[LN] Jakushou Soshage-bu no Bokura ga Kamige wo Tsukuru made Volume 1 Chapter 15 Bahasa Indonesia
Chapter 15 - Sebelum dan Sesudah Mimpi
Nanaka membeku dalam keadaan syok sampai Kai mencoba berbicara dengannya, yang kemudian mengejar Eru.
Kai mencoba mengikutinya, tapi berhenti ketika Aya berkata, “Senpai, kamu sebaiknya tidak mengejar mereka.” Dia bicara dengan nada santai, tapi jelas bahwa dia tidak mengatakan itu dengan setengah hati. Dia memiliki semacam kepercayaan diri di balik kata-katanya.
“Kenapa?” tanya Kai.
“Mm...” Aya mengayun-ayunkan kepalanya ke depan dan ke belakang sambil merenungkan isi pikirannya. “Karena itu adalah masalah mereka. Aku dan kamu tidak ada hubungannya, senpai. Tapi, kurasa kamu bisa menganggap kalau kamu-lah pemicu atas apa yang terjadi ini, sih.” Karena Kai tidak sepenuhnya tidak terlibat, Aya menjelaskan, dia kesulitan untuk memutuskan apakah akan memberitahunya soal apa yang sedang terjadi atau tidak.
“Jika aku adalah salah satu penyebab kenapa semuanya jadi seperti ini,” desak Kai sebagai balasan, “kalau begitu, aku ingin tahu.” Tidak perlu ragu. Pemandangan Nanaka yang tersungkur di lantai, seperti bunga yang akan hancur, masih terngiang-ngiang di benaknya. Tidak mungkin dia bisa berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa.
“Kurasa aku tidak punya pilihan lain,” kata Aya. Dia tampak bimbang, tapi ada nada bahagia dalam suaranya. “Jika kamu mau aku beritahu,” lanjutnya, “maka, kamu harus berjanji satu hal padaku.”
“Apa itu?”
“Senpai, aku ingin kamu menyelesaikan semua masalah ini.”
“...Aku mengerti,” kata Kai dengan anggukan, terlepas dari ketidakpastian apakah ada yang bisa dia lakukan atau tidak.
“Woah, jawaban cepat,” kata Aya. “Yah, kalau begini terus, lagi-lagi kita akan memiliki kurang dari empat anggota dan klub kita akan dibubarkan, jadi kurasa itu masuk akal.”
Seperti yang dikatakan Aya; tidak masalah apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan Kai. Eru telah memberikan formulir pengunduran diri. Jika itu diserahkan, klub social game tidak akan memiliki cukup anggota dan akan berisiko dibubarkan lagi. Kecuali ada murid pindahan lain seperti Kai, mereka harus menyeret seseorang keluar dari klub lain. Itu bukan solusi yang realistis. Terlepas dari semua kemengkinan itu, dia harus melakukan sesuatu.
“Senpai, tunggu bentar,” kata Aya, menyalakan komputer yang selalu dia gunakan. Kemudian dia membuka folder gabungan yang berisi aset seni yang berkaitan dengan MiSt. MiSt memiliki sepuluh karakter, dengan setiap karakter memiliki sprite* dasar. Folder yang dia buka berisi ilustrasi itu.
(TL Note: Sprite: dalam grafika komputer, sprite adalah gambar bitmap dua dimensi yang jadi komponen dalam layar yang lebih besar. Sprite banyak digunakan dalam permainan video dua dimensi untuk menggambarkan objek seperti tokoh karakter yang dapat bergerak. atau benda-benda lainnya.)
“Inilah masalahnya,” katanya saat kursor memilih folder kedua, yang ada di dalam folder saat ini. Foldernya bernama ‘Sprite_Lama.’ Folder ini adalah rumah bagi gambar lima karakter. Itu tampaknya adalah karakter yang ada di MiSt, tapi... terus terang saja, kualitasnya jauh di bawah hasil akhir karya Eru. Kai berspekulasi dari nama folder, kalau ini adalah desain asli yang digambar ulang oleh Eru ke dalam karakter yang ada di dalam game sekarang. Setelah dia selesai, gambar-gambar ini disisihkan.
