[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 2 Chapter 3 Bahasa Indonesia
Chapter Tiga: Raja Iblis Mengalahkan Monster
Setelah puas menikmati pemandian air panas alami yang menakjubkan, keluarga itu segera pergi tidur, bangun dengan sinar mentari pertama di pagi hari. Mereka menyantap sarapan ringan sambil mengagumi pemandangan matahari terbit dengan khidmat, lalu segera berangkat menuruni gunung.
Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menuruni lereng yang landai. Mereka mencapai kaki gunung pada tengah hari, dan melanjutkan perjalanan mereka di jalan rusak menuju ke pemukiman kecil, yang mereka capai saat matahari terbenam. Mereka berhasil mengisi ulang persediaan mereka tepat sebelum toko tutup di hari itu, bermalam di penginapan kecil, dan meninggalkan desa di pagi yang menyegarkan dan sejuk.
Pemberhentian mereka berikutnya adalah kota komersial Barjyo. Untuk sampai ke sana, mereka mengambil jalan tanah yang hangat dan cerah, yang melewati sejumlah ladang, di antaranya mereka menemukan semak-semak yang dalam dan lebat, menandakan tidak adanya pemukiman manusia besar di sekitar sana. Setiap kali mereka berjalan ke salah satu semak-semak, seolah-olah mereka memasuki rumah yang sejuk dan terisolasi dengan baik di musim panas yang terik. Daun menghalangi sebagian besar sinar matahari, membuat bagian-bagian perjalanan itu jauh lebih menyenangkan. Setiap angin sepoi-sepoi membuat semua daun dan tanaman di tanah bergemerisik, mengubah alam menjadi orkestra besar.
Itu adalah tempat yang bagus untuk menghabiskan waktu, tapi Anima memiliki satu kekhawatiran: Tidak peduli berapa lama mereka berjalan, pemandangan tidak berubah sama sekali. Cepat atau lambat, anak-anak akan bosan, yang akan membuat mereka semua grogi. Untungnya, ketakutan itu terbukti tidak berdasar sama sekali, karena Marie sibuk memungut biji pohon ek yang berserakan di sisi jalan sementara Myuke naik ke bahu Anima dan memetik berbagai buah-buahan liar. Kadang-kadang mereka menemukan daun berbentuk hati di tanah, yang sendirinya merupakan peristiwa khusus. Kurang lebih, dengan semua aktivitas yang tersedia untuk mereka, tidak ada momen kebosanan.
Saat malam tiba, mereka mendirikan kemah di pinggir jalan. Dua hari berikutnya berlalu dengan cara yang sama, tapi pada pagi hari ketiga, kelompok itu akhirnya keluar dari tempat yang tampak seperti hamparan pepohonan, semak-semak, dan biji-bijian yang tak berujung. Bukannya hutan lebat, mereka malah mendapati diri mereka di dataran hijau tak berujung. Pemandangannya mirip dengan hari pertama perjalanan mereka, jadi Anima berasumsi bahwa gadis-gadis itu tidak akan senang karenanya.
Membuat Anima terkejut—dan senang—mereka sangat gembira; mereka tampaknya telah mengingat kesenangan yang mereka alami tempo hari itu. Marie dengan gembira berseru bahwa dia menyukai warna merah setelah menemukan bunga merah yang belum pernah dilihatnya, dan Myuke bertanya-tanya apakah, entah bagaimana, dia secara alami menarik perhatian kupu-kupu ketika kupu-kupu lain mendarat di kepalanya. Saat mereka melanjutkan perjalanan melewati dataran, mereka sampai di sebuah bukit kecil. Jalannya mengelilingi bukit itu, tapi…
“Aku cuka menjaki!”
“Pemandangan dari atas sana pasti luar biasa!”
Atas permintaan anak-anak itu, mereka memutuskan untuk melihat pemandangan dari atas.
“Wooow!”
“Luar biasa…”
Mata mereka berbinar saat memandang ke kejauhan. Mereka benar-benar terpikat dengan pemandangan kota besar—dua atau tiga kali lebih luas dari Garaat—yang terhampar tepat di depan mereka.
“Akhirnya. Kita akan segera tiba di Barjyo,” kata Shaer saat dia perlahan turun ke samping keluarga tersebut sambil melihat kota dengan ekspresi yang dalam.
Barjyo dikelilingi oleh tembok-tembok yang tinggi dan tampak tebal, mungkin untuk mencegah monster masuk, tapi seseorang dapat memasuki tempat itu dari berbagai arah. Dengan semua gerbang menghiasi dinding dan semua jalan yang menghubungkan ke sana, kota ini hampir tampak seperti kincir dari luar. Salah satu jalan itu pasti mengarah ke jembatan yang ditempati monster itu. Fakta bahwa mereka tidak dapat melihat jembatan dari sudut pandang mereka berarti bahwa mereka pasti agak jauh dari jembatan itu.
Anima yakin dengan kekuatannya, tapi dia tidak memiliki informasi tentang kekuatan monster itu. Dia siap untuk bertarung mati-matian untuk melindungi kehidupan damai keluarganya… tapi hal itu bisa ditunda satu hari lagi. Yang lebih penting, dia ingin menikmati waktu di Barjyo bersama keluarganya.
“Mari turun.”
Mereka mulai menuruni bukit atas saran Anima, dengan Shaer berjalan di depan saat mereka mengobrol.
“Apakah kamu pernah ke Barjyo, Luina?” tanya Anima, karena dia satu-satunya yang tidak terlihat kagum dengan pemandangan itu.
“Pernah sekali, dua belas tahun yang lalu.”
“Dengan keluargamu?”
“Ya. Kami mulai mendirikan panti asuhan tiga bulan setelah itu, jadi perjalanan kami ke Barjyo adalah perjalanan terakhir kami bersama-sama.”
“Apa yang kamu lakukan di sana?”
“Kebanyakan, berblanja. Ada begitu banyak hal luar biasa yang dijual di kota ini hingga hanya dengan berkeliling ke berbagai toko membuat sehari penuh berlalu dalam sekejap mata.” Luina dengan bersemangat membagikan pengalamannya di Barjyo, dengan penuh kerinduan mengenang jalan-jalan terakhirnya bersama keluarganya. “Jangankan memakannya, ada begitu banyak makanan yang belum pernah aku lihat sebelumnya! Aku sebenarnya meminta Ayah untuk mengizinkanku mencobanya. Aku mengira kalau itu permen yang luar biasa manis, tapi rasanya asam seperti lemon! Oh, tapi jangan salah, permennya sangat enak!”
“Pasar itu seperti festival ketika sedang ramai! Toko-toko kecil terbenam di bawah lautan manusia… Aku ingat sempat terpisah dari orang tuaku dan tersesat di sana. Aku telah mengalami saat-saat yang menakjubkan, tapi itu tiba-tiba membuatku merasa sangat kecil, rapuh, dan… sendirian. Aku menangis. Kemudian, salah satu pemilik toko memberikanku kue, dan itu sangat lezat! Aku tidak akan pernah melupakan rasanya!”
Anima mendengarkan ceritanya dengan senyum lembut.
“Sepertinya kamu bersenang-senang.”
“Benar, tapi tidak hanya berbelanja. Memancing juga sangat menyenangkan!”
“Di danau yang diceritakan Shaer?”
Seluruh distrik di Barjyo terisi sebuah danau yang, dilihat dari ukurannya, pasti ada ikan di dalamnya. Luina dengan jelas mengingat kembali kenangan itu saat senyum seperti anak kecil menyebar di wajahnya.
“Ya! Aku dan Ayah menyewa pancing dan pergi memancing bersama. Dia menangkap begitu banyak ikan, tapi aku tidak melakukannya dengan baik. Ah, tapi aku berhasil menangkap ikan terakhir sendiri! Dan itu ikan terbesar! Aku masih ingat betapa bahagia dan senangnya aku, dan juga rasa dari ikan itu.”
