[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Chapter 7 Bahasa Indonesia
Chapter 7: Memberikan Nasihat
Saat ini adalah jeda singkat antar jam pelajaran, dan aku telah mengambil jalan pintas menuju WC. Saat aku akan berangkat menuju pelajaran berikutnya, tiba-tiba aku bertemu dengan Makiri-sensei.
“Oh, pas sekali, Tomoki-kun,” katanya terkejut.
“Ada apa?”
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu. Apa kau bisa datang ke ruang konseling siswa seusai sekolah?”
“Uh, tentu,” jawabku.
“Oke. Kalau begitu aku akan menunggumu seusai sekolah,” katanya dengan senyum berseri.
Aku akan memberi tahu Touka tentang hal ini untuk jaga-jaga. Saat Sensei berjalan pergi, aku mengeluarkan ponselku dan mengetik pesan, “Harus pergi ke ruang konseling seusai sekolah. Perintah Makiri-sensei.”
Sesuai dengan karakternya, dia langsung menjawab. “Ap yg km lkukan?”
“Sejauh yang kuingat, tidak ada,” balasku secepat mungkin.
“Tdk blh genit ok? Ak tw dia manis tp km milikku!” dia menjawab dengan emoji dari karakter menyebalkan yang menyeringai. Sumpah, setiap kali aku melihat emoji kecil yang tampak seperti gremlin itu, aku bisa merasakan darahku mulai mendidih. Dia mengirimiku chat lain tepat setelahnya, “Ok, lalu chat ak stlh slsai. Ak akn mnnggmu!”
Aku senang mengetahui bahwa dia akan menungguku. Aku menjawab dengan, “Maaf tentang itu. Dan terima kasih.”
☆
Setelah kelas berakhir, aku langsung menuju ke ruang konseling dan mengetuk pintu. Segera, aku mendengar, “Masuklah.”
“Ini saya,” kataku saat masuk.
Makiri-sensei sedang duduk di salah satu kursi di dalam ruangan. Dia menatapku sambil tersenyum, menunjuk ke arah tempat duduk, dan berkata, “Dan aku sudah menunggu di sini. Maaf sudah membuatmu repot-repot datang ke sini setelah lelah belajar. Silahkan duduk.”
“Jangan khawatir tentang itu. Saya tidak ada kegiatan apa-apa hari ini,” jawabku sambil mengikuti instruksinya.
“Yah, aku tidak ingin menahanmu terlalu lama, jadi aku akan langsung ke intinya,” katanya cepat. Dia menatapku dengan tegas, dan aku tanpa sadar bangkit dan menegakkan postur tubuhku sebagai respon. “Bisakah kau memberi tahuku apa yang terjadi di antara kau dan Hasaki-san baru-baru ini?” tanyanya. Nadanya kaku dan dingin.
“Yah, dia temanku,” jelasku.
Dia tersentak sejenak, ekspresi wajahnya bercampur antara kebingungan dan kecurigaan, tapi dengan cepat mendapatkan kembali ketenangannya. “Jadi maksudmu kalian berdua memiliki hubungan pertemanan sekarang, ya?” tanyanya dengan ragu-ragu.
Bahkan jika Hasaki “memanfaatkan”-ku untuk dapat akrab lagidengan Touka, aku tidak berpikir kami berdua lebih baik dari satu sama lain. Sebenarnya, aku merasa kami berada di posisi yang sama.
“Ya. Apakah ada yang salah dengan itu?” jawabku.
“Tidak juga. Um, bukannya aku meragukanmu; jangan salah paham. Aku baru saja mendengar beberapa rumor yang beredar tentang hubunganmu dengan dia, uh, ‘meragukan’ — itu kata mereka, bukan kataku. Itu sebabnya aku ingin menanyakannya padamu secara langsung.”
Sepertinya pertunjukan kecil kami pagi ini sudah menjadi berita utama. Sial, semuanya benar-benar menyebar seperti api di sekitar sini.
“Uh-huh. Jadi, Anda hanya ingin memeriksa apakah rumor itu benar, bukan?”
Dia mengangguk tanpa berkata apa-apa, wajahnya merah padam. Dia berdehem sekali, mendapatkan kembali ketenangannya yang biasanya dingin, dan berkata, “Itu benar. Kupikir karena kau masih ‘menjalin hubungan’ dengan Ike-san, itu bukanlah ide yang bagus untuk ‘selingkuh’ dengan Hasaki-san. Aku sepenuhnya siap untuk memarahimu jika memang begitu, tapi…,” dia berhenti sambil menghela nafas. “Pada akhirnya, rumor hanyalah — rumor. Aku tidak bisa membayangkanmu melakukan hal seperti itu.”
Para guru pasti pernah mendengar siswa bergosip, dan begitulah cara dia mengetahuinya. Dia mungkin khawatir dan berusaha keras untuk memastikan apa yang mereka katakan itu tidak benar. Selalu menyenangkan untuk mengetahui bahwa dia mendukungku.
“Saya baru saja dekat dengannya belakangan ini; itu saja. Mereka mungkin berasumsi bahwa saya ‘mengancam’-nya atau semacamnya karena pilihan lainnya tidak memungkinkan,” jawabku.
“Senang mendengarnya,” katanya dengan suara hangat. Nada suaranya dan senyum cerahnya terlalu berlebihan bagiku, dan aku akhirnya tersipu. “Baik Hasaki-san dan Ike-san sama-sama cantik. Aku berasumsi bahwa pria lain menyebarkan rumor tentangmu hanya karena cemburu.”
“Ya, itu sangat mungkin,” jawabku dengan senyum paksa.
Senang mengetahui bahwa dia benar-benar mengkhawatirkanku. Dia selalu ada di pihakku, dan dukungannya benar-benar menghangatkan hatiku. Sebenarnya, aku baru saja mengingat saat terakhir kali kami berbicara — saat itu aku bersama Touka, dan dia memberi tahu kami bahwa kami selalu bisa menemuinya untuk meminta bantuan. Aku mungkin bisa bertanya padanya tentang situasiku saat ini dengan para gadis. Tidak ada orang lain yang bisa aku andalkan saat ini.
“Ada sesuatu yang saya ingin mintai tolong dari Anda, jika Anda tidak keberatan,” kataku. Ekspresinya menjadi cerah, yang membuatku tersentak. “Ada apa?” tanyaku.
“Oh, bukan apa-apa. Aku hanya terkejut bahwa kamu benar-benar menginginkan bantuanku dalam sesuatu. Jangan salah paham — aku akan dengan senang hati mengulurkan bantuan. Aku senang kamu mengandalkanku. Jadi, um, tentang apa itu?” jawabnya dengan senyum ramah.
Hm, haruskah aku menyebutkan nama Touka dan Hasaki secara langsung? Jika aku menyebutkan nama, dia mungkin akan salah paham. Mungkin lebih baik menggunakan skenario hipotetis jadi aku tidak mengungkapkan identitas siapa pun. Aku memutuskan untuk bertanya, “Ada dua orang yang dulu berteman, tapi mereka semakin merenggang seiring waktu. Apa yang akan Anda lakukan untuk menutup jarak itu lagi?”
Semoga ini masih bisa dimengerti.
“Menurutku, itu tergantung pada bagaimana pertemanan mereka bisa berakhir pada awalnya — hanya mengetahui itu saja sudah dapat menentukan bagaimana menghadapi situasi itu. Aku akan mencoba mengatur situasi di mana mereka berdua terpaksa untuk membicarakannya. Itu bisa membuahkan hasil.”
“Tapi bagaimana jika tidak satu pun dari mereka bisa jujur satu sama lain? Lalu harus bagaimana lagi?” tanyaku. Seperti, yang dikatakan Hasaki; dia hanya tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Sementara itu, dia mungkin juga hanyalah hantu bagi Touka setiap kali dia ada di dekatnya. Aku tidak dapat membayangkan bahwa semuanya akan berbeda jika aku yang mencoba mengatur situasinya.
“Kamu bisa selalu hadir dan menengahi mereka,” renungnya.
“…Kurasa saya tidak memiliki cukup kepercayaan diri untuk dapat melakukan hal itu dengan benar,” gumamku.
“Kamu tidak perlu sempurna dalam melakukan hal itu. Berada di sana mungkin akan membantu mereka merasa lebih nyaman, dan mereka akan lebih terbuka untuk berbicara,” dia meyakinkanku sambil tersenyum. Bagaimana mungkin aku tidak gugup saat dia menatapku seperti itu?
“Oke… Saya akan mencoba memikirkan cara untuk membuat mereka berbicara satu sama lain,” aku memutuskan.
“Aku yakin kamu akan menemukan caranya,” jawabnya dengan anggukan. “Apakah ada hal lain yang ingin kamu tanyakan padaku?”
Aku menggelengkan kepala.
“Oke. Karena tampaknya kita telah menyelesaikan akar masalahmu, kamu boleh pergi. Touka-san menunggumu di luar, kurasa?” katanya.
“Ya. Bagaimana Anda bisa tahu?”
Dia terkikik oleh pertanyaanku dan menatap ke luar jendela. Aku mengikuti tatapannya. Jendela memberikan pemandangan yang jelas ke arah gerbang sekolah. Benar saja, Touka berdiri di sana dan mengutak-atik ponselnya sambil menunggu.
“Oh, begitu. Baiklah, saya akan pulang sekarang. Terima kasih telah mendengarkan dan membantu saya,” kataku sambil bangkit berdiri. Saat aku akan meninggalkan ruangan, dia memanggilku lagi.
“Oh — tunggu sebentar, Tomoki-kun.”
“Ya?” Kataku sambil berbalik.
Dia mendekatiku dan berkata, “Ada sesuatu di rambutmu. Sebenarnya aku telah menyadari itu. Aku seharusnya mengatakan sesuatu tentang itu sebelumnya.” Dia mengulurkan tangan padaku dan mencubit rambutku. Aku menyikat-nyikat rambutku dengan salah satu tanganku setelah jari-jarinya menjauh.
“Huh, aku tidak berhasil melepaskannya. Tetap diam,” dia mengarahkanku. Dia mengulurkan tangannya lagi. Saat itulah aku menyadari bahwa wajahnya benar-benar tepat di depan wajahku, dan akibatnya aku tersentak. Namun, reaksiku tidak menakutinya; sebaliknya, dia mengambil satu langkah ke depan. Dia menatapku dengan sangat serius sehingga aku jadi agak gugup. Aku tahu dia hanya ingin menyingkirkan sesuatu dari rambutku, dan jelas dia tidak menyadari perasaanku saat ini. Itu sangat jelas dari betapa teledornya dia tentang semua ini.. Dia mulai merecoki rambutku. Meskipun dia cukup tinggi untuk ukuran seorang wanita, dia tidak seberapa dibandingkan denganku; dia masih harus berjinjit untuk meraih rambutku. Tiba-tiba, mata kami bertemu. Kami saling memandang sejenak, dan tangannya membeku di tempatnya. Sepertinya dia akhirnya menyadari situasinya, karena dia membuang muka dan mencoba mundur selangkah. Sayangnya, dia tersandung saat melakukan itu.
“Eek!” jertinya saat dia mulai jatuh ke belakang. Aku dengan cepat meraih lengannya. Biasanya, aku akan menariknya ke atas untuk menghentikannya agar tidak jatuh ke lantai, tapi aku terlalu malu sekarang. Aku akhirnya ragu-ragu, dan itu mengacakanku. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh juga. Jika aku jatuh di atasnya, aku akan berakhir dengan menindihnya. Sebaliknya, aku memutuskan untuk memeluknya dan berputar sehingga aku yang berada di posisi bawah. Setelah apa yang terasa seperti keabadian itu, kami membentur lantai. Aku mengerang.
“Urgh… Anda baik-baik saja, Makiri-sensei?”
“Y-Ya. Aku baik-baik saja, makasih,” katanya dengan ekspresi khawatir di wajahnya.
Aku bisa merasakan napasnya di salah satu telingaku. Senang rasanya mengetahui bahwa dia baik-baik saja, tapi aku mungkin harus lebih memperhatikan posisi kami saat ini. Aku memeluknya erat-erat, dan aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya menjalar padaku melalui tubuhnya yang kecil dan ramping itu. Maksudku, dia berada di atasku, cukup jelas kalau aku bisa merasakannya.
Sial, ini tidak bagus. Aku harus bangun secepat mungkin, tapi aku tidak bisa bergerak. Sial, dia menatap lurus ke arahku sekarang. Wajahnya begitu dekat denganku hingga kami hampir berciuman.
Aku cukup kebal terhadap situasi seperti ini jika itu dengan Touka atau gadis lain seusiaku, tapi Makiri-sensei yang menempel padaku seperti ini adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Aku merasa seperti aku akan kehilangan kendali. Dia tertegun sesaat, tapi dengan cepat berdiri. Melihatnya bergerak membuatku kembali ke kenyataan. Ya ampun, rasanya aku agak kerasukan tadi — kehangatan dan aromanya yang manis membuatku pusing.
Dia merapikan pakaiannya dan menatapku. Aku berdiri dan, tidak bisa menatap matanya, dengan lembut berbisik, “Maaf tentang itu…”
Dia menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Tidak perlu meminta maaf. Akulah yang membuatmu terjatuh.”
Oh baiklah, tentu saja dia baik-baik saja. Di matanya, aku tidak lebih dari seorang anak-anak, bukan? Sebenarnya, setelah aku lihat-lihat lagi, wajahnya menjadi merah padam, dan dia menghindar melihat ke arahku. Kurasa aku salah. Aku telah mendekapnya ke arahku, jadi tidak mengherankan dia juga akan malu. Dia hanya bersikap dewasa di sini dan mencoba tenang, agar aku tidak khawatir, bukan?
“Um, bisakah Anda membantuku berdiri? Maaf tentang semua ini,” pintaku. Dengan tatapan risau yang sama, dia mengulurkan tangannya padaku. Aku meraihnya dan mengangkat diriku sendiri.
“K-Kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Sungguh,” ucapnya sambil memainkan rambutnya dengan gugup. “A… Aku hanya tidak mengira kalau kamu begitu tinggi, itu saja. Aku kehilangan keseimbangan saat mencoba meraih rambutmu. Maafkan aku. Setidaknya aku berhasil menyingkirkan benda itu dari rambutmu.”
Dia mungkin mengatakan itu agar kami dapat menghindari situasi serupa yang mungkin akan terjadi di masa mendatang. Yeah, Anda tidak perlu memberi tahuku dua kali.
“Terima kasih. Sejujurnya, saya seharusnya menundukkan kepala ke depan agar Anda bisa menyingkirkannya dengan lebih mudah. Dengan begitu, Anda tidak perlu berjinjit,” gumamku. Aku tidak bisa melihat ke arahnya sekarang. Aku terlalu malu, dan seluruh situasi ini terasa begitu… canggung.
“Harusnya begitu, meski tidak ada satu pun dari kita yang memikirkan hal itu,” jawabnya. Aku berhasil melihatnya sekilas, dan wajahnya masih memerah. Bukan tersandung yang membuatnya malu.
“Baiklah, saya akan pergi sekarang,” kataku sambil langsung menuju pintu.
“Mhm. Sampai jumpa. Hati-hati dijalan,” jawabnya tenang dari belakangku.
Aku keluar ruangan secepat mungkin, mataku tertuju ke bawah sepanjang waktu.
Post a Comment