[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 2 Chapter 2 Bahasa Indonesia

 

Chpater Dua: Raja Iblis Mengajak Keluarganya Jalan-Jalan

 

Tak lama setelah mereka memutuskan untuk berbulan madu, Anima dan keluarganya mengunjungi Garaat untuk terakhir kalinya sebelum berangkat. Menurut Shaer, dibutuhkan waktu sekitar sepuluh hari untuk mencapai kota yang dekat dengan jembatan itu, dan begitu mereka menyelesaikan misi mereka, rencananya adalah mengunjungi ibu kota kerajaan. Di sana, Shaer akan membawa Anima dan memberikan laporannya kepada raja, menggunakan pertemuan mereka itu untuk menyelesaikan kasus Malshan juga.

Shaer telah memberi tahu keluarga Anima bahwa raja, meski adil, juga agak ketat, sehingga pertemuan mereka bisa berakhir dengan salah satu dari dua kemungkinan. Ada kemungkinan bahwa Anima dan keluarganya akan menghadapi hukuman penjara karena menyakiti Malshan, membuat status keluarga Scarlett sebagai pahlawan berakhir dengan tiba-tiba dan patut disayangkan. Untuk meminimalkan keterlibatan Luina, Anima memutuskan untuk pergi sendiri. Hasil lain yang jauh lebih menguntungkan adalah raja mengakui kemampuan Anima dan mengampuni kejahatannya telah menyakiti Malshan.

Mereka baru bertemu Shaer beberapa jam yang lalu, tapi rasa hormatnya terhadap keluarga Scarlett terlihat jelas. Kemungkinan bahwa dia akan menjebak Anima dengan mengundangnya ke ibukota hampir tidak ada. Kemungkinan besar dia berusaha keras untuk membantu Anima menjalani kehidupan damai yang diinginkannya.

Namun, pembantu mereka yang tidak terduga saat ini sedang tidak bersama mereka berempat. Setelah mereka selesai mendiskusikan perjalanan mereka, Shaer diliputi oleh gelombang kelelahan yang kuat dan berangkat ke Garaat sebelum mereka. Dia mungkin sudah tertidur di penginapan. Mereka sepakat untuk bertemu di gerbang kota keesokan paginya, jadi sementara itu, Anima dan yang lainnya harus berbelanja untuk perjalanan yang menunggu mereka.

“Apakah kita sebaiknya membeli makanan dulu?” tanya Anima, lalu Luina mengangguk.

“Butuh sekitar empat hari untuk sampai ke kota terdekat, jadi kupikir kita harus membeli cukup makanan untuk lima orang.”

“Makanannya juga harus yang bisa tahan lama.”

Anima bisa memakan iblis beracun, jadi makan daging busuk tidak akan menjadi masalah baginya, tapi Luina dan anak-anak tidak begitu tangguh. Mereka harus menghindari membeli apa pun yang bisa membuat mereka sakit di sepanjang perjalanan.

“Ayah! Ayah!”

Saat berjalan melewati jalan utama mencari tempat untuk membeli makanan, Marie tiba-tiba menarik tangan Anima.

“Ya?”

“Ayah yihat! Aku mau itu!”

Dia menunjuk seorang gadis kecil yang sebaya dengan Myuke. Gadis itu, berjalan bersama keluarganya, mengenakan ransel yang menggemaskan.

“Bagaimana menurutmu, Luina?” tanya Anima. Dia akan membelikan satu atau dua ransel untuk putrinya yang menggemaskan sekali dalam seminggu jika itu bisa membuatnya bahagia, tapi jika Marie membawa barang-barangnya sendiri, itu hanya akan membebani pundaknya. Dia tidak yakin apakah membiarkan Marie membawa barang-barang dalam perjalanan yang begitu lama adalah ide yang bagus.

“Hmm… Tentu, ayo belikan satu untuknya. Membawa barang-barangnya sendiri akan membantunya merasa lebih mandiri.”

“‘Lebih mandiri’…” gumam Anima sebelum terdiam, matanya berkaca-kaca.

“Apakah kamu baik-baik saja?”

“Suatu hari, Marie akan mulai hidup sendiri…”

“Kamu tidak perlu khawatir tentang itu,” kekeh Luina. “Dia masih kecil.”

“Itu benar, tapi itu akan terjadi suatu hari nanti…”

Kesedihan menguasai Anima saat berpikir akan menikahkan Marie dengan seseorang.

“Ayah sangat khawatiran. Apa yang akan Ayah lakukan saat aku menikah jika Ayah begitu protektif terhadap Marie? Ayah tahu dia baru berumur tiga tahun, kan?” kata Myuke bergurau.

“Myuke, menikah…”

Daya tahan tubuh Anima tidak mengenal batas, namun pemikiran akan Myuke yang menikah menyakitinya seperti tidak ada yang pernah menyakitinya sebelumnya. Dia tidak bisa membayangkan rumah yang ramai di pinggiran kota tanpa Myuke. Dia tidak akan pernah menghalangi kebahagiaan putrinya, tapi membayangkan hari ketika Myuke meninggalkan rumah hampir membuatnya menangis. Melihat ketakutan di mata Anima, Myuke mulai panik.

“A-Ayah terlalu terganggu tentang ini! Aku tidak pernah bilang kalau aku akan meninggalkan rumah, jadi tenanglah! Ayo, bergembiralah!”

“B-Benarkah?”

“Benar benar. Aku menyayangimu, Ayah, dan aku tidak pernah ingin meninggalkanmu. Kita akan selalu bersama!”

“Myuke… Ayah juga, Myuke! Ayah menyayangimu juga!”

“Ibu juga menyayangimu, Myuke,” tambah Luina.

“Aku juga menyayangi Myukey!”

Mereka semua berkumpul di sekeliling Myuke dan memeluknya.

“B-Baiklah, baiklah, aku mengerti! Lepaskan aku! Ini memalukan!” Memperhatikan tatapan yang melesat dari orang yang lewat, termasuk anak-anak lain yang seumuran dengannya, dia memerah. Jadi, dia mencoba mengubah topik. “Jadi, apakah kita akan membeli ransel atau apa?”

“Kupikir kita harus membelinya. Ayo beli satu untuk semuanya.”

“Sungguh? Aku juga dapat?”

“Tentu saja.” Mendengar itu, mulut Myuke tersenyum dan matanya bersinar gembira. Dia mungkin menginginkan tas ransel untuk dirinya sendiri selama ini, tapi terbukti ketika mereka membeli pakaian, dia selalu diam tentang keinginannya. “Jadi, di mana kita bisa membeli ransel?”

“Di sana! Aku melihatnya sebelumnya!”

Mengikuti Myuke, mereka menuju ke toko ransel. Toko kecil yang trendi memiliki berbagai macam tas yang dipajang, dengan bagian yang berbeda untuk anak-anak dan orang dewasa. Mereka memutuskan untuk pergi ke bagian anak-anak terlebih dahulu.

“Wooow! Sangat banyak! Ah! Key-yinci!” Marie berlari dengan mata berbintang-bintang saat dia melihat ransel berbentuk kelinci. Terbuat dari kain halus, hampir seperti boneka. Senyum lebar yang muncul di wajahnya ketika dia mengambilnya dan memeluknya erat-erat adalah ransel yang sangat diinginkannya. “Yembuuut!”

“Tampak seperti boneka. Apakah kamu menginginkan yang itu?”

“Uh-huh! Aku mau ini! Aku ingin menjadi seperti key-yinci!”

“Ibu senang kamu menemukan ransel yang lucu,” kikik Luina saat dia melihat Marie melompat-lompat, tas itu dipegang erat di pelukannya. “Bagaimana denganmu, Myuke? Apakah kamu sudah menemukan ransel yang kamu suka?”