“...Apa ini?” tanya Kai.
“Kurasa kamu tidak perlu bertanya,” jawab Aya. “Nana-sen lah yang menggambar ini.”
Kai sudah mengira begitu ketika dia melihat ilustrasinya, tapi mendengar bahwa tebakannya benar membuatnya tak bisa berkata-kata.
“Awalnya, mereka berdua sama-sama ilustrator di klub ini,” lanjut Aya. “Kudengar kalau mereka ingin membuat game dengan kedua gambar mereka ada di dalamnya sejak mereka masih kecil, dan mereka bergabung dengan klub social game di SMA untuk mewujudkan mimpi itu. Dari sepuluh karakter dalam game, setengahnya digambar oleh Kuroba dan setengahnya lagi oleh Nana-sen. Tapi, yah…” Aya berhenti sejenak dan menghela nafas. “Saat gambar Kuroba disejajarkan dengan gambar Nana-sen... Aku yakin kamu bisa membayangkan reaksi seperti apa yang diberikan para pengguna game.”
“...Dia dicaci?” tebak Kai.
“Kupikir dia akan baik-baik saja jika dia hanya dicaci dan diberitahu bahwa dia payah,” kata Aya. “Tapi kami mendapat pertanyaan seperti, ‘Apa kalian salah mengunggah ilustrasi?’ atau ‘Kenapa setengah karakternya kayak karya yang belum selesai?’ Orang-orang memperlakukan karyanya seperti bug yang perlu diperbaiki. Aku yakin kamu bisa menebaknya, tapi Nana-sen benar-benar harus melihat karyanya dihapus sebagai sebuah kesalahan.”
Itu tidak dalam skala bagus atau jelek; Karya seni Nanaka telah menjadi produk cacat. Membayangkannya saja sudah cukup untuk memasang ragum ke hati Kai dan menggilingnya menjadi debu. Dia tanpa sadar mencengkeram dada kemejanya, dan sensasi meremas kain di tangannya hanya memperburuk suasana hatinya.
Dalam social game—dan terutama dalam game seperti MiSt—kualitas ilustrasi adalah yang paling penting. Secara khusus, MiSt tidak memiliki tingkat kelangkaan karakter. Kesepuluh karakter ini sudah tersedia dari awal game, dan alur game berputar di sekitar pengumpulan equipment untuk mereka pakai di atas panggung.
Jadi gambar Eru dan gambar Nanaka dipaksa untuk disejajarkan di samping satu sama lain. Sebelumnya, meskipun hanya melihatnya sesaat, Kai merasa bahwa gambar Nanaka buruk. Itu adalah pengamatannya yang blak-blakan dari membandingkan karya keduanya. Dalam hal kelangkaan, itu akan menjadi perbedaan antara SSR dan R.
Dari sudut pandang pengguna, tidak peduli seberapa keras ilustratornya bekerja. Jika mereka disejajarkan bersama, mereka akan dinilai bersama; sampah akan dibuang sebagai sampah. Itu bukan sesuatu yang bisa disalahkan pada pengguna. Sebaliknya, manajemen seharusnya tidak pernah membiarkan situasi itu terjadi.
“Akhirnya Nana-sen patah hati dan mundur dari menggambar,” simpul Aya. “Kuroba menggambar ulang karakter ini, dan kami merilis ulang karakter-karakter itu.”
“...Dan Nanaka menjadi perancang,” kata Kai perlahan.
“Itu benar,” ujar Aya, “Tapi kami sudah mencoba menghentikannya, kok. Nana-sen memutuskan itu sendiri, dengan berkata, ‘Aku akan menyebabkan masalah bagi semua orang lagi jika aku terus mencoba menggambar.’ Tapi tidak mungkin Kuroba akan setuju ketika mereka berjanji untuk menggambar bersama dan... itu mengarah pada apa yang kamu lihat sebelumnya.”
Aya berhenti sejenak, mengulurkan tangan untuk mengambil cangkirnya. Dia menempelkan bibirnya ke tepi cangkir dan memiringkannya, tapi kemudian sadar bahwa cangkirnya kosong dan meletakkannya kembali di atas meja dengan ekspresi tidak puas. “Hanya itu yang bisa aku katakan padamu,” tutup Aya.
Sambil mendengarkan Aya berbicara, Kai mengingat kembali hari dimana Nanaka menangis. Kai memuji gambarnya, mengatakan itu lebih dari cukup untuk menjadi senjata seorang perancang.
Dia bermaksud memuji Nanaka. Kai tidak pernah mengira bahwa kata-kata itu akan menjadi jarum yang panjang, jauh di lubuk hatinya, yang menusuknya dari dalam.
◇
Setelah beberapa saat, Nanaka kembali ke ruang klub.
Di tangannya ada formulir pengunduran diri Eru. Kai tahu dari ekspresi cemberut Nanaka bahwa dia gagal meyakinkan Eru.
Tatapan Nanaka kesana kemari di ruang antara Kai dan Aya saat dia tersenyum lemah.
“...Maaf, teman-teman. Kita akhirnya berhasil memenangkan kompetisi, tapi sekarang…”
“Tapi aku tidak keberatan.” Aya mengangkat bahunya secara berlebihan untuk menekankan betapa kecilnya masalah itu baginya. “Jika kamu menyimpan formulir itu, dia hanya akan menjadi anggota hantu. Tidak seorang pun di luar klub akan tahu bahwa kita hanya memiliki tiga anggota asli.”
“Itu tidak ada artinya!” Nanaka mencengkeram ujung roknya dan memeras kata-katanya. Kai belum pernah melihat Nanaka secara terang-terangan begitu emosional sebelumnya. “...Itu tidak ada artinya kecuali semuanya ada di sini. Tolong, jangan bilang begitu.”
“‘Semuanya’?” Salah satu sudut mulut Aya terangkat menjadi seringai, dan dia memilah kata-katanya. Bagi Kai, sepertinya Aya sengaja mencoba membuat Nanaka kesal. “Saat kamu bilang ‘semuanya,’ apakah maksudnya kamu dan Kuroba, Nana-sen?”
“Bukan itu maksudku!” bantah Nanaka.
“Tapi jika Kuroba pergi, kamu bisa merentangkan sayapmu dan menjadi ilustrator kami lagi, lho?” saran Aya. “Perbedaan dalam keahlian kalian tidaklah masalah, karena kamu akan menjadi satu-satunya ilustrator yang kami miliki. Apakah kamu yakin ingin membiarkan kesempatan seperti ini le—”
Plaak. Itu adalah suara yang tumpul dan seperti letusan—seperti suara saat membuka sekantong keripik—yang bergema di seluruh ruangan saat telapak tangan kanan Nanaka menempel ke pipi kiri Aya. Wajah Aya menoleh ke samping karena kekuatan benturannya, dan pipinya mulai memerah.
Aya menghela nafas. “Menggunakan kekerasan hanya karena aku mengatakan hal yang benar? Aku benar-benar tidak menyangka, Nana-sen.”
“Kamu tidak benar sama sekali!” teriak Nanaka.
“H-Hei, kalian berdua!” Kai berusaha untuk menghentikan perkelahian tapi tidak berhasil.
“Sementara kita bertiga berusaha dalam kompetisi, kamu juga membiarkan Kuroba melakukan apa pun yang dia inginkan saat itu,” beritahu Aya. “Itulah yang kita sebut ‘pilih kasih,’ kan?”
“Itu… Kali ini kita bisa melakukannya dengan kita bertiga, jadi tidak apa-apa,” balas Nanaka. “Terus, Eru sedikit—dia memiliki caranya sendiri dalam melakukan sesuatu.”
“Ohhh, begitu ya? Jadi kau mau bilang kalau tidak ada yang bisa kau lakukan. Jika dia membantu sepanjang waktu, Nana-sen, kau tidak akan membuat semua materi UI itu sendiri,” kata Aya. “Bukankah menurutmu kita bisa membuat lebih banyak peningkatan? Kurasa itu tidak salah jika kau bisa mengatakan ‘semuanya’ ada di sini setelah semua itu.” Di balik pernyataan Aya terselubung, Kau tidak bisa mengatakannya, kan?
“Nana-sen,” tanya Aya selanjutnya, “apa yang ingin kau lakukan?”
“Apa yang ingin... aku lakukan?”
“Apakah kamu ingin membuat social game?” desak Aya. “Bukan itu, kan? Pada awalnya, yang kau inginkan hanyalah menggambar untuk sebuah game, kan? Bersama Kuroba. Kau tidak ingin menjadi perancang. Sekarang, kau masih ingin menjadi ilustrator, kan?”
“...Aku, hanya, aku ingin semuanya—” Nanaka mulai berkata, sebelum Aya memotongnya lagi.
“Semuanya, semuanya, semuanya,” kata Aya mengejek. “Jika semuanya ada di sini, kalau begitu, memangnya penting apa yang kau lakukan?”
Nanaka tak bisa berkata-kata, tapi Aya menghela nafas dengan muak dan menggelengkan kepalanya. “Nana-sen,” katanya, “aku menyukaimu... tapi aku benci orang yang membohongi dirinya sendiri.” Setelah mengatakan itu, Aya berdiri dari tempat duduknya, mengambil tasnya, dan menuju pintu.
Tepat saat dia akan pergi, dia berbalik dan berkata, “Aku jujur pada diriku sendiri, jadi aku lebih suka bekerja dan me-roll gacha daripada duduk di sini ikut bermain dalam drama anak SMA ini. Oke, senpai, aku serahkan sisanya padamu.” Kemudian dia dengan santai melambaikan tangannya dan menghilang dari ruang klub.
Nanaka terduduk ke kursi. Suasananya sangat meriah sampai beberapa saat yang lalu, tapi sekarang kemeriahan cemilan di atas meja dan keheningan ruangan sangat bertentangan sehingga tampaknya itu hanya berfungsi untuk menekankan fakta bahwa hanya Kai dan Nanaka yang tersisa.
“...Maafkan aku,” kata Kai akhirnya.
“Kenapa kamu minta maaf, Kai-kun?” tanya Nanaka.
“Andai saja aku bertanya kenapa kamu menangis hari itu... aku yakin ini…” Kai terdiam, tidak yakin harus berkata apa.
“‘Tidak akan terjadi’?” Nanaka menyelasaikan kalimat Kai. “...Aku tidak butuh simpatimu,” kata Nanaka, dengan wajah tertunduk. Kemudian, dia menampar pipinya sendiri dengan lebih banyak tenaga daripada saat dia menampar Aya. “...Maaf. Atas apa yang baru saja aku katakan—Aku yang terburuk.”
“Aku benar-benar yang terburuk,” ulang Nanaka, seolah ingin menyalahkan dirinya sendiri.
“...Kudengar kau awalnya seorang ilustrator,” kata Kai.
“Dari Ah-chan?” Ketika dia melihat Kai mengangguk, Nanaka menatap langit-langit dengan pasrah. “Bukannya aku mencoba menipumu, lho? Aku benar-benar... Aku benar-benar ingin melakukan yang terbaik sebagai perancang. Tapi, kurasa dari sudut pandangmu, pada dasarnya itu sama saja dengan ditipu. Sejujurnya…” Nanaka membungkuk dalam-dalam ke arah meja. “Aku minta maaf.”
“Nanaka-san, aku sadar betul kalau kamu serius berusaha untuk bekerja sebagai perancang... Eh, maksudku, aku tahu kamu serius,” kata Kai padanya. “Aku tidak merasa kamu menipuku. Jadi tolong, jangan bilang begitu.”
Sebelum kompetisi dimulai, Kai tidak bisa melihat secercah harapan. Pertama kali dia merasa mereka memiliki kesempatan adalah, ketika Nanaka menyerahkan dokumen spesifikasinya: Dokumennya tidak sempurna, tidak tersusun rapi, dan sulit dibaca, tapi semangat yang masuk ke dalamnya jelas terasa. Tidak ada yang akan menyangkal bahwa usahanya itu tulus.
Tapi ketulusannya tidak sama dengan kebenarannya.
Jika kau dengan tulus memberikan yang terbaik pada sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran yang kau lihat di dunia ini, suatu hari jiwamu akan menghilang.
“Nanaka-san,” kata Kai selanjutnya, “apa yang ingin kamu lakukan?”
“...Kai-kun, kamu akan menanyakan itu juga? Soal... apa yang ingin aku lakukan. Aku... tidak sanggup untuk bilang bahwa aku ingin menggambar,” Nanaka mengakui dengan suara kecil. “Eru, Ah-chan, dan kamu, Kai-kun—kalian semua luar biasa. Jika aku menghambat kalian semua lagi dengan gambarku... Kupikir aku benar-benar akan membenci diriku sendiri.
Itulah kebenarannya.
Namun, Kai merasa sangat tidak nyaman mendengar Nanaka mengatakannya dengan lantang. Bukan berarti Nanaka berbohong, atau kata-katanya tampak tidak tulus. Tetap saja, Kai tahu betul kalau ada yang salah atas apa yang Nanaka katakan.
“...Maafkan aku,” Nanaka menghela nafas. “Ini hari Jumat, jadi aku akan pulang dan mendinginkan kepala selama akhir pekan.”
Saat Nanaka mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan ruangan, Kai tidak bisa melakukan apa-apa selain melihatnya pergi.
◇
“Ho ho ho!” Misako terkekeh. “Kenalilah aku sebagai dewa yang mencapai prestasi luar biasa dalam menyerahkan naskahnya seminggu sebelum deadline! Tunggu, huh? Kai? Apa-apaan ini? Apa kamu akan memakan semua cemilan itu?”
“...Oh, nee-san,” jawab Kai.
Klik. Suara bohlam menyala diikuti oleh cahaya yang memenuhi seluruh ruangan. Tempat dia sebelumnya duduk bermandikan cahaya redup laptopnya, cahaya terang yang mendadak muncul sekarang menyebabkan Kai tanpa sadar menggosok matanya.
Di sisi lain laptopnya ada segunung cemilan yang tidak bisa dia tinggalkan di ruang klub. Dia telah meninggalkan semua cemilan yang ditutup dengan benar atau terlihat memiliki masa simpan yang lama, tapi berpikir kalau cemilan yang cepat rusak akan mubazir.
“Kami mengadakan perayaan kemenangan di klub hari ini, dan kami memiliki beberapa cemilan sisa,” jelasnya. “Kamu bisa mengambilnya jika kamu mau, nee-san.”
“Ooh, dengan senang hati.” Misako duduk di seberang Kai seperti biasa, lalu lanjut memakan beberapa keripik kentang yang ada di atas meja. Dia terus makan tanpa sepatah kata pun sampai dia haus, lalu dia membuat dan membawa kembali dua cangkir teh. Setelah itu, dia melanjutkan makan keripik kentang. Sepanjang waktu dia melakukan semua ini, Misako juga mengamati Kai.
Kai tahu bahwa dia tidak bisa lagi mengabaikan tatapan Misako; akan sangat menyusahkan jika dia mulai menangis lagi. “Apa?” tanya Kai akhirnya.
“Apa perlu aku mengejanya untukmu?” tanya Misako dengan datar.
“Kamu lebih suka keripik rumput laut-asin daripada cuma keripik asin?”
“Itu benar,” ujar Misako. “Tapi juga salah. Kamu mengadakan perayaan kemenangan, kan?”
“...Ya.”
“Nah itu,” kata Misako, sambil mengacungkan jari telunjuk ke arahnya. “Wajah itu. Bisakah kau menjelaskan kenapa tampang yang kau buat sangat tidak cocok untuk ‘perayaan kemenangan’?”
“Itu tidak benar,” protesnya.
“Sepertinya terjadi sesuatu lagi di klubmu,” tebak Misako.
Yang harus Kai lakukan untuk menghindari percakapan adalah memberikan respon setengah-setengah kepada kakaknya, tapi dia tidak sanggup untuk melakukannya.
“Sungguh mudah ditebak,” kata Misako pada diri sendiri. Saat dia mengunyah keripik kentang, Misako mulai bicara dengan murah hati, “Terselesaikannya tulisanku membuatku paling bahagia; Aku benar-benar berada dalam semangat tertinggi. Izinkan aku untuk membalas keramahanmu dengan mendengarkan kisahmu.”
Kai bertanya-tanya seperti apa karakter yang Misako perankan. Dia merasa bahwa itu mungkin seorang bangsawan dari Periode Heian. Mungkin, pikirnya, dia sedang menulis semacam novel sejarah. “...Tidak ada apa-apa,” adalah apa yang Kai katakan dengan keras.
“Tolong izinkan aku mendengarnya,” desak Misako.
“Sudah kubilang—”
“Apakah kamu sudah lupa, Tuan yang baik, bahwa saat terakhir kali kamu berdiskusi dengan kakakmu yang cantik dan permai ini, masalahmu terselesaikan dengan rapi?”
“Menurutku ‘permai’ biasanya digunakan untuk menggambarkan pemandangan,” kata Kai.
“Apakah kamu mau bilang kalau tubuh kakakmu yang aduhai ini bukanlah yang paling menawan dari semua pemandangan?!” bantah Misako dengan marah.
“Tidak—kamu tahu? Tentu, tidak apa-apa... ya.” Haruskah kamu benar-benar bilang begitu tentang dirimu sendiri? Kai berpikir pada dirinya sendiri saat dia melihat lebih dekat pada kakaknya. Setelah melakukannya, Kai menyadari kalau mata Misako sedikit lebih layu dari biasanya. Misako berbicara soal menyelesaikan naskahnya dan berada dalam suasana hati yang baik, jadi Kai menyadari bahwa dia pasti telah minum alkohol dalam jumlah yang lumayan banyak sebelum datang kemari. Misako sudah bertindak seolah-olah dia berada di bawah pengaruh alkohol ketika dia tidak mabuk, tapi Kai tahu betul kalau dirinya bukanlah tandingan seorang pemabuk—bagaimanapun juga, Misako-lah yang mengajarinya pelajaran itu.
Jadi, Kai menyerah dan menjelaskan semua yang terjadi hari ini. Saat dia berbicara, dia tidak bisa menghilangkan ketidaknyamanan yang dia rasakan ketika mendengar kata-kata Nanaka.
Tidak ingin menghambat temanmu adalah emosi yang sederhana, dan Kai bisa memahami hal itu dengan baik. Faktanya, Kai merasa bahwa seluruh waktu yang dia habiskan di Tsukigase telah terbentuk di sekitar pemikiran ‘Aku tidak ingin merusak nama baik Akane.’ Kai merasa kalau dia seharusnya bisa berempati dengan keingingan untuk tidak menjadi beban, tapi... apa-apaan itu? Semakin Kai memikirkannya, semakin dia merasa tidak nyaman.
“...Aku mengerti ceritanya.” Misako mengangguk sambil memasang ekspresi lembut. “Kalian telah berkembang ke titik di mana kalian saling memanggil dengan nama depan… Jangan-jangan, Nak? Apakah kamu menembaknya?”
“...Nee-san.” Kai berniat langsung mengusirnya jika Misako mulai bermain-main.
Niat Kai pasti tersampaikan padanya, karena Misako mengangkat bahunya dan melanjutkan, “Ayolah, aku tidak bisa tidak main-main sedikit. Kisah ini begitu penuh dengan ketidakdewasaan dan masa remaja sehingga rasanya terlalu berat untuk didengarkan oleh kakakmu kalau tanpa lelucon.”
“‘Tidak dewasa’... Kami sudah SMA,” kata Kai.
“Tidak, Kai, bukan itu maksudku,” Misako dengan keras menolak protesnya, tapi suaranya memiliki semacam rasa nostalgia yang tercampur di dalamnya. “Aku tidak membicarakan usia kalian, aku berbicara tentang ketidakdewasaan kalian sebagai kreator.”
“...Apa maksudmu?” tanyanya pelan.
“Kamu juga seharusnya mengerti maksudku. Yah, kurasa itu mungkin salah satu hal di mana jika kau terlalu dekat maka itu akan jadi lebih sulit untuk dilihat, tapi ini adalah cerita yang sederhana,” kata Misako, yang kemudian berhenti untuk mengunyah keripik sebelum melanjutkan. “Sudah lima tahun sejak aku mulai bekerja sebagai novelis, tapi antara sekarang dan nanti, selalu ada satu hal yang tidak akan pernah berubah. Nah, apakah itu?”
“...Deadline itu menakutkan,” kata Kai.
“Itu benar, tapi juga salah. Soalnya, setiap kali kamu menerbitkan karyamu pada dunia, karyamu akan dipuji, dan juga akan diejek,” kata Misako dengan sungguh-sungguh. “Itu hal yang mutlak. Nah, dalam kasusku sebagai penulis, tidak sering aku bisa bilang kalau aku menghambat seseorang. Tapi, jika kamu memperluas definisinya sedikit, kamu bisa bilang kalau aku dapat menghambat seniman yang menggambar ilustrasi bukuku, editorku, atau karyawan di toko buku yang menjual karyaku. Kupikir ini sama untuk kreator mana pun di luar sana. Jika dia ingin menjadi ilustrator—dan terutama jika dia baru memulainya—wajar jika dia akan diserang, kan?”
“...Benar,” Kai setuju. Sumber ketidaknyamanan yang Kai rasakan telah terjerat menjadi bola benang, dan sekarang akhirnya kembali menjadi benang.
“—Membosankan, amat sangat. Mulai lagi dari baris pertama.”
“—Tidak berubah, hampir. Perbedaan antara ini dan dokumen pertamamu sangat tipis. Ulang lagi dari awal.”
“—Terganggu, tidak fokus. Setiap lokasi yang ditandai dengan label memiliki masalah dalam desain level. Ulangi lagi.”
Ketika Kai mengingat kembali, tidak akan ada habisnya saat Akane memarahi pekerjaannya. Bahkan ketika hasil kerjanya melewati penilaian Akane, ada pengguna yang memujinya dan pengguna yang benar-benar menghinanya. Setiap kali itu terjadi, itu berarti Kai menyeret banyak orang, yang bekerja bersamanya di klub, ke dalam situasi buruk.
Dan menyeret mereka ke bawah adalah hal yang sudah pasti dia dapatkan. Namun, tidak ada orang di luar sana yang bisa menghindari jalan itu jika mereka ingin maju sebagai kreator.
“Tapi!” Misako mengangkat satu jari saat dia memberinya peringatan. “Fakta bahwa kritik adalah hal yang wajar merupakan masalah yang sedikit berbeda dari tidak ingin menghambat seseorang. Kamu tidak menyukai hal-hal yang tidak kamu sukai, dan itu tidak masalah; tidak ada yang ingin menghambat teman mereka. Kupikir itu luar biasa bahwa Nanaka-chan cukup bertanggung jawab untuk merasa seperti itu. Tapi untuk kalian, tidak perlu terlalu khawatir, kan?”
“Apa maksudmu?” tanya Kai.
“Kai, kamu sendiri yang mengatakannya tempo hari,” Misako mengingatkannya.
...Tempo hari? Memangnya aku bilang apa? Kai memeras otaknya untuk mengingat percakapan dengan Misako yang cocok di sini, tapi dia tidak tahu apa maksud Misako.
“Kai, kalian adalah klub, kan? Kalian tidak boleh melupakan hal itu. Jika kalian seorang profesional, menghambat seseorang dapat menyebabkan hutang dan perusahaan akan bangkrut. Kalian mungkin tidak akan bisa menghidangkan makanan di atas meja. Tapi itu tidak ada hubungannya dengan kalian,” kata Misako padanya. “Aku tidak menyuruhmu untuk setengah-setengah, kau dengar? Yang aku maksud adalah, kamu harus mengerahkan semua yang kamu miliki. Hambat temanmu, dihambat balik, terima pujian, dan terima kebencian saat kalian berkembang bersama. Mengerti? Sudah kubilang itu akan jadi cerita masa remaja.” Misako memasang senyum hampa saat dia dengan sengaja mulai mengerang, “Aku ingin minum alkohol lagi! Dadaku terbakar!”
Post a Comment