Senyumannya yang manis dan hangat tidak memudar sedikit pun saat dia menceritakan kembali kenangan masa kecilnya yang manis. Dia tampaknya sangat menyukai jalan-jalan itu. Tujuan Anima sebagai seorang ayah adalah memberikan anak-anaknya pengalaman menyenangkan yang tak terlupakan. Keinginannya adalah membantu mereka membuat kenangan yang dapat mereka ceritakan dengan senyum penuh kerinduan pada anak-anak mereka begitu mereka dewasa, menikah, dan memulai keluarga sendiri.
“Baiklah, bagaimana kalau kita pergi ke pasar, lalu mencoba memancing di danau bersama-sama?”
Mata anak-anak berbinar karena kegembiraan. Cerita Luina pasti telah menggerakkan mereka.
“Ayah tahu, ayah tahu, aku suka ikan!”
“Aku lapar hanya memikirkannya! Tidak sabar untuk melihat pasar!”
Suara gembira mereka memenuhi dataran. Mereka terus mendiskusikan semua hal yang ingin mereka lakukan di kota sambil berjalan ke sana, dan tak lama kemudian, mereka tiba di gerbang kota komersial Barjyo.
◆◆◆
Saat mereka mengambil langkah pertama melewati gerbang dan memasuki kota, Myuke dan Marie berhenti di tengah jalan. Mereka melihat sekeliling dengan nafas tertahan dan mata mereka berbinar karena takjub, terpana oleh pemandangan kota yang megah di depan mereka. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi di kedua sisi jalan yang lebar, dan kerumunan, yang lebih padat dari yang pernah mereka lihat, membuat mereka takjub. Hampir setiap bangunan di Barjyo sangat melampaui gedung tertinggi di Garaat: Serikat Hunter.
“Cingginya! Wooooow!”
“Benar, wow. Apakah ini semua Serikat Hunter?”
“Tidak,” jelas Shaer. “Sebagian besar semua bangunan di sini adalah penginapan.”
“Penginapan? Semua itu?”
“Benar. Bangunan yang berada di dekat gerbang kebanyakan adalah penginapan yang digunakan oleh para pelancong. Dengan kata lain, gerbang lainnya juga dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi semacam ini.”
“Wow, masih ada lagi?” Myuke menghela nafas kagum. “Yah, kurasa itu masuk akal. Lagian, kota ini banyak dikunjungi pelancong dan pedagang. Tetap saja, dengan begitu banyaknya penginapan, setidaknya salah satunya pasti masih punya kamar kosong.”
“Sayangnya, itu tidak selalu terjadi.”
“Apa maksudmu? Apa kau mau bilang bahwa kadang-kadang semua kamarnya terisi? Seperti, setiap kamar di semua penginapan raksasa ini?!”
“Benar, begitulah!”
Shaer tampaknya menikmati tanggapan Myuke yang dipenuhi kekaguman, karena dia juga bersemangat dengan diskusi mereka.
“Cempat Ayah enak uncuk ciduy!” tambah Marie. Dia mungkin bermaksud mengatakan bahwa jika mereka tidak bisa mendapatkan kamar, Anima bisa membuat rumah lain untuk mereka tidur.
“Terima kasih, Marie. Ayah sangat senang kamu menyukai rumah yang Ayah buat.”
“Aku juga menyukainya, tapi aku ragu mereka akan membiarkan kita membuat rumah tanah di tengah kota. Kita mungkin harus pergi jika penginapan penuh dan kita harus menggunakan sihir Ayah. Mungkin kita bisa berjalan ke kota terdekat?”
Myuke dengan cemas mengalihkan pandangannya antara Anima dan Luina. Mengingat kegembiraannya akan pasar dan memancing, meninggalkan kota begitu cepat akan menjadi kabar buruk baginya.
“J-Jangan khawatir!” merasa menyesal karena mungkin sudah membuat Myuke sedih, Shaer yang gelisah membuka mulutnya dan mencoba menenangkannya dengan nada yang menyejukkan. “Tidak banyak orang yang berkunjung ke sini dari Garaat, jadi kita tidak akan kesulitan mendapatkan kamar!”
Diyakinkan, senyum lebar muncul di wajah Myuke, diikuti dengan desahan lega dari Shaer.
“Yaaay! Tapi kita tidak boleh mengambil risiko! Aku ingin mendapatkan kamar sebelum kita berkeliling!”
“Ide bagus,” puji Luina. “Kita harus meletakkan barang-barang bawaan kita dan istirahat sebentar sebelum kita pergi ke pasar.”
Rombongan itu memasuki penginapan terdekat dan memesan kamar. Untungnya, ada kamar kosong, jadi keluarga itu menyewa kamar pojok di lantai empat dan Shaer mendapatkan kamar untuknya sendiri.
“Tuan Anima, apakah Anda punya waktu?” tanya Shaer dengan nada berbisik. Menilai dari ekspresinya, dia pasti ingin membicarakan tentang monster itu. Sebagai tanggapan, Anima mengangguk.
“Pergilah ke kamar. Aku akan bergabung denganmu nanti.” Dia memberi Luina kunci lalu menuruni tangga bersama Shaer sampai mereka menemukan sudut tempat mereka bisa berbicara. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Monster itu.” Seperti yang Anima pikirkan. Anima mengangguk, mendesaknya untuk mulai berbicara. “Selama perjalanan singkat kita bersama, saya merasa senang menyaksikan hubungan harmonis dan indah yang telah Anda bangun bersama keluarga Anda. Oleh karena itu, saya tidak percaya Anda harus menghadapi monster itu.”
Kata-katanya membuat Anima benar-benar terkejut.
“Kenapa begitu?”
“Saya tidak ragu lagi bahwa Anda telah mengalahkan Tuan Merkalt. Namun, bahkan jika Anda lebih kuat dari Tuan Merkalt, tidak ada jaminan Anda akan mengalahkan monster itu dan lolos tanpa cedera. Saya tidak akan pernah bisa menghadapi Nona Luina, Nona Myuke, dan Nona Marie lagi jika… sesuatu terjadi pada Anda.”
“Jangan khawatir, aku tidak akan kalah dari monster itu.” Anima meredakan kekhawatirannya dengan senyuman. “Aku akan pastikan untuk mengalahkannya—tidak hanya untuk diriku sendiri, tapi untuk dirimu juga.”
“D-Demi saya?” Mata Shaer membelalak.
“Ya. Aku menyukaimu. Kau benar-benar peduli dengan keluargaku, dan karena itulah, aku akan mengalahkan monster yang memberimu masalah.”
Bahkan jika bukan itu masalahnya, dia perlu dianggap sebagai orang yang bernilai tinggi jika dia ingin diampuni atas apa yang terjadi di antara dia dan Malshan. Untuk itu, dia perlu menyingkirkan monster yang meneror jembatan. Kata-katanya yang percaya diri dan meyakinkan menghilangkan semua keraguan dari mata Shaer.
“Maka seperti yang kita diskusikan, saya akan mempercayai Anda untuk mengalahkan monster itu.”
“Benar. Tapi, aku akan menghabiskan hari ini bersama keluargaku. Aku akan menghadapi monster itu besok, setelah matahari terbit.”
Jika dia berlari dengan kecepatan penuh, dia akan mencapai jembatan dalam waktu singkat, memberinya kesempatan untuk menghadapi monster itu sebelum keluarganya bangun. Kemudian, dia bisa kembali ke penginapan dan melanjutkan bulan madu mereka seolah-olah dia tidak pernah pergi.
“Dimengerti! Saya akan menemani Anda ke jembatan. Silakan datang ke kamar saya ketika Anda siap untuk berangkat.”
Anima mengangguk, lalu mereka pergi ke kamar masing-masing. Setelah sedikit berjalan menyusuri lorong berkarpet, dia kembali ke keluarganya.
“Ayah kembali!”
“Lihat, Ayah! Kasur tingkat! Aku dan Marie boleh di atas, kan?”
Kedatangannya disambut dengan sorakan gembira dan senyum manis dari anak-anaknya.
“Tentu saja bisa.”
Ada kasur tingkat di samping dinding, cukup besar untuk menampung empat orang dengan nyaman. Kamarnya tidak terlalu luas, tapi mereka hanya berencana menggunakannya untuk tidur, jadi hal itu tidak mengganggu mereka. Sebagian besar waktu mereka di siang hari akan dihabiskan di kota.
Myuke dan Marie menaiki tangga dan, setelah meletakkan tas mereka ke samping, menjatuhkan diri ke tempat tidur untuk mencobanya. Pasti cukup nyaman, karena mereka berhenti bergerak tak lama kemudian.
“Kita juga harus istirahat.”
“Kamu benar.”
Dengan sedikit rona di wajahnya, Luina berbaring, dan Anima ikut dengannya tak lama kemudian. Mereka berdua berbaring telentang, menatap bagian bawah tempat tidur di atas mereka. Saat Anima melihat ke samping, Luina melakukan hal yang sama. Pipi Luina memerah jambu saat mata mereka bertatapan.
“Ini adalah pertama kalinya kita sendirian di ranjang yang sama…” bisiknya dengan riang, ada sedikit tanda kecemasan dalam suaranya.
“Benar. Kamu gugup?”
“Sedikit. Tapi lebih dari segalanya, aku bahagia.” Luina berbalik ke arah Anima dan meringkuk ke arahnya. Ujung hidung mereka hampir bersentuhan, dan nafas manisnya dengan lembut membelai pipi Anima. “Aku selalu ingin tidur dalam pelukanmu.”
“Dan aku selalu ingin tidur sambil memelukmu.”
Anima menyukai tidur di ranjang yang sama dengan mereka bertiga, tapi dia selalu ingin tidur berduaan dengan Luina, dan keinginan itu akhirnya menjadi kenyataan. Bisikan kecil mereka memudar, dan mereka diam-diam bertatapan satu sama lain sampai Luina perlahan menutup matanya.
Selama tiga bulan mereka bersama, Anima mulai memahami wanita sedikit lebih baik, dan karena itu, dia tahu persis apa yang diinginkan Luina darinya. Setelah meluangkan waktu sejenak untuk mengagumi kecantikannya, dia mencium bibirnya yang mengilap. Itu adalah ciuman pertama mereka setelah beberapa saat, dan mereka memastikan untuk menikmati setiap momen manis itu sepenuhnya. Ketika Anima akhirnya menarik kepalanya mundur, dia bertatapan dengan mata Luina yang agak basah.
“Apakah sudah selesai?”
Terpikat oleh suaranya yang manis, Anima kembali mencium bibirnya yang lembut dan hangat. Manisnya ciuman mereka meresap ke dalam mulutnya, membuatnya semakin dan semakin lama, tapi Luina dengan cepat menjauh saat dia merasakan sedikit getaran datang dari atas. Beberapa saat kemudian, Myuke dan Marie menuruni tangga.
“Aku ingin pergi ke kota!”
“Kota!”
“K-Kedengarannya bagus. Oke, ayo—Oww!”
Saat Luina melompat dari tempat tidurnya, kepalanya terbentur di bagian bawah tempat tidur di atas.
“Kita bisa bertukar tempat tidur jika Ibu mau. Ibu akan memiliki lebih banyak privasi di atas sana.”
“Tidak apa-apa, jangan khawatir tentang itu,” jawabnya malu-malu, tersipu atas ucapan tajam Myuke.
Mereka berempat kemudian meninggalkan kamar dan berangkat untuk mengelilingi kota, mengandalkan ingatan Luina. Dia memimpin jalan, berjalan menjauh dari penginapan, dan mereka segera tiba di jalan utama. Pemandangan di depan mata mereka membuat mereka tidak bisa berkata-kata. Jumlah orang yang berjalan di jalan utama tidak seperti yang pernah mereka lihat sebelumnya; jika seseorang tidak memperhatikan, mereka dapat dengan mudah terpisah dari orang yang mereka cintai di tengah keramaian.
“Dimana pasay?” Mata berbinar Marie melesat di sekitar jalanan yang ramai.
“Sebelah sini.”
“Ayah, Ayah! Cebeyah cini!”
Dia dengan erat meraih tangan Anima dan menunjuk ke arah yang dihadap Luina. Mereka dengan hati-hati menuju pasar, sangat berhati-hati agar tidak menabrak siapa pun, dan tak lama kemudian, mencapai alun-alun besar yang lapang.
Mereka telah tiba di pasar, sebuah tempat yang, dari luar, tampak sangat kacau. Ada banyak suara jualan dari kios daripada yang bisa dikunjungi orang dalam sehari dan bahkan lebih banyak pelanggan yang menghalangi jalan, tempat itu ramai dengan suara orang yang melakukan pembelian dan pemilik kios yang berteriak tentang macam-macam barang dagangan mereka untuk menarik perhatian pelanggan. Menyaksikan kekacauan seperti itu untuk pertama kalinya, mereka bahkan tidak dapat membayangkan tempat itu tanpa semua kios dan orangnya. Namun, dilihat dari roda di setiap kios, kios-kios itu kemungkinan besar dibawa pulang oleh pemiliknya ketika tidak ada pelanggan di sekitar sini.
“Aku cidak bica MEYIHAT!” gerutu Marie sementara Anima menatap dengan takjub pada keadaan pasar. Marie berjinjit, tapi tidak bisa melihat apa-apa karena lautan orang yang lewat di depannya. Saat dia melihat sekilas kios-kios itu, pandangannya terhalang lagi.
“Sini, biarkan Ayah membantumu.”
Senyuman indah muncul di wajahnya sesaat setelah Anima mengangkatnya.
“Wooow! Wooow! Banyak! Banyak kiyos!”
“Mm-hmm. Jumlahnya cukup banyak.”
“Ini seramai yang kuingat,” kata Luina dengan senyum nostalgia. Myuke, di sisi lain, memiliki aura kekhawatiran di sekitarnya.
“Kita benar-benar akan terhanyut oleh kerumunan ini…”
“Tidak apa-apa. Kita semua akan berpegangan tangan. Myuke, peganglah tangan Ibu yang satunya lagi agar tidak ada yang tersesat.”
Anima bergandengan tangan dengan Luina, yang dengan segera menghilangkan ketakutan Myuke. Sambil memegang tangan ibunya, dia berjinjit.
“Hm? Apa yang disana itu?”
Dia langsung menemukan sesuatu yang menarik, jadi keluarga itu pergi ke kios beratap bambu, memotong kerumunan. Pedagang di sana sedang mengisi pajangan mungilnya dengan sebanyak mungkin benda manis yang seperti kue mangkuk, aroma manis benda itu memikat mereka saat mereka semakin dekat.
“Enyaknya!”
“Ya, itu terlihat sangat enak. Dan wow, bau manis ini! Apakah itu kue?”
“Itu terlihat seperti kue.”
“Heehee. Ini sebenarnya adalah lilin aromatik,” ungkap Luina dengan bangga.
“Apa icu?”
“Itu adalah lilin yang harum saat dinyalakan.”
“Wow, benarkah? Ada lilin seperti itu? Aku tidak tahu!”
“Tidak enyak?”
“Baunya mungkin enak, tapi rasanya sangat pahit.”
“B-Bagaimana Ibu bisa tahu?”
“Ibu salah mengira itu sebagai kue dan menggigitnya.”
“Kamu pasti sangat menggemaskan saat kecil.” Anima sangat senang membayangkan istri tercintanya sebagai gadis kecil yang kikuk. “Apakah kamu ingin membelinya?”
“Itu akan menyenangkan. Yang mana yang harus kita beli?”
“Lihat yang ada bunga di gelasnya? Kita sebaiknya membeli itu!” saran Myuke. “Kita juga bisa menyimpan gelasnya setelah lilinnya habis!”
“Itu ide yang bagus. Gelasnya akan mengingatkan kita pada jalan-jalan ini.”
“Benarkan?! Apakah kamu menyukainya, Marie?”
“Uh-huh! Karena, warnanya merah!”
Marie sepertinya juga menyukai lilin berwarna mawar, jadi mereka memutuskan untuk membelinya. Setelah membayar, Myuke memeluk kantong kertas ke dadanya, sangat senang dengan barang belian mereka. Mereka mulai mencari-cari kios menarik lainnya, saat tiba-tiba, perhatian mereka tertuju pada bunyi lonceng.
“Apakah kalian mendengar sesuatu?” tanya Anima.
“Aku mendengarnya!” jawab Myuke. “Kedengarannya sangat bagus dan—Ah, suara itu lagi! Apakah mereka menjual lonceng di suatu tempat?”
“Heehee. Itu pasti bunyi lonceng angin,” timpal Luina dengan senyum kekanak-kanakan yang belum pernah dia buat sebelumnya. Hanya melihat ekspresi riang Luina saat dia mengenang kembali masa kecilnya sudah membuat mengunjungi Barjyo menjadi hal yang berharga bagi Anima.
“Ayo yihat yonceng!”
“Ibu juga tertarik; sudah lama sekali Ibu tidak melihatnya. Mari kita lihat… Kita mendengarnya datang dari sana, kan?”
Menarik Anima, Luina membawa dia dan anak-anak ke sebuah kios dengan kerajinan dari kaca yang jernih menjuntai dari atasnya. Seolah-olah ubur-ubur raksasa telah memilih bagian atas kios sebagai tempat tidur siangnya yang damai.
“Huh? Kenapa sekarang tidak berbunyi?” tanya Myuke.
“Ini hanya berbunyi saat tertiup angin,” jelas Luina.
“Fwhhh! Fwhhh!”
Marie mencoba meniup lonceng sebisa mungkin. Seolah menanggapi usahanya yang putus asa, angin sepoi-sepoi bertiup melintasi pasar beberapa saat kemudian, memungkinkan lonceng angin memainkan melodi indah mereka.
“Wooow! Canciknya!” Marie dengan penuh semangat bertepuk tangan, dengan senyum polos yang menggemaskan.
“Bagaimana kalau kita membelinya?” saran Anima. Tidak mungkin dia akan melewatkan membelinya setelah melihat senyum tulus putrinya.
“Yaaay! Yang mana, yang mana?”
“Hmm… Bagaimana dengan yang ini?”
Anima membeli lonceng biru—yang cocok dengan warna rambut Luina.
“Baik lilin maupun lonceng ini cukup mahal… Jika kita terus membeli barang seperti ini, kita akan kehabisan uang nanti.”
Myuke benar; baik lilin maupun lonceng itu ternyata sangat mahal. Harganya kemungkinan naik setelah monster itu menempati jembatan, karena mereka harus menaikkan harga untuk memastikan mereka tetap untung karena kesanggupan mereka untuk mengisi ulang persedian barang terancam. Terlepas dari itu, Anima tahu dia akan menyesal karena terlalu berhemat saat berbulan madu, jadi dia tidak berencana untuk mengakhiri pemborosannya.
“Kamu tidak perlu khawatir tentang uang. Yang lebih penting, apakah ada hal lain yang ingin kamu beli?”
“Aku ingin melihat-lihat dulu.”
Mereka mulai menjelajahi pasar lagi. Di antara potongan-potongan pakaian baru dengan warna-warna menarik, boneka yang dipahat dengan cermat, lilin melingkar, jus tropis, dan peralatan dengan pola rumit yang diukir di sana, mereka tidak dapat beristirahat sejenak. Pada saat mereka berhasil mengatur napas, matahari telah bergerak cukup jauh ke barat. Jika mereka tidak mulai bersiap-siap memancing, mereka harus menyerah memancing di hari itu.
“Ayo beli satu barang lagi dan pergi memancing,” saran Anima.
“Itu ide yang bagus,” kata Luina. “Apakah kalian menginginkan yang lain, anak-anak?”
Luina mengira mereka akan bingung oleh semua hal yang telah mereka amati dalam beberapa jam terakhir, tapi Myuke menanggapi hampir seketika itu juga.
“Aku ingin yang itu!”
“Dan, dan, aku juga ingin icu!”
Dia dan Marie sudah mengambil keputusan, dan menunjuk ke sebuah kios yang menjual berbagai perhiasan. Yang diinginkan gadis-gadis itu adalah gelang sulam warna-warni yang ada di sana.
“Oh, ini adalah gelang harapan!” beritahu Luina saat mereka berjalan ke kios.
“Itukah yang mereka sebut untuk gelang ini? Aku sangat menyukainya; ini sangat berwarna-warni!”
“Kalau begitu, apakah ini yang kamu inginkan?”
“Ya! Aku akan menjaganya dengan baik!”
“Heehee, kamu bisa merawatnya dengan baik jika kamu mau, tapi gelang harapan dimaksudkan untuk dipakai sampai putus.”
Myuke mundur selangkah.
“Sungguh?”
“Katanya bahwa saat gelang itu putus, keinginanmu akan menjadi kenyataan. Namun, itu harus putus dengan sendirinya; Kamu tidak boleh merusaknya dengan sengaja.”
“Wow, itu luar biasa!” Dia semakin bersemangat untuk membelinya.
“Baiklah, mari kita beli ini.”
Anima membeli empat gelang harapan, dan semua orang memakainya di lengan mereka.
“Cemoga menjaji kenyacaan!”
“Apa harapanmu, Marie?”
“Aku ingin cepat becay!”
“Benarkah?” tanya Anima. “Kamu ingin cepat besar?”
“Uh-huh! Karena aku ingin lebih banyak membantu Ayah!”
Anima menyeka setitik air mata dari sudut matanya. Dia tidak bisa menangani kelucuan Marie. Dia ingin menyombongkan diri kepada orang yang lewat tentang betapa sempurnanya putri kecilnya.
“Dan kamu, Ayah? Apa harapan Ayah?”
“Untuk bersama kalian dan hidup bahagia selamanya.”
“Itu harapanku juga.”
“Aku juga berharap hal yang sama!”
Luina dan Myuke saling tersenyum.
“Hebat! Jadi, haruskah kita kembali ke kamar sekarang?”
Perjalanan mereka ke pasar secara resmi telah berakhir. Meskipun sulit, mereka berpisah dari keajaiban eksotis berupa pasar yang ramai dan kembali ke penginapan untuk menyimpan barang belian mereka dengan aman. Kemudian, mereka berangkat lagi.
“Di mana kita bisa mendapatkan peralatan memancing?”
“Jika tokonya belum pindah, itu seharusnya tepat di sebelah danau.”
“Kami sangat beruntung memilikimu bersama kami, Luina. Kalau tidak, kami pasti tersesat di kota.”
“Aku senang bisa membantu. Meski begitu, kamu selalu membantuku, jadi…”
“Tidak sama sekali. Kaulah yang selalu membantuku. Aku bahkan tidak bisa memberitahumu betapa bersyukurnya aku karena kamu selalu memasak untukku.”
“Hal yang wajar untuk memasak demi orang yang kamu cintai. Belum lagi kamu selalu membuat makan malam bersamaku. Itu sangat membantu.”
“Jangan dipikirkan. Aku senang bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama cinta dalam hidupku.”
“Oh, dasar…”
Sambil melanjutkan obrolan mesra mereka, mereka berjalan ke danau. Seperti yang dikatakan Luina, toko alat pancing berdiri tepat di garis pantai. Mulutnya membentuk senyum hangat dan lembut saat dia melihat toko kecil yang sama yang terukir dengan sangat jelas di dalam ingatannya.
“Tokonya masih ada…” gumamnya.
“Apakah itu toko yang sama dengan yang kamu kunjungi saat masih kecil?”
“Ya. Itu tidak berubah sedikit pun. Bisakah kita menyewa alat pancing kita di sana?”
“Tentu saja. Benarkan, anak-anak?”
Putri mereka mengangguk dengan penuh semangat, meskipun mereka mungkin tidak peduli dari toko mana mereka menyewa peralatan tersebut dan hanya ingin mulai memancing secepat mungkin. Untuk itu, mereka memasuki toko alat pancing yang sudah usang, di mana mereka menemukan berbagai macam pancing dengan berbagai ukuran, banyak mangkuk penuh dengan tanah dan cacing, pelampung pancing yang tak terhitung jumlahnya, dan banyak lagi. Menilai dari tatapan Luina yang penuh takjub, bagian dalamnya pasti sama seperti yang dia ingat.
“Wow, ini sangat ringan!” Kata Myuke, mengambil pancing sementara Anima teralihkan oleh reaksi manis istrinya.
“Wooow, yingaaaan!”
“Pancing itu terbuat dari bambu, tanaman tahan lama yang tumbuh di seberang lautan. Ini sangat fleksibel, yang membuatnya sulit untuk dihancurkan.”
“Kota komersial memiliki barang dari segala tempat, ya? Ngomong-ngomong, aku memilih yang ini.”
“Aku ini!”
Marie mengambil pancing kecil, yang dirancang khusus untuk anak-anak.
“Hati-hati dengan kailnya,” beritahu Anima.
“Okeeee!”
“Ayo pergi, aku ingin memancing!”
“Sebentar.”
Anima sibuk melihat umpan. Dia terbiasa melihat cacing selama berjam-jam yang dia dan Luina habiskan untuk bekerja di ladang, tapi menusuk cacing hidup dengan kail adalah cerita yang berbeda. Sebagai gantinya, dia memutuskan untuk mencari umpan pelet. Setelah menyewa tiga pancing dewasa dan satu pancing anak, dua ember, satu jaring, lalu membeli dua bungkus umpan pelet, mereka berangkat ke area pemancingan.
Ketika mereka berjalan menyusuri garis pantai yang ditutupi rumput hijau pendek, mereka menemukan segelintir orang sedang memancing di sana juga. Ada beberapa bangku, kursi, dan meja di sekitar area itu, dan tungku besar di samping dengan asap putih bersih yang naik perlahan dari atas tungku. Sekelompok pria baru saja bersulang untuk tangkapan bagus mereka di meja yang paling dekat dengan tungku.
Menikmati nikmatnya laut dengan menggoreng ikan yang mereka tangkap sendiri sambil berada tepat di samping perairan akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan dan menyenangkan bagi seluruh keluarga mereka. Anima tidak sabar untuk melihat senyum gembira putrinya saat mereka membuat makan malam dari api yang berderak dan menikmati hasil jerih payah mereka.
Anima memasang umpan ke kailnya, lalu melakukannya untuk Marie juga agar dia tidak terluka.
“Terima kasih!”
“Sama-sama. Apa kamu sudah siap, Myuke?”
“Ya, semuanya siap! Lihat!”
“Kerja bagus.”
“Ehehe. Lihat saja; Aku akan menangkap ikan yang lebih besar dari Ayah!”
Menyatakan kepercayaan diri akan keberhasilannya, Myuke berdiri di samping Luina dan mengayunkan pancingnya. Dengan cemplung kecil, kailnya tenggelam ke dalam danau. Anima dan Luina juga mengayunkan pancing mereka dan menenggelamkan kail mereka ke dalam air, dan saat Marie meniru mereka, satu-satunya benda yang terkena kailnya adalah jubah Anima.
“Aku menangkap Ayah!”
Anima memberikan senyum hangat saat Marie memeluknya erat.
“Oh, lihat itu. Ayah tertangkap.”
“Wow, kupikir kamu menang! Kami tidak mungkin bisa mengalahkan itu.”
“Hmm, tapi kita tidak bisa memakan Ayah.”
Myuke dan Luina tertawa saat mereka bercanda tentang tangkapan Marie.
“Aku ingin ican!”
“Aku juga. Kita pasti akan menangkap sesuatu jika kita fokus, oke?”
Anima melepaskan kait dari jubahnya dan Marie mengayunkan pancingnya lagi. Dengan cemplung, kailnya tenggelam ke dalam air seperti yang lain.
“Dimana icannya?”
“Mereka mungkin akan datang ke sini jika kamu memanggil mereka.”
“Keluarlah, Cuan Ican! Aku dicini!” Air beriak saat suara ceria Marie bergema di seberang danau. “Dicana! Kayian yihat icu?! Icu ada di cana!”
Luina menyaksikan dengan senyum lembut saat Marie melompat-lompat kegirangan.
“Tuan Ikan datang untuk menyapa,” katanya.
“Itu sangat besar! Sini, aku akan menangkapnya—Whoa!” Myuke tiba-tiba ditarik ke depan, dan pancingnya melengkung dengan sudut yang tajam. Saat dia menariknya kembali, sosok ikan jadi terlihat di bawah permukaan aiir. “Aku menangkapnya! Ayah, cepat! Jaringnya!”
Didorong oleh putrinya, Anima mengambil jaring dan mengambil ikan yang berjuang di bawah permukaan air.
“Woo-hoo! Aku menangkapnya!” sorak Myuke.
“Wooow, Myukey!”
“Sangat mengesankan.”
“Bagus! Kamu menangkap ikan pertama!”
Myuke sangat gembira dengan pujian semua orang. Dia dengan bangga melihat ikan yang dia tangkap, dipindahkan ke ember untuk disimpan.
“Hyanh!”
Tiba-tiba, pancing Marie terlepas dari tangannya dan dengan cepat menuju ke danau. Anima dengan cepat mengambilnya dan mengembalikannya pada Marie.
“Lihat, Marie! Kamu menangkap sesuatu!”
“Benarkah? Yaaay! Ayah, jaying!” Marie menarik kembali pancingnya sambil berjalan mundur perlahan. Tak lama kemudian, ikan itu terlihat di dalam air, memberi kesempatan kepada Anima untuk mengeduknya dengan jaring. “Cuan Ican!”
Marie memegang ikan yang dia tangkap di tangannya, senyum paling bersinar dan menggemaskan muncul di wajahnya. Setelah mengamankan tangkapan terakhir mereka di dalam ember, mereka semua kembali memancing sampai danau dan halaman hijau di sekitarnya berubah warna menjadi oranye.
“Aku yapay!” keluh Marie.
“Aku juga. Mungkin kita harus segera menyudahinya.”
“Kita menangkap begitu banyak ikan.”
“Benarkan?! Aku benar-benar tidak mengira akan menangkap tiga ikan!”
Total keseluruhan tangkapan mereka adalah delapan. Myuke telah menangkap tiga, Luina dan Marie masing-masing menangkap dua, dan Anima selesai hanya dengan satu tangkapan. Jika dia harus mencari alasan atas kinerjanya, itu karena dia sibuk membantu semuanya dengan menangkap pancing mereka jika cengkeraman mereka terlepas dan menyeret jala untuk mengambil ikan, tapi tidak perlu mencari alasan. Dia sudah senang hanya dengan bisa membantu keluarganya.
“Okeydokey, kita harus bersiap untuk makan begitu kita mengembalikan peralatan pancing. Ibu anggap semuanya tak masalah dengan ikan bakar?” Anima dan para gadis mengangguk serempak. “Anima, bisakah kamu tinggal di sini dan menjaga ikan? Kami tidak ingin beberapa burung nakal mengambilnya.”
“Jangan khawatir. Aku akan melindungi ember ini dengan nyawaku.”
Anima mengambil ember dan meletakkannya tepat di depannya. Pada saat ikan di dalamnya sudah tenang, yang lain telah kembali dengan membawa peralatan memasak, jadi dia mengangkat ember dan menuju ke tungku.
“Tolong tunggu sebentar.” Luina meletakkan talenan di atas meja piknik tepat di belakang tungku dan mulai membuang isi perut ikan dengan gerakan yang tepat dan percaya diri. “Myuke, Marie, tolong gosok ikannya dengan garam. Kalian tidak perlu takut-takut tentang itu; tutupi ikannya sebanyak yang kalian bisa. Anima, bolehkah aku memintamu untuk menusuknya setelah ikannya diasinkan dengan benar? Sementara itu, aku akan menyalakan apinya.”
Mengikuti perintah Luina, anak-anak mulai mengoleskan sedikit garam ke ikan.
“Kami selesai!”
“Ayah, cate!”
“Ayah datang!”
Sekarang giliran Anima untuk bekerja. Dia dengan hati-hati menusuk setiap ikan agar tidak mematahkan duri ikannya, dan saat dia selesai menusuk semuanya, asap mulai naik dari tungku. Dia melirik ke arah Luina untuk mendapati kalau roknya terbentang ke belakang dan sedikit terangkat. Dia sepertinya telah tumbuh ekor karena menggunakan batu kadal api miliknya.
“Bu, selesai!”
“Ya ampun, ikannya terlihat enak!” katanya sambil tersenyum saat mengambil salah satu ikan tusuk.
“Biar aku yang menangani itu,” tawar Anima. “Aku tidak ingin kamu terbakar.”
“Terima kasih. Silahkan.”
Anima memindahkan ikan tusuk ke jaring kawat.
“Ikanmu sangat besar, Marie!”
“Punya Myukey juga! Kapan mamam mayam?”
“Bersabarlah; perlu beberapa menit hingga masak.”
Sambil mendengarkan gemerisik api, gadis-gadis yang gelisah menatap ikan yang sedang dimasak di tungku. Anima terus memperhatikan waktu, dan membalik ikan tusuknya pada saat yang tepat. Ketika dia melakukannya, lemak yang menetes dari ikan mengipasi api, dan apinya benar-benar menyelimuti makan malam mereka.
Tidak butuh waktu lama hingga aroma menggoda dari ikan segar yang digosok dengan garam untuk memikat anak-anak—keduanya menelan ludah pada saat yang bersamaan. Beberapa saat berlalu, dan Anima membalik ikan tusuknya lagi. Tanda arang yang terlihat pada kulit ikan yang tampak renyah menandakan bahwa ikannya sudah siap.
“Ini seharusnya sudah sempurna sekarang.”
“Terima kasih untuk makanannya!” Pada saat Luina mengumumkan bahwa makan malam telah siap, anak-anak mengucapkan kata-kata ajaib itu secara serempak, dan Luina serta Anima mengikutinya.
“Hati-hati tulangnya.”
“Owie, panyas! Enak!”
“Jika aku sendiri harus bilang, kita melakukan pekerjaan hebat dalam mengasinkannya!”
Melihat anak-anak menikmati ikan bakar bertabur garam, Anima tidak bisa menahan diri lagi. Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan menggigitnya. Kulitnya yang renyah berderak di bawah giginya, dan semua cairan lezat dari tangkapan yang luar biasa itu meledak di mulutnya. Lapisan tipis bumbu menghilang saat daging lunaknya larut, menambahkan rasa asin yang pas ke hidangan yang luar biasa.
“Enyak! Toyong cambah!”
“Aku juga, tolong!”
Setelah menjilati tulangnya hingga bersih dari daging, mereka meraih ikannya dan mulai memakannya lagi. Tak lama setelah mereka, Anima dan Luina melakukan hal yang sama. Keluarga itu tetap tinggal di tepi danau sampai semua ikan bakar yang lezat telah menjadi tulang.
◆◆◆
Malamnya, Luina terbangun karena gemerisik pakaian.
“Maaf. Aku tidak bermaksud membangunkanmu.”
Luina perlahan-lahan duduk saat suara yang menenangkan meminta maaf padanya, lalu mengusap matanya untuk membersihkan pandangannya yang kabur dan perlahan membukanya. Di hadapannya, dia mendapati seorang pria muda yang memasang senyum lembut dan jubah hitam yang tak asing menutupi punggungnya sampai ke pergelangan kakinya. Itu adalah Anima, yang baru saja selesai berganti ke pakaian luarnya.
“Apakah kamu akan pergi?” tanya Luina padanya.
Mengingat waktunya, melihat jubah itu hanya membuatnya merasa cemas dan kesepian. Di luar gelap dan sunyi, seolah pemandangan kota yang ramai dan semarak dari beberapa jam yang lalu hanyalah fatamorgana.
“Aku akan kembali pagi ini,” katanya. “Lalu kita bisa melanjutkan jalan-jalan kita seperti tidak pernah terjadi apa-apa.”
Anima tidak ingin membuat anak-anak khawatir, jadi dia berencana untuk pergi di bawah tabir malam. Dia benar-benar orang yang baik. Tiga bulan yang lalu, Luina jatuh cinta pada kebaikan luar biasa yang terpancar darinya—sedemikian rupa sehingga Luina langsung menikah dengannya. Meski begitu, meski dia senang telah menikah dengan orang yang luar biasa, dia ingin kalau Anima lebih memperhatikan dirinya sendiri juga.
“Aku menghargai dedikasimu, tapi kesehatanmu jauh lebih penting daripada jalan-jalan ini.”
Anima melakukan banyak hal untuk keluarganya selama perjalanan mereka. Dia pasti lelah secara fisik dan mental. Luina tidak akan khawatir jika dia hanya melakukan tugas kecil, tapi dia akan bertarung. Luina lebih suka kalau Anima berada dalam kondisi terbaiknya.
“Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Lagipula, aku sudah tidur di sebelahmu,” kata Anima dengan senyum meyakinkan.
Dia sepertinya tidak memaksakan diri. Mungkin beberapa jam tidur yang dia dapatkan sudah cukup baginya untuk pulih sepenuhnya.
Stamina dan kekuatannya tidak mengenal batas; yang disebut sebagai individu terkuat di negara ini, Malshan, tidak lebih dari sekadar lalat pengganggu baginya. Namun, mereka masih tidak tahu tentang kekuatan monster itu. Anima mungkin sangat kuat, tapi ada kemungkinan kecil kalau monster itu bahkan lebih kuat. Kehilangan ayahnya adalah karena kemungkinan yang sangat kecil itu, Luina mau tidak mau merasa khawatir.
“Jangan lihat aku seperti itu.”
“Seperti apa?” Luina menyentuh wajahnya sendiri karena tidak percaya.
“Kamu terlihat takut. Apakah kamu mengkhawatirkanku?”
“Bagaimana mungkin aku tidak khawatir? Kau akan bertarung sendirian… Itu membuatku berharap kalau aku bisa menemanimu.”
“Tidak bisa,” kata Anima dengan suara tegas, lalu segera mengendurkan alisnya yang berkerut dan menatap mata Luina seperti seorang ayah pengertian yang siap menghibur anaknya yang kesal. “Itu sangat membuatku senang, Luina, tapi aku tidak bisa membawamu ke medan perang. Itu terlalu berbahaya. Kumohon, tunggulah aku di sini.”
“Tapi…”
Melihat Luina terguncang karena stres, Anima dengan lembut memeluk pinggangnya, menariknya lebih dekat, dan memeluknya erat.
“Tidak apa-apa; Aku tidak akan kalah. Aku tidak cukup bodoh untuk membiarkan wanita cantik sepertimu menjadi janda.”
“Anima…”
Lengan suaminya yang kuat namun lembut di pinggangnya dan kehangatan yang memancar dari tubuhnya menenangkan pikiran Luina. Saat pelukannya perlahan terlepas dari pinggang Luina, dia disambut dengan senyum riang Anima. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Persaan gugup meledak sambil dengan sabar menunggu ciuman suaminya yang bisa datang kapan saja. Tapi, Anima berbalik dan meraih gagang pintu, membuat Luina benar-benar tercengang.
“Aku harus pergi.”
“Umm… Tanpa ciuman?”
“Aku akan menunggu itu sampai aku pulang,” Anima terkekeh saat melihat Luina gelisah. “Itu akan membantuku termotivasi dalam pertempuran yang akan datang.”
“Kalau begitu aku akan dengan sabar menunggu di sini sampai aku bisa mendapatkan ciuman itu,” kata Luina dengan senyum lembut.
Setelah tersenyum terakhir pada istrinya, Anima meninggalkan kamar. Dia bertemu dengan Shaer, dan keduanya meninggalkan penginapan sebelum matahari terbit. Mereka menginjak jalanan yang kosong dan sepi menuju ke gerbang yang berlawanan dari gerbang tempat mereka masuk, dan meninggalkan Barjyo.
Pada saat mereka berhasil keluar dari kota, cahaya perlahan mulai menerangi dataran hijau, menghilangkan bayangan malam. Saat Anima membayangkan kekaguman di mata keluarganya jika mereka bisa melihat pemandangan itu, senyum hangat muncul di wajahnya.
“Tuan Anima, kita harus pergi ke jembatan secepatnya,” desak Shaer dari atas.
“Aku tahu.”
Anima mempersiapkan diri dan melesat ke arah jembatan, menembus kabut pagi. Dia ingin menghadapi monster itu dan kembali ke keluarganya secepat mungkin sehingga mereka bisa menikmati bersama sisa perjalanan mereka. Didorong oleh keinginan itu, dia menggunakan pelatihan ketat selama puluhan tahun untuk digunakan dan menyusuri jalan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tidak butuh waktu lama sebelum dataran yang indah berakhir hingga dia dan Shaer memasuki gurun yang suram. Melihat Shaer mendarat sedikit di depannya, Anima juga berhenti.
“Kecepatan lari Anda cukup mengesankan. Saya sadar kalau batu minotaur meningkatkan kemampuan fisik, tapi saya khawatir apakah Anda bisa bertarung setelah menghabiskan begitu banyak mana.”
“Jangan khawatir. Cadangan mana-ku tidak berdasar. “
“Saya percaya pada kemampuan Anda.” Terlihat waspada terhadap sesuatu, dia menatap ke kejauhan. Anima mengikuti arah pandangannya dan melihat garis aneh. Dilihat baik-baik, terungkap bahwa itu adalah retakan—jurang yang membelah tanah sejauh mata memandang. “Bisakah Anda melihat jembatan yang di sana?”
Menyipitkan matanya, dia menemukan jembatan yang dimaksud Shaer, sosok kecil berdiam di atasnya. Dia tidak bisa melihat penampakan sosok itu dari kejauhan, tapi yang pasti sosok itu terlihat seperti monster. Shaer telah melaporkan bahwa itu adalah gadis manusia di balik penampilan mengerikan itu, tapi tidak ada bedanya apakah itu manusia atau iblis; Fokus Anima hanya pada satu hal saja.
“Kamu akan membantuku menemui raja jika aku mengalahkan monster itu, benarkan?”
“Seorang kesatria tidak pernah menarik kata-katanya.”
“Kuharap tidak,” kata Anima hampir mengancam, dan mulai berjalan menuju monster itu.
“Apakah Anda sudah mau menuju ke pertempuran? Jangan salah paham, saya cukup senang Anda sangat ingin melawan monster itu, tapi karena dia sepertinya belum meenyadari kita, tidakkah Anda ingin bersiap terlebih dulu, umm… untuk membuat diri Anda bersemangat untuk bertarung terlebih dulu?”
“Tidak perlu. Aku punya lebih dari cukup alasan untuk mengakhiri ini dengan cepat. Aku sudah ingin bertarung sejak lama sebelum kita sampai di sini.” Dia ingin kembali ke keluarganya tercinta. Itulah satu-satunya hal yang ada di pikirannya. “Kamu sebaiknya menonton pertarungan ini dari atas.”
“Tentu. Cukup malu untuk mengakuinya, tapi sepertinya saya hanya akan menghalangi Anda bertarung jika saya tetap di samping Anda di medan perang.”
Shaer terbang ke udara, dan Anima melesat ke arah monster itu, menutup jarak dalam waktu singkat. Saat mendekat, monster itu entah telah mendengar langkah kakinya atau melihatnya datang, karena monster itu mulai berjalan ke arahnya. Begitu mereka sudah cukup dekat untuk melihat sosok satu sama lain, Anima berhenti sejenak. Apa yang berjalan ke arahnya adalah makhluk yang dia ingat dengan jelas.
Makhluk besar seperti naga. Tubuhnya tertutup sisik, dan sayap serta ekornya panjang dan mengancam. Kecuali warnanya—hijau giok daripada merah tua—monster itu tampak sama seperti Malshan saat dia berubah dan menyerang Anima serta keluarganya. Hanya ada satu alasan kenapa seorang gadis manusia akan terlihat seperti itu.
Dia menggunakan batu sihir dari salah satu familiarnya Harbinger?
Jika memang begitu, itu berarti dia adalah salah satu keturunan dari sedikit keluarga terpilih yang telah bertarung bersama Scarlett dalam pertempuran heroik mereka melawan Harbinger. Kenapa seseorang dari status itu menempuh jalan yang salah? Malshan mungkin menginginkan Luina mati, tapi motivasinya jelas: dia menginginkan batu Harbinger untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, gadis yang akan dia lawan hanya bertindak sebagai penghalang jalan. Mungkinkah ada rencana besar yang harus dipenuhi olehnya dengan memblokir akses ke jembatan?
Anima memeras otaknya, tapi dia tidak dapat menemukan jawabannya tanpa informasi apapun. Monster itu tampaknya juga tidak ingin dengan santai menceritakan rencananya, jadi satu-satunya pilihannya adalah membuatnya bicara dengan paksa. Atau begitulah pikirnya.
“Sebaiknya kau adalah Merkalt, oce?” Monster itu berbicara kepada Anima. Suaranya agak tinggi, seolah-olah dia masih agak muda. Itu membuat Anima terkejut. “Jangan berani-beraninya mengabaikanku, oce?”
Monster itu sangat marah. Seperti anak kecil yang ngamuk-ngamuk, dia berulang kali menghentak tanah dengan ekornya, memenuhi gurun yang suram dengan tepukan seperti guntur dan membuatnya berguncang. Dia jauh lebih kuat dari orang dewasa mana pun; kekuatannya tidak bisa dibandingkan dengan manusia secara keseluruhan. Tidak ada orang biasa yang bahkan bisa membayangkan apa yang mampu dilakukan oleh monster seperti dia selama pertempuran yang sebenarnya jika kekuatan yang digunakan sebagai bentuk intimidasi saja sudah seperti itu. Jika tidak pingsan, mereka akan kehilangan keinginan untuk bertarung karena ketakutan.
Namun, Anima, bahkan tidak bergeming. Tidak hanya dia telah melawan makhluk yang beberapa kali lebih menakutkan, tapi dia juga harus melindungi kehidupan damai keluarganya. Dia tidak bisa lari meskipun dia ketakutan. Dia mempersiapkan nada paling tenangnya untuk menjawab monster itu.
“Malshan tidak akan datang. Aku mengalahkannya.”
“Benarkah? Kau lebih kuat dari Merkalt? Oce…”
“Benar. Perbedaannya bagaikan langit dan bumi.”
“Kuharap begitu, oke?”
Monster itu melengkungkan mulutnya yang lebar menjadi senyuman dan perlahan mulai berjalan menuju Anima. Sayapnya melebar, dia menarik ekornya yang gagah ke belakang saat cakarnya yang tajam berkilau oleh matahari.
“Tunggu.”
Yang mengejutkan, monster itu benar-benar berhenti.
“Ada apa, kau takut? Bahkan mati ketakutan? Baik! Kalau begitu larilah! Aku tidak tertarik pada pria lemah atau wanita, oce?”
“Kenapa kau tidak tertarik pada pria lemah dan wanita?”
“Karena aku wanita terkuat yang pernah ada, oce?”
Alasan samarnya mengkonfirmasi dua hal pada Anima. Pertama, seperti yang dilaporkan Shaer, monster itu memang seorang gadis. Kedua, dan yang lebih penting, dia tidak kehilangan kendali. Percakapan kecil mereka mengungkapkan bahwa dia tidak mencari pertarunagn; jika dia mencari pertarungan, dia tidak akan memberikan tawaran untuk membiarkan Anima melarikan diri. Dia pasti memiliki tujuan lain dari memblokir jembatan. Jika Anima bisa mengabulkan keinginannya, mungkin saja dia bisa menyelesaikan masalah tanpa menyakiti gadis itu.
“Aku tidak akan melawanmu.”
Dia mengangkat tangannya dan mulai berjalan perlahan menuju monster itu. Jelas curiga, monster itu memamerkan taringnya.
“Jika kau tidak ingin bertarung, kenapa kau datang ke sini, hmm? Kau sebaiknya memiliki rencana rahasia jika kau ingin memukulku dari dekat, okc?”
“Aku bisa mengalahkanmu dari jarak jauh jika aku mau.”
Anima bisa membakarnya menjadi abu, atau bahkan menghancurkannya sampai mati dengan sihir bumi. Anima bisa melakukan itu, tapi dia tidak berencana untuk menggunakan sihir apapun—ataupun tinjunya, dalam hal ini. Dia dengan tegas menolak memukul seorang gadis.
“Kau mau bilang kalau kau lebih kuat dariku. Kau benar-benar lucu, oce?”
“Aku bilang begitu karena itulah kenyataannya.”
“Kalau begitu terima ini, oce?”
Dia berbalik dan mengiris udara dengan ekornya yang tajam, mengarah ke perut Anima. Tanpa banyak bergerak, Anima menangkapnya dengan satu tangan, mengirimkan serpihan-serpihan sesuatu ke tanah. Dampak dari serangan itu telah merobek beberapa sisik monster itu, tersebar ke sekelilingnya.
“Aku menerimanya,” beritahu Anima dengan suara tenang dan dingin.
Dengan melakukan itu, dia membuat binatang itu bergidik, reaksi yang pernah Anima lihat sebelumnya. Itu berarti bahwa monster itu sangat takut akan kekuatannya yang luar biasa atau sangat marah pada kesombongan yang dirasakannya. Namun, yang mengejutkan Anima, reaksi itu adalah sesuatu yang sepenuhnya berbeda.
“Luar biasa! Kekuatan itu luar biasa, oce? Kau tentunya bisa menerima serangan ini, oce?” Suaranya dipenuhi dengan kekaguman pada kekuatan Anima yang luar biasa. Dia bergidik karena kebahagiaan luar biasa yang memenuhi dirinya.
“Ya, aku kuat. Jauh lebih kuat dari yang bisa kau bayangkan. Jadi tolong, menyerahlah. Aku berjanji tidak akan menyakitimu.”
“Jawab aku dulu, oce?”
“Aku akan mendengarkan.”
“Apa kau menderita penyakit kronis? Dan juga beritahu tentang terakhir kali kau masuk angin, oce?”
Sebuah pertanyaan aneh yang mempertaruhkan banyak hal. Dia akan menyerah, tapi itu hanya jika Anima memberikan jawaban yang baik. Dia tidak tahu apa yang gadis itu cari, tapi Anima bukan tipe orang yang akan berbohong kepada anak-anak.
“Aku tidak menderita penyakit kronis, dan aku tidak pernah masuk angin. Kirimkanlah aku ke puncak tertinggi hanya dengan mengenakan cawat, biarkan aku melintasi gurun yang terik, aku akan kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aku telah melintasi Gurun Kebinasaan dan memakan iblis paling beracun, namun aku tidak pernah mengalami sesuatu seperti sakit perut.”
“Kau lulus, oce?!”
“Aku… ‘lulus’?”
“Dengan nilai cemerlang, oce?! Tubuhmu kuat! Lebih kuat dari yang pernah kubayangkan! Tidak peduli apa yang terjadi, kau pasti akan selamat, oce?!”
Sorakan kebahagiaannya membuat Anima bertanya-tanya apakah dia adalah tipe orang yang senang mengalahkan musuh yang kuat. Jika ya, itu hanyalah kabar buruk. Dia tahu dari pengalamannya bahwa orang-orang seperti itu tidak akan menyerah sampai mereka menang.
“Apakah kamu masih ingin melawanku?”
“Tidak! Aku kalah, oce?”
Dia mengaku kalah, Anima menghela napas lega. Dia tidak ingin menyakiti seorang anak kecil.
“Lalu kenapa kau tidak berhenti menggunakan batu sihir itu untukku.”
“Dengan senang hati, oce?” Tanggapan langsungnya diikuti oleh cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu menyelimuti sisik hijau gelapnya, dan tubuh monster itu menyusut dan berubah menjadi bentuk manusia. “Kuharap kita sudah baik-baik saja sekarang, oce?”
Cahaya itu memudar untuk mengungkapkan seorang gadis kecil. Tidak berusia lebih dari sepuluh atau sebelas tahun, perawakan kecil dan kulit kecokelatan kontras dengan rambut perak panjang dan ikat pita besar yang memberinya penampilan yang sangat unik. Dia mengenakan gaun cantik berwarna-warni, lengkap dengan anting-anting hijau tua.
“Bilang padaku, oce?”
“Bilang apa?”
“Bilang kalau aku imut, oce?”
“Hm? Ah, ya, kau sangat imut.”
Anima mengakui keimutannya. Meskipun anak kecil takut padanya untuk waktu yang lama, Anima merasa kalau anak kecil itu menggemaskan. Saat di dunianya dulu, hatinya hancur setiap kali seorang anak menangis saat mereka melihatnya. Tapi sejak dipanggil oleh Luina, dia tidak punya alasan untuk takut akan membuat anak kecil menangis. Tidak satu kali pun seorang anak kecil memandangnya dengan penuh ketakutan di mata mereka, dan gadis berkulit cokelat di depannya pun tidak terkecuali.
“Siapa namamu?” tanya Anima.
“Aku Bram, oce?” jawabnya dengan senyum berseri. Dibilang imut pasti membuatnya senang.
“Luar biasa! Benar-benar spektakuler! Anda sudah menumpas bahaya besar dalam hitungan menit!” Mengganggu percakapan mereka, Shaer dengan bahagia memuji Anima atas pekerjaannya. Turun ke arah mereka, dia terus menatap Bram, dengan tangan di gagang pedangnya selama itu. “Sekarang, serahkan batu naga itu. Dan jangan mencoba melakukan sesuatu yang aneh.”
“Aku tidak akan memberimu apa-apa, oce?” lawan Bram. Dia meletakkan tangan kecilnya di anting-antingnya dan memelototi Shaer, yang mundur selangkah karena merasakan tekanan dari dirinya.
“Tuan Anima, izinkan saya untuk memastikan: apakah dia menyerah kepada Anda?”
“Ya, dia mengaku kalah.”
“Syukurlah!” katanya dengan senyum lega. “Jadi, bolehkah saya meminta batu itu sekarang?”
“Argh, hentikanlah, oce?! Kenapa kau ada disini?! Aku tidak akan memberimu apa pun! Mintalah lagi dan aku akan memukulmu, oce?!”
“Tuan Anima, saya ingin Anda mengambil batu itu darinya dengan paksa.”
“Aku tidak mau.”
“Ke-Kenapa tidak?” tanya Shaer, sangat terkejut dengan jawaban Anima. “Dia mungkin akan membuat masalah seperti ini lagi di tempat lain!”
“Aku tidak akan melakukan hal ini lagi, oce?!”
“Dan kenapa aku harus mempercayai kata-katamu?”
“Aku percaya padanya,” sela Anima, menyebabkan bola mata Shaer hampir keluar dari tengkoraknya.
“T-Tapi kenapa?!”
“Orang dewasa bertanggung jawab untuk mempercayai anak-anak.” Dia berpaling ke Bram dan menatap jauh ke dalam matanya. “Apakah kamu akan menggunakan batu itu untuk menyakiti orang lain, Bram?”
“Aku bersumpah tidak akan melakukannya, oce?”
“Dengar?” Anima tersenyum lembut. “Tidak ada alasan untuk mengambil batu itu darinya.”
“M-Maafkan kebodohan saya, tapi apa yang akan Anda lakukan jika dia mengingkari janjinya?”
“Aku akan memarahinya. Orang dewasa bertanggung jawab untuk memarahi anak-anak ketika mereka berbuat salah.”
Shaer terdiam sesaat sebelum menghela nafas panjang.
“Dimengerti. Saya akan mempercayai penilaian Anda, Tuan Anima.”
“Terima kasih.”
“Saya seharusnya yang menucapkan terima kasih. Berkat usaha Anda membersihkan jembatan ini, kehidupan di sini bisa kembali normal. Sekarang, haruskah kita kembali?”
“Ya, ayo pergi.”
Saat Anima berbalik, dia merasakan tarikan pada jubahnya.
“Kenapa terburu-buru? Katakan padaku kemana kamu akan pergi, oce?”
“Ke Barjyo.”
“Apakah itu tempat tinggalmu? Oce…”
“Tidak, aku sebenarnya sedang jalan-jalan. Setelah kami kembali ke kota, kami akan menuju pelabuhan.”
“Ooh, pelabuhan! Kedengarannya bagus, oce?”
Sambil tersenyum lebar, Bram melepaskan jubah Anima, membiarkannya pergi. Begitu Bram melakukan itu, Anima bergegas kembali ke keluarga tercintanya dengan kecepatan tinggi.
Post a Comment