga. Dia tiba-tiba berdiri, menepak beberapa uang receh di atas meja, membungkuk, dan berteriak, “A-aku minta maaf, teman-teman! Aku baru ingat kalau aku berjanji pada teman-temanku di klub tenis bahwa aku akan berlatih bersama mereka hari ini. Maaf, tapi aku benar-benar harus pergi sekarang!” Dan dengan itu, dia bergegas keluar dari restoran.

“Ada apa dengannya?” tanya Asakura.

“Entahlah,” jawabku.

“Si Natsuo itu…” renung Ike.

“Kau memikirkan apa yang aku pikirkan, kan?” kata Touka.

“Ya, kemungkinan besar…” jawabnya.

Mereka berdua mengangguk, seolah mereka tahu akan sesuatu yang aku tidak ketahui. Oh, pasti begitu.

“Apakah kebetulan kalian berdua mengenal Natsuo?” tanyaku pada mereka.

Dilihat dari tampang mereka yang sangat sombong sekarang, aku bisa mengetahui bahwa itulah perkaranya. Akan luar biasa jika mereka mengenalnya—tentu, sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali aku melihatnya, tapi aku masih menganggapnya sebagai teman. Aku bertanya-tanya di mana dia dan apa yang dia lakukan akhir-akhir ini.

“Natsuo—” Touka mulai bicara, terlihat agak tidak senang.

“Maaf, Yuuji, tapi itu info yang sangat rahasia. Benarkan, Touka?” Ike dengan cepat memotongnya.

“O-Oh ya, kurasa begitu. Sebenarnya, ya—kami tidak dapat memberi tahumu apa pun, Senpai!” teriaknya.

“Uh, oke. Jika kalian begitu bersikeras tentang hal itu, kurasa aku tidak akan menyelidikinya lebih dalam. Tapi jika kalian benar-benar mengenalnya, bolehkah aku menanyakan satu hal saja?”

Mereka mengangguk serempak.

“Apakah dia baik-baik saja?” tanyaku.

Kakak beradik itu saling memandang dan tersenyum.

“Aku sepenuhnya memperkirakan sesuatu yang lain, tapi ini memang seperti dirimu,” kata Touka.

“Ya, aku juga sangat gugup. Aku lega dia tidak menanyakan hal-hal yang aneh. Jangan khawatir, Yuuji — dia baik-baik saja,” Ike meyakinkanku.

“Aku tidak begitu mengerti apa yang kalian bicarakan, tapi kuharap aku bisa bertemu dengan Natsuo suatu hari nanti,” kata Asakura, jelas bingung dengan keseluruhan situasi ini.

“Aku senang jika begitu,” jawabku.

Kami beralih dari obrolan itu dan belajar selama satu jam lagi atau lebih; setelah berlalu, kami mengakhiri belajar bareng kami.

“Kita sungguh membuat banyak kemajuan hari ini. Kalian tak masalah melanjutkan ini lagi besok?”

“Biasanya, aku akan menyuruhmu untuk belajar sendiri, tapi melihat kau begitu bersemangat untuk belajar setidaknya sekali dalam hidupmu membuatku sulit untuk menolakmu, jujur ​​saja,” kata Ike sambil tertawa. Dia pria yang baik.

“Apa kamu tak masalah kalau aku ikut juga besok, Asakura-senpai?” tanya Touka.

“Tentu saja! Seperti yang kubilang sebelumnya, gadis cantik selalu diterima! Tapi jangan bermesraan dengan Tomoki besok!” katanya dengan tegas sambil memberikan tatapan tajam ke arah kami. Bisakah kau tidak melihatku seperti itu? Ayolah, bung.

“Dimengerti! Kau dengar kan, Senpai—tidak boleh bermesraan kecuali dia tidak melihat, oke?” kata Touka.

Asakura melihat ke arahku dengan ekspresi melas.

“Mari lakukan seminimal mungkin,” kataku sedatar mungkin sambil mencoba mengabaikan Touka.

Belajar bareng kami sudah selesai untuk hari ini, tapi jalan kami masih panjang.

Keesokan harinya, kami semua memutuskan untuk nongkrong di tempat yang sama untuk sesi belajar kami… hanya saja kali ini, Hasaki tidak terlihat.


Kebanyakan orang memiliki ingatan yang tidak menyenangkan ketika mereka mengingat kembali minggu sebelum ujian, tapi aku sebenarnya sangat menikmati beberapa hari terakhir ini. Setiap hari sepulang sekolah, aku nongkrong dengan Ike, Touka, dan Asakura, dan kami mempersiapkan diri untuk ujian bersama-sama. Ike membantuku dengan soal apa pun yang tidak bisa aku atasi. Sungguh, aku merasa seperti aku akan menguasai ujian tahun ini dibandingkan dengan tahun lalu.

Alangkah baiknya jika Hasaki bisa ikut, tapi dia belum bergabung dengan kami sejak saat pertama kali itu. Aku beranggapan bahwa dia sedang sibuk dengan urusan klub tenisnya. Aku menyadari bahwa tenis sangat penting baginya, tapi aku juga sedikit khawatir—bukankah dia ingin akrab dengan Touka? Dia melewatkan beberapa kesempatan bagus di sini.

Akhirnya, saat ini adalah akhir pekan sebelum ujian.

“Maaf sudah membuatmu menunggu, Yuuji-senpai!” teriak Touka dengan riang saat dia melihatku menunggunya di dekat pintu masuk stasiun kereta. Riasannya terlihat berbeda dari yang biasanya dia pakai di sekolah, dan dia memakai rok mini yang berkibar saat dia bergerak, memamerkan pahanya. Dia pasti dalam mode akhir pekan.

“Yo,” kataku sambil mengangguk.

“Ayo pergi dan belajar di kafe!” serunya sambil meraih tanganku dan menuntunku ke arah itu.


Kami berakhir di sebuah kafe yang cukup mewah di dekat stasiun kereta. Itu dipenuhi dengan remaja seperti kami, pasangan, dan banyak pria tampan. Aku benar-benar merasa tidak nyaman pada suasana ini. Bisakah aku berbalik dan pergi sebelum terlambat?

“Kenapa kita tidak pergi ke tempat yang biasa kita kunjungi saja?”

Asakura baru-baru ini memberitahuku salah satu minuman rahasianya—dia mencampurkan banyak rasa dari kran minuman menjadi satu. Itu luar biasa. Kuharap aku bisa mencobanya lagi hari ini. Dan untuk berpikir bahwa kau bisa mendapatkan minuman yang luar biasa itu dengan sedikit uang. Pria itu benar-benar jenius. Sementara itu, tempat ini berbau kopi dan kue-kue mewah. Bagaimanapun, maksudku adalah, aku merasa jauh lebih nyaman di DonMac. Sejujurnya, aku merasa sangat tidak pada tempatnya di sini.

Touka meletakkan jari di atas bibirnya, seolah memikirkan bagaimana menjawab pertanyaanku. “Hmm… Ditolak. Alasannya, tempat itu sangat bagus sebagai tempat kencan,” katanya dengan nada genit dan senyum malu-malu.

“Baiklah, jika kau bilang begitu,” kataku sambil mengangkat bahu. Sepertinya aku tidak punya pilihan lain dalam masalah ini; Aku hanya harus tersenyum dan menahannya.

Kami memeriksa menu dan memesan. Aku memesan es kopi biasa, tapi Touka memesan teh aneh dengan nama yang sulit diucapkan. Saat kami menunggu minuman kami tiba, kami menaruh buku-buku kami di atas meja. Minuman tiba pada waktu yang tepat. Touka mengangguk dan berkata, “Oke, Senpai! Ujiannya tinggal beberapa hari lagi, jadi mari berkonsentrasi!”

“Ya,” jawabku.

Dia mengambil salah satu pulpennya dan mengalihkan perhatiannya ke salah satu buku catatannya.


Untuk sementara, kami berhasil belajar tanpa banyak masalah. Saat aku menyesap kopiku yang semua esnya mulai mencair, Touka tiba-tiba membuka buku menu dan menatapnya dengan saksama.

“Hmm…” renungnya.

“Ada apa?”

Dia menatapku dan bertanya, “Apa kamu suka dengan yang manis-manis, Senpai? Aku benar-benar ingin mencoba pancake, tapi aku tidak bisa menghabiskan semuanya—aku nanti bisa menjadi sangat gemuk. Apa kamu ingin bagi dua denganku?”

“Menurutku kamu sudah imut apa adanya. Sejujurnya aku tidak keberatan jika beratmu bertambah beberapa kilogram.”

“Whoa, Senpai. Kau mungkin berpikir aku tidak melakukan banyak usaha untuk menjaga bentuk tubuhku, tapi aku sebenarnya banyak berolahraga, tahu? Aku harus tetap fokus. Jika tidak, semuanya bisa menjadi buruk dengan sangat cepat!” balasnya.

“Oh, jadi itu sebabnya kamu sangat cantik, huh?”

Yang aku maksud dengan itu adalah dia sangat menarik dan juga bergaya. Dia memang bugar, tapi tidak berotot, lho? Dia masih terlihat sangat feminin. Tapi sepertinya dia berusaha keras untuk terlihat seperti dia yang sekarang—tanpa olahraga dan perawatan, dia mungkin akan terlihat sangat berbeda. Aku tidak tahu itu.

“A… Aku melakukannya sehingga kau dapat dengan bangga menyatakan bahwa aku adalah pacarmu, tahu?!” candanya, tapi wajahnya menjadi merah. Dia bergumam pelan, “Sial, aku tidak bisa mengatakan itu dengan wajah datar. Aku tidak bisa!”

​​Apa yang membuatnya begitu malu sekarang? Aku hanya mengatakan padanya bahwa—oh, sial, aku bilang dia imut. Benar. Sekarang akulah yang malu. Aku seharusnya menjelaskan apa sebenarnya maksudku, tapi yang terjadi terjadilah. Aku tidak bisa benar-benar menjelaskannya sekarang, karena aku terlalu sibuk dengan kontes menatap lantai. Mungkin aku harus memasang ekspresi datar seperti biasa dan mengatakan sesuatu untuk meringankan suasana. “Oopsie?” Aku hampir tidak bisa bicara sambil berpura-pura normal. Aku berdehem dan berkata, “Ahem… Ngomong-ngomong, kamu mau memesan pancake, kan? Aku juga ingin makan sesuatu yang manis, jadi lakukanlah.”

Ini sangat canggung. Ayolah, mari lanjutkan. Mungkin jika aku memakan sedikit gula, itu akan menyadarkanku, dan aku akan berhenti mengatakan hal bodoh tanpa berpikir.

“…Jadi apakah itu berarti kamu ingin memakanku? Kau tahu, karena aku sangat imut, manis, cantik, dan sebagainya. Itu kata-katamu, bukan kata-kataku. Dasar bajingan sange.”

Touka, kumohon, aku mohon—jangan dibahas lagi. Aku sudah cukup ingin merangkak ke bawah batu dan mati sekarang. Kenapa dia harus memutarbalikkan kata-kataku seperti itu?

“Kupikir aku mengacu pada pancake, bukannya dirimu,” jawabku dengan ekspresi datar.

“Oh benarkah?” bisiknya saat dia mulai menendangi kakiku dengan ujung jari kakinya.

“Apa yang kau lakukan? Bisakah kau tidak menendangku, kumohon?” bentakku. Tendangannya yang main-main di bawah meja agak sedikit kuat, sampai-sampai itu menyakitkan.

“Kau benar-benar jahat, Senpai. Tapi jika kau tidak ingin aku melakukannya, maka aku akan berhenti,” godanya. Dia berhenti menendangku, tapi sekarang dia mengelus kakiku menggunakan kakinya. Aku tahu dia melepas sepatunya karena rasanya.

“Ayolah, itu geli,” kataku.

“Oh benarkah? Kalau begitu, singkirkan kakiku jika kamu tidak menyukainya. Kamu bisa melakukannya kalau hanya begitu, kan?”

Oke, sekarang dia benar-benar membuatku kesal. Jika dia sangat ingin aku memegangi kakinya, maka aku akan melakukannya. Aku mengulurkan tangan, meraih kakinya—

“Eep!” jeritnya. Wajahnya memerah lagi, dan dia segera menjauh dari kakiku. Ada keheningan yang lama dan canggung di antara kami. Kami saling memandang, tapi kami tidak dapat mengatakan apa pun.

“Jadi tangan mesummu baru saja menyentuh kakiku, dan kau bahkan tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang itu? Jadi begitu huh, Senpai,” omelnya dengan kepala menoleh ke arah lain.

“Maksudku, jika kau menginginkan testimoni — kakimu ramping, tapi ternyata lembut. Rasanya seperti sedang menyentuh matras. Kakimu terasa sangat berbeda dari kakiku, begitulah setidaknya.”

Bukannya menanggapi dengan bantahan tajam, seperti biasanya, Touka malah mulai berlinangan air mata.

Dia berteriak, “Maksudku bukan seperti itu! Kau seharusnya malu, oke?! Itulah yang aku harapkan. Bukan komentar mendetail tentang bagaimana kakiku terasa! Itu benar-benar terdengar seperti sesuatu yang akan dikatakan oleh orang mesum menjijikan!”

Apa yang dia harapkan dariku? Bukankah dia sekarang mengenalku? Aku tidak peduli untuk mengatakan apa yang ada di benakku. Tapi harus aku akui, aku agak kelewatan dalam memberikan jawabanku barusan.

Aku menundukkan kepala dan berkata, “Ya, kamu benar. Aku minta maaf.”

Aku tidak ingin dia menjalani hari yang buruk hari ini. Aku tidak hanya mengacau sekali mengenai dia yang imut, tapi aku juga membuatnya merasa tidak nyaman dengan keseluruhan menyentuh kaki itu. Ya, itu salahku. Wajahnya merah padam sekarang, dan matanya berair; dia jelas malu dengan apa yang barusan aku lakukan.

“Aku sangat menyesal. Aku tidak akan pernah menyentuhmu lagi,” aku meyakinkannya.

“A-Aku juga tidak bermaksud begitu, oke?! Aku hanya mal—maksudku, terkejut dengan apa yang kau lakukan! Aku tidak keberatan kau menyentuhku sama sekali, Senpai! Bukan itu yang kumaksud, jadi jangan khawatir!” dia tergagap.

“Tapi kamu…”

“Woke! Sudah waktunya memesan pancake itu! Kita bagi dua, oke?!” sela dia dengan cepat sebelum aku dapat mengatakan apa pun. Dia memanggil pelayan, menghindari setiap dan segala kontak mata denganku. Begitu pelayan itu pergi, dia bergumam, “A… Aku hanya terkejut, oke? Hanya itu. Jangan khawatir tentang itu.”

Oke, kalau begitu aku tidak akan membahasnya lagi. Pancake tiba dengan cepat, dan Touka mengalihkan perhatiannya ke pancake itu.

“Woow! Kelihatannya enak! Aku harus mengambil foto!” serunya dengan gembira. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengambil gambarnya. Kemudian, dengan nada bercanda, dia menoleh ke arahku dan berkata, “Oke, Senpai—sekarang saatnya saling menyuapi pancake ini! Kau tahu, seperti pasangan sungguhan!”

Harus kuakui—dia imut saat melakukan hal-hal seperti ini.

“Yeahhh… makasih, tapi tidak,” jawabku dengan cepat.

“Hah? Tidak mungkin! Ingat ketika seseorang meminta kita untuk ‘menunjukkan bahwa kita sungguhan?’ Kita harus melakukan hal-hal semacam ini hingga menjadi kebiasaan! Siapa tahu kapan hal seperti itu akan muncul lagi? Atau apa kamu mau bilang bahwa kau tidak akan mengalami kecemasan akting?”

Dia mengatakan semua ini begitu cepat hingga aku membutuhkan waktu beberapa saat untuk menangkap apa yang dia katakan. Sial, dia benar-benar cerewet tentang hal ini.

“Bukankah kita sudah cukup berlatih di atap hari itu saat kau membuatkanku bekal?” balasku. Aku teringat kilas balik ketika dia menjejali makanan dari kotak bekal ke dalam mulutku. Tapi hei, rasanya tidak terlalu “penuh kasih sayang” bagiku, mengingat itu hampir membuatku tersedak hingga mati.

“Ayolah, itu tidak dihitung. Bukankah sudah jelas?!” jawabnya.

“Tunggu, benarkah?”

Kau pasti bercanda.

“Dengarkan! Hanya karena itu adalah latihan, bukan berarti itu dihitung! Kita perlu berlatih dengan serius untuk hal semacam ini. Dengan begitu, jika kita mendapatkan haters lain yang meminta kita untuk membuktikan cinta kita yang abadi, kita dapat melakukan hal seperti ini dan benar-benar mempermalukan wajah bodoh mereka! Itu sebabnya kita harus melakukannya, oke? Jadi kita bisa melakukannya di depan orang lain tanpa masalah! Mengerti?!”

Sial, dia tidak memberiku pilihan lain selain patuh. Dia sangat memaksaku. Respon apa yang harus kuberikan setelah pidato agung itu?

“Aku akan menganggap diammu sebagai ya!” katanya cepat. Dia mengambil garpu dan pisau, memotong pancake, mengulurkannya ke arahku, dan menginstruksikan, “Katakan ‘Aaaaah!’”

Aku melihat sekeliling untuk memeriksa orang-orang di sekitar kami. Sepertinya tidak ada yang memperhatikan kami, itu sangat melegakan. Aku hanya akan mengikuti permintaannya dan menyelesaikannya secepat mungkin.

Aku menggigit pancake. Seketika, teksturnya yang hangat dan lembut memenuhi mulutku. Menurutku rasanya sedikit manis, tapi tetap enak.

“Oke, Senpai—sekarang giliranmu untuk menyuapiku!” katanya sambil menyerahkan garpu itu padaku.

Aku tidak punya pilihan. Dengan enggan aku mengangguk dan memotong satu bagian pancake; Aku memberikan pancake itu padanya dengan mata kami saling bertatapan. Pipinya langsung merona. Dia membuka mulutnya sedikit dan dengan hati-hati memakannya. Mau tak mau aku menatap bibirnya saat dia makan. Sial, ini benar-benar memalukan. Aku harus tenang.

“Maafkan aku, Touka, jujur saja, tapi kurasa aku tidak bisa memaksakan diri melakukan ini di depan orang-orang lagi,” aku berhasil berbisik dengan sisa tenagaku.

“Aku sangat gugup sehingga aku bahkan tidak bisa merasakan rasa pancake-nya. Kurasa kamu benar. Mari tidak melakukan hal ini untuk sekarang,” dia setuju sambil mengalihkan pandangannya.

“Oke, senang mendengarnya. Selain itu, kurasa tidak ada orang yang akan meminta kita melakukan sesuatu seperti ini untuk membuktikan hubungan kita. Satu-satunya orang yang melakukan sesuatu yang mirip adalah Hasaki. Yah, meski begitu, karena dia pernah melakukan itu, tidak sepenuhnya mustahil baginya untuk meminta kita melakukan ini juga.”

Senyuman Touka lenyap saat nama Hasaki disebutkan. Wajahnya berubah menjadi topeng dingin tanpa ekspresi.

“Ada apa?” tanyaku padanya.

“Aku baru saja memikirkan temanmu itu, Natsuo; yang kamu bicarakan kemarin,” jawabnya.

Benar. Sekarang setelah kupikir-pikir, Hasaki belum kembali ikut ke kegiatan belajar bareng kami sejak aku membahas hal itu. Meski aku merasa aneh saat Touka membahasnya ketika Hasaki menjadi topik diskusi.

“Kau ingin bertemu dengannya lagi, kan, Senpai?” tanya Touka.

“Ya, begitulah.”

“Bahkan jika dia berubah?” tanya Touka. Nada suaranya sangat serius. Tanpa gentar, aku mengangguk tanpa sepatah kata pun.

“Begitu ya. Oke, aku mengerti. Sebenarnya, kurasa aku mungkin mengenal Natsuo. Aku akan mencoba bertanya apakah dia merasakan hal yang sama,” katanya.

Aku ingat terakhir kali aku bertanya tentang Natsuo, dia dan Ike mengatakan mereka punya alasan untuk tetap diam tentang semuanya; Sejujurnya aku terkejut Touka mau berbuat sejauh ini untukku. Jika dia benar-benar tahu siapa Natsuo dan meyakinkannya untuk bertemu denganku lagi, aku akan sangat senang.

“Bagaimana pun juga, kurasa dia tetaplah temanmu. Tentu saja kau ingin bertemu dengannya,” gumamnya pada diri sendiri. Dia menoleh ke arahku dan berseru, “Tapi! Ada sesuatu yang aku ingin kau janjikan padaku!”

“Huh? Janji?” tanyaku.

“Yup. Menurutku akan sangat bagus bagimu untuk mendapatkan lebih banyak teman dan sebagainya, tapi… ingatlah bahwa aku adalah pacarmu, mengerti?! Aku melarangmu untuk main mata dengan gadis lain. Janji,” perintahnya sambil menatapku dengan mata samar-samar.

Yah, aku sudah berteman dengan Hasaki, jadi kurasa dia tidak ingin aku bergaul dengan banyak perempuan. Lagian, itu bisa mempengaruhi “hubungan” kami. Mempertimbangkan bagaimana Natsuo mungkin seorang penakluk wanita sekarang, dan aku tidak keberatan bergaul dengan perempuan, dia mungkin ingin memastikan aku tidak mendapatkan pacar sungguhan dalam prosesnya. Namun, jujur saja—meskipun hubungan kami palsu, mendengar bagaimana dia berbicara sekarang—memperlakukan “hubungan kami” seperti sungguhan—membuat jantungku berdetak kencang setiap saat. Meski hanya sesaat.

“Jangan khawatir, Touka. Kaulah satu-satunya untukku,” jawabku.

“Sial! Oke, kau tidak perlu berbicara manis denganku atau semacamnya. Selama kau menepati janjimu, aku sih tak masalah,” katanya sambil menatap erat ke lantai.

Jadi dia malu dengan jawabanku, bukan dengan permintaannya sendiri? Sumpah, dia benar-benar sesuatu. Wajahnya benar-benar merah, dan dia masih menatap kuat ke lantai; Kurasa sebaiknya aku tidak mengkomentarinya lagi untuk saat ini.

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya