[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Chapter 8 Bahasa Indonesia

 

Chapter 8: Pengalaman yang Bermanfaat

 

Sekarang malam hari, dan aku memikirkan nasihat yang Makiri-sensei berikan padaku sebelumnya. Dia menyarankan agar aku menemukan cara untuk membuat mereka berbicara satu sama lain. Itu bagus, tapi apa cara terbaik untuk melakukannya? Selain itu, meskipun aku berhasil mendapatkan ide, masih ada dua masalah yang harus dihadapi: pertama, Touka pasti akan menolak undangan jika dia tahu Hasaki akan datang. Kedua, menurutku aku tidak cocok berperan sebagai mediator tunggal. Seperti jika terjadi pertengkaran misalnya, aku tidak dapat membayangkan diriku melerainya.

Sebenarnya… itu dengan asumsi kalau aku melakukannya sendirian. Jika ada orang lain bersamaku yang benar-benar tahu bagaimana cara menghadapi orang, semuanya bisa berjalan lebih baik. Dan kebetulan aku mengenal orang itu. Aku mengeluarkan ponsel dan mengetik nomornya. Aku menelepon dua kali, tapi tidak diangkat. Aku akan mencobanya sekali lagi. Kalian tahu apa yang mereka katakan: tiga kali dapat piring.

“Halo? Yuuji? Ada apa?” jawab Ike.

Ya, aku yakin jika ada Ike di sana, maka semuanya akan baik-baik saja. Dia mengenal mereka jauh lebih lama daripada aku, jadi dia akan sangat membantu dalam situasi ini.

“Hei. Aku tahu ini sangat mendadak, tapi apakah kau punya rencana untuk besok atau lusa?” kataku.

“Uh… Sial, oke. Itu cukup mendadak, ditambah lagi tidak terduga,” komentarnya.

Aku tahu dia terkejut, dan bukan dengan cara yang baik. Kupikir ini tidak akan mudah.

“Bentar… Kurasa aku luang besok. Ada perlu apa?”

“Ingat ketika kamu bilang padaku bahwa kamu berhutang budi padaku karena membantu OSIS? Nah, sekarang aku mau menagihnya. Bisakah kamu nongkrong bersamaku dan Touka besok?”

Dia memang menjanjikanku bayaran sebagai kompensasi atas pekerjaan yang aku lakukan selama acara OSIS saat Golden Week. Sekarang, saatnya aku menggunakannya.

“Tentu, aku sama sekali tidak keberatan. Tunggu, kau bilang Touka akan ikut juga?” tanyanya.

“…Sejujurnya, aku tidak tahu apakah dia mau ikut,” gumamku ragu.

Ike tertawa dengan jelas dan berkata, “Oh, baiklah. Jika kau mengundangnya, aku tidak bisa membayangkan kalau dia akan menolak ajakanmu, meski dia akan marah karena ada aku juga. Kedengaranya bagus.”

Dia masih menganggap kalau kami adalah pasangan, itulah sebabnya dia berasumsi bahwa Touka akan senang dengan keseluruhan ajakan ini. Tentu saja, itu sepenuhnya kesalahpahaman.

“Kau setuju kalau aku mengajak Hasaki juga?” tanyaku.

“Mengajak Kana?” jawabnya, sekarang terdengar sedikit khawatir.

“Uh, ya. Sekarang kami lebih akrab, jadi kupikir kenapa tidak mengajak dia ikut dengan kita juga. Kau tahu maksudku kan?”

Dia terdiam sesaat, lalu berbisik, “Aku mengerti. Oke, aku akan mencoba membantu sebanyak mungkin.”

Meski suaranya rendah, dia terdengar sangat senang.

Wow. Aku bahkan belum menjelaskan situasinya kepadanya, dan dia sudah mengetahui segalanya. Namanya juga pemeran utama cerita ini. Kerja bagus, bung; lanjutkan.

“Terima kasih, bantuanmu sangat dihargai,” kataku.

“Jangan khawatir, bung. Oke, bagaimana kalau kau menghubungi mereka dan memberi tahu mereka tentang besok? Adapun tempat nongkrong kita… serahkan padaku. Aku akan mengirimimu chat setelah aku memikirkan semuanya.”

“Tentu, aku serahkan padamu. Sampai nanti,” kataku.

“Ya, sampai jumpa,” jawabnya dan menutup telepon. Aku percaya Ike akan memikirkan tempat yang bagus, terutama mengingat aku belum pernah melakukan hal semacam ini dengan orang lain sebelumnya. Aku mengirimi Hasaki chat dan bertanya apakah dia punya rencana untuk besok. Dia membalasnya hampir sekejap.

“Ya, aku luang besok! Ada apa?” tanyanya.

Sial, cepat sekali.

Aku hanya akan memberi tahu dia bahwa aku dan Ike akan nongkrong sepulang sekolah besok dan menanyakan apakah dia tertarik untuk ikut serta.

“Tentu! Setelah kalian memikirkan rinciannya, hubungi aku lagi! Aku tidak sabar!” jawabnya dengan stiker karakter tersenyum yang lucu.

Bagus, sepertinya Ike dan Hasaki ikut. Sekarang yang tersisa hanyalah Touka. Dia adalah anggota yang paling penting, jadi aku tidak boleh mengacaukannya. Pada saat yang sama, dia pasti akan marah dan membenciku jika aku berbohong dan memberinya alasan. Baiklah, masa bodo. Kejujuran adalah kebijakan terbaik, dalam hal ini — aku akan memberi tahu dia rencana besok dan membiarkan para dewa menentukan nasibku.

“Mau ikut nongkrong denganku, Ike, dan Hasaki besok?” tanyaku.

Saat aku bolak-balik antara menyesali chat yang kukirim dan meyakinkan diri sendiri, jawabannya tiba. Mari kita lihat apa yang dikatakannya…


Siang yang ditakdirkan akhirnya tiba. Aku menunggu di tempat pertemuan yang telah ditentukan — pembatas tiket stasiun kereta. Aku sebenarnya tiba sedikit lebih awal, jadi aku bisa santai.

“Hei, Tomoki-kun!”

Suara seorang gadis memanggil. Itu Kana, yang mendekatiku dengan senyum lebar.

“Sangat mudah untuk menemukanmu. Maksudku, kamu sungguh tinggi!”

“Hei. Maaf sudah mengajakmu tiba-tiba seperti ini,” kataku.

“Tidak apa-apa, sungguh! Aku benar-benar senang kamu bahkan memikirkanku!” kicaunya.

Ya, aku masih belum menjelaskan rencanaku padanya atau alasan sebenarnya dari pertemuan ini, jadi kita lihat sajalah.

Aku mengingatkannya, “Aku tidak bagus dalam mengatur hal-hal seperti ini, jadi jangan berharap banyak.”

“Serius, aku senang kamu mengajakku. Itu lebih dari cukup bagiku,” ulangnya.

“Oh, Kau sudah di sini, Senpai! Maaf membuatmu menunggu!”

“Sepertinya kami membuat kalian berdua menunggu.”

Dua suara memanggil — sepertinya Ike dan Touka telah tiba. Touka benar-benar menerima ini tanpa membuat keributan, yang mana hal itu benar-benar mengejutkan. Aku mengira dia akan melawanku dalam hal itu, tapi aku tidak akan mengeluh. Aku tidak sedang mencoba cari mati.

“Yo,” sapaku pada mereka.

“Kalian sama sekali tidak membuat kami menunggu. Kalian benar-benar datang ke sini sama-sama?” tanya Hasaki sambil melihat mereka dengan tidak percaya.

Touka dengan cepat memposisikan dirinya di sampingku dan menjelaskan, “Yah, kakakku pergi lebih dulu sebelum aku, tapi kita janjian untuk bertemu di loket tiket pada akhirnya, jadi begitulah.”

Dia melihat ke arah Ike untuk meminta konfirmasi. Ike mengangguk dan berkata, “Ya. Aku pergi sedikit lebih awal agar aku bisa memeriksa rute kita ke sana.”

“Kau melakukan semua itu?” tanyaku.

“Wow. Jadi, kurasa kamu adalah pemandu kami untuk hari ini?” tambah Hasaki.

“Tentu. Serahkan padaku,” kata Ike.

“Oh, ayolah… Apa-apaan tampang sombong itu, Bung? Aku yakin tidak akan lebih dari 5 menit untuk sampai ke sana,” omel Touka padanya.

“Bagaimana kalau kau yang memimpin jalan, Touka?” balasnya.

“Huh? Tidak akan. Aku harus menghabiskan waktu bersama Yuuji-senpai. Benarkan, Senpai?”

“Uh, oke. Ayo pergi,” potongku, hanya ingin melarikan diri dari situasi canggung ini.

“Oh, ayolah, Senpai. Mudah untuk mengetahui saat kamu mencoba menyembunyikan rasa malumu,” katanya dengan suara manis yang memuakkan sambil merangkulkan tangan kami.

Ike tersenyum padaku dan Hasaki menatap kami dengan canggung. Ya Tuhan, ini sangat memalukan. Kuharap kami tidak harus melakukan ini, tapi dia akan marah jika aku melepaskan lengannya. Aku harus mengikuti alurnya.

Aku mulai berjalan menuju pintu keluar bersama Touka; Ike dan Hasaki dengan cepat mengikuti dari belakang. Aneh, melihat belum adanya hal buruk yang terjadi di antara kami. Kurasa ini adalah kabar baik untuk sisa hari ini? Tapi aku masih perlu mengawasi Touka — aku sadar situasi bisa memburuk dengan cepat dan merusak hari kami.


Seperti yang dikatakan Touka, hanya butuh waktu sekitar 5 menit untuk mencapai tujuan kami. Begitu kami tiba di gerbang depan, pilihan Ike menjadi jelas. Ike sudah memberitahuku kemana kami akan pergi, tapi gadis-gadis itu dengan cepat mengerti.

“Sudah lama sekali aku tidak pergi ke kebun binatang,” kata Hasaki.

Alasan Ike memilih lokasi tersebut adalah, katanya, “Mereka berdua kemungkinan akan lebih terbuka jika mereka berada di sekitar sekelompok hewan lucu. Ini mengurangi stres semua orang.”

Sejujurnya, menurutku itu ide yang fantastis.

“Jika tidak salah ingat, terakhir kali aku pergi kemari ialah saat aku masih di SD.”

“Aku ingat terakhir kaliku,” lanjut Kana. “Itu dengan beberapa teman saat SMP.”

“Bagus, sepertinya tidak ada yang pernah ke sini setelah sekian lama. Itu seharusnya membuat segalanya menjadi menyenangkan,” kata Ike sambil tersenyum.

Kami membeli tiket dan masuk. Karena ini hari Sabtu, tempat ini dipenuhi dengan pasangan dan keluarga yang membawa anak-anak. Kami mengambil beberapa pamflet, berisi informasi dan peta, dan memeriksa tata letaknya.

“Adakah yang punya tempat yang ingin dilihat terlebih dulu?” tanya Kana.

“Jujur… saja, aku tidak punya,” jawab Touka.

Aku mengangguk setuju — aku juga tidak punya pilihan.

“Yah, ini tidak seperti kita sedang buru-buru. Aku cukup yakin jika kita mulai sekarang, kita akan dapat menjelajahi semuanya hari ini. Kenapa kita tidak mengikuti petanya saja dan melakukannya seperti itu?” usul Ike.

Tidak ada keberatan, jadi kami mengikuti tata letak seperti yang diarahkan oleh pamflet. Pemberhentian pertama adalah melihat gajah. Aku tahu mereka adalah hewan yang besar, tapi melihatnya secara langsung tetaplah mencengangkan. Abaikan besar, mereka benar-benar raksasa — ​​aku merasa agak terintimidasi oleh mereka. Melihat mereka menggunakan belalainya untuk makan merupakan hal yang tidak pernah membosankan.

“Mereka sangat besar.”

“Tingginya mencapai empat meter dan beratnya bisa mencapai tujuh ton. Disini juga dikatakan kalau mereka dapat berlari hingga 40 kilometer per jam. Itu mengesankan,” kata Ike saat dia membaca plakat informasi di depan pameran.

Kau bilang kalau makhluk ini bisa berlari dengan kecepatan yang hampir sama dengan Usain Bolt? Sialan.

“Terlepas dari ukurannya, kurasa mereka juga memiliki refleks yang cukup tajam. Tidak ingin berkelahi dengan mereka, itu pasti,” bisikku pada diri sendiri.

“Apa yang kamu bisikkan, Senpai?” tanya Touka.

Dia penasaran dengan apa yang aku gumamkan pada diriku sendiri barusan. Kurasa itu sangat aneh dan tiba-tiba, ya.

“Aku hanya merasa gugup saat berada di dekat mereka. Cukup gugup hingga akhirnya ngomong sendiri, seperti yang baru saja kamu lihat,” jawabku.

Dengar, aku tinggi, tapi mereka sangat besar jika dibandingkan. Ini seperti membuatku sadar betapa kecilnya aku dalam skala ukuran, Kalian ngerti perasaanku kan? Hal yang sama berlaku saat beberapa orang melihat laut atau melihat ke luar angkasa. Aneh, meskipun — pikiran pertamaku saat melihat para gajah itu adalah apakah aku bisa menang dalam pertarungan melawan salah satu dari mereka. Kenapa aku menanyakan pertanyaan itu pada diriku sendiri?

Touka menyerah mencari jawaban. Dia termenung sebentar, lalu bercanda, “Setiap kali kamu mengatakan sesuatu seperti itu, itu membuatmu tampak lebih muda! Agak seperti anak kecil SMP yang takut atau semacamnya! Itu sangat lucu!”

Aku tidak peduli apakah itu lucu atau tidak. Aku baru saja dibandingkan dengan bocah kecil kurus. Bagaimana sebaiknya aku membalas kata-katanya? Baiklah. Aku menolak untuk mengikuti permainan kecilnya, jadi aku tetap diam dan pergi untuk memeriksa hewan berikutnya.

“Lihat, Senpai, itu seekor harimau! Bukankah itu suuuper menakutkan?! Kamu bahkan tidak akan memiliki kesempatan menang melawan makhluk besar itu. Yah, kecuali jika kamu menggunakan sesuatu seperti pemukul yang dipenuhi paku berkarat, misalnya,” teriaknya bersemangat sambil menunjuk ke arah harimau tersebut. Dia jelas tidak takut padanya.

“Aku ragu aku bisa berbuat banyak, bahkan dengan pemukul yang kamu gambarkan itu,” kataku.

“Yang itu tidak terlihat sangat ramah. Lihat saja yang lain — mereka sangat jinak, lalu kalian akan menemukan yang ini. Dia terlihat kesal,” tambah Ike.

Aku melihat harimau lain yang sedang bersantai di kejauhan. Itu benar; mereka tidak seseram harimau yang paling dekat dengan kami. Aku tidak pernah benar-benar memikirkannya sebelumnya, tapi ketika aku mengangguk pada apa yang dikatakan Ike, aku menyadari betapa miripnya harimau dengan kita. Masing-masing dari mereka memiliki kepribadian tersendiri yang membedakan mereka dari yang lainnya. Para harimau yang ada di belakang mengingatkanku bahwa orang-orang menyebut harimau sebagai versi besar dari kucing rumahan, jadi menurutku harimau-harimau itu cukup lucu.

“Tomoki-kun, kamu dan harimau itu memiliki mata yang sangat mirip. Itu sangat keren!” kata Hasaki berseri-seri.

“Wow, Hasaki-senpai, kamu benar-benar kucing kecil pemalu — yang suka genit secara terang-terangan dengan pacarku, luar biasa. Bukankah harimau dan kucing berasal dari famili yang sama atau semacamnya? Kenapa kau tidak memasuki kandang mereka dan mencoba berteman, huh?” bentak Touka, melepaskan peluru ke arahnya dengan kecepatan kilat.

“Aku tidak mencoba genit padanya, Touka-chan. Aku hanya mengatakan betapa luar biasanya pria yang kamu miliki, dan betapa beruntungnya dirimu bisa bersamanya,” lanjut Hasaki dengan memaksakan senyum.

Dia jelas merasa tidak nyaman dengan semua ini.

Touka menghentikan tatapan berbisa-nya dan mengalihkan perhatiannya padaku. Fiuh, sepertinya kami berhasil terhindar dari bencana.

“Tapi dia benar… mata kalian memang terlihat sangat mirip. Itu adalah mata predator yang terpaku pada mangsanya, siap untuk menyerang. Sama sepertimu ketika kamu menatap pahaku beberapa saat yang lalu!” oloknya, menatapku dengan senyum jahat.

Uh, lelucon yang bagus, Touka. Dan arti lelucon yang bagus itu, maksudku itu menyebalkan dan aku tidak terlalu senang tentang itu. Leluconmu buruk dan hal seperti itu tidak pernah terjadi

“Bukankah kau sedikit terlalu kelewatan?” jawabku sedatar mungkin.

Dia menjawab dengan gerutuan lembut lalu mengelak dengan mengatakan, “Ayo kita pergi dan melihat area selanjutnya.”

Dia berangkat, lalu aku dan Ike mengikutinya. Hasaki tertinggal; dia tidak terlihat terlalu ingin ikut.

“Ada apa, Kana?” tanya Ike padanya.

“Oh, tidak ada. Ayo pergi!” serunya. Sepertinya dia mengambil beberapa foto harimau bertampang seram itu dengan ponselnya. Dia pasti benar-benar menyukai harimau itu. Setelah selesai dengan itu, dia mengikuti kami.

“Wow, jerapah! Lihat lehernya! Itu saaaaaangat panjang!” teriakTouka.

“Jadi tekanan darah mereka sangat tinggi, begitu ya,” gumam Ike pada dirinya sendiri saat memeriksa plakat. Dia jelas tertarik dengan mereka, jadi aku memutuskan untuk memeriksanya juga.

“Huh, jadi tingginya dua kali dari kita? Anjay,” kagumku.

Disini dijelaskan tekanan darah mereka sekitar 280/180 mm Hg. Mempertimbangkan berapa panjang leher mereka, sangatlah penting untuk bisa memompa darah ke kepala. Aku menyadari perbedaan di antara kami sangatlah besar, tapi melihat angka-angka itu saja sudah cukup mengejutkan. Membayangkan tekanan darah kami berada pada tingkat tersebut membuatku merinding; Sepertinya Ike sama gusarnya denganku mengenai hal itu.

“Kupikir ia akan mengalahkanmu dengan mudah, kecuali kamu menyingkirkan kaki makhluk itu, Yuuji-senpai,” timpal Touka tiba-tiba dengan seringai di wajahnya.

Yah, karena Touka sepertinya sedang ingin bercanda, aku akan mengikuti alurnya kali ini.

“Kurasa aku akan memiliki kesempatan jika seperti itu, ya,” renungku.

“Pfffff! Apa-apaan—?!” sembur Touka. Dia sama sekali tidak memperkirakan jawaban itu. Senang melihat usahanya dari waktu ke waktu. Terasa enak.


Setelah melihat-lihat hewan lain sebentar, kami memutuskan untuk istirahat di food court.

“Aku dan Yuuji akan pergi membeli minuman untuk semuanya. Sementara itu, bisakah kalian berdua mencarikan tempat duduk untuk kita?” usul Ike.

“Oke. Aku ingin es teh,” pesan Touka.

“Aku mau yang sama denganTouka-chan!” tambah Hasaki.

Bagus, tidak ada keluhan dari mereka.

“Kalau begitu, ayo pergi,” kata Ike.

Aku mengangguk dan menuju antrean untuk membeli minuman bersamanya. Sepertinya kami benar-benar berhasil membuat mereka berduaan tanpa masalah. Sumpah, Ike sangat jenius. Aku berharap aku bisa menjadi serpihan dirinya.

“Melihat mereka, bagaimana menurutmu tentang situasi mereka, Yuuji?” tanya dia tiba-tiba padaku.

“Di permukaan, semuanya tampak baik-baik saja, tapi aku tahu Touka berusaha menghindari segala jenis kontak dengan Hasaki. Dari sudut pandang orang luar, kau akan mengira mereka adalah orang asing. Apakah mereka sudah seperti ini sejak lama?”

Ike tersenyum atas tanggapanku.

“Apa?” tanyaku.

“Aku senang kau tahu bagaimana perasaan adikku. Kau bisa membacanya dengan cukup baik sekarang. Tapi ya… mereka dulu akrab, meskipun sekarang sudah jelas tidak seperti itu,” jawabnya.

“Aku berasumsi bahwa Touka tidak berniat untuk berbaikan sama sekali? Dia tipe yang tidak akan pernah mengatakannya secara langsung.”

“Sejujurnya, aku tidak terlalu yakin tentang itu. Yang aku tahu adalah bahwa meskipun mereka semakin renggang, mereka masih berbicara satu sama lain kadang-kadang. Mungkin kita harus memberi mereka lebih banyak waktu dan lebih banyak kesempatan seperti ini. Siapa tahu, mungkin mereka akan berhubungan baik lagi?”

“Ku… Kurasa,” gumamku.

Aku tidak bisa berkata banyak karena dia lebih mengenal mereka daripada aku. Meski aku tidak dapat membayangkan mereka saling akrab seperti “hari-hari yang indah dulu” hanya dalam beberapa hari. Seperti yang dia katakan, itu akan membutuhkan waktu… waktu dan banyak usaha. Yang bisa kami lakukan hanyalah terus menciptakan peluang seperti ini dan berharap yang terbaik.

“Oh, sepertinya orang-orang di depan kita sudah selesai,” kata Ike, menyela pikiranku.

Benar saja, antreannya maju. Oke, waktunya memesan minuman.


Kami menghabiskan minuman kami dan melanjutkan tur kami. Ini adalah kegiatan yang sama — kami melihat hewan, membicarakan berbagai hal, bercanda, seperti biasa. Rasanya seperti kami semua berteman, yang agak aneh tapi memuaskan pada saat yang sama. Aku lebih fokus pada interaksi antara Touka dan Hasaki. Hasaki lebih terbuka dengan emosinya. Meskipun dia jelas tidak sepenuhnya nyaman, jelas dia ingin lebih dekat dengan Touka. Sayangnya, Touka belum memberinya banyak keterbukaan. Namun, ini hanya kesanku dari mengamati mereka berdua — aku tidak bisa membaca pikiran, dan aku belum menemukan kesempatan untuk berbicara sendiri dengan Hasaki tentang hal itu.

 “Wah! Hewan-hewan ini tentunya suka menjilati kita, bukan!”

“Ya, benar.”

Touka dan Ike memberikan komentar langsung saat mereka memberi makan kapibara. Bahkan setelah hewan tersebut menghabiskan makanannya, mereka terus menjilati tangan Ike dan Touka sampai bersih.

“Kurasa itu sifat mereka.”

“Aku akan membiarkan mereka lolos karena mereka sangat imut, tapi makhluk kecil ini membuat tanganku lengket. Aku akan mencucinya sekarang,” kata Touka.

“Aku juga ikut,” jawab Ike, dan mereka berdua pergi ke air mancur terdekat, meninggalkan aku dan Hasaki sendirian.

Aku tahu kakak beradik itu tidak akan pergi lama, tapi ini kesempatan bagus bagiku untuk bertanya padanya.

“Bagaimana perkembangannya? Ada kemajuan?” tanyaku padanya saat aku melihat orang lain memberi makan kapibara.

“Hmm… Yah, tidak akan mulus untuk kembali ke keadaan kami sebelumnya,” jawabnya bahkan tanpa berbalik untuk melihatku.

“Apa yang kalian bicarakan saat kami pergi membeli minuman?”

“Kami membicarakan hewan mana yang paling kami sukai sejauh ini. Hanya basa-basi sehingga tidak akan canggung,” jawabnya.

“Maksudku, setidaknya, itu adalah permulaan.”

Aku serius. Sudah bertahun-tahun mereka tidak banyak bicara, bukan? Jadi itu berita baik.

“Kurasa, ya,” katanya.

Dia tampak sangat dingin tentang segala hal. Dia mungkin sudah tahu bahwa ini akan memakan waktu. Meskipun keadaan tidak berjalan baik hari ini, dia selalu dapat mencobanya lagi lain kali.

Dia melanjutkan, “Terima kasih karena telah mengajakku hari ini. Bersamamu dan yang lainnya mengingatkanku pada masa lalu, dan itu membuatku sangat bahagia.”

Dia akhirnya berbalik untuk melihatku saat dia berbicara, tapi dengan cepat mengalihkan pandangannya ke bawah dan gelisah dengan malu-malu. Senang melihat dia begitu bahagia akan tamasya kecil kami.

“Aku yakin, pada waktunya, kalian berdua akan berbaikan. Aku akan ada di sini membantumu, jadi jangan khawatir,” aku mencoba meyakinkannya.

Dia tersenyum singkat, yang mana hal itu tidak terduga, lalu melihat ke bawah lagi dan berbisik, “Mhm. Kupikir jika terus begini, aku akhirnya akan menebus kesalahanku. Ya, pasti.”

“Hm?” tanyaku.

Kupikir dia ingin mengatakan hal lain untuk memperluas topik, tapi aku tidak tahu pasti.

“Ada yang aneh?” tanyanya sambil membelai kapibara di dekatnya.

Apakah aku harus bertanya padanya, atau haruskah aku mengabaikannya dan menerima apa yang dia katakan begitu saja? Sebenarnya, sepertinya aku juga tidak akan punya kesempatan untuk melakukan itu — Touka dan Ike sedang menuju ke arah kami sekarang.

“Maaf membuatmu menunggu, Seeenpai!” teriak Touka.

“Maaf tentang itu, teman-teman,” lanjut Ike.

“Kami belum menunggu selama itu. Benarkan, Tomoki-kun?” kata Hasaki.

“Ya. Mungkin tidak lebih dari lima menit,” jawabku.

Kami meninggalkan zona kapibara, dan Touka merangkulkan lengannya di tanganku lagi.

“Ayo pergi ke tempat selanjutnya!” umumnya.

Kurasa ini adalah game “Ikuti Pemimpin” sekarang. Aku hanya berharap kalau aku tidak harus berjalan-jalan dengan dia yang menempel padaku seperti ini, tapi ya sudahlah.


“Aku bersenang-senang hari ini, gak bohong,” kata Hasaki.

Kami berada di kereta dalam perjalanan pulang. Untungnya, ada empat kursi kosong tepat di samping satu sama lain ketika kami masuk, jadi di situlah kami duduk sekarang. Kami berempat mendiskusikan pengalaman kami hari ini.

“Ya, itu menyenangkan,” jawabku.

“Kalau begitu, aku senang aku merencanakannya,” kata Ike, terlihat puas.

“Bagaimana denganmu, Touka?” tanyaku padanya.

Touka mengutak-atik ponselnya, tapi ketika dia mendengar pertanyaanku, dia menyeringai dan meletakkan ponselnya.

Dia mencondongkan tubuh dan berbisik ke telingaku, “Akan lebih baik jika tanpa mereka berdua, tapi tetap saja…” Setelah menarik napas dalam-dalam, dia dengan riang menambahkan, “Tapi tentu saja aku bersenang-senang! Maksudku, kencan denganmu itu menyenangkan secara umum.”

Sepertinya dia dan Hasaki tidak membuat terlalu banyak kemajuan, tapi aku masih senang mengetahui bahwa semua orang bersenang-senang.


Kami berpisah, dan semua orang pulang.

Sekarang saat aku memikirkannya… meskipun aku berjanji pada Hasaki bahwa aku akan membantunya, aku tidak melakukan banyak hal hari ini. Kurasa aku terlalu asyik dengan jalan-jalan kami; Maksudku, ini pertama kalinya aku melakukan hal seperti itu bersama teman. Aku sudah lama tidak merasa begitu bahagia.

Hari ini adalah hari yang indah.

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya