[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 2 Chapter 1 Bahasa Indonesia

 

Chapter Satu: Raja Iblis Memungut Seorang Ksatria

 

Saat mereka menyusuri jalanan Garaat, sinar matahari yang nyaman menyinari Anima dan keluarganya tercinta, bersama dengan angin sepoi-sepoi yang membelai pipi mereka, menjadikan ini sebagai hari yang sempurna untuk makan siang di kota.

Bagaimana mungkin bisa semenggemaskan ini?

Mereka telah memasuki sebuah restoran yang ramai dan duduk di sebelah jendela, aroma makanan yang baru dimasak berputar mengeliilingi mereka. Namun, Anima tidak terlalu memedulikan itu. Matanya terpaku pada kumpulan kelucuan di depannya, dan mulutnya melengkung membentuk senyuman.

“Enyak!” seru putri bungsunya yang menggemaskan, Marie, saat dia mengisi pipinya dengan sesendok sup daging sapi kukus.

Rambutnya yang halus, matanya yang besar, polos, dan pipinya yang tembem membuat tatapan Anima terjerat. Makan siangnya perlahan menjadi dingin, tapi itu tidak masalah sedikit pun. Dia akan dengan senang hati mati kelaparan jika itu berarti dia bisa melihat putrinya dengan riang mengunyah makan siangnya meski hanya sedetik lebih lama.

“Kamu akan tersedak jika kamu tidak lambat-lambat! Astaga, dan seluruh wajahmu jadi belepotan semua!”

Putri tertuanya, Myuke yang berambut merah, dengan lembut menyeka bersih wajah Marie dengan sapu tangan, memasang senyum riang di wajah gadis kecil itu.

 


 

“Teeheehee, geyi!”

“Tenang, dan jangan banyak menggeliat. Ini dia; bagus dan bersih!”

“Teyima kacih!” kata Marie sambil membawa sesendok sup lagi ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah potongan daging sapi itu sebaik mungkin dengan mulut kecilnya.

“Hei, wajahmu belepotan lagi!”

“Yakukan yang geyitik itu!”

“Ya, ya. Kamu benar-benar suka dimanjakan, ya?” Myuke sekali lagi mengambil saputangan dan menyeka wajah Marie hingga bersih, lalu mengambil sesendok sup ke mulutnya sendiri, berhati-hati agar tidak meneteskan saus apa pun pada gaun birunya. Begitu dia melakukannya, dia tersenyum senang. “Mmm, lezat! Ini sangat lembut!”

Senyuman Anima tidak berkedip sejak mereka duduk. Dia tidak pernah puas melihat putri-putrinya yang menggemaskan menikmati makan siang mereka. Itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan baginya.

Aku tidak pantas memiliki dua bidadari ini dalam hidupku…

“Anima? Apakah kebetulan kamu sedang tidak lapar? ”

Perhatiannya terhadap putrinya ditarik dengan suara yang jelas. Saat dia menoleh untuk melihat kursi di sebelahnya, gambaran seorang gadis cantik jelita memasuki bidang penglihatannya. Kehangatan lembut bersarang di mata biru wanita itu, dan rambut birunya yang panjang, kontras dengan gaunnya yang putih bersih, diikat dengan pita. Anima benar-benar terpesona oleh silau kecantikan istrinya, Luina Scarlett.

“Umm…” Luina memalingkan wajah saat merasakan tatapan Anima yang membara dan dengan lembut mengusap pipinya. “Apakah ada sesuatu di wajahku?”

“Tidak, tidak ada.”

“Lalu kenapa kamu menatap bibirku seperti itu?” tanya Luina setelah menghela nafas lega dan berbalik ke arahnya.

“Karena aku berharap kita bisa berciuman lagi.”

“Aku juga ingin menciummu,” katanya, pipinya telah memerah, “tapi akan memalukan melakukannya di depan umum. Bisakah itu menunggu sampai, um… sampai kita pulang?”

Luina meraih tangan Anima. Senyum Anima melebar sebagai respon, dan dia melilitkan jari-jarinya dengan jemari Luina. Namun, sangat mengejutkannya, Luina bereaksi terhadap gerakan tulus Anima dengan menggembungkan pipinya dan mengajukan pertanyaan.

“Bisakah kamu makan saat tangan dominanmu tidak bisa digunakan? Oh aku tahu! Biarkan aku menyuapimu!”

“Apa kamu yakin?” tanya Anima. Tangan dominannya mungkin sibuk dengan hal lain, tapi dia bukanlah anak kecil. Menggunakan tangan non-dominannya untuk memegang sendok dan memasukkannya ke mulut tanpa menumpahkan apapun tidaklah sulit baginya.

“Kamu selalu memperhatikan kami,” katanya dengan anggukan, “jadi menyuapi suamiku tercinta adalah hal yang setidaknya bisa aku lakukan.”

“Luina…”

Dia terperangah. Berpegangan tangan sudah cukup untuk membuatnya berenang di lautan euforia; kemungkinan akan disuapi oleh istrinya yang cantik adalah sesuatu yang hampir tidak dapat ditangani oleh hati fana nya.

“Buka yang lebar, Anima! Kereta datang!”

“Ahhhmn…”

Aku adalah pria paling bahagia di dunia ini, pikirnya sambil menelan sesendok penuh kebahagiaan murni.

Hari-harinya dipenuhi dengan kebahagiaan sejak dia bertemu Luina, tapi bahkan tiga bulan yang lalu, dia tidak pernah bisa membayangkan akan menjalani hidup yang begitu bahagia. Bagaimanapun, dia adalah Raja Iblis mengerikan, yang dibenci oleh seluruh umat manusia. Ditinggalkan oleh orangtuanya dan dibenci oleh saudara-saudaranya, yang dia tahu hanyalah rasa kesepian. Memulai sebuah keluarganya sendiri adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari penjara kesendiriannya.

Dengan keinginan yang membara di dalam hatinya, dia menemui ayahnya untuk meminta nasihat, dan diberitahu bahwa wanita berbondong-bondong mengejar pria yang kuat. Anima menanamkan kata-kata itu di dalam hatinya, menghabiskan waktu satu abad untuk melatih tubuhnya dengan hanya melawan lawan terkuat, baik manusia maupun iblis. Namun, tidak lama kemudian dia mulai disebut bukan sebagai “Raja para Iblis”, tapi sebagai “Raja Iblis” —sebagai makhluk paling menakutkan di seluruh negeri. Namanya menjadi identik dengan kematian, teror, dan kehancuran. Dia membenci setiap saat dari keberadaannya yang terkutuk, hari-harinya menjadi siklus tanpa akhir dari pembantaian calon pahlawan dan kebencian pada diri sendiri.

Tapi suatu hari, kutukan abadi-nya tiba-tiba berakhir ketika Luina menggunakan artefak rahasia keluarganya untuk memanggil Anima ke dunianya. Itu adalah cinta pada pandangan pertama, dan Anima langsung melamarnya di tempat. Luina menerima lamarannya, yang berarti bahwa Anima tidak hanya telah menemukan pasangan yang luar biasa, tapi juga dua anak yang menggemaskan dalam diri Marie dan Myuke. Kehidupan damai yang dia jalani bersama keluarganya, pada akhirnya, mengubah impian seumur hidupnya menjadi kenyataan. Kebahagiaannya tak terukur.

“…nima? Anima? Halo, Anima? Bisakah kamu mendengarku?”

“Aku sedang memikirkan tentang hari dimana kita bertemu,” kata Anima setelah tiba-tiba ditarik kembali ke kenyataan. “Aku tidak bisa cukup berterima kasih karena kamu telah menerima lamaranku.”

“Anima…” bisik Luina, tersenyum lembut. “Akulah yang seharusnya berterima kasih. Kamu benar-benar suami terbaik yang pernah aku harapkan. Kamu selalu membantuku melakukan pekerjaan rumah, membantu keuangan… Kita bahkan mampu membawa anak-anak makan di luar. Ini seperti aku sedang bermimpi.”

Dia menoleh ke arah putrinya dan memperhatikan mereka saat mereka menikmati makanan hangat mereka. Di masa lalu, keluarga Scarlett memiliki kontrak dengan pemerintahan yang memungkinkan mereka untuk hidup dalam kemewahan dengan syarat untuk tetap hadir di medan perang jika terjadi keadaan darurat.

Namun, kehidupan Luina berubah drastis setelah kematian ayahnya. Untuk menghidupi ibunya yang sakit parah dan anak-anak panti asuhan, dia harus menjual hampir semua harta miliknya. Kesulitan semakin bertambah dengan meninggalnya ibunya. Tidak dapat menunjang kehidupan begitu banyak anak sendirian, hanya Marie dan Myuke yang dapat tinggal bersamanya. Di ujung akalnya, dia pernah berpikir untuk menjual rumah yang penuh dengan kenangan akan keluarganya demi memenuhi kebutuhan hdup.

Untungnya, dengan tiga ratus perak yang diperoleh Anima, dia tidak perlu lagi berpikir seperti itu; mereka berempat bisa hidup nyaman. Ini bukanlah kehidupan mewah yang pernah dimilikinya, tapi mampu makan di luar bersama anak-anak lebih dari yang dapat dia minta. Wajar jika dia berterima kasih kepada Anima setelah semua penderitaan yang dia alami, tapi ada satu hal yang harus Anima klarifikasi.

“Aku tidak menghasilkan uang itu sendirian. Myuke melakukan setengah dari pekerjaan itu.”

“Mm-hmm, benar.” Luina menatap Myuke dengan ekspresi hangat. “Berkat kerja kerasmu, kita semua bisa menikmati makan siang yang enak ini. Terima kasih, Myuke.”

“Makacih, Myukey!”

“K-Kalian tidak perlu berterima kasih padaku!” Pujian semua orang membuat pipi Myuke memerah. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan!”

Sambil melihat putrinya yang menggemaskan, Anima mengangkat sesendok sup ke mulutnya. Mungkin akan terasa lebih enak jika Luina menyuapinya, tapi dia tidak ingin mengganggu Luina memakan makan siangnya sendiri. Sebaliknya, mereka berempat makan siang sendiri-sendiri.

“Ayah, gimana kayau cudah makan?” tanya Marie setelah semua orang selesai makan. Dia menatap Anima, jelas bersemangat akan sesuatu.

“Hmm, apa ya? Bisakah Marie mengingatkan Ayah?”

“Dengay!” deru Marie, matanya berbinar saat dia mengambil umpannya. “itu adalah ‘Makacih untuk makanannyaaaaaaa!’, Ingat Ayah?”

“Makasih untuk makanannyaaaaaaa! Begitukan? Bagaimana yang Ayah lakukan?”

“Wooow! Cungguh pincay!” puji Marie saat dia dengan penuh semangat bertepuk tangan. “Lihat itu, Bu? Ayah cungguh pincay!”

“Ya, Ibu lihat! Kerja bagus, Anima. Kamu juga melakukannya dengan baik, Marie.”

“Ehehe! Itu enyak!”

“Ayah senang mendengarnya,” kata Anima sambil tersenyum. “Apakah perutmu kenyang?”

“Uh-huh!”

“Aku juga kenyang,” kata Myuke. “Aku harus berolahraga agar aku tidak menjadi gemuk.”

“Ayah tidak berpikir itu akan buruk jika berat badanmu bertambah. Itu akan terlihat bagus untukmu.”

“Tapi kalau begitu gaun yang Ayah belikan untukku tidak akan muat,” balasnya. Myuke benar-benar menyukai gaun yang Anima berikan padanya—sangat menyukainya hingga dia berjanji untuk hanya memakainya saat jalan-jalan.

“Kalau begitu Ayah akan membelikanmu yang baru.”

“Apakah Ayah yakin?” tanya Myuke, sambil melirik takut-takut pada Anima.

“Tentu saja Ayah yakin. Benarkan, Luina?”

“Kamu selalu bekerja keras,” jawabnya dengan anggukan dan senyum berseri. “Tidak perlu malu-malu. Belum lagi kamu masih dalam masa pertumbuhan. Pastikan kamu memberi tahu kami jika pakaianmu mulai sempit.”

“Yaaay! Terima kasih! Apakah ada yang bisa aku bantu hari ini?”

“Aku juga!” sorak Marie. “Aku juga ingin membantu!”

“Lalu bagaimana kalau kalian membantu Ayah mengangkat cucian saat kita pulang nanti?”

“Oke!” teriak anak-anak dengan gembira saat mereka mengangguk dengan penuh semangat.

Setelah makan siang mereka selesai, Anima membayar makanannya dan mereka meninggalkan restoran yang nyaman itu dengan Marie yang sedang pusing dalam pelukannya. Keluarga itu berjalan melewati gerbang lengkung kota dan kembali ke rumah.

Dalam perjalanan menuruni jalan tanah yang sempit, mereka melihat bekas pohon yang roboh, membuat Anima melirik Luina dengan cemas. Senyuman cerah Luina yang biasa tidak bisa terlihat; Luina menatap kosong ke depan. Anima bisa menebak kenapa dia merasa murung. Mereka berada tepat di tempat dimana mereka mengalami pertemuan sial dengan Malshan.

Sama seperti ayah Luina, Malshan adalah seorang tentara bayaran yang dipekerjakan oleh kerajaan. Dia disebut-sebut sebagai Hunter terkuat di negeri itu, yang ditugasi melindungi kerajaan dari bahaya dan bencana besar. Sebagai tokoh kunci dalam pertahanan kerajaan dan seorang pria yang dianggap memegang kekuatan tak tertandingi, berarung dengannya pasti akan berakibat buruk. Terlepas dari itu, Anima telah menghajarnya, berpotensi membuat seisi kerajaan menjadi musuhnya.

Entah itu hal yang baik atau buruk, keberadaan Malshan tidak diketahui, dan tidak ada orang lain selain Anima dan keluarganya yang tahu tentang kejadian yang telah terjadi itu. Keterlibatan mereka belum terungkap, tapi kemungkinan mereka akan bangun sebagai buronan sangat menyedihkan bagi Luina. Dia sepenuhnya menyadari kekuatan Anima yang luar biasa—jangankan negara, Anima mungkin mampu untuk melawan seisi dunia sendirian—tapi Anima tidak menginginkan perang habis-habisan. Anima mencintai rumah yang baru ditemukannya; dia tidak ingin itu dihancurkan, atau bahkan kehidupan damainya dikorbankan. Yang dia inginkan hanyalah makan siang yang enak lagi bersama keluarganya di restoran yang nyaman itu.

“Hmm?” Tanpa peringatan, Myuke berhenti berjalan dan memecah keheningan panjang. “Lihat, ada sesuatu di tanah—”

Wajahnya pucat saat dia melihat seseorang pingsan tepat di samping rumah mereka.

“Pria menakutkan itu kembali?”

Marie mulai takut. Dia melingkarkan lengannya erat-erat di leher Anima dan memandangnya dengan berlinangan air mata, ketakutan akan kembalinya Malshan.

“Jangan khawatir, dia tidak akan kembali,” Anima meyakinkannya dengan senyum yang kuat. “Dan jika dia kembali, Ayah akan melindungimu.”

Malshan telah mengetahui perbedaan besar antara kekuatan mereka. Bahkan jika dia masih hidup, mendekati Anima lagi adalah tindakan yang bodoh. Dia benar-benar membenci Anima, tapi ketakutan yang bersarang di jiwanya pasti lebih kuat daripada keinginannya untuk membalas dendam, jadi tidak mungkin orang yang pingsan di sana adalah Malshan.

Namun, situasinya sangat tidak biasa—dan berpotensi berbahaya. Untuk memastikan keselamatan keluarganya, Anima menurunkan Marie dan mendekati orang yang pingsan itu. Saat melakukan itu, dia mengetahui bahwa itu bukanlah Malshan, tapi seorang gadis muda dengan rambut emas berkilau dan wajah muda yang bersih. Namun, pandangan sekilas pada pedang di pinggulnya menegaskan bahwa dia bukanlah gadis kota biasa.

Mungkinkah dia seorang pembunuh yang dikirim oleh Malshan—

Pikirannya tiba-tiba terganggu oleh suara gemuruh yang dalam, yang segera menghilangkan rasa takutnya.

“Luina, cepat!”

“Apakah dia masih hidup?” tanya Luina, yang bahkan lebih pucat dari sebelumnya, sambil berlari menuju suaminya dan gadis yang tidak sadarkan diri itu.

“Apakah iblis yang melakukan ini?!” teriak Myuke, lalu meraih lengan baju Anima dan mengamati daerah sekeliling.

“Jangan khawatir, dia tidak diserang oleh iblis. Dia pingsan karena kelelahan. “

Tepat setelah penjelasan Anima, suara gemuruh keras lainnya menembus area tersebut.

“Ughhh… Untuk berpikir bahwa aku, Shaer, akan pingsan karena kelaparan… Aku tidak akan pernah bisa membebaskan diriku dari rasa malu ini…” gumam gadis itu sebelum pingsan lagi. Sebagai respon, Luina menghela nafas lega dan berbalik ke arah Anima.

“Bisakah kamu mengangkat… Shaer, kan? Bisakah kamu mengangkatnya ke ruang makan?”

Anima tidak bisa menolak permintaan dari Luina. Dia mengangkat gadis itu dan mereka masuk ke dalam rumah.

◆◆◆


Saat Anima mendudukkan Shaer di kursi yang mereka beli dua bulan yang lalu, dia jatuh terkulai di atas meja. Dia lumpuh karena kelaparan, tapi demi keselamatan, Anima memastikan untuk melepaskan senjatanya. Dia mengambil pedang yang menggantung di pinggangnya dan meletakkannya di dinding.

“Dia bobok?”

“Dia pasti sangat lelah. Biarkan dia tidur, Marie.”

Myuke meraih tangan Marie dan bersembunyi di balik punggung Anima. Myuke tidak ingin adiknya yang berharga mendekati wanita yang tidak dikenal, dan Anima sangat setuju akan hal itu. Dia telah menyita senjatanya, tapi selama anggota tubuhnya terpasang, ancaman akan diserang masih tetap ada. Anima terus menatapnya lekat-lekat sehingga dia bisa melompat dan melindungi putrinya pada saat itu juga, tapi pada saat yang sama, dia mengkhawatirkan wanita itu. Wanita itu sepertinya hampir pingsan karena kelaparan.

“Sup tiba!” Luina bernyanyi saat dia masuk ke ruang makan, membawa semangkuk sup kacang.

Saat aroma memikat dari sup yang mengepul menggelitik lubang hidung Shaer, dia mengangkat kepalanya dan mengamati ruangan untuk mencari sumber aroma itu seperti binatang yang kelaparan. Saat menemukan manna, perutnya keroncongan karena lega. Suara tegukan ludah yang bisa terdengar itu membantu membersihkan tenggorokan dan pikirannya saat dia melirik ke arah Anima dan yang lainnya di ruangan itu.

TL Note: Manna = Makanan yang jatuh dari surga

“A-Apakah kalian berbaik hati mempersiapkan ini untukku?”

“Makanlah,” jawab Luina sambil tersenyum. “Masih ada banyak.”

“Rasa syukurku akan mengikutimu sampai ke liang lahat! Terima kasih!” jawab Shaer dengan senyum cerah.

 “AHHH! TIDAAAK!” Marie mengeluarkan jeritan yang memekakkan telinga tepat saat Shaer meraih sendok dan bersiap untuk melahap sup yang mengepul, membuatnya mengerutkan kening dengan sedih.

“Membuat gadis yang kelaparan menunggu setelah menarik mereka menggunakan harapan keselamatan… Sungguh bentuk penyiksaan yang kejam.”

Marie, yang mendengar kata “penyiksaan” yang asing untuknya, memiringkan kepala. Namun, dia tidak terlalu peduli untuk bingung dalam waktu lama, dan segera mengatupkan kedua tangannya.

“Kamu hayus beyteyima kasih kepada Ibu sebeyum makan! Yihat, sepeyti ini! Teyima kasih untuk makanannya!”

“Ya ampun, sungguh tidak sopannya diriku,” kata Shaer dengan senyum lega. “Rasa lapar membuatku melupakan tata krama yang benar. Terima kasih untuk makanannya, Bu! Bagaimana itu?”

“Yaaay! Bagus! Kamu bisa mamam sekayang!”

Setelah mendapatkan persetujuan Marie, dia segera mulai memasukkan sup ke dalam mulutnya. Setelah beberapa sendok, dia memenuhi pipinya dengan roti yang disajikan Luina di samping sup, dan menghanyutkan semuanya dengan seteguk besar susu.

“Wooow! Dia banyak mengunyah! Cepatnya!”

Marie menatap dengan mata terbelalak pada penampilan kecepatan luar biasa yang terbentang di hadapannya. Jika Shaer berada dalam lomba makan cepat, dia pasti menang telak.

“Dia memang cepat.”

Masih memegang tangan Marie, Myuke masih waspada sambil melihat Shaer melahap makanannya. Dia memasang ekpresi hati-hati yang sama seperti yang dia gunakan saat pertama kali bertemu Anima. Dia sangat waspada terhadap orang asing, tapi bukan karena kurangnya kepercayaan. Dia hanya ingin melindungi adiknya yang tersayang, karena itulah dia tetap waspada. Dia tidak boleh melakukan kesalahan saat keselamatan Marie dipertaruhkan.

Meski perilakunya terhadap Anima telah berubah setelah mengetahui bahwa dia adalah suami Luina, tapi Shaer sepenuhnya orang asing. Dia tampaknya bukan seorang pembunuh yang dikirim oleh Malshan yang menggunakan rencana cerdik untuk menciptakan ilusi rasa aman dan percaya dengan berpura-pura lapar, tapi niatnya masih diselimuti misteri. Mendengarkan kisahnya adalah prioritas utama keluarga itu, tapi mereka harus memberinya makan sebelum mereka bisa melakukan itu. Lagipula, dia tidak bisa menceritakan apa pun saat pingsan.

“Ghah!”

Berada di bawah pengawasan konstan dari segala arah mungkin sudah terasa sampai ke Shaer, karena dia tersedak segigit roti. Dia meraih gelas susunya, tapi gelas itu sudah kosong.

“Minumlah ini. Ini air putih.”

Dia mengambil segelas air dari Myuke dan menenggaknya. Setelah meletakkan gelas kosong itu, dia menundukkan kepalanya begitu dalam hingga hampir menyundul atas meja.

“Kalian benar-benar penyelamat!” umumnya. “Aku bersumpah atas harga diriku sebagai kesatria bahwa aku akan membalas kebaikan kalian suatu hari nanti!”

“T-Tidaaak!”

“A-Apakah aku telah melakukan sesuatu yang salah?” tanya Shaer dengan gemetar menanggapi jeritan tiba-tiba Marie.

“Kamu juga hayus beyteyima kasih kepada Ibu setelah makan! Yihat, yihat! Akan aku tunjukkan!” Marie kembali mengatupkan kedua tangannya dan berterima kasih pada Luina. “Apa kamu yihat?”

“Kamu adalah gadis kecil yang sangat cerdas,” kata Shaer, menghela napas lega lagi. “Anak seusiamu yang sangat berpengetahuan tentang tata krama di depan meja adalah sesuatu yang langka.”

“Makacih!”

Merasa dipuji, Marie tersenyum manis. Kegembiraan Marie pasti menular, karena ekspresi tegang Shaer mereda sebagai reaksinya.

“Seperti yang dikatakan gadis kecil ini, aku lupa mengucapkan terima kasih atas makanannya. Terimakasih, bu. Bagaimana?”

“Bagus!”

Melihat Marie dengan penuh semangat bertepuk tangan untuknya, mulut Shaer melengkung membentuk senyuman yang hangat dan lembut—bukan tipe senyuman yang akan dimiliki oleh seorang pembunuh berdarah dingin. Senyuman itu, selain dia telah membuat dirinya benar-benar tidak berdaya saat dia makan, sudah cukup bagi Anima untuk menyimpulkan bahwa pertemuan mereka adalah kebetulan dan akhirnya melepaskan kewaspadaannya. Myuke, bagaimanapun, masih gelisah, dan menatap Shaer dengan ekspresi muram.

“Jadi, apakah kamu seorang ksatria?” tanya Myuke, menembakkan tatapan tajam ke arahnya.

“Itu benar,” kata kesatria itu, dan berdiri tegak. “Aku Shaer, komandan Korps Pertama Ksatria Raiten.”

“B-Begitukah…” Myuke dengan cemas meraih lengan baju Anima.

“Apa itu ‘ksatria’?”

“Yah, para kesatria, atas perintah raja, ditugaskan untuk menghukum orang jahat.”

“Tapi Ayah menghajar orang jahat!”

Myuke mengangguk dengan senyum pahit pada kesombongan Marie. Itu jelas yang membuatnya khawatir, dan dengan alasan yang bagus. Jika keadaan hilangnya Malshan terungkap, tidak heran jika raja mengirim kesatria untuk menangkap Anima. Sementara Anima mempertimbangkan kemungkinannya, Shaer menatap lurus ke arahnya.

“Aku berasumsi bahwa ‘Ayah’ itu adalah kamu kan?”

“Ya.”

“Kalau begitu, kamu pasti seorang Hunter.”

“Ya, begitulah.”

Anima memiliki lisensi Hunter, jadi meskipun tidak pernah mengambil pekerjaan, dia secara teknis adalah seorang Hunter. Mendengar itu, Shaer tersenyum.

“Kita hampir sama. Kita berdua mencari nafkah dari berurusan dengan para bandit.”

“Apakah ada banyak bandit di daerah ini?” tanya Anima dengan harapan bisa mengetahui lebih banyak tentang di mana para bandit tinggal, tapi Shaer hanya menggelengkan kepalanya.

“Jangan khawatir. Aku belum pernah mendengar ada penjahat yang bersembunyi di daerah ini.”

“Lalu kenapa kami menemukan kau pingsan di sini?”

“Cukup memalukan untuk mengakui itu mempertimbangkan posisiku,” kekeh dia dengan canggung saat Anima langsung ke pokok permasalahan, “tapi aku terbang ke langit untuk mencari Tuan Merkalt dengan harapan meminta bantuan darinya. Saat berada di udara, kelaparan dan kekurangan mana yang parah membuatku jatuh ke tanah.”

Pertemuan mereka sepenuhnya kebetulan, tapi dia baru saja mengungkapkan informasi yang agak suram, membuat nuansa waswas membasahi wajah Luina dan Myuke. Anima menatap mereka, memberi isyarat bahwa mereka harus menyerahkan sisanya pada Anima.

“‘Merkalt’ itu. Apakah maksudmu Malshan? Pria yang memiliki batu Naga Merah Tua?”

TL Note: Sebelumnya saya tl Naga Crimson, karena agak aneh, jadi saya ubah Naga Merah Tua.

“Benar,” katanya, mengangguk. “Hama yang harus kami musnahkan sangat kuat hingga melampaui pemahaman manusia. Satu-satunya orang yang mungkin bisa melawan makhluk itu adalah Tuan Merkalt, dan karena itu, aku sedang dalam perjalanan ke mansion-nya untuk mengajukan permintaan bantuan resmi.”

“Jangan pergi,” kata Anima singkat, tapi tidak menjelaskannya secara spesifik.

Shaer yang pergi ke rumah Malshan pasti akan menimbulkan masalah. Jika dia menemukan Malshan, mereka pasti akan membicarakan pertempuran itu; jika dia tidak menemukannya, itu akan berkembang menjadi penyelidikan penuh atas keberadaannya. Jika Malshan dilacak sampai ke panti asuhan dan hutan yang gundul di dekatnya, Anima mungkin akan dibawa sebagai tersangka utama.

Untuk menghindari masalah serius di masa mendatang, mungkin yang terbaik adalah berterus terang. Shaer tampaknya memiliki rasa keadilan yang kuat; Shaer tampaknya cenderung berpihak pada mereka jika Anima menjelaskan situasinya.

“Kenapa jangan? Ah, kurasa tidak sopan pergi tanpa membantu mencuci piring. Maaf yang sebesar-besarnya atas perilakuku, tapi aku sangat buruk dalam melakukan pekerjaan rumah. Aku hanya akan merusak barang-barang…”

“Tidak, bukan itu. Aku ingin memberitahumu sesuatu sebelum kamu pergi ke rumah Malshan.”

“Apa itu?”

Anima menarik napas dalam-dalam dan membuka mulutnya.

“Aku bertarung dan mengalahkan Malshan.”

“Kau bilang kau melakukan apa?” Shaer menyipitkan matanya. “Dengan segala hormat, aku merasa sulit membayangkan kalau kamu telah mengalahkan Tuan Merkalt karena dia adalah individu terkuat di kerajaan. Malahan sejak awal, aku tidak bisa memikirkan alasan kenapa kamu harus melawannya.”

Anima sudah mengira dia akan meragukan klaim tersebut, dan telah menyiapkan bukti. Dia membuka salah satu lemari, mengambil bukti, dan meletakkannya di atas meja.

“Tahukah kamu apa ini?”

“B-Bagaimana bisa…? Kenapa kamu memiliki ini?”

Mata Shaer terbuka lebar saat Anima memperlihatkan anting-anting bertatahkan batu merah tua. Itu adalah batu sihir yang termatrealisasi setelah kematian makhluk buas yang menghancurkan daratan tiga abad lalu. Batu Naga Merah Tua tentunya memiliki kilauan yang khas, karena ksatria itu langsung mengenalinya hanya dengan sekali lihat.

“Malshan datang kemari dan mengancam akan mengubah kami menjadi abu dengan menggunakan sihir bola api, jadi aku melawan balik. Dia menghilang, hanya menyisakan anting-anting ini.”

“Ke-Kenapa pula beliau menyerangmu?”

Itu adalah pertanyaan yang wajar, yang Anima tidak bisa jawab dengan jujur. Tujuan Malshan, Batu Harbinger, adalah rahasia keluarga Scarlett yang dijaga ketat. Jangankan rahasia bahwa batu itu dimiliki Luina, keberadaan batu itu sendiri hanya diketahui oleh beberapa orang terpilih. Tanpa izin Luina, Anima tidak bisa memberitahunya.

“Dia mengincar Luina. Dia mencoba merayunya, tapi fakta bahwa kami telah menikah dan Luina mencintaiku adalah sesuatu yang tidak bisa dia terima.”

“Hm, jadi dia menggila karena cinta? Meskipun memalukan, aku belum pernah mengalami perasaan yang kuat seperti itu. Apakah itu benar-benar cukup untuk mendorong seorang pria terhormat membantai seisi keluarga?”

Penyampaiannya berbeda, tapi inti masalahnya adalah dia tidak percaya dengan cerita Anima. Khawatir bahwa mengungkap rahasia mereka adalah satu-satunya pilihan yang tersisa, Anima melirik Luina, yang setelah mengangguk takut-takut, membuka mulutnya.

“Sebenarnya… dia mengejar harta rahasia keluarga Scarlett.”

“Harta Scarlett?” tanya Shaer, mengangkat alis. “Aku belum pernah mendengar hal seperti itu, tapi pertanyaan intinya adalah kenapa kamu tahu tentang hal seperti itu.”

“Karena aku adalah Scarlett.”

Mata Shaer terbuka lebar.

“K-Kau—?! Nyonya Luina, Anda adalah anggota keluarga Scarlett?!”

“Ya, benar…” jawab Luina, sama bingungnya dengan Shaer setelah mendengar nada hormatnya.

“A-Apakah Anda sebetulnya putri Tuan Rei?”

“Kamu kenal ayahku?”

Shaer tiba-tiba melompat dari kursinya dan menatap Luina, matanya berbinar.

“Sangat kenal! Saya berhutang nyawa pada beliau; beliau menyelamatkan saya saat misi pertama saya. Beliau benar-benar pria yang luar biasa, sekutu yang sangat kuat namun lembut dengan rasa keadilan yang kuat. Saya bertujuan untuk suatu hari nanti menjadi setengah dari pahlawan seperti beliau. Jika Anda benar-benar putri Tuan Rei, maka apa yang suami Anda katakan tentang Tuan Merkalt pasti benar.” Tampak mempercayai cerita mereka, Shaer memuji ayah Luina seolah-olah dia adalah dewa. Anima menghela nafas lega sementara Shaer menundukkan kepalanya di hadapannya. “Tuan Anima! Sebagai ganti Tuan Merkalt, maukah Anda mempertimbangkan membantu misi kami dalam menaklukkan monster itu?”

“Monster apa?”

Shaer mulai berbagi informasi dengan nada muram. Rupanya, beberapa monster menghuni jembatan antar dua bagian Raiten: kota pelabuhan penting tempat difokuskannya sebagian besar kegiatan impor dan ekspor Raiten, dan bagian lain negara itu. Jembatan itu berfungsi sebagai jalur perdagangan penting, tapi karena jembatan itu telah direbut oleh monster itu, transportasi barang telah dihentikan. Satu-satunya pilihan pedagang adalah mengambil jalan memutar, yang memakan waktu lebih lama.

“Tindakan monster itu memengaruhi kerajaan secara luas. Adalah tugas Ksatria untuk menghadapi masalah seperti itu, tapi… monster itu terlalu kuat.” Shaer menatap Anima dengan mata memelas. “Di sanalah Anda, Tuan Anima, ikut bermain. Tentu saja, saya tidak meminta Anda melakukannya secara cuma-cuma. Kerajaan telah menempatkan hadiah lima puluh koin emas untuk kepala makhluk itu.”

“L-Lima puluh koin emas?!”

 


Teriakan Myuke menggema di seluruh ruangan. Lima puluh koin emas adalah sepuluh kali lipat dari apa yang mereka dapatkan dari menjual batu golem. Orang-orang bekerja selama beberapa dekade dengan harapan menghasilkan uang sebanyak itu, dan itu akan memungkinkan keluarga mereka menjalani kehidupan mewah di masa mendatang.

“Aku tidak akan melakukannya.”

Bahkan uang sebanyak itu tidak cukup untuk membuat Anima menerimanya. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih penting, yang ingin dia berikan untuk keluarganya.

“Jika Anda merasa hadiah itu tidak memuaskan, saya akan menegosiasikan hadiahnya dengan Yang Mulia.”

“Bisakah kau mengatur sesuatu seperti itu?”

“Saya melapor langsung ke Yang Mulia, dan karena itu saya bisa bertemu dengan beliau,” bual Shaer. “Seberapa besar yang Anda inginkan untuk misi ini?”

“Aku tidak ingin uang.”

“Tidak? Lalu bolehkah saya bertanya apa yang Anda inginkan?”

“Kehidupan yang damai.”

“Saya mengerti.” Shaer mengangguk dalam-dalam. “Dengan kata lain, Anda ingin diampuni setelah pertemuan sial Anda dengan Tuan Merkalt.”

“Itu benar.”

Menghindari dampak pertarungannya dengan Malshan sangat penting untuk kehidupan yang damai bersama keluarganya.

“Yakinlah, Tuan Anima. Setelah Anda mengalahkan monster itu dan memulihkan perdamaian di tanah kami, Yang Mulia pasti akan memaafkan Anda atas kejadian itu.”

“Kalau begitu sudah diputuskan,” kata Anima menanggapi pernyataan percaya diri Shaer. “Aku akan membantumu. Jadi, di mana tepatnya jembatan itu? Apakah itu jauh?”

“Ada gunung yang cukup besar antara sini dan jembatan tersebut. Jika kita memutuskan untuk mengitarinya, kita seharusnya tiba di jembatan dalam waktu sekitar sepuluh hari. Menggunakan batu yang memungkinkan untuk terbang akan mempersingkat perjalanan menjadi tiga hari. Bagaimanapun, kita tidak punya banyak waktu. Saya akan memandu Anda ke sana, jadi tolong, bersiaplah untuk berangkat secepat mungkin!”

“Ayah peygi?”

Anima mengangguk pada pertanyaan Marie.

“Untuk bekerja. Tapi jangan khawatir, Ayah akan segera kembali. Bisakah kamu membantu Ibu saat Ayah di luar?”

“Tidak!”

Dia menempel di kaki Anima.

“Aku ingin peygiiii! Aku ingin beysama Ayah!” isak Marie hampir menangis.

“Ayah juga ingin bersamamu,” kata Anima sambil mengelus kepalanya, “dan Ayah juga tidak ingin meninggalkan Myuke dan Luina. Shaer, apakah ada kota di dekat jembatan?”

“Ada kota perdagangan yang hanya berjarak beberapa jam berjalan kaki.”

Anima tersenyum senang dan menatap Luina. Sementara dia mengurus monster itu, para gadis bisa pergi berbelanja atau nongkrong di kota pada jarak yang aman dari medan perang.

“Luina. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan?”

“Jalan-jalan?”

“Berbulan madu, jika kamu mau.” Anima mengalihkan perhatiannya pada kedua putrinya. “Tentu saja, Ayah ingin mengajak kalian berdua juga.”

 “Kedengarannya menyenangkan! Aku setuju!”

“Aku juga! Aku ingin peygi jayan-jayan!”

Melihat anak-anaknya begitu bersemangat, Luina pun tertarik dengan ide itu.

“Oke, ayo kita jalan-jalan bersama.”

Meskipun Anima harus melakukan sedikit pekerjaan sampingan, dia dan keluarga tercintanya berangkat berbulan madu.

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Sesudahnya