[LN] Jakushou Soshage-bu no Bokura ga Kamige wo Tsukuru made Volume 1 Chapter 16 Bahasa Indonesia

 

Chapter 16 - Bunga Mekar Seiring Langkah Seseorang

 

Namun, mencari tahu akar penyebab ketidaknyamanannya tidak secara ajaib menyelesaikan masalah.

Besok adalah hari Sabtu, dan Kai keluar rumah dengan tujuan tertentu. Ada sebuah taman di sebelah sungai besar, dan sepertinya banyak keluarga yang menghabiskan akhir pekan mereka di sana. Dia berjalan lurus melewati taman dan menuju pusat konvensi serbaguna yang dibangun kota untuk mempromosikan pengembangan industri. Berbagai macam acara diadakan di sana, dan menurut akun media sosial yang Kai temukan selama penelitiannya, ada pasar doujin besar yang diselenggarakan hari ini.

Tidak seperti taman, aula besar yang dimasuki Kai dipenuhi dengan antusiasme yang tenang. Sejumlah meja panjang ditata dengan doujinshi berjejer di setiap stan. Dia pikir dia akan mengganggu orang jika dia datang terlalu awal, jadi dia tiba sekitar dua jam sebelum akhir acara, dan sebagai hasilnya, dia tidak perlu mengarungi kerumunan orang untuk bergerak.

Dia telah menandai stan tertentu sebelum datang, dan ketika dia berjalan ke sana, seorang gadis sedang berbicara dengan sekelompok peserta. Kai menunggu sebentar sampai mereka menyelesaikan pembelian mereka, dan kemudian mendekat.

Gadis itu mengenakan rok hitam panjang dan jaket yang menutupi bahunya; seandainya dia memakainya dengan benar, lengan jaketnya pasti sudah melewati siku blusnya. Mungkin karena fakta bahwa kainnya lebih tipis dari blazer seragamnya yang biasa, payudaranya yang besar terlihat sangat menonjol, dan headphone putih yang familiar sepertinya diletakkan di atasnya.

Menyadari kehadiran Kai, dia membuat wajah paling masam yang dia bisa untuk menunjukkan mood-nya yang sangat buruk. “Dan kenapa kau ada di sini?”

“Kuroba-san,” sapa Kai dengan sopan. “Aku memeriksa akun di blog senimu, dan dikatakan bahwa kamu berpartisipasi dalam acara hari ini... Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

“Yah, aku tidak mau,” balasnya.

“Tapi aku mau.” Situasi telah berubah menjadi pertandingan saling menatap, tapi Kai tidak boleh mundur sekarang.

“Kau sadar kalau kau mengganggu jika kau berdiri di sini, kan?” tanyanya dengan tajam.

“Kalau begitu aku akan menunggu di luar sampai kamu selesai.”

“...Ya ampun, lakukanlah sesukamu.”

Memang, stan Eru cukup populer, dan di tengah percakapan mereka, seseorang datang untuk melihat sampelnya. Kai berpikir bahwa itu wajar mengingat kualitas gambarnya. Sepertinya Eru masih belum mulai mengambil pekerjaan profesional, tapi keterampilan Eru sudah pada tingkat itu. Bagaimanapun juga, adalah fakta bahwa dia akan menghalangi jalan kalau tetap di sini.

“Ah,” katanya.

“Apa?” kata Eru. “Kau masih ada urusan denganku?”

“Tolong semuanya masing-masing satu.” Kai membeli masing-masing satu dari semua buku yang Eru jual saat dia meliriknya, dan kemudian meninggalkan gedung. Untuk menghabiskan waktu dua jam terakhir sampai acara berakhir, dia kembali ke taman yang dia lewati dalam perjalanan ke sana. Dia menghabiskan waktunya membolak-balikkan buku-bukunya di bangku dan berjalan di sekitar taman selama satu jam, dan kemudian menuju ke pusat konvensi lagi.

Namun, bukannya mendekati pintu depan, Kai malah berjalan ke pintu belakang. Setelah sekitar lima belas menit, tentu saja, Eru keluar dari dalam pintu; dia jelas berencana menyelinap pulang.

Matanya menyipit kesal saat dia berkata, “Ya ampun, apa kau penguntit?”

“Aku punya sesuatu yang ingin aku bicarakan,” Kai mengingatkannya.

“Aku yakin aku sudah bilang kalau tidak ada yang perlu kita bicarakan!” Eru mengabaikannya dan mulai berjalan pergi, tapi Kai menempel di sampingnya dan menyamai langkahnya. Dari sudut pandang pihak ketiga, dia mungkin benar-benar terlihat seperti penguntit (seperti yang dikatakan Eru), tapi Kai tidak peduli bagaimana orang lain melihatnya.

Sebuah bus berhenti tepat di depan mereka, dan Kai mengikutinya saat Eru naik. Eru duduk di kursi dua orang dan meletakkan barang-barangnya di sampingnya sehingga Kai tidak bisa duduk. Kai tidak punya waktu untuk terkejut dengan tindakan Eru. Kai mengambil barang-barangnya dan meletakkannya di pangkuan Eru saat Kai tanpa malu duduk di sampingnya.

“Ini soal Nanaka-san,” kata Kai padanya.

Begitu dia menyebutkan namanya, tatapan Eru menjadi senyap. Jangan salah, itu bukan tatapan yang tenang; matanya seperti nyala api biru-putih, menyala dengan diam amarah.

“Ini semua salahmu,” kata Eru menuduh.

“Itu... mungkin benar,” ucap Kai mengakui.

“Aku yakin aku sudah bilang kalau kau hanya akan membuat Nanaka-ku sayang menangis lagi dengan caramu melakukan berbagai hal.” Untuk menunjukkan betapa enggannya Eru meladeninya, Eru mengibaskan pandangannya ke luar jendela dan memakai headphone yang menempel di lehernya.

Jika suara tidak berhasil, pikir Kai, maka dia harus mencoba penglihatan. Dia menyodorkan memo berisikan pesan, ‘Aku ingin bicara,’ tertulis di atasnya ke bidang pandang Eru, dan membiarkannya di sana saat Eru dengan keras mengabaikannya.

Bus melewati beberapa lampu lalu lintas. Beberapa saat sebelum mereka tiba di perhentian terakhir, Eru akhirnya menyerah dan melepas headphone-nya sambil menghela nafas berat.

Dia mengeluarkan satu kartu nama dari dompetnya. Di atasnya ada nama perusahaan penerbit yang begitu besar sehingga tidak akan ada orang yang tidak kenal perusahaan itu.

“Aku telah mendapatkan permintaan menggambar untuk novel ringan sejak dulu,” katanya. “Sampai sekarang, aku telah menolak tawaran mereka, mengatakan bahwa aku memiliki kegiatan klub untuk diprioritaskan… tapi sekarang, aku telah memutuskan untuk menerimanya. Jadi, aku sudah selesai dengan klub. Itu tidak ada hubungannya lagi denganku.”

“Dan... apakah kamu benar-benar tak masalah pada ‘selesai dengan itu’?” tanya Kai.

Eru memelototinya, dan Kai mengira akan ditinju kapan saja. Tapi sebaliknya, bus tiba di Stasiun Niigata dan Eru melompat tegak dari kursinya dengan tenaga yang cukup untuk menjatuhkan Kai. Dia dengan cepat melangkah pergi melewati stasiun, mengabaikan Kai sepanjang waktu.

“Kuroba-san, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu!” Mereka sebetulnya berlari saat Kai berada di sampingnya sekali lagi. “Tolong, ajari Nanaka-san cara menggambar!”

“....Hah?” Eru berhenti melangkah.

Kai berjalan sedikit melewatinya dan berbalik untuk berbicara tatap muka. “Aku ingin memintamu untuk mengajarinya menggambar sehingga dia bisa menjadi ilustrator yang lebih baik,” jelasnya.

Sejak membicarakannya dengan Misako kemarin, ini adalah satu-satunya solusi yang bisa dipikirkan Kai. Tidak ada perancang mana pun yang akan langsung dilempar ke posisi penuh tanggung jawab sendirian; biasanya seorang perancang senior akan membayangi dan mengajari mereka sampai mereka cukup terampil untuk bekerja sendiri. Ajaran Akane telah membentuk Kai menjadi perancang yang layak.

Programmer bekerja dengan prinsip yang sama. Seorang programmer junior akan melakukan serangkaian tinjauan kode bersama senior mereka sampai mereka menjadi bagian penuh dari tim, dia tahu itu. Seharusnya tidak ada masalah dengan ilustrator yang mengikuti jalan yang sama.

“Nanaka... adalah seorang perancang sekarang,” kata Eru pahit.

“Kita memiliki perancang lain sekarang,” kata Kai. “Aku ada di sini.”

“Apakah dia bilang padamu kalau dia ingin menjadi ilustrator? Dia tidak bilang begitu, kan?”

“Yah, mungkin tidak sekarang, tapi…”

“...Kenapa pula aku harus bekerja sama untuk seseorang yang bahkan tidak mau melakukannya?” tanya Eru.

“Itu... itu salah.” Mustahil itu benar. “Dia hanya tidak bisa mengatakannya! Memangnya alasan apa lagi yang bisa menjelaskan kenapa dia menangis  selain ‘Aku ingin menggambar’?!” tanya Kai.

“...” Eru tampak seperti ingin membantahnya, tapi pada saat berikutnya, dia berbalik dan berlari.

Kai bergegas mengejarnya. Mereka berlari melewati lampu lalu lintas dan jembatan penyeberangan, dan berbelok di sudut sebuah kantor pos besar; namun Eru terus berlari, dan Kai mengejarnya dengan seluruh tenaganya.

“Astaga, berapa lama kau berencana mengikutiku?!” teriak Eru balik padanya.

“Sampai aku mendapat jawaban!” teriak Kai balik.

“Aku sudah hampir sampai rumah!”

“Kalau begitu aku akan menunggu di luar!”

“Dengarkan ini!”

Setelah berlari melalui daerah perumahan selama beberapa menit, Eru tiba-tiba berhenti. Kai mengira Eru telah sampai ke rumahnya sendiri, tapi segera terlihat bahwa bukan begitu. Matahari terbenam tepat di depan mereka dan tidak ada yang menghalangi bidang pandangnya dari membakar mata Kai. Di dunia yang berapi-api dan diterangi cahaya latar ini, satu bayangan manusia terbentang ke arah mereka.

Di tengah jalan, di depan sebuah rumah dengan papan nama bertuliskan, ‘Aoi,’ Nanaka berdiri kebingungan sambil membawa kantong plastik di tangannya.

“...Apa yang kalian berdua sedang bicarakan?” tanya Nanaka, jelas bingung.

 

“Per… misi,” kata Kai tidak yakin.

“Aku harus buru-buru membereskan semuanya, jadi maaf kalau agak berantakan,” kata Nanaka pada mereka.

Meski demikian, menurut Kai kamarnya bagus dan rapi. Ada satu tempat tidur berukuran twin size, dua rak buku, dan meja dengan laptop di atasnya.

“.....Nanaka, mana tabletmu?” tanya Eru.

“Oh… Um, aku menyimpannya saat aku baru saja membersihkannya,” ungkap Nanaka malu-malu.

Eru mendengus kesal saat dia melotot ke arah lemari yang ditunjuk Nanaka. Eru duduk di ranjang seperti kamarnya sendiri, dan Kai dengan canggung membeku ketika dia duduk di karpet biru.

Kai tidak perlu mengecek ulang untuk mengetahui bahwa ini adalah kali pertamanya dia berada di kamar perempuan. Dia menyadari lilin aromatik kecil ketika dia melirik meja Nanaka, dan memastikan bahwa bau yang enak itu bukan hanya perasaannya saja; ini benar-benar berbeda dari kamar kakaknya.

Nanaka menarik kursi dari mejanya dan duduk. Suasananya tegang saat Kai bertanya-tanya siapa yang akan memecah keheningan terlebih dahulu, sampai, “Si dungu ini punya nyali untuk bilang padaku bahwa aku harus mengajarimu cara menggambar,” kata Eru, membuka percakapan.

“Apa maksudnya?” tanya Nanaka.

Kai menjelaskan jalan berpikirnya, selangkah demi selangkah. Percakapan yang dia lakukan dengan Misako kemarin, dan hal-hal yang dia sadari—atau lebih tepatnya, ingat—selama itu. Soal menjadi buruk, gagal, dan dikritik itu hal yang wajar. Begitulah, jika Nanaka benar-benar ingin menggambar, Kai ingin agar Nanaka bekerja sebagai ilustrator bersama Eru. Dan akhirnya, soal bagaimana hal itu membuatnya meminta kerjasama Eru.

Setelah diam mendengarkan penjelasan Kai, Nanaka meletakkan tangannya di dada dan menggelengkan kepala. “Terima kasih.” katanya sedih. “Tapi, aku sudah selesai dengan itu sekarang.”

“Selesai?”

“Kupikir… aku akan menyerah menjadi ilustrator,” ungkap Nanaka.

Keheningan dari kerikil yang dilemparkan ke dalam air yang tenang memenuhi ruangan setelah pengakuannya. Tapi tentu saja, keheningan seperti itu hanya bertahan selama kerikil itu tetap ada di udara. Saat kerikil itu menembus permukaan air, suara keras pasti akan terdengar, dan air yang sunyi pasti akan runtuh menjadi serangkaian gelombang.

“Apakah itu kesimpulan akhirmu?” tanya Eru, segera bangkit berdiri. Berbeda dengan nada suaranya yang tenang, dia gemetar dengan tangan mengepal.

Nanaka mengalihkan pandangannya dan mengangguk kecil.

“Kamu tidak keberatan jika aku keluar dari klub?” tanya Eru.

“...Eru, kamu mendapatkan permintaan kerja dari penerbit besar, kan? Beberapa waktu lalu, aku melihat pesan di email user support MiSt,” kata Nanaka. “Ada balasan yang mengatakan kalau kamu tidak bisa karena aktivitas klubmu, tapi mungkin kamu bisa menanyakan mereka lagi.”

“A-Aku tidak bertanya untuk diriku sendiri, sayang!” ujar Eru.

“Ditambah lagi, aku… aku, yah, sudah kelas dua. Aku harus segera mulai serius belajar untuk ujian masuk,” ungkap Nanaka. “Eru, tidak seperti kamu dan Ah-chan... serta Kai-kun, aku tidak punya kesempatan untuk menjadi pro. Kupikir, mungkin ini waktu yang tepat untukku... Mungkin sudah waktunya untuk berhenti bermimpi.”

Nanaka melihat ke bawah sepanjang waktu, menghubungkan kata-kata satu demi satu seolah-olah untuk meyakinkan dirinya sendiri. “Jadi… aku sudah selesai. Maaf, semuanya. Ah-chan juga... Aku harus meminta maaf padanya dengan benar. Setelah Eru pergi, klub tidak akan ada lagi.”

“Sayang, apa kamu serius?”

“.......Ya.”

“Benar-benar serius?” tanya Eru dengan tegas. “Apakah itu benar-benar yang kamu rasakan?”

“Maaf…. Aku tidak bisa menepati janji kita,” kata Nanaka dengan malu.

“Maaf, maaf, maaf! Apa kamu benar-benar berpikir begitu?!” teriak Eru.

“Gh! Kuroba-san!” omel Kai. Wajah Eru merah padam saat dia menyergap kerah Nanaka, dan Kai hampir tidak berhasil menahannya.

Kai mengerti kenapa Eru marah; jelas dari ekspresi wajahnya bahwa Nanaka tidak jujur pada diri sendiri. Tapi, menunjukkan kebohongan itu pada saat ini tidak akan membuat Nanaka mengakuinya. Bahkan jika itu bohong, bahkan jika itu bukan kebenarannya, Nanaka ingin menyingkirkan dan mengakhiri semuanya di sini.

“Aku muak melihatmu seperti ini,” kata Eru, dengan dingin menghina temannya.

“...Tidak… masalah,” kata Nanaka terbata-bata.

“Oh, astaganaga! Baiklah, aku tidak akan membiarkanmu memegang bahkan bagian terkecil dari keterikatan semua ini!” Momentum di balik amukan Eru membawanya ke lemari. “Kau tidak membutuhkan tabletmu lagi kan! Aku akan menghancurkannya, di sini sekarang juga, sehingga kau tidak akan pernah berpikir untuk menggambar lagi!”

“Ah, tidak! Jangan dibu—”

Saat Eru membuka lemari... terjadi salju longsor.

Segunung kertas gambar yang telah dimasukkan ke dalam lemari tiba-tiba keluar dari ruang tertutupnya dan masuk ke dalam kamar. Ratusan, ribuan—tidak, puluhan ribu kertas gambar adalah akar dari salju longsor tersebut. Satu-satunya perbedaan yang kertas itu miliki dari salju adalah kenyataan bahwa kertas-kertas itu tidak putih bersih.

“...Apa itu...”

Setiap kertas memiliki tanggal yang tertulis di atasnya.

Kai mengambil selembar kertas yang telah meluncur keluar dan mendarat di kakinya. Kertas itu bertanggalkan di hari-hari yang dia habiskan untuk menulis dokumen spesifikasi bersama Nanaka. Gambar itu dibuat pada hari Nanaka begadang, membaca buku teks untuk menulis dokumennya sendiri.

Dia mengambil selembar kertas lagi. Itu adalah gambar karakter MiSt, bersama dengan tanggal hari ini. Nanaka masih menggambar, bahkan sampai hari ini.

“Kamu masih menggambar sampai hari ini…” kata Kai. “Kenapa... Kenapa kamu bilang ingin berhenti?” tanya Kai.

Tidak ada tanggapan. Nanaka tampak gila ketika dia terhuyung-huyung dan duduk di atas tumpukan kertas yang tumpah. Dia mengambil satu lembar pada satu waktu, hanya untuk melemparkannya ke lantai lagi. “Ahaha,” dia terkekeh dingin, tanpa emosi dan membenamkan wajah di tangannya. 

 


 

“Karena... tidak bagus,” gumamnya.

“...Nanaka-san?”

“Aku… tidak bagus. Tidak peduli berapa banyak aku menggambar, tidak peduli berapa banyak aku berlatih, aku tidak menjadi lebih baik. Dulu, aku lebih baik dari Eru, tapi sekarang, aku tidak bisa menggambar dengan baik... Aku tidak bisa menggambar,” kata Nanaka pada mereka dengan menyedihkan. “Aku menggambar dan menggambar dan menggambar dan menggambar dan menggambar... tapi aku tidak menjadi lebih baik! Apa lagi yang harus aku lakukan?! Akankah aku menjadi lebih baik jika seseorang mengajariku, meskipun aku sudah berlatih sebanyak ini?! Aku tidak perlu mendengar dari orang lain betapa payahnya aku! Aku tahu itu lebih baik dari siapa pun! Kalian dapat memberi tahuku untuk berlatih lebih giat, tapi tidak ada lagi waktu yang dapat aku gunakan! Apa yang kalian ingin untuk aku lakukan agar menjadi lebih baik?! Jawabannya tidak ada! Aku tidak akan menjadi lebih baik...! Aku... Aku tidak bagus lagi!”

Nanaka mengangkat kepalanya untuk menghadap mereka, dan matanya menembus lurus ke arah Kai. Air mata yang mengalir dari matanya jatuh ke lapisan kertas dan berubah menjadi serangkaian noda bulat.

“Semua ini, aku sengaja menggambar semua ini di atas kertas. Aku punya tablet gambar, tapi... jika aku tidak meninggalkan semacam bukti pada diriku sendiri bahwa aku sudah berusaha... Aku menjadi sangat insecure sehingga aku tidak bisa melangkah maju,” katanya. “Tapi itu... semua itu sudah berlalu sekarang... maafkan aku... maafkan aku... Maafkan aku. Aku tidak bisa seperti Eru, aku tidak bisa seperti Ah-chan, aku tidak bisa seperti Kai-kun—aku tidak bisa menjadi apa-apa... Maafkan aku.”

Tidak ada lagi air mata di mata Nanaka, tapi melihat ekspresi hampa di wajahnya lebih menyakitkan daripada melihatnya menangis. Eru tak bisa berkata-kata dan membeku di tempat.

Meski begitu, Kai menangkap kata-kata yang Nanaka lontarkan dan menggelengkan kepalanya. “...Kau salah,” kata Kai.

Kau salah, pikir Kai dalam hati. Kau benar-benar salah. Aku tidak datang ke sini untuk membuatmu berkata, ‘Maafkan aku.’

“Aku mungkin tidak bisa bilang kalau menyerah itu salah,” kata Kai mengakui. “Aku tidak dalam posisi untuk mengatakan hal seperti itu.” Justru karena sejak awal dia telah menyerah dan melarikan diri itulah, dia ada di sini sekarang. “Saat aku di Tsukigase dulu, itu jauh lebih keras daripada di sini, dan ada begitu banyak orang... Ada begitu banyak orang dengan bakat luar biasa. Tapi dengan semua konflik internal dan kritik dari luar... ada banyak yang hancur di bawah tekanan dan pergi. Beberapa pergi ke berbagai jenis klub, yang lain memutuskan untuk melanjutkan mengembangkan game sendiri... Ada juga beberapa orang yang berhenti melakukan hal-hal seperti itu sepenuhnya.”

“...Begitu ya. Itu masuk akal,” gumam Nanaka pada diri sendiri. “Kurasa... aku juga seperti itu.”

“Tapi!” seru Kai. Saat ini, dia ada di sini lagi, kembali ke klub social game. Jika dia sendirian, dia tidak akan berada di sini: dia tahu itu dengan pasti. Dia akan sama seperti saat dia pindah, menjalani hari-hari menyedihkannya sendirian. Dia tidak akan menyusahkan siapa pun, tidak akan tersakiti, tidak akan dikhianati, tidak akan kelelahan—dia tidak akan memiliki apa-apa.

Tapi meski begitu, Nanaka membawanya ke sini hari itu. Jadi, jika Nanaka mengurung diri di kamarnya sendiri dan merasa seperti dia tidak bisa berjalan lagi... kali ini, giliran Kai untuk menariknya dan membawanya pergi.

“Aku ingin membuat game bersamamu, Nanaka-san!” Kai tidak menunggu jawabannya sembari mulai mengobrak-abrik kertas yang tersebar di lantai. Dia memastikan tanggal di lembarannya dan mengambil beberapa gambar. “Kuroba-san! Lihat gambar ini!”

 “Huh?” kata Eru dengan tegang. “A-Apa maumu?”

“Cepatlah! Lihat!” desak Kai. “Apa yang salah dengan gambar ini?! Katakan padaku!”

“Bagian mana dari hal ini yang penting sekarang?!” tanya Eru.

“Aku bertanya padamu karena ini penting! Cepatlah!”

Eru sedikit tertekan saat dia mengambil kertas itu. “...Sederhananya, dia tidak mengerti anatomi manusia,” kata Eru. “Ada bagian yang benar-benar tidak akan melengkung seperti ini jika kau mengingat struktur sendi dan otot, sehingga seluruh bagiannya terlihat tidak alami.”

“Oke, dan selanjutnya yang ini!” kata Kai, menyodorkan gambar lain pada Eru.

“Yang ini... Bentuk badannya bagus, tapi perspektifnya aneh. Komposisi ini sangat bergantung pada kedalaman, jadi perspektif yang ceroboh membuat keseluruhan ilustrasinya terasa datar dan tidak menarik.”

“Selanjutnya!”

“...Yang ini tidak buruk dalam hal anatomi dan perspektif, tapi komposisi dasar gambarnya tidak sesuai dengan potongannya. Ini seharusnya tidak digambar dalam bentuk O, melainkan bentuk S untuk menonjolkan kesan mengalir.”

“Lalu, selanjutnya—”

“Hentikan!” teriak Nanaka, mencengkeram tangan Kai erat-erat saat Kai meraih kertas lain.

“Aku tidak akan berhenti! Aku tidak akan membiarkanmu berhenti...!” Kai menunjukkan ketiga gambar itu sehingga Nanaka bisa melihatnya dengan benar. Nanaka membuang muka kesakitan, seolah-olah dia tidak lagi mau melihat karya seninya sendiri. “Nanaka-san,” kata Kai padanya, “gambar-gambar ini diurutkan dari yang terlama hingga yang terbaru.”

“... Jadi, memangnya kenapa?”

“Kuroba-san, ketika kamu melihat ini—bukankah kamu mengatakan yang lebih baru telah membaik?”

Nanaka mengangkat kepalanya mendengar kata-kata Kai. Di ujung tatapannya yang takut-takut, Eru dalam diam—tapi tentu saja—mengangguk. “...Itu jadi lebih baik,” katanya kepada Nanaka. “Setelah menggambar sebanyak ini... Sayangku, tidak mungkin kamu tidak menjadi lebih baik.”

Kai menatap jejak panjang berlapis-lapis di kaki Nanaka. Bahkan jika Nanaka masih payah dalam menggambar, itu bukan berarti dia tidak berkembang; bahkan dengan mata Kai yang amatiran pun, dia bisa menyadarinya. Kai tahu pasti bahwa Eru akan menyadarinya juga.

Memang fakta kalau gambar Nanaka tidaklah luar biasa spektakuler. Jelas bagi siapa saja yang melihatnya bahwa karyanya lebih hambar dibandingkan karya Eru; tidak ada yang bisa mereka lakukan soal itu. Seperti dalam perlombaan antara kura-kura dan kelinci, ada yang hanya bisa melangkah kecil, dan ada yang bisa terbang tinggi di langit seperti burung. Tentunya itulah yang disebut orang-orang sebagai ‘bakat’. Namun, Kai tidak akan membiarkan langkah kecil dari kerja keras dianggap menjadi tidak berarti.

“A... Aku…” Nanaka tidak bisa mengeluarkan kata-kata lebih dari itu. Dia menoleh ke kanan, lalu ke kiri, saat dia mengamati ruangan: setiap sudut kamar dipenuhi dengan ilustrasinya. Beberapa lembar kertas memiliki satu gambar penuh dengan warna, dan yang lainnya adalah kolase dari banyak karakter. Masing-masing kertas adalah bukti dari banyak langkah yang dia ambil untuk mencapai titik ini.

Seolah ingin menghapus aliran air mata Nanaka, Eru menariknya mendekat, dan isak tangis temannya adalah satu-satunya suara yang memenuhi kamar yang sunyi.

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya