[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 2 Chapter 4 Bahasa Indonesia

 

Chapter Empat: Raja Iblis Mendapat Lamaran

 

Sekembalinya ke penginapan, Anima memenuhi janjinya pada Luina dan menciumnya, lalu mengajak Luina dan anak-anak makan di luar. Mereka menemukan restoran yang bagus, di mana mereka menikmati sarapan yang mengenyangkan berupa telur dadar gulung encer, bacon garing, roti lembut, salad renyah, dan mangga manis. Setelah selesai, mereka melewati jalanan yang ramai dan meninggalkan Barjyo.

“Apakah kalian menyukai Barjyo?”

“Apakah itu menyenangkan?”

Pasangan itu bertanya pada anak-anak sambil berjalan di jalan kecil indah yang melintasi daratan. Pertanyaan mereka dijawab dengan senyum indah.

“Uh-huh! yo, yo, umm, yonceng-nya cangat cancik!”

“Kita bisa mendengarkan loncengnya sepanjang hari begitu kita pulang ke rumah, Marie. Bagaimana denganmu, Myuke?”

“Aku suka betapa ramainya pasar itu, dan memancing sangat menyenangkan!”

“Myukey menyangkap banyak!”

“Kamu juga menangkap dua, kan?”

“Ibu dan Ayah juga nangkap banyak!”

Kegembiraan mereka dari kemarin tidak berkurang, yang mana itu sangat menyenangkan bagi Anima.

“Kalian berdua benar-benar pandai memancing. Bisakah kalian mengajari Ayah cara melakukannya setelah kita pulang?”

“Pastinya! Aku akan melatih Ayah siang dan malam sampai Ayah menjadi nelayan yang handal!”

“Ayah rasa kita tidak perlu sampai sejauh itu, tapi Ayah sangat menantikannya.”

Anima sangat gembira melihat kemungkinan memancing bersama putri-putrinya lagi, meskipun hari itu tidak akan datang untuk sementara waktu. Monster telah diatasi, tapi dia masih memiliki sejumlah hal penting yang harus dilakukan sebelum dia dan putri-putrinya bisa pulang. Pertama, dia harus pergi ke pelabuhan dan naik kapal feri ke ibu kota. Sesampainya di sana, dia harus menunggu Shaer mengatur pertemuan dengan raja, di mana Anima akan menyelesaikan masalah pertarungan dengan Malshan yang membawa petaka itu untuk selama-lamanya.

“Kemana kita akan pergi sekarang?”

“Pelabuhan. Ayah sama sekali tidak familiar dengan daerah itu, tapi mungkin Luina tahu satu atau dua hal tentangnya.”

“Bu, apa icu ‘peyabuan’?” tanya Marie, bersemangat untuk mengunjungi kota lain yang belum pernah dia kunjungi sebelumnya. Luina melontarkan senyum gembira, siap untuk memenuhi antusiasme putrinya.

“Pelabuhan adalah tempat yang berada di tepi laut.”

“Apa icu ‘yaut’?”

“Laut itu seperti danau yang sangat besar.”

“Air laut sangat asin. Perih kalau masuk ke mulutmu,” jelas Myuke, memamerkan pengetahuannya.

“Peyih? Wooow!”

“Bagus, Myuke. Benar sekali. Apakah kamu pernah ke laut sebelumnya?”

“Tidak. Aku hanya tahu beberapa hal tentang itu,” jawabnya, sedikit tersipu. “Tahukah Ayah, aku selalu ingin mengunjungi laut! Aku ingin melihat sendiri seberapa besarnya laut!”

“Ayah senang kamu bisa menghapusnya dari daftar keinginanmu.”

“Terima kasih telah mengajakku!”

Anima senang dari lubuk hati yang terdalam melihat putrinya tersenyum dengan begitu gembira.

“Kita akan mencari tempat untuk duduk dan memandangi pemandangannya begitu kita sampai di sana, oke?”

“Itu luar biasa! Kuharap ada tempat di mana kita bisa mendapatkan pemandangan yang benar-benar bagus.”

“Ada,” tambah Luina.

“Benarkah?”

“Ibu akan mengajakmu berkeliling begitu kita sampai di sana.”

“Yay, terima kasih! Kuharap kita segera sampai di sana!”

“Kuhayap!” Marie dengan bersemangat mengulangi kata-kata kakaknya saat mereka berempat melanjutkan perjalanan, mengobrol dengan gembira sampai pemandangan di sekitar mereka berubah dari hijau cerah menjadi coklat kemerahan.

“Meyaaah! Aku cuka meyah!” seru Marie saat mengarahkan pandangannya pada padang rumput luas yang mencakup seluruh bidang penglihatannya. Dia melompat kegirangan berulang kali. Namun, tak lama kemudian, dia kelelahan, dan menatap Anima dengan mata manis yang memohon.

“Ayah, gendong!” Anima bukanlah orang yang bisa menolak permintaan putrinya yang menggemaskan. Dia memeluknya dan mengangkatnya, tapi Marie segera berubah pikiran. “Ayah, tuyun!”

Terlepas dari keinginannya untuk menggendong putrinya, Anima menghormati permintaan Marie, lalu meletakkannya dan memegang tangannya saat mereka berjalan. Saat matahari mulai turun ke balik cakrawala, Myuke tiba-tiba berhenti.

“Aku melihat sesuatu!”

Dia menunjuk ke arah yang mereka tuju, menuju celah yang membelah tanah. Ada sesuatu yang terlihat di dalam jurang pemisah tak berdasar.

“Itu jembatan,” kata Anima padanya.

“Jembatan tempat Ayah menghadapi Bram?”

“Tepat sekali.”

Dia telah memberi tahu keluarganya tentang pertemuannya dengan Bram saat mereka pergi ke restoran sebelumnya hari itu. Dia menceritakan bahwa wujud aslinya adalah seorang gadis kecil berkulit coklat, bahwa dia telah menggunakan batu sihir dari salah satu familiar Harbinger yang mendatangkan bencana, dan bahwa dia telah berjanji untuk tidak akan pernah melakukan perbuatan jahat lagi. Luina terkejut saat mengetahui bahwa Bram adalah seorang gadis kecil, tapi dia langsung terkejut ketika mengetahui tentang batu sihir itu.

Luina sudah tahu tentang keberadaan batu Naga Giok. Setelah mewarisi batu Harbinger, dia diberitahu untuk bersekutu dengan keluarga yang memiliki batu familiar Harbinger. Karena itu, dia tahu keluarga mana yang menyimpan artefak kuat mana.

Batu Naga Giok dipegang oleh keluarga Boise. Yang membuat tindakan Bram semakin aneh adalah, tidak seperti Merkalt, kebanyakan keluarga yang memiliki batu familiar Harbinger tinggal di seberang lautan. Kenapa seseorang seperti itu datang ke sini hanya untuk memblokir jembatan?

“Bram… tidak ada di sini,” kata Luina.

Seperti yang dia janjikan, Bram sepertinya sudah menyerah untuk memblokir jembatan. Shaer tampaknya merasa lega dengan ketidakhadiran Bram, saat dia turun dari langit dan mengamati daerah itu.

“Harus dikatakan, jembatan ini cukup sesuatu,” gumam Myuke dari pangkal jembatan alami yang menghubungkan kedua sisi jurang pemisah.

“Apakah kamu takut menyebranginya?”

“Tidak, aku baik-baik saja!”

Penegasan percaya diri Myuke membuat Anima senang. Myuke telah ketakutan setengah mati untuk menyeberangi jembatan tali dalam perjalanan mereka ke Barjyo, tapi dia sudah mengatasi rasa takutnya.

“Aku peygi! Dengan Myukey!”

“Oke! Mari kita sebrangi bersama-sama!”

Anak-anak saling berpegangan tangan, lalu Anima meraih tangan Myuke dan Luina meraih tangan Marie. Keempatnya menyeberangi jembatan bersama-sama, berjalan berdampingan.

“Apa icu?” tanya Marie, menunjuk ke gunungan peralatan yang menumpuk di jembatan. Tumpukan itu tertutup lapisan debu dan beberapa di antaranya menggantung di atas jurang, tapi setiap peralatan di tumpukan itu bertahtakan batu sihir.

“Batu sihir! Lihat semuanya!” teriak Myuke kegirangan. Matanya berbinar seolah-olah dia telah menemukan harta karun, dan dia mengambil satu demi satu peralatan, mengelapnya satu-satu. “Batu gargoyle! Ah, dan yang ini batu cockatrice! Wooow, bahkan ada batu skeleton di sini!”

“Bagaimana kamu bisa tahu hanya dari melihatnya?”

Kecuali warnanya yang beda, semuanya terlihat sama bagi Anima.

“Aku telah menghabiskan begitu banyak waktu di toko batu sihir sehingga aku sudah belajar cara membedakannya dengan sekilas! Ngomong-ngomong, kenapa semua batu sihir ini ada di sini? Apakah embusan angin menarik semuanya dari toko batu sihir kecuali batu milik seseorang atau semacamnya?”

“Kurasa gadis itu mengumpulkan batu-batu sihir ini di sini,” kata Shaer saat dia mendarat di samping rombongan itu.

“‘Gadis itu’? Oh, maksudmu Bram? Kenapa dia tidak membawa ini pulang?”

“Aku tidak yakin dia tertarik pada batu sihir.”

“Tidak? Tapi kenapa dia punya begitu banyak batu sihir?”

“Setiap Hunter yang datang ke sini untuk menghadapi monster itu tertekan oleh kekuatannya, dan menawarkan peralatan sebagai ganti nyawa mereka. Itu sudah menjadi gunungan peralatan berharga pada saat kami dikirim kesini. Mengidentifikasi pemilik masing-masing peralatan ini hampir tidak mungkin, tapi meninggalkan ini di sini akan menghalangi perjalanan di jembatan. Untuk itu, aku telah memberi tahu timku tentang keadaan saat ini dan mengatur pengambilan peralatan sementara.”

Shaer sepertinya sudah menghubungi para Ksatria menggunakan batu sihir khusus untuk komunikasi jarak jauh. Karena dia dan para ksatrianya langsung di bawah perintah raja, ada kemungkinan bahwa para bangsawan telah diberitahu tentang prestasi Anima.

“Oh… Yah, terserahlah. Aku memiliki batu slime untuk diriku, jadi tidak apa-apa…”

Batu yang tak terhitung jumlahnya yang tergeletak di depan Myuke masing-masing jauh lebih berharga daripada batu slime-nya, dan meskipun dia ingin menyimpan setidaknya satu batu sihir disana untuk dirinya sendiri, rasa bersalah karena mencurinya akan terlalu berat untuk dia tanggung. Dia berdiri, menatap lurus ke depan, dan menyeberangi jembatan bersama keluarganya. Pada saat mereka mencapai sisi lain, dia sepertinya telah benar-benar melupakan tentang batu sihir itu, dan fokus pada kota pelabuhan yang menunggu mereka.

“Kapan kita akan sampai ke pelabuhan?” tanya dia.

“Kalau tetap seperti ini, kita seharusnya akan sampai di sana besok pagi,” jawab Luina.

“Besok pagi, ya? Aku tidak sabar untuk melihat tempat itu! Aku sangat bersemangat!”

“Aku juga.”

Anima tidak sabar untuk melihat rasa kagum dan senyum tulus di wajah anak-anaknya saat mereka melihat kota pelabuhan yang indah. Bersemangat untuk mencapai tujuan mereka, Anima dan keluarganya melanjutkan perjalanan di bawah mentari terbenam.

◆◆◆


Saat matahari sekali lagi mengusir kegelapan malam, Anima dan keluarganya berangkat, mendaki lereng landai di bawah terik matahari dalam perjalanan ke kota pelabuhan. Gadis-gadis itu telah menaklukkan gunung beberapa hari yang lalu, jadi lereng yang rendah tidak akan menimbulkan masalah bagi mereka. Tetap saja, bahkan lereng terkecil pun tidak bisa dianggap remeh. Dengan seiringnya waktu, lereng terkecil pun akan melelahkan seseorang, jadi Anima mulai mencari-cari tempat yang cocok untuk mereka semua beristirahat.

“Apakah pelabuhannya ada di suatu tempat di bukit ini?” tanya Myuke.

“Tidak. Itu ada di sisi lain, di bawah.”

“Jadi kita harus mencapai puncak, ya?”

“Apakah kamu ingin istirahat?” tawar Anima, tapi Myuke menggelengkan kepalanya.

“Aku baik-baik saja, ini bukan apa-apa!”

“Hebat, Myuke.”

“Aku juga! Aku juga bisa tetap menjaki!”

“Kamu juga sangat hebat, Marie. Kalau saja Ayah bisa sekuat kalian, tapi Ayah mulai lelah. Bisakah kita beristirahat sebentar?”

“Ayah, jangan istiyahat! Tiduy di bukit icu buyuk! Ayah akan geyinding!”

Dia ingin memberi tahu Marie bahwa dia benar, tapi membiarkan anak-anak berhenti sejenak lebih penting. Keinginan mereka untuk melihat pelabuhan secepat mungkin mendorong mereka terus maju, tapi mereka jelas-jelas mulai kehabisan stamina. Mereka semua beristirahat di bawah naungan pohon pinggir jalan, lalu bangkit dan melanjutkan pendakian, yang tak lama kemudian berubah menjadi turunan. Di ujung jalan, tersembunyi oleh rumpun pepohonan yang lebat terletaklah tujuan mereka, kota pelabuhan.

“Kita hampir sampai! Ayo pergi!”

“Ayo!”

Anima dan Luina memimpin, anak-anak menyemangati mereka dari belakang. Mereka melanjutkan perjalanan mereka, tiba di kota pelabuhan tepat saat matahari mencapai titik tertingginya di langit.

“Kita sampai!”

“Yaaaaay!”

Mereka melewati gerbang kayu kota dan segera menyipitkan mata sebagai respons terhadap cahaya menyilaukan yang menyambut mereka. Bangunan putih di sekitar mereka memantulkan sinar matahari yang kuat, membuat seluruh kota terasa cerah dan ramai. Suara-suara ramai yang datang dari warung-warung di sekitarnya dan udara asin memikat anak-anak; mereka siap menjelajahi pelabuhan sampai benar-benar kelelahan.

“Apa yang mereka jual di sana?”

“Inyi bau apa?”

“Oh, ya! Bau aneh apa ini?”

“Itu bau air garam,” Luina menjelaskan. “Kalian bisa tahu kalau kalian dekat dengan laut melalui bau garam di udara.”

“Kita di dekat laut! Ayo pergi! Aku ingin melihatnya!”

“Aku juga! Aku juga!”

“Oke, ayo pergi.”

“Mengapa kita tidak pergi ke tempat pemandangan yang Ibu tahu? Ikuti Ibu!” Luina dengan santai memimpin. Dia sangat bersemangat untuk mengalami kembali pemandangan indah yang dia nikmati bersama keluarganya saat masih kecil.

Kegembiraannya sangat menular. Anima dan anak-anak mengikuti Luina menyusuri jalan berbatu yang membelah kota. Hanya dalam beberapa menit, mereka mencapai daerah pinggiran, di mana gedung-gedung yang padat digantikan oleh rumah-rumah yang damai dan berjauhan, dan kios-kios yang ramai hanyalah latar yang tenang untuk suasana yang damai. Tidak lama setelah itu, mereka tiba di sebuah tebing besar, menjulang di atas sisa area dan menghadap ke laut.

“Ayo naik!”

Sebuah tangga menuju ke tanjung. Anima berada ke belakang untuk melindungi anak-anak agar tidak jatuh jika mereka terpeleset. Ada pegangan yang bisa mereka pegang, tapi dia tidak mau mengambil risiko.

Bagian atasnya ditutupi lapisan tipis ilalang hijau, dan ada pagar kayu di sekelilingnya. Namun, yang menarik perhatian Anima adalah struktur putih di depannya. Itu adalah menara tinggi, berdiri dengan kokoh di atas tanjung seperti pisau ditusuk ke dalam kue.

“Tingginya! Apa itu?”

“Itu adalah mercusuar.”

“Apa icu meycusuay?”

“Ketika malam tiba dan hari benar-benar gelap, kapal-kapal yang melaut bisa dengan mudah tersesat. Mereka menyalakan lampu di puncak menara ini untuk membantu kapal menemukan jalan mereka.”

“Teyima kacih, meycusuay!” Marie berterima kasih kepada mercusuar sementara Myuke melihatnya dengan takjub.

“Menurut Ibu, apakah kita bisa masuk kesini?”

“Ini terbuka untuk umum pada siang hari,” kata Luina sambil terkekeh. “Tempat khusus yang Ibu sebutkan ada di atas.”

“Yaaay! Kita akan melihat jauh ke laut dari atas sana!”

“Aku akan meyihat yaut!”

Myuke dan Marie sangat bersemangat.

Pintu mercusuar terbuka, menyambut mereka masuk. Anak-anak segera mulai menaiki tangga spiral yang menuju ke balkon, dan Anima serta Luina mengikuti di belakang mereka. Meskipun pendakiannya melelahkan, pemandangan dari atas sana pasti menyegarkan mereka kembali.

Ruang semakin sempit dan anak tangga semakin kecil saat mereka semakin tinggi. Salah langkah sekali saja dan mereka bisa dengan mudah mendapati diri mereka jatuh ke dasar mercusuar. Sangat sulit untuk dinaiki oleh orang dewasa, tapi kaki kecil anak-anak dengan mudah menaklukkan tangga; mereka dengan cepat mencapai puncak.

“Wooow!”

“Canciknya!”

Teriakan mereka saat mencapai balkon bergema di mercusuar. Tiba beberapa saat setelah mereka, Anima secara alami menyipitkan matanya karena terangnya sinar matahari. Matanya digelitik oleh angin asin, dia perlahan membuka matanya.

“Ini… luar biasa.”

Pemandangan indah itu membuatnya terpesona. Laut biru membentang sejauh mata memandang, melebur bersama cakrawala untuk menyatukan langit dan laut. Di bawahnya, gelombang cahaya menjilat bebatuan. Gelembung putih yang berenang bersama air pasang bisa saja dianggap sebagai awan yang lembut.

“Lihat, Marie! Kita ada di laut!”

“Biyu dan cancik! Sepeyti yangit!”

Marie menempelkan wajahnya ke pagar besi yang mengelilingi balkon dengan senyum tulus yang dipenuhi rasa kagum.

“Benar?! Aku memikirkan hal yang sama! Kupikir itu akan tembus pandang, tapi warnanya sangat biru!”

“Lautnya berwarna biru karena memantulkan warna langit. Lautnya benar-benar akan berubah menjadi merah saat matahari terbenam.”

“Aku suka merah!”

“Aku juga! Aku sangat ingin melihat itu! Yah, kapan kapal feri-nya berangkat?”

“Kupikir Shaer berkata tepat setelah makan siang, kan?” tanya Luina. “Tapi jangan khawatir, kalian akan mendapatkan pemandangan laut yang sempurna dari kapal feri. Tidak peduli kapan kita berangkat, kalian akan melihat matahari terbenam melukiskan laut dengan warna merah.”

Senyum Myuke semakin lebar.

“Dimana semua kapalnya barada?”

“Dermaganya berada di sisi lain kota.”

Luina menunjuk ke seberang kota pelabuhan, yang berbentuk seperti bumerang. Dermaga yang mereka cari, yang membentang ke laut, dipenuhi orang-orang yang memuat kargo ke dalam kapal feri besar. Dermaga lain penuh sesak dengan perahu nelayan yang lebih kecil, tapi mencapai ibu kota dengan salah satu dari perahu nelayan itu pasti sulit, bahkan mustahil, jadi mereka akan naik kapal feri.

“Aku tidak sabar untuk berlayar,” kata Anima. “Kuharap perjalanannya menyenangkan.”

“Sama! Tapi aku agak gugup… Kudengar kalau kapal banyak bergoyang.”

“Jangan khawatir,” Luina meyakinkan Myuke untuk menenangkannya. “Memang benar bahwa perahu kecil sedikit bergoyang, tapi kapal besar seperti yang akan kita naiki cukup stabil. Kapal yang Ibu naiki ketika Ibu masih kecil tidak bergoyang sama sekali.”

“Ah! Yihat! Yihat! Dicana!”

Suara Marie memenuhi mercusuar. Dia telah berjalan ke sisi lain balkon, dan meskipun pagar pembatas mengelilingi seluruh balkon, itu bisa menjadi bencana jika Marie mulai memanjatnya, jadi Anima bergegas untuk mencegahnya. Namun, sebelum Anima bisa sampai ke sana, Marie menempelkan wajahnya ke pagar dengan tatapan takjub.

Dengan napas lega, dia mengikuti arah pandangan Marie. Ladang luas, hijau zamrud yang dikelilingi pagar kayu terbentang di hadapannya. Di dalam ladang itu, sejumlah bayangan hitam panjang menarik perhatiannya. Mereka agak jauh, jadi dia tidak bisa mengetahuinya dengan pasti, tapi bayang-bayang itu mungkin bayangan sapi yang menghuni ladang. Dengan kata lain, Marie kemungkinan besar terpesona oleh sapi-sapi yang tampak jinak itu.

“Apa icu?”

“Sapi,” kata Luina padanya. “Terakhir kali Ibu di sini, pemilik peternakan memberikan kami secangkir susu segar yang lezat.”

“Ibu dapat cucu?”

“Ya. Itu sangat manis dan hangat.”

Anak-anak menelan ludah serempak, yang membuat roda gigi di kepala Anima bergerak. Dia mulai memikirkan bagaimana caranya agar bisa memuaskan dahaga mereka akan pengalaman baru.

“Kemana kalian akan pergi selanjutnya?”

“Eep!”

“S-Saya sangat menyesal, saya tidak bermaksud untuk mengejutkanmu!”

Shaer tiba-tiba melayang di sisi lain pagar, dan disambut oleh jeritan singkat Myuke. Dia sudah secara tidak sengaja mengagetkan Myuke sejak mereka tiba di Barjyo—Myuke melompat, dan Shaer akan meminta maaf sebanyak-banyaknya.

“‘K-Kaget’?! Siapa yang kaget?! Aku sangat tenang!”

Dia jelas berpura-pura tenang, tapi Shaer percaya apa yang dia katakan dan menghela nafas lega.

“Jadi, apa tujuan kalian selanjutnya?”

“Petenyakan! Aku, aku mau minum cucu banak-banak!”

“Begitu ya.” Kata-katanya membuat wajah Shaer tersenyum hangat. “Perjalanan ke peternakan harusnya tak mengganggu jadwal kita.”

“Apakah kita akan segera berangkat?”

Shaer mengangguk menanggapi pertanyaan Anima.

“Kargo telah dimuat ke dalam feri, dan pemberangkatan untuk umum akan segera dimulai. Aku akan memberi tahu kalian saat tiba waktunya untuk naik, jadi silakan, nikmati sisa waktu kalian di kota ini.”

“Tentu. Terima kasih.”

Setelah mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada Shaer, Anima dan keluarganya menuruni mercusuar dan pergi ke peternakan.

◆◆◆


Sesampainya di peternakan yang indah, keempatnya mendekati pagar untuk melihat lebih dekat sapi-sapi berbintik yang sedang bersantai. Kebanyakan dari sapi-sapi itu sedang makan rumput di kejauhan, yang paling dekat dengan mereka sekitar lima puluh langkah dari pagar. Itu adalah pemandangan yang benar-benar indah dan menenangkan jiwa seseorang, meskipun anak-anak mungkin ingin sesuatu yang lebih. Anima mengira bahwa mereka ingin menyentuh hewan ternak yang jinak itu.

“Yucunyaaaaa!”

“Lihat, mereka mengunyah!”

Mereka memandang sapi-sapi itu dengan rasa takjub dari balik pagar, tapi mereka jelas ingin melihatnya lebih dekat.

“Nona Capi!” sapa Marie pada sapi terdekat dan melambaikan tangannya, tapi hewan itu bahkan tidak berkedip. Rerumputan di depannya lebih memikat daripada Marie. “Aku di cini, Nona Capi! Di cini!”

Marie sangat bahagia beberapa saat sebelumnya, tapi dia tidak bisa terima kalau dia benar-benar diabaikan. Air mata mulai muncul di sudut matanya. Dia terus melambaikan tangannya pada sapi itu secepat yang dia bisa, tapi hewan itu tidak menginginkan apa-apa darinya. Ia memutar membelakangi Marie dan pergi.

“Nona Capinya peygi…”

“Maaf.”

“Apakah dia membenciku?”

Pengkhianatan mendadak oleh teman hewannya benar-benar mengecewakan Marie. Itu pasti pengalaman pertamanya diabaikan. Luina dengan lembut membelai kepala gadis yang menangis itu.

“Tidak sama sekali,” kata Luina dengan suara yang menenangkan sambil dengan lembut membelai kepala gadis yang menangis itu. “Ibu rasa dia mungkin saja malu.”

“Mayu?”

“Mm-hmm. Mari kita awasi mereka dari sini, oke?”

“Okeeey!”

Marie dengan penuh semangat mengangguk. Marie tidak ingin membuat siapa pun, meskipun itu adalah hewan, merasa tidak nyaman. Anima menepuk kepalanya, diam-diam memujinya karena dia gadis yang baik.

“Lihat! Gudang apa di sana itu?”

Myuke menunjuk ke sebuah bangunan kayu panjang yang terlihat di kejauhan.

“Itu adalah kandang sapi. Kami membeli susu di sana terakhir kali kami kesini.”

“Cucu! Aku ingin cucu!”

“Kan? Aku juga suka susu! “

Selama perjalanan mereka, Myuke akhirnya keluar dari cangkangnya. Dia telah berhenti menahan diri dan benar-benar menikmatinya sepenuh hati.

“Kalau begitu, ayo kita pergi,” kata Anima dengan anggukan.

Dengan anak-anak yang ceria, mereka mendekati kandang sapi. Mereka membuka pintu besar dan mengintip ke dalam. Angin dingin melewati mereka, melepaskan bau rumput yang baru dipotong, yang semakin kuat saat mereka berjalan lebih dalam, mengikuti jalan tanah sempit yang dikelilingi oleh kendang-kandang yang dipenuhi jerami. Pria yang berdiri di tengah kandang sapi memperhatikan mereka, dan mulai berjalan ke arah mereka.

“Hai, semuanya. Apa yang bisa saya bantu?”

“Kami di sini untuk membeli susu,” jawab Anima.

“Segera datang.” Pria itu menyambut mereka dengan senyum ceria. “Harus biarkan Charlotte keluar dulu.”

“Siapa Charlotte?” Myuke tidak mengenal siapa pun dengan nama itu.

“Salah satu sapiku, Nona. Aku baru saja memerah susu gadis tua itu!”

“Capi?! Dimana?!”

Pria itu tersenyum ketika dia melihat kegembiraan di mata Marie.

“Sebelah sini, Nona. Ingin mengelusnya?”

“Beneyan? Aku ingin mengeyus capi!”

“Tentu saja boleh, Nona. Tapi hanya jika kau berjanji untuk tidak ngomong-ngomong di dekat Charlotte.”

“Janji,” bisiknya.

“Bolehkah aku mengelusnya juga?” pinta Myuke.

“Tentu saja boleh! Ayo, ikuti aku!”

Mereka berjalan sedikit lebih dalam ke dalam gudang dan berhenti di depan kandang. Di dalamnya ada seekor sapi putih dengan bintik hitam yang indah. Gadis-gadis itu memandanginya melalui palang saat sapi itu memenuhi pipinya dengan jerami yang menumpuk di depannya.

“Wooow! Hai, Nona Capi!”

“A-Apakah dia ngigit?”

Myuke terkejut ketika mereka akhirnya mencapai sapi itu. Melihat keragu-raguan di matanya, pria itu dengan lembut membelai kepala sapi itu. Sebagai tanggapan, sapi itu sama sekali tidak melakukan apa pun; ia terus mengunyah penuh makanan seolah-olah tidak ada yang terjadi.

“Dia gadis yang lembut. Dia tidak akan keberatan kalian elus selama kalian berhati-hati.”

Myuke menghela nafas lega, lalu dia dan Marie dengan lembut mengelus dahi besar sapi itu.

“Wooow!”

Marie kembali menatap orang tuanya dengan bintang di matanya dan rasa takjub di seluruh wajahnya. Melihat senyum hangat orang tuanya, dia kembali untuk ronde berikutnya. Setelah mereka puas membelai sapi, mereka keluar.

“Yembut, capinya yembut!”

“Aku masih bisa merasakan kehangatannya di tanganku.”

Anak-anak dengan semangat berbagi pengalaman mereka sementara pria itu menjauh sejenak. Ketika dia kembali, dia membawa nampan berisi empat gelas panjang yang diisi sampai penuh dengan susu putih bersih.

“Putih! Aku suka putih!”

“Kelihatannya super enak!”

“Aku ingin kalian tahu kalau susu kami dikenal sebagai susu terbaik di mana pun di negara ini! Seteguk dan kalian tidak akan pernah bisa kembali ke minuman yang orang kota sebut sebagai susu.”

“Kedengarannya enak. Berapa harganya?” tanya Anima sambil menghitung koin yang dia bawa.

“Tiga koin tembaga untuk empat susu.”

Itu sangat murah. Anima mencoba memahami nilai mata uang di dunia barunya dengan menemani Luina dalam perjalanannya berbelanja bahan makanan, jadi dia mengira empat gelas susu harganya sekitar lima tembaga. Apakah pria itu mencoba menjual susu basi?

“Kenapa sangat murah?”

Anima tidak ingin membuatnya kesal; lagipula dia telah cukup baik untuk membiarkan putri-putrinya mengelus sapi. Daripada langsung menuduhnya menjual produk jelek pada mereka, sebaliknya Anima memutuskan untuk bertanya.

“Ceritanya panjang, teman. Beberapa saat yang lalu aku bisa menjualnya dengan harga dua kali lipat dari itu, tapi penjualan menurun belakangan ini. Aku lebih suka menjualnya lebih murah daripada susunya basi.” Pria itu berduka atas bisnisnya yang menurun. “Aku yakin kalian sudah mendengar tentang binatang buas yang menghalangi jembatan. Bisnis susu di sini adalah satu-satunya sumber pendapatanku, dan monster itu hanya menetap di sana, membunuh mata pencaharianku. Aku tidak bisa membuat susunya tetap awet, bahkan dengan batu sihirku, sialan!”

Susu akan busuk saat sampai ke tujuan jika orang itu menggunakan jalan memutar. Dia tak bisa berbuat apa-apa; dia tidak punya pilihan lain selain menurunkan harga produknya.

“Ayah mengalahkan moster menakutkan itu!”

Pria itu dengan penasaran memiringkan kepalanya.

“Dia melakukan apa barusan, Nona?”

“Jangan pedulikan dia.” Anima segera menghentikan percakapan sejak awal. Dia memang sudah mengalahkan monster itu, tapi lebih baik merahasiakannya sampai pemberitahuan resmi datang dari para ksatria. Jika berita itu menyebar ke seluruh kota sebelum waktunya, itu akan membuat keributan besar. “Aku yakin masalah itu akan segera diselesaikan.”

“Kuharap begitu, teman. Aku sungguh berharap begitu. Tapi baiklah, minumlah selagi masih bagus dan dingin!”

“Terima kasih.”

Setelah membayar, Anima mengambil gelasnya dan duduk di bangku terdekat. Dia dan keluarganya menyaksikan sapi-sapi itu bermalas-malasan di kejauhan saat angin sepoi-sepoi melewati mereka. Saat itulah mereka mencicipi susunya.

“Enak!”

“Wow! Ini sangat enak!”

Susu segarnya sangat manis dan gemuk. Itu membuat susu yang mereka beli di kota terasa seperti air. Anak-anak sangat menyukainya sehingga mereka meminum segelas tinggi itu hanya dalam hitungan detik.

“Enak!”

“Itu bagus.”

Minum begitu cepat meninggalkan kumis susu kental di atas mulut Marie. Anima dengan lembut menyekanya saat dia menggeliat di kursinya.

“Ah, lihat! Salah satunya mendekati kita!” Myuke dengan bersemangat menunjuk ke sisi lain pagar, di mana seekor sapi dengan pola bintik-bintik yang familiar mendekati mereka. Itu sapi yang sama dengan yang baru saja mereka belai. “Apakah dia mau dielus lagi?”

“Aku boyeh pegi ke Nona Capi?”

“Tentu saja boleh.” Setelah menerima persetujuan Luina, gadis-gadis itu mendekat ke pagar untuk melihat sapi. Sambil memperhatikan gadis-gadis itu saat mereka bersenang-senang, Anima dan Luina meminum gelas susu mereka sendiri. “Marie sangat bersenang-senang. Dia benar-benar terpesona oleh sapi-sapi itu. Aku khawatir dia akan meminta kita untuk pindah ke sini.”

Angin sejuk menyegarkan bertiup ke pasangan itu, membuat rambut biru panjang Luina berkibar saat dia berbagi sedikit kekhawatirannya dengan Anima. Namun, itu tidak mengganggu Anima, karena senyum mempesona istrinya yang cantik memicu nyala api cintanya hingga lebih membara lagi.

“Jangan khawatir,” katanya, “Marie mencintai Myuke. Jika Myuke mengatakan dia akan pergi ke kota berikutnya saat ini juga, Marie akan mengikutinya tanpa sepatah kata pun.”

“Hehe, kamu benar sekali. Dia sangat mencintai kakaknya.”

“Mm-hmm. Hanya dengan bersamanya membuat Marie benar-benar bahagia, dan Myuke juga mencintai Marie. Aku bahkan tidak bisa membayangkan mereka bertengkar.”

“Mereka tidak akan pernah melakukan itu. Meskipun Myuke dulu adalah pembuat onar kecil.”

“Tunggu, benarkah?” seru Anima kaget. Myuke mewaspadai orang asing, tapi dia mencintai keluarganya dari lubuk hatinya. Anima tidak bisa membayangkan Myuke menyebabkan masalah.

“Dia tidak pernah bertengkar dengan Marie karena perbedaan usia, tapi dia sering bertengkar dengan anak-anak lain seusianya ketika ada lebih banyak anak yang tinggal di panti asuhan.”

Luina menatap punggung Myuke dengan sedikit kesedihan di matanya. Membayangkan kesedihan yang pasti dia rasakan ketika keluarganya yang ramai dan bahagia perlahan menghilang ke dalam ketiadaan menarik perasaan terdalam Anima.

“Apakah ada yang bisa aku lakukan untuknya?”

“Kamu sudah melakukannya lebih dari cukup.” Luina meremas tangan Anima. “Kamu menjadi ayah yang tidak pernah dia miliki, membawanya jalan-jalan, dan membiarkan dia sepenuhnya menikmati hari-harinya. Aku sangat berterima kasih untuk semua itu.”

“Tidak perlu. Melihat senyumnya membuatku ingin berterima kasih padamu sebagai gantinya. Tapi bisakah kita mundur sebentar? Jika kau mau, aku dapat membantumu membuat panti asuhan seramai dulu.”

Luina memerah karena tawaran Anima, mengingat kembali diskusi yang mereka lakukan setelah mengalahkan Malshan. Luina telah memastikan bahwa dia ingin memiliki anak dengan Anima, tapi dalam dua bulan sejak saat itu, tidak satu pun dari mereka yang berusaha untuk mencapai tujuan tersebut.

“Apakah kamu… menginginkan anak?”

“Aku tidak keberatan membesarkan sepasukan anak denganmu, Luina.”

Dia mengira kalau jawabannya akan menakut-nakuti Luina karena terlalu serakah, tapi yang mengejutkan, Luina menerimanya dengan senyum senang.

“Aku juga ingin punya anak denganmu, tapi…”

“Tapi apa?”

“Yah, aku belum pernah melakukan sesuatu seperti… seperti itu sebelumnya. Bagaimana jika aku membangunkan anak-anak, dan…” Pipi Luina mendidih saat dia berbagi ketakutannya dengan Anima. Itu bukanlah topik yang dimaksudkan untuk didiskusikan di luar pada pagi yang indah bersama anak-anak mereka. “Maaf, lupakan apa yang aku katakan. Aku baru saja ngelantur.”

“Tidak, kau tidak ngelantur. Penting untuk membicarakan hal-hal seperti ini. Tetap saja, aku tidak dapat menyangkal kalau itu memang agak memalukan…”

Luina terus menatap ke tanah. Tidak yakin bagaimana cara mengurangi rasa malunya, Anima diam-diam meremas balik tangan Luina.

“Maaf sudah mengganggu Tuan Anima, Nyonya Luina, tapi kita harus segera naik ke kapal feri.”

Tanpa diduga, Shaer mendarat di dekatnya dan memberi tahu mereka kalau sudah waktunya dengan suara pelan. Dia jelas berhati-hati untuk tidak mengejutkan Myuke lagi.

“Sudah waktunya?” Waktu berlalu cepat ketika seseorang sedang bersenang-senang. Anima menyadari fakta itu setelah menikahi Luina tiga bulan yang lalu. “Myuke, Marie, kita akan segera naik ke kapal!”

“Dia menatapku!”

“Aku juga! Matanya sangat besar!”

Anima berdiri sambil menunggu anak-anak, yang menceritakan kegiatan memandang sapi mereka saat berjalan ke arah orang tua mereka.

“Ayah senang kalian bersenang-senang. Sekarang, ucapkan selamat tinggal pada sapinya sebelum kita pergi ke dermaga.”

Anak-anak mengangguk dan melambai kembali ke peternakan.

“Da-dah, Nona Capi!”

“Terima kasih untuk susunya yang enak!”

Sapi-sapi itu mengangkat kepalanya sejenak sebelum kembali mengunyah rumput. Dengan gadis-gadis yang telah bersenang-senang dalam membelai dan menyaksikan sapi-sapi itu sesuka hati, mereka berangkat kembali ke pelabuhan.

“T-Tuan Anima!” Shaer, dengan panik, mendarat di samping keluarga itu saat mereka mendekati area mercusuar. “Ini bencana!”

“Apa yang terjadi?”

“Gadis itu membuat keributan di peternakan!”

“Bram?”

Shaer mengangguk.

“Tolong, ikutilah saya!”

“Pimpin jalannya.”

Meninggalkan keluarganya, Anima mengikuti Shaer ke kandang sapi, di mana dia melihat seorang gadis kecil meneriaki seorang pria. Seperti yang diberitahukan kepadanya, Bram, dengan gaun terusan yang tampak sangat mirip dengan gaun pengantin, sedang menghentak-hentakkan kaki ke tanah dengan marah.

“Berikan aku susu! Mulutku lebih kering daripada gurun, oce?!” dia mengomeli pria itu, yang mengangkat segelas susu tinggi-tinggi di atas kepalanya.

“Apa yang terjadi?”

Baik Bram dan pria itu menghela nafas lega ketika mereka melihat Anima.

“Dia tidak mau memberiku susu, oce?”

“Besar omong ketika kau mencoba untuk minum dan kabur!”

“Aku tidak kabur kemanapun! Aku sudah membayarmu banyak, oce?”

“Aku tidak menerima batu sihir!”

Anima melihat kalung bertatahkan permata putih salju di tangan Bram. Tentu saja, anting-anting hijau gelapnya masih menggantung di telinganya—dia bisa dengan mudah mengambil susunya dengan paksa jika dia mau. Namun, seperti yang dijanjikan, dia berusaha menghindari menggunakan batu Naga Giok untuk menyakiti orang lain. Shaer pasti menyadari hal yang sama, saat ekspresi muramnya memudar.

“Ayah, siapa gadis ini?” tanya Myuke dari belakang Anima. Dia dan anggota keluarganya yang lain sepertinya telah menyusulnya.

“Dia Bram.”

“Ah, ok—Tidak mungkin!” Myuke menatap tangan Bram dengan tidak percaya. “A-Apakah itu batu Pegasus?!”

“Ooh, kau hebat!” Bram berbalik, menyeringai. “Ayo, beritahukan pada orang ini betapa berharganya batu ini, oce?”

“Batu Pegasus adalah batu paling berharga dari semua batu yang bisa membuatmu terbang! Setetes mana saja sudah lebih dari cukup untuk dengan aman melintasi jarak yang sangat jauh di udara! Kau akan bisa hidup layaknya raja setidaknya selama setengah tahun jika kau menjualnya!”

“Kata yang bagus! Sekarang berikan susuku, oce?”

“Aku tidak melakukan barter di sini.”

Pria itu jelas tidak mau bernegosiasi.

“Cih. Aku tidak mengerti apa masalahmu, oce?!” Bram mengomel pada diri sendiri sementara pria itu menoleh ke arah Anima dengan ekspresi bingung.

“Kalian mengenal nona kecil ini, kan? Bagaimana kalau membantu teman?”

“Nih, biar kubayar minumannya.”

Setelah Anima membayar, pria itu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah membebaskannya dari pelanggannya yang dari neraka. Dia memberikan Bram susunya, yang dia teguk sekaligus.

“Makasih,” katanya, “Aku merasa jauh lebih baik! Sekarang aku akhirnya bisa bicara denganmu, oce?”

“Tentang apa?”

Bram telah membuat keributan besar karena dia ingin berbicara dengan Anima setelah Anima meninggalkannya saat dia langsung kembali ke keluarganya setelah pertempuran mereka. Anima siap untuk berbicara, jadi dia menatapnya, mendesak Bram untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan. Saat Anima melakukan itu, Bram menampar pipinya yang memerah dan mulai gelisah.

“Kamu yang menatapku seperti itu membuat hatiku bergejolak, oce?! Memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya membuatku gugup! Dan aku haus saat gugup, oce?!”

“Kenapa? Memangnya apa yang akan terjadi selanjutnya?”

Apakah dia datang untuk menantang Anima lagi? Keinginannya untuk bertarung seharusnya sudah hilang, tapi jika Bram berniat untuk menantang musuh yang kuat, itu akan menjelaskan kegugupannya.

Dugaannya tidak lebih dari itu. Dengan whoosh, Bram menyelinap di samping Anima dan meraih kedua tangannya.

“Kehidupan pengantin baru kita yang penuh cinta, oce?”

 


 

Anima benar-benar bingung.

“Ayah selingkuh dari Ibu?”

Myuke memelototinya. Anima sangat ingin tahu dari mana asal mulanya pembicaraan tentang pernikahan itu, dan gaun pengantinnya menunjukkan bahwa dia serius tentang semuanya, tapi dia memiliki sesuatu yang lebih penting untuk diperhatikan terlebih dahulu.

“Ayah tidak akan pernah melakukan itu.”

“Ya, sudah kuduga. Siapa juga orang waras yang mau mengejar cebol seperti dia?”

“Kamu ngomongin dirimu sendiri, cebol, oce?” Bram memelototi Myuke setelah diabaikan.

“Aku lebih besar dibandingkan denganmu!”

Menyadari bahwa Myuke sebenarnya lebih tinggi darinya, Bram mengalihkan pandangannya. Dia bertarung dalam pertarungan yang sudah pasti kalah, jadi dia perlu menemukan pendekatan yang berbeda. Beberapa saat kemudian, dia mengayunkan kepalanya kembali ke arah Myuke.

“Katakan padaku berapa umurmu, oce?”

“Umurku dua belas.”

“Kau lebih tua, dan tinggimu hanya segitu?” Bram menyeringai. “Menyedihkan, oce?”

“Kau punya nyali untuk ngoceh sembarangan dengan orang yang lebih tua! Benarkan, Ayah? Beri tahu dia!”

Mata Bram terbuka lebar.

“K-Kau putri Anima? Oce…”

“Benar.”

“J-Jadi itu membuatmu menjadi anak tiriku—”

“Apa kau gila?! Luina adalah satu-satunya ibuku, dan itu tidak akan pernah berubah!”

Pemberitahuan itu merupakan pukulan bagi Bram, sehingga dia terseok-seok ke belakang. Dengan gemetar, dia memandang Anima untuk mencari pelipur lara.

“Kamu sudah menikah? Katakan yang sebenarnya, oce?”

“Iya.”

“Bercerailah, oce?”

“Tidak akan,” kata Luina dengan ketus, mengambil kendali percakapan.

“Kenapa tidak?!” seru Bram dengan marah saat dia memelototi Luina. “Lakukan saja apa yang kubilang, oce?!”

“Tidak. Aku mencintai Anima, jadi itu tidak akan terjadi.”

“Aku juga mencintaimu, Luina.”

Anima meraih tangan Luina dan melilitkan jari-jarinya ke jari Luina. Pemandangan itu terlalu berlebihan bagi Bram, yang mulai menangis.

“Kenapa?! Kau bisa memikat seisi sekolah dengan wajah begitu, jadi kenapa kau harus bersama Anima?! Carilah orang lain saja, oce?!”

“Lalu kenapa kau ingin menikah dengan Ayah? Aku akui, dia keren sekali, tapi ada banyak pria lain di luar sana!”

“Karena mereka semua lebih lemah dariku! Aku ingin keluarga yang kuat, oce?!”

“Oh, jadi itu yang kau maksud ketika kau bilang kalau aku ‘lulus’ di akhir pertarungan kita.”

Anima akhirnya mengerti, sampai batas tertentu. Meski dia masih tidak tahu kenapa Bram menginginkan keluarga yang kuat.

“Setiap pria, semua orang yang datang untuk memberantasku, gagal. Kaulah satu-satunya yang pantas menjadi suamiku, oce?”

Bram memberikan kata-kata yang antusias dengan harapan bisa meyakinkan Anima untuk menikahinya. Anima tidak keberatan dengan perhatian itu, tapi apa yang Bram usulkan itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Hanya ada satu gadis di seluruh dunia yang bisa dia sebut sebagai istrinya, dan itu adalah Luina.

“Maaf, Tuan Anima,” sela Shaer, “tapi kita harus cepat.”

Mereka semua akan melewatkan keberangkatan kapal jika mereka menghabiskan waktu lebih lama berdiri di sana. Anima tidak bisa membiarkan hal itu; tidak saat anak-anak begitu bersemangat untuk naik kapal. Meski begitu, dia juga tidak bisa mengabaikan gadis yang menangis.

“Aku akan membayar tiketmu, jadi ceritakan semuanya padaku di kapal, oke?”

Air mata Bram langsung mengering, dan wajahnya berubah menjadi senyum gembira.

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya