[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Chapter 10 Bahasa Indonesia
Chapter 10: Ujian Dimulai!
Setelah sesi belajar bareng pertamaku minggu lalu, waktu ujian akhirnya bergulir. Kami sedang menghadapi ujian dari beberapa mata pelajaran, tapi kurasa aku bisa melewatinya berkat bantuan Ike.
Sebagian besar pertanyaan cukup menantang, tapi sesekali, aku akhirnya menemukan satu atau dua pertanyaan yang membuatku tersadar, “Hei! Aku jelas sudah mempelajari ini dengan Ike!”
Satu minggu ujian yang mengerikan telah berlalu, dan akhirnya kami baru saja menyelesaikan ujian terakhir kami. Sekolah hari ini sudah usai, dan semua orang bersiap untuk pergi. Ruang kelas penuh dengan kegembiraan.
“Hai, Haruma, apa jawabanmu pada ujian hari ini?”
“Yo! Aku juga ingin tahu! ”
Aku sedang duduk di kursi dan mengemasi barang-barangku saat aku melihat pemandangan yang terbentang di depanku: Ike berada di dekat meja guru, dan dia dikerumuni oleh orang yang berdesak-desakkan untuk mengetahui jawabannya.
“Teman-teman, aku tidak tahu apakah aku orang yang tepat untuk mengecek jawaban kalian. Faktanya, aku bisa saja salah dalam menjawab banyak soal.”
“Ya, tentu. Mana mungkin, kau akan salah. Lagian, jika, entah kenapa, kau salah menjawab soal, itu karena gurunya yang mengacaukannya!”
Ike dikerubungi oleh yang lain, jadi dia akhirnya menyerah dan mulai memeriksa ulang jawabannya dengan yang lain. Saat dia melafalkan setiap pertanyaan dan jawabannya, teriakan kegembiraan dan frustrasi bergema di seluruh kelas.
“Apa?! Jadi jawaban yang benar untuk nomor tiga pada ujian Bahasa Jepang Modern kita sebenarnya adalah B?! …Oh, jadi seharusnya dibaca begitu ya. Aku tidak pernah memikirkan itu. Ike, sobatku, kau benar-benar jenius.”
“Begitu caranya mengerjakan soal matematika terakhir, ya? Bagaimana bisa aku salah pada perhitungan sederhana seperti itu? Sumpah.”
“Ujian sejarah kita memiliki begitu banyak pertanyaan yang hampir tidak kita bahas di kelas, dan kau bilang bahwa kau mungkin menjawabnya dengan baik? Bagaimana caramu melakukannya?”
Semua orang mendiskusikan pertanyaan dan memberikan pendapat mereka tentang seberapa pintarnya Ike. Terkadang rasanya begitu seperti pentas drama sehingga aku tidak bisa menahan senyum.
“Ini bukanlah akhir dunia meski kalian tidak menjawab benar seluruhnya, kawan. Aku cukup yakin kita mendapatkan beberapa soal yang biasa muncul dalam ujian masuk perguruan tinggi. Sejujurnya, ujian ini sulit.”
Dia terkadang begitu rendah hati sehingga membuat semua orang kagum. Semua orang tertarik padanya; mereka memandangnya dengan kepercayaan dan bahkan sesuatu yang mendekati pemujaan. Itu tidak mengejutkanku sedikit pun—dia terlahir untuk ini.
“Sial, sepertinya Haruma adalah MVP setelah ujian. Bagaimana denganmu, Tomoki-kun? Bagaimana ujiannya?” Hasaki tiba-tiba mendekati kursiku dan bertanya. Kehidupan sosialku menjadi tumpuan hidup minggu ini karena ujian, jadi senang akhirnya bisa berbincang dengan seseorang.
“Menurutku, aku melakukannya jauh lebih baik daripada tahun lalu. Ini semua berkat Ike,” kataku.
“Oh, benarkah? Senang mendengarnya,” jawabnya agak riang.
Aku mengalihkan perhatianku ke kerumunan di sekitar karakter utama kita dan bertanya pada Hasaki, “Kau tidak akan memeriksa jawabanmu dengannya?”
“Aku mau saja… tapi karena dia cenderung selalu benar, terkadang lebih baik jika aku tidak tahu di mana letak kesalahanku. Itu bisa merusak sore hariku, lho?” katanya sambil tersenyum. Itu masuk akal—nilainya cukup rata-rata, tidak luar biasa.
“Menurutmu kau menghadapi kesulitan pada ujian ini atau semacamnya?” tanyaku.
Dia mengalihkan pandangan dan menjawab dengan mengangkat bahu, “Ya. Aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali, jadi aku cukup yakin kalau aku akan mendapatkan hasil yang sangat buruk.”
“Oh. Sial, itu parah,” jawabku.
“Senpaaai! Ayo pulang bereng!” sebuah suara memanggil dari pintu masuk kelas. Tidak mengherankan, itu adalah Touka. Dia dengan cepat melihatku dan bergegas.
“Kerja bagus minggu ini! Kamu juga, Hasaki-senpai!” katanya sambil tersenyum.
“Mhm. Ya, sama untukmu,” jawab Hasaki dengan nada tidak tertarik yang sama. Dia dengan cepat menambahkan dengan, “Oke, kalau begitu, kurasa aku akan pergi ke klub tenis.”
“Huh?” seruTouka.
Aku dan Touka sedikit terkejut dengan reaksinya. Aku bisa mengerti kalau Hasaki sedang tidak dalam mood untuk bersosialisasi dan mencoba melarikan diri secepat mungkin, tapi kenapa? Apakah terjadi sesuatu? Hasaki menarik napas dalam-dalam dan dengan ragu-ragu berkata, “Um, jadi… Aku sebenarnya akan mengikuti pertandingan tenis, dan aku bertanya-tanya apakah kalian berdua mau datang untuk mendukungku?”
Aku yakin Touka akan mengatakan tidak.
“Oke, tentu! Aku dan Yuuji-senpai pasti akan disana untuk mendukungmu!” kata Touka dengan riang.
“…Makasih, lega mendengarnya. Aku akan sangat senang jika kalian datang,” jawab Hasaki. Apakah hanya perasaanku, atau dia memang tidak terdengar terlalu senang mengenai itu?
“Oke, aku akan pergi sekarang. Da-daah!” Kata Hasaki. Dia melambaikan tangan pada kami dan meninggalkan kelas. Saat dia keluar, aku menyuruhnya menjaga diri, tapi dia bahkan tidak berbalik. Huh.
“Kamu yakin kamu tak masalah pergi ke pertandingan itu?” tanyaku pada Touka setelah aku memastikan Hasaki sudah pergi. Mereka sedang tidak akur sekarang, jadi aku agak penasaran kenapa Touka menerima tawarannya.
“Tidak masalah. Kita harus pergi,” katanya sambil melihat ke pintu kelas. Mungkin dia sedang mempertimbangkan kembali pendiriannya terhadap mantan temannya? Aku tidak dapat membaca pikiran, jadi selagi aku berharap demikian, Touka bisa sangat tidak terduga. Apa yang dia cari dari semua ini? Kuharap aku bisa mengetahuinya.
“Ngomong-ngomong, ayo kita pergi. Aku tidak ingin berada di sini,” katanya, menyadarkanku dari lamunan.
“Tentu, ayo pergi,” jawabku. Kami berdiri, meninggalkan sekolah, dan pulang.
☆
Aku bermimpi tadi malam. Itu mungkin karena dipengaruhi oleh kejadian kemarin. Aku ingat Hasaki dan Touka berada di dalam mimpi. Entah kenapa, mereka saling menyuapi bekal buatan mereka sebagai cara untuk berbaikan. Bagaimanapun, aku akhirnya bangun lebih awal dari biasanya. Aku naik kereta lebih awal dari biasanya, dan saat aku menuju sekolah, aku kebetulan berpapasan dengan Makiri-sensei. Mata kami saling bertatapan sejenak, tapi dia dengan cepat mengalihkan pandangannya. Dia mungkin masih malu dengan apa yang terjadi tempo hari. Aku mengerti perasaannya—maksudku, aku sendiri masih cukup malu.
Tapi ini berbeda—dia wanita dewasa, bukan sekedar siswi sekolah yang tersipu malu, jadi aku tidak bisa mengabaikan ini. Dia menggelengkan kepalanya beberapa kali seolah-olah membantah sesuatu. Akhirnya, dia menatapku dan berkata, “Selamat pagi, Tomoki-kun. Kulihat, kamu bangun pagi-pagi sekali hari ini.” Dia terdengar sangat gelisah sekarang. Dia tidak setenang biasanya.
“Selamat pagi. Ya. Saya bangun lebih awal dari biasanya, jadi saya memutuskan untuk pergi lebih awal. Kenapa tidak?” balasku. Oke, aku tidak bisa menyalahkannya; Aku juga merasa sedikit tegang. Bohong jika aku mengatakan sebaliknya.
“Tidur itu penting, jadi pastikan untuk tidak kurang tidur, oke?”
“Ya, tentu.”
Ya ampun, ini sangat canggung. Aku terus mengingat apa yang terjadi hari itu. Apa yang harus aku katakan? Bagaimana aku harus meminta maaf mengenai itu?
“Ngomong-ngomong…,” katanya tiba-tiba sambil tersenyum, “Aku dengar hasilmu tahun ini cukup bagus.”
Syukurlah dia mengubah topik pembicaraan. Dia tampak lebih tenang dari sebelumnya, dan itu berhasil sedikit menenangkanku.
“Ya, terasa jelas bahwa saya telah melakukannya lebih baik tahun ini. Untungnya Ike membantuku minggu lalu,” jawabku, mencoba kembali ke diriku yang biasa.
“Oh, benarkah? Dia mendapat nilai bagus,—seperti biasa—jadi kurasa kalian berdua telah berusaha keras menghadapi ujian.”
“Bagaimana Anda bisa tahu nilaiku?” tanyaku. Satu-satunya alasan yang dapat kupikirkan adalah para guru menyebarkan rumor lain tentangku—mungkin mereka berspekulasi bahwa aku mendapatkan nilai itu dengan menyontek atau semacamnya. Mungkin begitulah cara Makiri-sensei mengetahuinya.
“Bukannya aku pilih kasih atau semacamnya… tapi akan bohong jika aku bilang aku tidak terlalu memperdulikanmu seperti yang lain,” katanya.
“Apa maksud Anda?” tanyaku. Mungkinkah aku mendapatkan masalah tanpa mengetahuinya, dan dia mencoba menawarkan bantuan seperti biasa? Aku sangat khawatir sekarang. Itu pasti tertulis di seluruh wajahku, karena ketika dia melihat ekspresiku, dia dengan cepat menghilangkan senyumnya dan memantulkan ekspresiku.
“T-Tunggu! Yang kumaksud adalah… Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, oke?!” dia tergagap. Pipinya memerah, dan matanya terlihat sedikit berkilau. Kupikir dia berusaha terlalu keras untuk membaca pikiranku. Namun, melihat dia sekhawatir ini merupakan hal yang cukup memalukan.
“…Saya mengerti,” gumamku.
“Apakah kamu benar-benar mengerti apa yang aku maksud?” tanyanya, masih gugup. Aku tidak—tidak bisa—menjawab. Setelah hening beberapa saat, dia mungkin sadar bahwa aku tidak akan menjawab dan melanjutkan dengan, “Oh, baiklah. Baiklah kalau begitu.”
Keheningan terus berlanjut sebelum dia memikirkan topik lain. “Ngomong-ngomong, tentang apa yang terjadi di ruang konseling siswa tempo hari…,” mulainya. Sudah kuduga topik ini akan muncul cepat atau lambat. Aku mengangguk untuk menjawabnya, dan dia berkata, “Kamu membantuku saat itu. Terima kasih. Apa kamu terluka? Aku tidak bertanya apakah kamu baik-baik saja saat itu.”
“Saya baik-baik saja; tidak ada luka atau semacamnya. Saya kuat, jadi saya bisa menerima beberapa benturan,” jawabku.
“Begitu ya. Senang mengetahuinya,” katanya dengan senyum di wajahnya.
“Apakah Anda baik-baik saja? Misalnya, apakah Anda terbentur di suatu tempat saat Anda jatuh?” tanyaku.
“Tidak, tidak ada. Itu semua berkatmu,” jawabnya.
“Senang mengetahuinya,” jawabku. Aku khawatir dia terluka saat jatuh, tapi lega mendengar bahwa dia baik-baik saja. Aku menghembuskan nafas panjang, dan dia tersenyum canggung. Setelah keheningan tegang lainnya, dia berbicara lagi.
“Alangkah baiknya jika kita bisa, uh, melupakan apa yang terjadi saat itu.”
“Tidak masalah,” kataku. Meski, Mana mungkin aku bisa—bagaimana mungkin aku bisa melupakan dia yang menindihku? Jika pun ada yang bisa kulakukan, aku akan mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.
“Terima kasih, aku sangat menghargainya,” katanya dengan memaksakan senyum yang sama. “Apakah saranku berhasil? Maksudku, tentang masalah yang kamu bicarakan saat itu.”
Oh, benar—aku meminta nasihatnya agar Touka dan Hasaki berbaikan. Mari lihat…
“Hm, yah… mereka jelas tidak terlalu akur sekarang, tapi saya melakukan seperti yang Anda rekomendasikan. Mereka telah bicara, dan saya pikir itu perlahan-lahan akan berhasil. Perlahan, tapi pasti,” jawabku. Ambil contoh Touka yang menerima undangan Hasaki, misalnya. Menurutku itu awal yang bagus. Aku yakin segalanya akan menjadi lebih baik di antara mereka berdua. Mereka hanya membutuhkan lebih banyak waktu dan kesempatan untuk bicara.
“Senang mendengarnya. Hanya saja, jangan terlalu optimis tentang semuanya. Kamu harus mengawasi mereka untuk memastikan bahwa tidak ada yang salah, oke?”
“Yep. Seperti yang saya katakan, mereka masih kurang akur; tapi saya akan melakukan apa yang saya bisa untuk membantu mereka akur kembali.”
Ini seperti yang dia katakan terakhir kali—hubungan mereka mungkin sedikit membaik, tapi jalan masih panjang sebelum mereka benar-benar bisa berteman lagi. Aku tidak berpikir aku dapat melakukan banyak hal dalam skema besar, tapi selama ada yang dapat aku bantu apa pun itu, aku akan terus melakukannya.
“Kuharap kamu dapat terus membantu mereka tanpa masalah apa pun,” katanya.
“Terima kasih,” jawabku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Ngomong-ngomong, aku harus pergi sekarang. Lakukanlah yang terbaik hari ini, seperti biasa,” katanya.
“Akan saya coba.”
Dia berjalan pergi, berbelok di sudut lorong, dan menghilang dari pandangan. Aku berdiri diam sebentar dan melamun, mengingat kembali percakapan kami. Setelah beberapa detik, aku kembali tersadar dan langsung menuju ke kelas. Saat aku masuk, aku melirik jam. Aku menghabiskan banyak waktu berbicara dengan Makiri-sensei, tapi masih ada waktu sampai sekolah dimulai.
Saat aku melihat sinar mentari yang menembus jendela dan udara dingin, aku menyadari bahwa mungkin memang benar kata pribahasa, bangunlah pagi biar rezeki tak dipatok ayam.
Post a Comment