“Hmm… Bolehkah aku melihat-lihat lagi?”

“Tentu saja. Ibu akan mengajak Marie dan membantu Anima menemukan apa yang dia cari.”

Keduanya berpisah dari Myuke dan pergi ke bagian dewasa. Anima berencana untuk membawa barang-barang Luina juga, jadi dia mencari sesuatu yang besar.

“Bagaimana dengan yang ini?” tanya Luina sambil mengambil ransel besar yang tampak kokoh. Sepertinya ransel itu tidak akan kesulitan bertahan dari satu atau dua sentakan.

“Aku akan menjaga tas ini.”

Anima berjanji untuk merawat tas yang telah dipilih Luina untuknya, lalu mereka bertiga kembali ke Myuke, yang baru saja memilih tas untuk dirinya sendiri. Itu adalah ransel polos berwarna persik yang menyempurnakan rambut merah indahnya dengan sangat apik. Ransel itu pasti akan terlihat bagus padanya.

“Aku suka yang ini.”

“Bagus!” sorak Anima. “Apakah sudah semuanya? Ayo pergi bayar ke kasir.”

Setelah membayar barang-barang mereka, keluarga empat orang itu meninggalkan toko. Gadis-gadis itu dengan cepat memakai ransel baru mereka dan berjalan di jalanan Garaat dengan langkah cepat, bersemangat untuk jalan-jalan yang akan datang.

“Yah, bolehkah aku memasukkan makanan ke dalam ranselku setelah kita selesai berbelanja?” tanya Myuke. “Aku sedikit ingin melakukannya.”

“Aku juga! Aku juga!”

“Tentu saja,” kata Luina, “tapi kita akan membeli tenda dulu. Kita tidak ingin ada orang yang masuk angin karena tidur di bawah bintang.”

“Tidak perlu,” kata Anima pada Luina. “Aku akan membuatnya dengan sihir.”

“Kamu bisa melakukannya?” tanya Luina, memiringkan kepalanya karena terkejut.

“Ya. Aku bisa menggunakan sihir bumi dan api, jadi dengan mengendalikan bumi sesuai keinginanku, aku bisa membangun rumah yang kokoh untuk kita.”

“Itu luar biasa. Kamu selalu sangat membantu kapan pun kami membutuhkan sesuatu.”

“Dengan senang hati. Tapi tetap saja, tidur di tanah kosong akan terasa terlalu dingin. Mungkin kita harus membeli handuk dan selimut piknik.”

“Kita punya handuk, jadi kita hanya perlu membeli selimut.”

Setelah Anima mengangguk, Luina mengubah arah untuk memandu mereka ke toko yang sesuai.

“Apakah kamu tahu di mana kita bisa membelinya?” tanya Anima.

“Mm-hmm. Aku ingat tempat ayah membawaku untuk membeli selimut piknik ketika aku seumuran Marie.”

Senyuman hangat muncul di wajah Luina saat dia mengingat kenangan manis dari masa kecilnya. Anima dengan erat meremas tangan Luina dan berbalik menghadapnya.

“Kita akan membuat perjalanan ini sama berkesannya,” janjinya dengan penuh keyakinan.

“Tentu.”

Luina tersenyum sepanjang jalan ke toko, di mana mereka membeli selimut piknik yang cukup besar untuk mereka berempat tidur. Setelah itu, mereka kembali ke jalan utama Garaat. Mengabaikan tawaran antusias dan memikat dari toko-toko yang memenuhi jalan utama, mereka hanya membeli roti, daging kering, dan keju yang mereka butuhkan. Setelah membungkus semuanya dengan kertas, mereka memasukkan makanan ke dalam ransel Myuke dan Marie lalu melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan batu.

“Apa lagi yang kita butuhkan?” tanya Anima.

“Mungkin, beberapa buah kering?” saran Luina. “Itu akan menjadi camilan yang enak untuk para gadis.”

“Camiyan? Camiyaaaan! Aku suka camiyan! Itu sangat enak!”

“Berhati-hatilah untuk tidak tersandung, Marie. Tetaplah bersama Ibu dan genggam tangan Ibu saat kita berbelanja, oke?”

“Okeee!”

Mendengar kata ajaib itu membuat Marie bersemangat. Dia bergegas ke depan, tapi Luina dengan cepat menangkap tangannya. Anima memegang tangan Myuke, dan mereka semua dengan damai berjalan ke kios buah.

“Ya ampun. Rupanya Luina!”

Ketika mereka tiba di warung dengan pajangan yang indah dari berbagai buah-buahan cerah, seorang wanita berbadan tegap menyambut mereka, melambai dengan antusias. Wanita itu adalah orang yang sama, yang mengusulkan perayaan pernikahan dadakan pasangan itu tiga bulan yang lalu.

“Apakah kamu sedang keluar bersama suamimu lagi? Kulihat kalian masih saling tergila-gila!”

“Apakah menurutmu begitu?”

Wanita itu dengan percaya diri mengangguk pada pertanyaan Anima.

“Aku telah berada di kios ini selama tiga puluh tahun. Aku telah melihat banyak pasangan yang tak terhitung jumlahnya datang dan pergi, tapi aku belum pernah melihat satu pun dari mereka saling memancarkan gairah dan cinta seperti itu! Kalian tidak bisa menipu mataku! Aku bisa mengetahui kalau kalian saling membisikkan kata-kata manis di jalanan yang ramai ini! Aku yakin kalian bahkan lebih berani saat berduaan di rumah, kan?”

“Oh, iya. Bukankah itu benar, Luina?”

“Y-Ya, tapi kamu tidak perlu memberitahunya… Itu memalukan…”

Wanita itu terkekeh ketika dia melihat Luina gelisah dengan tidak nyaman sementara wajahnya memerah.

“Ah, aku masih ingat saat kamu berlari kesana kemari dengan kaki kecilmu,” wanita itu terkekeh saat dia melihat Luina gelisah dengan tidak nyaman sementara wajahnya memerah. “Tapi lihatlah dirimu sekarang, menjadi malu begitu. Kamu sebaiknya berhati-hati; gadis kecilmu akan jatuh cinta sebelum kamu sempat menyadarinya!”

“…”

“Ya ampun, ada apa dengan tampang masam itu?”

Wanita itu terkejut karena diamnya Anima. Myuke menghela nafas lelah dan mengangkat bahunya.

“Dia sedih sebelumnya karena dia mulai berpikir tentang bagaimana aku dan Marie akan menikah.”

“Hehe, begitukah? Tidak heran—dia sangat mencintai kalian, dua bidadari kecilnya.” Tersenyum saat mengomentari pengabdian Anima terhadap keluarganya, mata wanita itu tertuju pada punggung gadis-gadis itu. “Nah, lihat itu. Apakah kalian akan jalan-jalan?”

“Jayan-jayan yang panjaaaaaang!”

“Ya ampun, sungguh menyenangkan.”

“Uh-huh! Yihat, Ayah membeyi ini! Ini key-yinci!”

“Tas ransel yang menggemaskan. Itu terlihat bagus untukmu!”

​“Ayah, dengay itu? Yancelku menjemaskan!”

“Kamu sama menggemaskannya,” kata Anima sambil membelai kepala Marie.

Saat mereka mengobrol, Luina mengamati barang dagangan. Dia mengambil toples berisi berbagai buah-buahan seolah-olah itu adalah pot emas transparan. Melihat itu, mata Marie berbinar.

“Enyaak!”

“Buah kering kami sangat enak. Kami tidak menambahkan gula apa pun, tapi tetap kaya rasa dan manis! Cobalah satu! Kamu juga, Myuke! Nih!”

Dia memberi masing-masing gadis itu sepotong buah kering. Saat mereka menggigitnya, mata mereka terbuka lebar.

“Mmm!”

“Ini sangat manis!”

Setelah dengan cepat mengunyah buahnya, mereka mulai menatap toples yang dipegang Luina, hampir meneteskan air liur.

“Ini untuk perjalanan,” katanya sambil terkekeh, lalu menyembunyikannya di dalam ransel Anima. “Kalian akan mendapatkannya lebih banyak besok.”

“Aku ingin berangkat secepatnya!”

“Aku juga!”

Suara bersemangat para gadis bercampur dalam hiruk pikuk jalanan Garaat. Melihat senyum antusias mereka, Anima yakin bahwa menyarankan perjalanan keluarga adalah ide yang fantastis.

◆◆◆


“Lessgooooo!”

Keesokan paginya, Anima dan keluarganya siap untuk berbulan madu di bawah sinar matahari yang lembut dan hangat.

“Aku telah menunggumu!”

Setelah bertemu dengan Shaer di gerbang kota, mereka bersiap-siap dan memulai perjalanan mereka. Saat berjalan keluar kota, mereka disambut oleh dataran datar sejauh mata memandang. Di selatan, pegunungan terlihat di atas jalan, menambahkan sedikit variasi pada pemandangan, sementara pemandangan di utara tersembunyikan oleh hutan lebat. Anima telah merencanakan agar mereka sering beristirahat, tapi pemandangan yang indah benar-benar membuat mereka bersemangat, jadi mereka terus maju.

“Woooow! Ibu! Ibu, yihat! Ijaunya!”

 “Ya ampun, kamu benar!” Marie terpesona, jadi Luina mengikuti alur. “Benar-benar.”

“Di sana juga! Cemuanya ijau!”

“Luar biasa. Sepertinya semua yang ada di sekitar kita berwarna hijau.”

“Apakah di yuay cemuanya ijau? Tapi, tapi, tapi aku juga cuka meyah! Dan biyu dan pucih!”

Merah, biru, dan putih. Itu adalah warna rambut Myuke, Luina, dan Anima.

“Lihat! Kamu bisa melihat warna biru di langit!”

“Wooow! Icu biyu! Dan pucih juga!”

“Mm-hmm, awannya putih.”

“Merah…” Setelah berputar-putar sebentar dengan harapan menemukan satu warna yang hilang, dia kemudian menyerah dan menundukkan kepalanya. “Tidak ada meyah…”

“Hmm, sepertinya tidak. Tapi Ibu yakin kita akan menemukan warna merah setelah kita berjalan cukup jauh di jalan ini.”

“Yaaay! Aku cuka meyah!”

Luina mengacu pada matahari terbenam, tapi Marie ingin menemukan sesuatu yang merah sesegera mungkin, jadi dia melepaskan tangan Luina dan berlari ke depan. Melihat dia melakukannya, Myuke melontarkan senyum masam.

“Kamu tidak akan bertahan lama jika kamu mulai berlarian secepat itu.”

“Aku akan beycahan!”

Marie melihat sekeliling dengan rasa ingin tahu, lalu berangkat dengan kaki mungilnya. Kegirangannya tidak terlalu mengejutkan; Bagaimanapun, ini adalah pertama kalinya dia berada di luar Garaat. Dia dikelilingi oleh pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya, dan hal-hal yang belum dia alami. Dia sangat senang.

Namun, kegembiraannya telah dimulai jauh sebelum mereka pergi. Dia telah membangunkan Anima dengan menepuk pipinya, memohon untuk memulai perjalanan meski hanya semenit lebih cepat, sejak saat matahari mengintip dari cakrawala. Meski begitu, bukan hanya Marie yang menikmati perjalanan itu.

“Hei, kamu akan tersandung jika kamu tidak memperhatikan ke mana kamu berjalan! Ayo, biarkan aku memegang tanganmu.”

Myuke memegang tangan Marie dan berjalan di sampingnya, ransel baru mereka bergoyang dengan setiap langkah.

“Ah! Dia teybang!” Marie menunjuk ke langit tempat Shaer terbang di depan.

Mendengar suara ceria gadis kecil itu, Shaer melambai pada gadis kecil itu. Dia harus memandu mereka sampai ke ibu kota, tapi bukan berarti dia akan berjalan di samping mereka. Shaer adalah gadis yang baik dan pengertian, dan memastikan agar tidak menghalangi perjalanan kecil yang menyenangkan dari keluarga yang damai.

“Aku sangat senang hari ini cuacanya bagus.” Kata Luina sambil melilitkan jarinya dengan jari Anima. Mereka saling memandang dan berbagi senyum penuh kasih.

“Aku yakin gadis-gadis akan bersenang-senang bahkan jika hujan deras,” kata Anima, memperhatikan kedua putrinya dengan gembira berjalan di depan, bergandengan tangan. Hujan sederhana tidak akan cukup untuk meredam semangat mereka.

 “Tidak heran. Mereka sangat bersemangat dengan perjalanan ini hingga Myuke hampir tidak tidur dan Marie tertidur sambil memeluk ranselnya. Aku ingin menjadikan perjalanan ini jalan-jalan keluarga yang luar biasa yang akan selalu mereka ingat.”

“Aku akan pastikan bahwa mereka bersenang-senang, tapi hal yang sama berlaku untukmu juga. Beri tahu aku jika ada yang ingin kamu lakukan selama perjalanan.”

“Kamu telah mengubah ini menjadi jalan-jalan terindah yang pernah kuimpikan.”

“Bagaimana bisa? Aku belum melakukan apa pun.”

Luina melepaskan tangannya sejenak sebelum memeluk lengan Anima dengan seluruh tubuh bagian atasnya. Mulutnya membentuk senyuman saat payudara lembut Luina dengan lembut menempel padanya.

“Hanya bersamamu dalam perjalanan ini sudah membuatku menjadi gadis paling bahagia di seluruh dunia.”

 


 

Melihat kegembiraan murni terpancar dari wajah Luina, Anima khawatir rahangnya akan lepas karena terlalu banyak tersenyum.

“Aku sangat senang mendengarnya, tapi aku ingin membuatmu lebih bahagia. Daripada hanya melihat-lihat, mari nikmati perjalanan ini sepenuhnya!”

“Aku tidak sabar untuk melihat kejutan apa yang kamu miliki untukku.” Senyumannya yang murni dan bahagia menyebabkan sedikit gangguan yang menggegerkan hati Anima. Melihat ekspresi terganggunya, Luina meliriknya dengan cemas. “Apakah kamu baik-baik saja?”

“Yah… Aku khawatir apakah aku dapat membuat ini spesial untukmu.” Terus terang, Anima sangat gugup. Luina menariknya lebih dekat dan memeluk lengannya lebih erat, membuat jantungnya berdebar kencang. “Kenapa kamu memeluk begitu erat?”

“Aku hanya ingin menempel padamu. Karena… Aku semakin jatuh cinta padamu.”

“Apakah aku mengatakan sesuatu yang membuatmu semakin jatuh cinta?”

Anima sangat gembira, tapi dia tetap harus bertanya. Sebagai tanggapan, Luina menatapnya dengan tatapan terhangat dan penuh dambaan dari yang pernah dilihat Anima di mata indahnya.

“Tidak ada yang khusus. Tapi aku bisa mendengar betapa kamu mencintaiku dari caramu berbicara.”

Kata-kata lembutnya menggelitik pipi Anima saat Luina menyandarkan kepalanya di bahu Anima. Aroma manis yang keluar dari diri Luina bercampur dengan aroma segar dari dataran yang subur, menciptakan gambaran di benaknya akan padang yang penuh dengan bunga yang sedang bertunas. Yang dia inginkan hanyalah berbagi ciuman hangat dengan istrinya yang cantik, tapi melakukan itu sambil berjalan hanyalah bencana yang menunggu untuk terjadi.

Aku bisa bersabar sampai malam untuk menciumnya.

Mereka telah saling berciuman setiap hari sejak kali pertama mereka, jadi Anima sudah terbiasa dengan rutinitas itu, tapi dia tidak bisa mengambil risiko menyakitinya. Anima menahan keinginannya dan terus berjalan di samping Luina. Tepat saat matahari selesai naik perlahan-lahan di atas kepala keluarga itu, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak.

“Wooow!” teriak Marie kegirangan saat mereka menemukan lautan bunga emas yang bermekaran.

“Ya ampun, sungguh ladang dandelion yang indah.”

“Dadelin! Tantikna!”

“Benar,” setuju Myuke. “Aku ingin tahu apakah seseorang yang menanamnya.”

“Biji dandelion terhubung dengan bola bulu putih kecil yang bisa terbang jauh, dibawa angin. Kupikir ladang ini mungkin alami,” jelas Luina.

“Woooow! Dadelin cangat bagus!”

“Apakah kau menyukai dandelion, Marie?”

“Uh-huh! Itu cangat tantik!”

Marie menyaksikan dandelion bergoyang ditiup angin sepoi-sepoi, benar-benar terpesona olehnya. Tiba-tiba, Myuke bertepuk tangan.

“Marie, apakah kamu ingin mahkota bunga?” tanya dia.

“Kamu akan membuatnya? Aku mau! Aku mau!”

“Segera datang!”

“Hore!” sorak Marie saat dia melompat kegirangan. “Makota! Makota!”

“Bagaimana kalau kita makan siang di sini juga?” saran Luina.

“Oke!”

“Kedengarannya bagus! Aku sudah lapar!”

“Baiklah, aku akan menyiapkan selimut sebentar.”

Anima meletakkan selimut piknik dan melepas ranselnya. Saat dia melakukannya, Shaer mendarat di sebelahnya.

“Apakah kalian akan makan siang?”

“Benar. Maukah kau bergabung dengan kami?”

“Tidak, saya tidak ingin merusak piknik keluarga yang berharga. Lagipula… Saya benci mengakuinya, tapi saya sudah makan siang.” Dia mungkin makan siang di udara, seperti dibuktikan dengan remah-remah yang menghiasi pipinya. Ketika Anima memberitahunya, dia tersipu, dengan cepat menghapusnya, dan kembali menatap mereka dengan ekspresi kaku. “Saya akan istirahat sebentar, panggil saja saya kalau kalian sudah selesai.”

“Oke!”

“Tanggapan yang sangat bersemangat.”

Shaer memuji Marie sebelum pindah ke sisi lain jalan. Saat dia melakukannya, gadis-gadis itu mengalihkan fokus mereka ke makan siang mereka. Saat Luina membuka keranjang piknik, sorakan semangat mereka menyebar ke seluruh dataran.

“Enak!” Marie memuji sandwich yang dibuat Luina pagi-pagi.

“Sandwich ini tidak akan bertahan lama kalau disisakan, jadi makanlah semuanya!”

“Jangan khawatir, aku sudah berencana melakukan itu.”

Anima menyukai masakan Luina; tidak mungkin dia akan menyisakan masakannya meski hanya satu gigitan. Malahan, dia juga harus berhati-hati untuk tidak memakan porsi anak-anak secara tidak sengaja.

“Terima kasih untuk makanannyaaaaaaaaa!”

Yang lain melakukan hal yang sama, lalu mereka semua mulai makan. Untuk mencegah para gadis bosan memakan sandwich, Luina telah membuat banyak sekali sandwich yang berbeda—yang diambil Anima adalah ham, selada, dan tomat. Selada berderak saat dia menggigitnya, dan rasa asin ham itu seimbang sempurna dengan sedikit keasaman tomat. Kesegaran sayuran yang matang benar-benar memenuhi lidahnya.

“Tambah!”

“Aku juga!”

Mereka pasti kelaparan setelah berjalan sepanjang hari; sandwich yang banyak yang dikemas dengan baik hampir habis hanya dalam beberapa menit.

“Hati-hatilah untuk tidak tersedak.”

“Aku tahu! Jadi, ngomong-ngomong, kemana kita akan pergi hari ini?” tanya Myuke, matanya berbinar saat dia mengisi pipinya dengan salah satu sandwich lezat Luina. Anima mengeluarkan peta dan menunjuk ke tujuan hari itu tepat saat Myuke menelan sandwichnya.

“Kita tidak memiliki rencana tetap,” jelasnya, “tapi kita ingin mencapai kota berikutnya dalam lima hari. Jika kita membagi jarak menjadi lima bagian, kita harus berhenti di sekitar sini untuk hari ini.”

“Sedekat itu? Itu pasti mudah dicapai sampai sore!”

“Lagian, kalian berdua berjalan cukup cepat pagi ini.”

“Aku tidak sabar untuk melihat semua hal keren yang ada di luar sana!”

“Myukeyyy, kamu beyum peynah ke cini?”

“Aku pernah ke sana untuk bekerja, tapi kali ini akan sangat berbeda.”

Hanya memikirkan fakta bahwa Myuke dulunya seorang Hunter hampir membuat Anima muak. Dia teringat pada orang brengsek yang pernah menjelek-jelekkan Myuke, mengatakan segala macam hal yang mengerikan. Babi-babi itu menyebut dia tidak berguna dan membual tentang menggunakannya sebagai bagal pengangkut, memaksa tubuh mungilnya untuk mengangkut semua barang bawaan mereka. Anima bisa membayangkan Myuke menyeret pakaian dan peralatan mereka sepanjang hari, sangat lelah, kepalanya terjuntai. Dia pasti tidak memiliki waktu untuk menikmati pemandangan.

“Aku sangat senang untuk sampai di tujuan kita, tapi hal yang bagus untuk bisa bersantai di sini sebentar,” kekeh Anima. “Kita tidak buru-buru. Kalian bisa berlari dan bermain-main sesuka kalian setelah makan siang.”

Wajah mereka berbinar dalam sekejap dan mereka terus memenuhi pipi mereka dengan sandwich. Tak lama kemudian, keranjang makan siang sudah benar-benar kosong.

“Aku masih lapar!”

Marie memandang Luina, meminta makanan lagi.

“Apakah Marie ingin makanan penutup?”

“Uh-huh!”

“Maksud Ibu buah kering, kan? Aku juga mau!”

Gadis-gadis itu dengan bersemangat mengikuti tangan Luina saat dia merogoh tasnya, mengeluarkan setoples buah kering, dan membukanya.

“Makan terlalu banyak akan membuat perutmu sakit, jadi masing-masing hanya boleh makan tiga!”

“Ciga? Tapi, tapi, aku sangat lapar…”

“Kalau begitu empat.”

“Empat? Yaaay!” sorak Marie sebelum tangannya menerjang ke dalam toples manisan. Setidaknya dia berencana begitu. Saat Marie melihat lebih dekat ke dalam toples, dia menyadari bahwa ada banyak jenis buah yang berbeda, dan menjadi sangat bingung.

“Ini!” Myuke, di sisi lain, segera mengambil keempatnya dan memakan satu. “Enaknya!”

“Aku juga! Aku juga mau itu!”

Marie mulai gelisah. Merasa seperti membuang-buang waktu untuk berpikir, dia memasukkan tangan kecilnya ke dalam toples dan mengeluarkan empat potong buah kering. Dia kemudian memilih salah satu dari keempat itu dan mencicipinya.

“Wooow! Manisnya! Apa ini?”

“Itu mangga.”

“Aku suka manja! Myukey, Myukey, apa kamu suka manga?”

“Aku suka!”

“Aku beyi kamu satu!”

“Benarkah?”

“Mm-hmm! Karena aku lebih menyukai Myukey daripada manga!”

“Terima kasih! Ini, aku akan memberimu stroberi.”

“Yaaay! Aku suka styobeyi!”

Sambil menikmati buah kering yang lezat itu dengan penuh semangat, mereka masing-masing makan buah kering mereka dengan cepat. Setelah berterima kasih pada Luina, Myuke berdiri, dan Marie mengikutinya.

“Saatnya membuatkanmu mahkota bunga, seperti yang aku janjikan.”

“Yaaay! Makacih!”

Anima menyaksikan Myuke mulai membuat mahkota bunga dari dandelion di sekelilingnya. Marie mengawasi prosesnya, memperhatikan dengan penuh minat.

“Apakah kamu lelah?” tanya Luina, merapat ke Anima.

“Jangan khawatir, aku cukup percaya diri dengan staminaku. Aku berkeliling dunia dengan berjalan kaki, dan bahkan pernah melintasi Gurun Kebinasaan yang terkenal sebelum kamu memanggilku ke sini.”

“Begitu ya…” Luina menghela nafas kecewa.

“Maaf,” jawab Anima, nampaknya khawatir.

“Hm? Kenapa kamu meminta maaf?”

“Aku takut ceritaku akan membuatmu bosan.”

“Oh, tidak, tidak sama sekali! Hanya saja, umm…” Luina gelisah, menatap Anima dengan mata memelas. “Aku sedang berpikir untuk membiarkanmu berbaring di pangkuanku jika kamu lelah…”

“P-P-Pangkuanmu?! Sebagai bantal?!”

Anima bak disambar petir. Mereka telah melakukan banyak hal layaknya pasangan seperti berpegangan tangan, berpelukan, dan berciuman, tapi Luina tidak pernah menawarkan untuk membiarkan Anima menggunakan pangkuannya sebagai bantal sebelumnya.

Dia pernah melihat Marie menikmati istirahat di pangkuan Luina beberapa kali sebelumnya. Anima tidak mau mengakuinya, tapi dia merasa sedikit iri setiap kali itu terjadi. Meski begitu, dia tidak sanggup untuk meminta Marie bertukar tempat dengannya. Hal itu, dan ditambah dengan perasaan canggung saat meminta Luina secara langsung untuk memanjakannya, membuatnya dikutuk dengan hidup tanpa pangkuan. Diberkati dengan keajaiban untuk dapat menyandarkan kepalanya di pangkuan istrinya membuat dia terengah-engah.

“Kamu baik-baik saja?”

Anima mendengus dan menggelengkan kepalanya.

“Aku menyukai itu.”

“Kalau begitu, silakan.”

Luina duduk dan menepuk-nepuk kakinya. Setelah menelan ludah besar, Anima dengan hati-hati meletakkan kepalanya di paha Luina, berhati-hati untuk tidak menusuk Luina dengan tanduknya.

Pahanya seperti awan paling halus, dan kepalanya melayang di atasnya. Kehangatan dan kelembutan pahanya membuat Anima diliputi rasa kantuk, tapi dia akhirnya bisa merasakan bantal pangkuan yang sangat dia dambakan, dan dia tidak akan membiarkan hal ini menjadi sia-sia dengan tertidur.

“Bagaimana?”

“Luar biasa.”

“Aku senang mendengarnya,” kata Luina sambil tersenyum setelah mendengar pujiannya yang tulus. “Aku akan mengawasi anak-anak, jadi silakan tidur.”

“Aku tidak ingin tidur dan melewatkan pengalaman yang luar biasa ini. Aku akan tetap terjaga.”

“Jika kamu sangat menikmati pangkuanku, aku akan melakukan ini untukmu setiap hari.”

“Aku menghargai tawaran itu, tapi pahamu akan lelah jika kita melakukannya setiap hari.”

“Kamu selalu begitu baik,” kata Luina sambil mengusap rambut perak Anima.

“Tidak, aku sebenarnya tidak baik. Aku hanya mencintaimu.”

“Anima…”

Anima menyaksikan senyuman lembut membentang di wajah Luina, ketika suara Myuke tiba-tiba menembus suasana yang tentram itu.

“Selesai!”

Marie berjalan menuju pasangan itu bersama mahkota dandelion yang duduk dengan megah di atas kepalanya.

“Ya ampun, sungguh mahkota yang indah. Kamu seperti seorang putri sejati.”

“Myukey yang membuatnya!”

“Mengesankan, Myuke. Kerja bagus.”

“Wow, kamu sangat ahli dalam hal itu.”

Myuke tersipu karena semua pujian yang dia dapat. Ketika dia sibuk mencoba untuk menerima pujian yang tiba-tiba itu, yang lainnya melihat kupu-kupu yang perlahan mendarat di kepalanya.

“Ah! Tupu-Tupu!”

“Benarkah? Dimana?”

Kupu-kupu kembali terbang saat Myuke berbalik.

“Tunggu, tupu-tupu! Tunggu!”

“Tunggu!”

Anima menyaksikan itu dari nyamannya pangkuan Luina saat para gadis mengejar kupu-kupu itu. Setelah beberapa saat, mereka berdua kembali ke Anima dan Luina dengan poni menempel di dahi.

“Air… Bolehkah aku minta air?”

“Aku juga!”

“Sebentar,” kata Luina. Menggerakkan kepala Anima beranjak dari pangkuannya sehingga Luina bisa bergerak bebas, dia mengambil wadah air mereka dan menyerahkannya pada Myuke. Setelah beberapa kali tegukan, Myuke mengeluarkan “Ahh” yang puas dan menjatuhkan dirinya ke atas selimut piknik.

“Aku butuh istirahat sebentar,” katanya.

“Aku juga!”

“Kalau begitu bagaimana kalau menyandarkan kepalamu di pangkuan Ibu?” anjur Luina.

“Pangkuan Ayah juga tersedia.”

Mereka berdua menyetujui tawaran. Myuke melompat ke pangkuan Anima setelah melirik Shaer sekilas, dan Marie meringkuk di depan Luina.

“Wow, Ayah. Pahamu sangat keras.”

“Ayah telah melakukan banyak latihan. Apakah kaki Ayah tidak nyaman?”

“Tidak, aku suka bagaimana penampilan dan rasanya kaki Ayah. Kaki Ayah sangat keren!” Myuke sering menunjukkan sikap seperti orang dewasa, tapi itu hanya di depan orang asing. Ketika dia bersama dengan keluarga tercintanya dan tidak ada orang lain—kecuali Shaer—dia akan membiarkan dirinya dimanjakan seperti anak kecil. Dia melontarkan senyum lebar dan cerah pada Anima sementara dia dengan lembut membelai kepala Myuke. “Terima kasih ayah. Aku sangat senang.”

“Aku juga!” sorak Marie. “Aku juga ingin dibeyai!”

“Tentu saja.”

Luina mulai mengusap-usap kepala Marie, dan tak lama kemudian, kedua gadis itu menutup mata dan tertidur. Melihat dua bidadari kecilnya tertidur nyenyak di pangkuannya dan suaminya, Luina tidak bisa menahan senyum.

“Mereka cepat tertidur.”

“Tidak heran. Mereka berjalan sepanjang pagi.”

Mereka menatap padang hijau zamrud sambil mengusap gadis-gadis kecil menggemaskan yang tidur di pangkuan mereka. Waktu perlahan-lahan mengalir turun saat satu jam berubah menjadi dua, dua menjadi tiga…

“Oh, astaga! Aku ketiduran!” Mata Shaer terbuka lebar dan dia melompat berdiri, melihat sekeliling dengan panik. Dia menjadi tenang saat dia melihat Anima, dan dengan enggan mendekatinya. “Apakah Anda terjebak menunggu saya? …Ah, begitu, anak-anak juga tidur.”

“Iya. Aku tidak mau membangunkan mereka, dan matahari hampir terbenam. Kenapa kita tidak mengakhiri perjalanan hari ini disini?”

“Setelah baru setengah hari…”

Shaer tampak kesulitan. Dia pasti ingin mengalahkan monster itu secepat mungkin. Melihat lagi pada gadis-gadis kecil yang tidur nyenyak, dia mengangguk. “Tapi Anda benar; itu akan berarti membangunkan mereka. Kalau begitu, saya akan mulai menyiapkan tenda. Saya tidak keberatan menyiapkan tenda Anda juga, tapi… Dimana tendanya?”

“Kami tidak membawanya.”

“Benarkah? Saya yakin suhunya akan cukup dingin di malam hari. Mungkin agak sempit, tapi tolong, gunakanlah tendaku.”

“Jangan khawatir. Aku akan membangun rumah.”

“Rumah?” tanya Shaer dengan tatapan ingin tahu.

“Ah, ngomong-ngomong, bisakah kamu bertukar tempat denganku sebentar?”

“S-Saya? Sulit mengakuinya, tapi karena saya masih sangat muda ketika pertama kali mengabdikan diri pada jalan berpedang, selain menjadi sangat buruk dalam segala jenis pekerjaan, saya sangat tidak berpengalaman dalam mengurus anak-anak.”

“Tidak apa-apa,” Luina meyakinkannya, “anak-anak mencintaimu. Aku yakin kau bisa melakukannya.”

“K-Kalau begitu, saya akan mencobanya.”

Dorongan dari Luina membangun kepercayaan diri Shaer. Dia menahan napas untuk menghindari membuat suara, dan dengan hati-hati mengangkat kepala kecil Myuke, meletakkannya di pangkuannya. Sikapnya yang canggung dan bingung mengingatkan Anima pada dirinya sendiri tiga bulan yang lalu.

“Syukurlah. Dia tidur seperti bayi,” katanya sambil mendesah lega. “Ngomong-ngomong, bagaimana rencana Anda untuk membangun rumah? Saya tidak melihat pohon di sekitar sini.”

Setelah mengatasi goncangan karena menjadikan pangkuannya sebagai bantal Myuke, dia akhirnya bisa mengajukan pertanyaan yang membuat dia penasaran. Anima memberi isyarat padanya untuk tetap di tempat dan melihat, lalu menjauh dari rombongan itu. Dia meletakkan tangannya di tanah dan memfokuskan mana ke dalamnya. Ketika dia melakukannya, tanah di depannya terangkat, dengan cepat berubah menjadi bentuk yang bisa dikenali.

Ia berhasil membuat rumah berbentuk kubah. Pintu melengkung menuju ke satu area yang luas. Dinding bangunan dilapisi dengan mana untuk membuat strukturnya sangat kokoh; bahkan apabila ada bencana gempa bumi yang kuat, rumah itu tidak akan mengalami retakan sedikit pun. Selain itu, lapisan mana menahan tetesan debu, menjadikannya tempat tidur yang sempurna untuk malam hari.

“Aku benar-benar ingin membuat pintu dan beberapa jendela, tapi aku tidak punya kayu. Aku minta maaf; mungkin akan sedikit berangin di dalam.”

“Angin sepoi-sepoi tidak akan merugikan,” kata Luina, “dan akan hangat serta nyaman jika kita berpelukan bersama. Terima kasih telah membuat rumah kecil yang indah untuk kami, Anima.”

“Aku senang kamu menyukainya,” kata Anima sambil tersenyum, lalu berbalik ke arah Shaer dengan tatapan serius. “Apakah iblis biasanya ada di daerah ini?”

“Tidak, tidak sama sekali. Para Hunter sering berpatroli di area ini, karena kita belum terlalu jauh dari Garaat. Tetap saja, berhati-hati selalu merupakan tindakan yang bagus. Seseorang tidak pernah bisa terlalu yakin.”

“Kalau begitu aku mungkin akan menutup pintu masuk saat kita pergi tidur.”

Tentu saja, dia akan memberikan cukup banyak celah untuk memungkinkan mereka bernapas.

“Nhh…” Marie mengerang. Mereka pasti tidak sengaja membangunkannya. Dia mengusap matanya dan duduk, lalu dengan mengantuk memandangi rumah yang baru dibangun itu. Saat dia melihatnya, matanya terbuka lebar, dipenuhi dengan keheranan dan kekaguman. “Yumah! Lihat, yumah!”

“Ngh, ada apa dengan semua suara berisik itu…? Tunggu, apa-apaan rumah itu?!” seru Myuke kaget.

“Anima yang membuatnya.”

“Ayah?! Wooow!”

“Ini memang sangat mengesankan. Saya duga kalau Anda memanfaatkan batu dwarf, tapi memanipulasi tanah dalam jumlah yang terlalu besar pasti membutuhkan mana yang luar biasa. Belum lagi Anda menggunakan batu minotaur secara bersamaan. Cadangan mana Anda pasti benar-benar tidak berdasar.”

Shaer sangat terkesan. Dia tidak pernah berkomentar tentang tanduk Anima sebelumnya, sepertinya karena dia berasumsi bahwa itu adalah hasil dari batu sihir dan bukan tanduk miliknya sendiri. Anima bisa saja memberitahunya tentang mereka, tapi jika dia melakukan itu, dia akan dipaksa untuk menjelaskan segalanya tentang dirinya—tentang bagaimana Anima dipanggil ke dunianya, dan tentang kekuatan harta tersembunyi Scarlett. Mereka memercayai Shaer, tapi lebih baik tidak memberi tahu apa pun yang tidak perlu dia ketahui.

“Kita akan mendirikan kemah di sini untuk hari ini, jadi masuklah ke dalam.” Anima membimbing anak-anak ke dalam, lalu, setelah mengemasi seprai, dia masuk juga. “Shaer, silakan masuk.”

“Bolehkah?”

“Tentu saja. Kau mungkin akan masuk angin di luar.”

“Saya berhutang budi.”

Shaer menurunkan tendanya dengan sembarangan dan memasuki ruangan yang berbau tanah.

“Becaynyaaaa!”

“Bahkan hujan tidak dapat menghentikan kita sekarang!” Marie dan Myuke berlari dengan bersemangat mengelilingi ruangan. Mereka baru saja bangun, tapi saat ini matahari hampir terbenam; setelah makan malam yang lezat, mereka pasti akan mengantuk lagi. “Oh, karena Ayah sudah membuat rumah, apakah itu berarti kita sudah selesai berjalan hari ini?”

“Ya,” kata Luina dengan anggukan. “Mari biarkan Ayah bersantai sebentar sementara Ibu membuat makan malam. Adakah yang mau membantu Ibu menyiapkan makan malam?”

Tangan gadis-gadis itu langsung melesat ke atas dan gubuk tanah bergema dengan tawa riang. Saat matahari perlahan terbenam, hari pertama perjalanan keluarga itu pun berakhir.

◆◆◆


Tiga hari telah berlalu sejak Anima dan keluarganya meninggalkan Garaat. Segera setelah matahari mulai mengintip dari balik cakrawala, rombongan itu berangkat dari kemah mereka di kaki gunung. Marie ingin tidur lebih lama, tapi Anima bilang padanya bahwa akan lebih menyenangkan jika mereka mulai mendaki pagi-pagi sekali, jadi mereka berangkat ke pemukiman kecil di sisi lain gunung yang telah diceritakan Shaer.

Menurut dia, tempat itu tidak terlalu megah, tapi mereka bisa mengisi ulang persediaan mereka di sana. Mengingat bahwa mereka sudah makan setengah dari persediaan makanan yang mereka bawa, itu adalah titik perhentian yang sempurna untuk malam itu.

“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Anima pada keluarganya. “Katakan saja dan Ayah akan mendukung atau menggendong kalian sampai ke puncak gunung.”

“Aku tetap mendaki!”

Meskipun telah bertingkah seperti tukang tidur ketika dia bangun, kegembiraan pendakian pertamanya memenuhi Marie dengan energi.

“Gadis hebat! Kamu melakukan tugas dengan sangat baik! Bagaimana denganmu, Myuke?”

“Semuanya oke! Aku telah mendaki beberapa gunung yang mengerikan untuk bekerja, jadi bukit kecil ini tidak ada apa-apanya untukku!”

“Gadis kuat,” kata Anima sambil membelai kepalanya dengan lembut. “Dan kamu, Luina?”

“Aku baik-baik saja. Kakiku adalah salah satu poin terbaikku,” dia terkekeh, terus mendaki gunung dengan mudah.

Segalanya tidak akan berjalan begitu mulus jika mereka berada di jalur satwa yang curam, tapi jalur pegunungan yang mereka lalui memiliki lereng yang landai dan nyaman. Meski dengan sesekali rumput liar dan turunan atau tanjakan yang tiba-tiba di jalan, itu adalah pendakian yang cukup aman secara keseluruhan.

Seaman apa pun itu, bagaimanapun, itu masihlah pendakian. Stamina para gadis terkuras jauh lebih cepat daripada saat mereka berjalan di dataran datar pada hari pertama, dan tak lama kemudian, menyeka keringat di dahi mereka menjadi hal yang biasa. Pepohonan menghalangi sebagian sinar matahari yang tiada henti, tapi tidak memberikan perlindungan yang sempurna. Petak-petak sinar matahari yang bersinar dengan cepat menaikkan suhu tubuh mereka.

“Aku telah menemukan tempat kecil yang sempurna untuk istirahat!” Tepat setelah matahari mencapai puncaknya dan terus bergerak ke barat, Shaer mendarat di dekat kelompok itu dan memberi tahu mereka tentang temuannya. “Ayo makan siang di sana.”

“Ide bagus. Kita akan segera makan siang, anak-anak. Bertahanlah sebentar lagi.”

Gadis-gadis itu mengangguk penuh semangat kepada Luina dan melanjutkan pendakian cepat mereka sampai sesuatu terlihat.

“Wooow!” seru Marie.

Di depan mereka ada jembatan tali sepanjang sekitar seratus kaki, digantung di atas sungai gunung yang bersih dan berbatu. Jatuh dari jembatan itu akan berarti kematian bagi siapa pun kecuali Anima. Dihadapkan pada tantangan pertama sejak kepergian mereka, Anima menjadi tegang. Dia perlu mengantar keluarganya ke tepi seberang dengan selamat.

“Marie, peganglah tangan Ayah dan jangan lepaskan saat kita di jembatan.”

“Okeeee!”

Anima meraih tangan Marie, dan menghadapi penyeberangan berbahaya. Mereka dengan hati-hati menginjakkan kaki di jembatan, yang langsung mulai bergoyang.

“Wooow! Ini goyang-goyang!” Merasa terhibur, Marie mulai mengguncang talinya. Semakin jembatan itu bergoyang dan berderit, dia semakin bersemangat. “Daaaan selesai!”

Marie sangat gembira saat mereka tiba dengan selamat sampai di seberang. Pada awalnya, Anima sangat ingin melindunginya dengan segala cara, tapi ketika mereka semakin dekat ke sisi sebrang, dia menyadari bahwa jembatan itu dibangun dengan cukup baik dan dia tidak perlu khawatir.

“Apa kau senang?” tanya Anima begitu mereka berhasil sampai.

“Uh-huh! Ini goyang-goyang! Aku ingin peyji yaji!”

“Lalu apakah kamu ingin ikut kembali bersama Ayah ke yang lain?”

“Ya toyooong!”

Mereka sekali lagi berpegangan tangan dan menyeberangi jembatan yang bergoyang, hanya untuk disambut oleh Myuke yang pucat pasi. Anima punya firasat tentang alasan kurangnya warna di wajah Myuke.

“Apakah kamu takut?”

“T-Tidak sama sekali…” katanya, terlihat gemetaran. Dia tidak bisa mengaku takut di depan Marie, dan Anima sepenuhnya mengerti akan hal itu. Anima menunjukkan senyum hangat sebelum membuka mulutnya.

“Kamu tahu, Ayah juga takut,” katanya.

“Huh?” jawabnya, tercengang. “Takut? Ayah?”

“Ya. Ayah sangat ketakutan ketika Ayah menyeberangi jembatan bersama Marie. Jantung Ayah tidak berhenti berdegup kencang.”

“B-Benarkah? Y-Yah, sejujurnya, aku juga sedikit, takut… ”

“Begitu. Lalu bisakah kamu memegang tangan Ayah? Ayah merasa seperti Ayah bisa menaklukkan ketakutan Ayah jika kamu ada di sana bersama Ayah.”

“Oke! Aku akan membuat Ayah aman!” seru Myuke bangga dengan anggukan antusias, lalu meremas tangan Anima. Telapak tangannya berkeringat karena stres.

“Luina, kamu harus memegang tangan Marie.”

“Tentu saja. Jembatan akan terlalu bergoyang jika kita semua menyeberang sekaligus, jadi kami pergi duluan, oke?”

Saat Luina dan Marie telah menyeberangi jembatan dan melambai balik pada mereka, Myuke berbisik “Aku bisa melakukan ini” dan mengambil langkah maju. Dengan derit yang menyakitkan, jembatan itu mulai bergoyang. Kakinya yang gemetar membawanya selangkah demi selangkah sampai dia dan Anima dengan selamat mencapai sisi seberang.

“Itu sangat menyenangkan!” Kata Myuke sambil tersenyum lebar.

Mengatasi rintangan seperti itu tampaknya sangat membantunya tumbuh; tatapan matanya jauh lebih dewasa dari sebelumnya. Menyadari—dan takjub—pada betapa cepatnya anak-anak tumbuh dewasa, Anima mengelus kepalanya.

“Ayah hanya berhasil menyeberangi jembatan itu karena kamu ada untuk Ayah. Terima kasih, Myuke.”

“Sama-sama! Aku akan membantu Ayah menyeberanginya lagi kapan pun Ayah mau, tinggal katakan saja!”

“Ayah selalu bisa mengandalkanmu.” senyum Anima.

“Ah, lihat, di sana! Apa itu disana?!”

Area yang Marie tunjuk dengan penuh semangat benar-benar tersembunyi dari sisi seberang karena pepohonan, tapi setelah menyeberang, keluarga tersebut dapat melihat dengan jelas air terjun yang indah. Air terjunnya tidak terlalu tinggi, jadi perasaan megah sebagian besar tidak ada, tapi luasnya cukup mengesankan. Tirai air mengalir turun tanpa jeda, dinginnya mencapai rombongan itu hingga membuang butiran keringat dari dahi mereka.

“Lihat! Pelangi!”

“Wooow!”

Saat sinar matahari menyinari air terjun, itu menghasilkan pelangi kecil yang lucu. Pemandangan itu begitu indah sehingga mereka berlima benar-benar terpesona.

“Cantiknya…” kata Luina dengan nada tenang, terpesona oleh air terjun itu.

Anima berbalik ke arahnya dan mengalami perasaan kagum yang sama.

“Indahnya…”

“Benar, kan? Tunggu, apa yang kamu lihat?!”

“Kamu.”

“Ah, astaga. Mulai lagi, menggombaliku…”

Wajah Luina memerah dan dia berbalik ke arah air terjun. Setelah melihat pemandangan yang indah itu sebentar, mereka berangkat mendaki lagi.

“Daaaan selesai!”

Ketika mereka mencapai puncak gunung, keluarga itu duduk di bangku yang disiapkan untuk para Hunter yang biasanya berpatroli di daerah itu dan menikmati pemandangan, begitu menakjubkan sehingga tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Cahaya matahari terbenam melukiskan luasnya hutan di bawah mereka dengan warna jingga, seolah-olah mereka dihiasi warna musim gugur, sementara angin sepoi-sepoi yang dingin mengurangi rasa lelah yang telah bersemayan dalam tubuh mereka setelah seharian mendaki. Melihat pemandangan itu, senyum lembut muncul di wajah lelah Luina.

“Ahhh! Yihat! Dicana! Junung!”

“Wow, benar-benar ada gunung di sana! Temuan yang bagus!”

“Aku cangat pandai mencayi! Junung itu cungguh yuay biaca!”

“Itu benar-benar besar, tapi kamu tahu, kamu mendaki gunung yang lebih besar hari ini.”

“Iya kah?!” Marie berkedip cepat karena terkejut. “Aku menjaki cecuatu yang yebih becay?”

“Tentu saja. Kalian berdua melakukannya dengan sangat baik, Marie, Myuke.”

Mendengar pujian Anima, senyuman indah muncul di wajah mereka, dan mereka melompat dari bangku.

“Aku japat menjaki yagi!”

“Aku juga siap beraksi! Tapi, Marie, kita tidak akan mendaki lagi. Kita harus turun gunung sekarang.”

“Kita tuyun?”

“Ya, tepat sekali! Lihat, lihat desa di bawah sana itu?” Myuke menunjuk ke pemukiman kecil di tengah hutan. “Kita akan ke sana!”

Sinar matahari jingga terpantul dari sungai yang mengalir di sepanjang pinggiran desa. Tampaknya agak jauh dari puncak, tapi begitu mereka menuruni gunung, sisa perjalanan akan melalui dataran. Jalan datar tidak akan menjadi sulit untuk dilalui oleh anak-anak, jadi bahkan dalam skenario terburuk, mereka akan bisa sampai di sana di pagi hari dua hari kemudian.

“Wooow! Yihat, Ayah! Apa itu?”

Marie dengan bersemangat menunjuk ke bawah. Sebuah kolam kecil mengeluarkan awan uap lembut tepat di bawah lereng, yang hanya bisa berarti satu hal.

“Bukankah itu mata air panas?”

“‘Maca aiy panyas’?”

“Bak mandi.”

“Ada di sana?”

“Mm-hmm. Bagaimana kalau kita masuk ke sana selagi kita punya kesempatan?”

Anak-anak mengangguk. Mereka telah mengeluarkan banyak keringat selama pendakian sepanjang hari, dan tentu saja, mereka ingin membilasnya—perasaan yang bahkan mulai lebih diperhatikan Myuke yang sudah cukup besar. Dengan ide untuk mandi santai, mereka mulai menuruni gunung ketika Shaer mendarat di dekat mereka.

“Hari sudah agak gelap, jadi saya sarankan kita berkemah untuk malam ini. Tentu saja, saya lebih suka kita sampai ke tempat monster itu secepat mungkin, tapi saya benci membahayakan keluarga kalian karena melakukan hal itu. Oleh karena itu, walaupun mungkin tidak sopan bagi saya untuk mengatakannya, saya melarang kalian untuk terlalu berlebihan,” dia memperingatkan hal itu dari kebaikan hatinya.

“Kami akan peyji ke maca aiy panyas!”

Shaer terlihat bingung dengan laporan singkat Marie.

“‘Maca aiy panyas’…? Ah, mata air panas! Jadi dari sanalah semua uap itu berasal.”

“Kamu juga ikut!”

Marie meraih tangannya. Dia bepergian secara terpisah, tapi dia tidur bersama dengan anggota rombongan lainnya, dan tampaknya Marie telah benar-benar menerima Shaer selama tiga hari menginap. Anima juga menikmati kebersamaannya, terutama karena Shaer perhatian kepada keluarganya.

“Bukankah saya akan mengganggu kumpul keluarga kalian?” tanya Shaer, dan melihat ke arah Anima dan Luina.

“Aku tidak keberatan jika kau bergabung dengan kami. Semakin ramai semakin meriah.”

“Aku juga tidak keberatan.”

Marie sangat ingin mandi dengan Shaer, dan Anima tidak mungkin menolak keinginan bidadari kecilnya. Sambutan mereka membuat wajah Shaer berbinar bahagia.

“Sejujurnya, saya sangat ingin mandi. Saya basah dengan keringat.”

Kesatria itu sudah memutuskan, kelimanya pergi ke pemandian air panas bersama. Saat mereka sampai di tepi air, Marie segera mulai membuka pakaian sementara Myuke melihatnya dengan ekspresi khawatir.

“Uapnya mengepul dengan gila. Bisakah kita benar-benar masuk ke dalam sini?” Myuke dengan hati-hati memeriksa suhunya dengan tangan, lalu menunjukkan senyum lega. “Ini sempurna!”

Mengikuti contoh Marie, Myuke juga mulai melepaskan pakaian. Dia sudah cukup dewasa untuk merasa malu mandi dengan orang lain, jadi meskipun telah setuju untuk membasuh punggung Anima tidak lama setelah mereka bertemu, dia masih belum mau mandi bersama dengan Anima. Tetap saja, melihat Anima, Luina, dan Marie dengan riang mandi bersama pasti membuatnya merasa tersisihkan, jadi seminggu setelah dia mulai menyebut Anima sebagai “Ayah”, dia akhirnya menyerah dan mandi bersama mereka.

“Enaknya!”

“Ini nyaman dan hangat.”

Marie dan Myuke dengan cepat membenamkan diri di bak mandi, diikuti oleh Anima dan Luina, yang juga telanjang bulat.

“Nyamannya…” Luina berbisik dengan senyum lembut. Kehangatan yang nyaman jelas membuatnya semakin mengantuk, karena matanya semakin lama terpejam setiap kali dia berkedip.

“Aku merasa seperti diriku lagi.”

Shaer, dalam keadaan telanjang seperti yang lain, menikmati diri sedikit lebih jauh dari mereka. Itu seharusnya menjadi pengalaman yang agak memalukan, tapi dia tidak keberatan dengan adanya Anima atau hanya terlalu asyik menikmati air hangat, karena dia tidak menunjukkan tanda-tanda malu.

“Lihat, lihat! Aiynya sangat cancik!”

“Benar-benar indah dari caranya memantulkan matahari terbenam.”

“Aku merasa hidup kembali…”

Keluarga itu menghabiskan sisa malamnya untuk mengisi ulang energi tubuh dan pikiran mereka di mata air panas yang seperti mimpi.

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya