[LN] Jakushou Soshage-bu no Bokura ga Kamige wo Tsukuru made Volume 1 Chapter 14 Bahasa Indonesia
Chapter 14 – Pasca-Kemenangan
“Baiklah, ayo update!”
Hari kompetisi, Miracle Stage telah diperbarui ke versi 1.1.0 atas perintah Nanaka.
Pada kompetisi manajemen, masing-masing pihak diharuskan mengunggah data pembaruan yang diperlukan ke BOX pada tanggal yang ditentukan, dan kemudian memberlakukan pembaruan pada hari kompetisi. Kemudian juri akan memeriksa pekerjaan kedua tim selama seminggu, dan tim yang paling banyak meningkatkan game mereka dari sebelum pembaruan akan dinyatakan sebagai pemenang.
Social game lawan mereka adalah RPG fantasi yang sepenuhnya standar. Mereka juga adalah tim yang telah memasrahkan diri ke bagian bawah papan peringkat, jadi tidak mungkin mereka akan mengelola game-nya sebanyak itu. Kai sangat menyadari hal ini, dan telah mengkonfirmasi kecurigaannya saat bermain game mereka. Cerita utama berakhir dengan sangat cepat, dan tidak ada konten lain untuk terus dimainkan setelah itu. Game-nya memang memiliki misi co-op yang dimaksudkan sebagai konten endgame, tapi basis pengguna yang kecil berarti bahwa fungsi pencocokan pemain tidak berfungsi dengan baik. Itu adalah contoh utama dari nasib menyedihkan social game yang tidak populer.
TL Note: endgame dalam game RPG adalah bentangan akhir konten dan perkembangan karakter di luar titik akhir perkembangan utama (biasanya batas level, bersama dengan konten “leveling”).
Meski begitu, kompetisi manajemen tidak didasarkan pada betapa menyenangkannya sebuah game; tapi didasarkan pada seberapa banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan game, dan seberapa suksesnya upaya itu. Itulah yang menentukan hasil kompetisi.
Daftar sederhana dari peningkatan yang telah diterapkan diserahkan bersama dengan data pembaruan, dan daftar ini juga dapat dilihat oleh tim lawan. Dibandingkan dengan tujuh puluh peningkatan yang mereka tambahkan, lawan mereka hanya melakukan tiga peningkatan. Terlebih lagi, ketiga peningkatan itu adalah perubahan kecil yang jelas-jelas hanya dilakukan karena mereka pikir mungkin bisa sekalian memperbarui game mereka untuk kompetisi.
Ketika Kai melihat daftar peningkatan mereka, sejujurnya, dia merasa sangat lega. Dia merasa gelisah baru-baru ini karena dia terus memikirkan kembali wajah Nanaka yang tidak yakin, ketika ia bertanya apakah tujuh puluh peningkatan mereka sudah cukup. Seperti dalam bisbol atau sepak bola, kompetisi social game tidak memiliki proses yang menjamin kemenangan. Bahkan di Tsukigase, Kai telah menghadapi evaluasi dari para juri yang dia rasa tidak adil. Tapi setiap kali itu terjadi, Akane akan memberitahunya, “Itulah artinya membuat game,” dan kata-kata itu akan meresap ke dalam hatinya.
Lagi pula, itu sama ketika dia bermain social game. Terkadang dia menganggap suatu game atau event sebagai hal yang membosankan dan memberikan penilaian tanpa alasan yang jelas. Tanpa memperhatikan kerja keras orang-orang yang membuatnya, dia akan memberikan rating bintang satu ‘membosankan.’ Hal-hal membosankan itu membosankan, dan hal-hal menyenangkan itu menyenangkan. Seperti itulah dunia. Selama kriteria itu ada di tangan manusia, tidak akan pernah ada social game yang bisa dinikmati semua orang; dan sebaliknya, tidak ada social gane yang tidak akan membosankan bagi siapa pun.
Jadi, sampai saat-saat terakhir, Kai tidak sanggup untuk bilang bahwa mereka pasti akan menang. Hampir jelas bahwa mereka akan menang, tapi itu tidak pasti. Tidak ada dari semua pengetahuan di bumi ini yang dapat menjamin hal itu.
Namun, untungnya, formulir evaluasi yang tiba di SMA Meikun minggu berikutnya dengan jelas menandai pemenang kompetisi sebagai Miracle Stage.
Untuk saat ini, itu berarti kelanjutan dari klub social game. Dan berbeda dengan Nanaka yang gembira merayakannya, Kai sangat lega hingga kakinya hampir lemas.
◇
“Nana-seeen, bolehkah aku mulai makan?” bujuk Aya.
“Ah! Nanti, Ah-chan!” kata Nanaka, memarahinya sebagai tanggapan. “Nanti! Eru masih belum datang!”
“Aku yakin dia bahkan tidak akan datang.”
“Jangan khawatir! Aku sudah memberi tahu dia sebelumnya!”
“Hmph, baiklah, aku akan menunggu lima menit lagi,” gerutu Aya. “Ah, makasih, senpai.”
Kai memberikan Aya sebuah cangkir kertas berisi jus jeruk, dan kemudian Aya menggigit cemilan di atas meja saat tidak ada yang melihat.
Di atas meja ruang klub berjajar dengan berbagai macam cemilan, dan spanduk buatan tangan Nanaka bertuliskan “Kemenangan Pertama ☆ Kompetisi” digantungkan di dinding. Itu cukup sederhana untuk perayaan kemenangan, tapi Kai pikir itu lebih dari cukup meriah untuk ruang klub kecil mereka.
“Aoi-san,” tanya Kai, “apakah pembicaraan tentang pembubaran berjalan lancar?”
“Yup,” kata Nanaka ceria. “Mereka bilang akan memeriksanya ulang.”
“…Memeriksa ulang?” tanya Kai, merasa ada pertanda buruk untuk kata itu.
“Um, apa katanya tadi… ‘Selamat atas kemenanganmu di kompetisi rutin. Pembubaran langsung dari klub social game telah dibatalkan. Apa? Status kalian ke depannya? Itu adalah sesuatu yang tidak bisa aku putuskan sendiri. Kami akan memberi tahumu setelah kami melakukan pemeriksaan ulang di OSIS. Sampai jumpa,’ adalah apa yang dia katakan padaku,” kata Nanaka.
“Apakah itu gaya wake OSIS?” Aya bertanya-tanya. “Nana-sen, kamu payah dalam menirukan orang.”
TL Note: Wake = wakil ketua
“Tapi, untuk saat ini, kita aman dari pembubaran!” kata Nanaka. “Aku sangat senang…”
“Hmm… Senpai, bagaimana menurutmu?” tanya Aya.
“Apa maksudmu?” jawab Kai.
“Aku hanya merasakan firasat buruk. Ini seperti jika seseorang mempekerjakanku sebagai programmer utama baru mereka, tapi ketika aku bertanya pada mereka tentang rancangan konkretnya, mereka memberiku perlakuan, ‘Ini RPG normal,’,” saran Aya. “Responsnya sangat tidak jelas sehingga tidak memiliki substansi dan detail kosong.”
“…Yah, aku mengerti kenapa kau bisa bilang begitu,” Kai mengakui. Putusan itu terlalu mencurigakan bagi mereka untuk bisa tenang. Mengingat kembali cara ketua OSIS bertindak, tidak salah baginya untuk bilang bahwa mereka perlu memenangkan kompetisi berikutnya untuk menghindari pembubaran lagi.
“Aku mengerti, sekolah kita penuh dengan klub yang tidak berguna karena semua orang dipaksa untuk bergabung dalam klub,” kata Aya, melanjutkan percakapan. “Untuk orang-orang yang mengelola sekolah, mereka mencoba menyingkirkan apel busuk. Semua klub-klub ini membutuhkan biaya, dan karena banyak siswa kita yang tidak fokus pada satu hal, tampaknya kita tidak memiliki banyak klub yang memberikan hasil bagus seperti melaju ke turnamen nasional dan semacamnya. Social game juga sampah, jika penuh dengan bagian tidak berguna yang tidak ingin dimainkan siapa pun.”
“Kamu tidak salah, tapi…” Kai mengerti apa yang Aya coba katakan, namun Kai merasa tidak nyaman menempatkan sekolah dan social game pada level yang sama.
“Ngomong-ngomong, senpai…” kata Aya, yang tiba-tiba beringsut mendekatinya.
“A-Apa?” tanya Kai, menyadari bahwa Aya sangat pendek sehingga dia harus memandang ke bawah, ke arah Aya, bahkan ketika mereka sama-sama duduk. Tulang selangkanya seputih penghapus yang belum dipakai, dan terlihat dari area kerah blusnya yang lusuh saat dia memaksa dirinya masuk ke bidang penglihatan Kai.
“Bisakah kamu berhenti memanggilku ‘Oushima-san’?” pintanya. “Itu terlalu kaku.”
“Huh? Kenapa demikian?”
“Oh, dan nada ‘rekan bisnis yang sopan’ itu sebaiknya juga dihilangkan,” tambahnya.
“Ah, aku juga berpikir begitu,” timpal Nanaka dari ambang pintu, tempat dia menunggu Eru.
Aya melanjutkan, “Kamu bisa memanggilku Aya, tanpa imbuhan. Kupikir Ah-chan terlalu sulit untukmu.”
“Kamu juga bisa memanggilku Nanaka!”
“K-Kenapa tiba-tiba?” tanya Kai.
“Mmm, maksudku, biar tidak ada jarak di antara kita, lho?” beri tahu Aya. “Kepercayaan itu penting ketika kamu mengembangkan social game, kamu mengerti, kan?”
“Itu mungkin benar,” protes Kai, “tapi—”
Aya memotongnya. “Ya ampun, aku bilang aku tidak butuh hal seperti ‘Itu mungkin benar’.”
“Kai-kun, apa kamu tidak mau?” tanya Nanaka.
“Bukannya aku tidak mau—” Kai akhirnya sadar akan fakta bahwa Nanaka telah memanggilnya dengan nama depan. KAI KUN. Kaikun. Kai-kun. Suara Nanaka saat dia mengatakan itu terus berputar di sekitar kepala Kai, seperti sumbat kelereng indah dalam botol ramune. Begitu dia menyadarinya, Kai menjadi tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Nanaka.
“D-Dipanggil dengan nama depan itu… itu adalah sesuatu yang digunakan untuk teman baik,” kata Kai lagi. “Seperti sahabat, atau seseorang yang sangat spesial, atau—”
“…Pfft!” Aya memotong alasan Kai dengan tertawa terbahak-bahak. Nanaka memunculkan ekspresi ngilu yang sama seperti sedang menahan tawa sekuat tenaga.
“Ayolah, bukankah kita berteman baik?”
“Tidakkah menurutmu kita berteman baik?”
Mereka berdua bertanya padanya pada saat yang sama.
“…Apakah ini benar-benar tak masalah untuk kalian?” tanya Kai dengan hati-hati, dan langsung mendapat jawaban.
“Kai-kun,” Nanaka membujuknya, “coba sebut namaku.”
“Ao—” Nanaka menggelengkan kepalanya, jadi Kai mempersiapkan diri. “Nanaka…. -san.”
“…-san?” tanya Nanaka.
“Um… Ini batasku,” Kai mengaku. “Tolong biarkan aku memakai -san… aku akan beru—er, aku akan mencoba bicara sesantai mungkin, jadi…”
Nanaka menyeringai dan dengan senang hati menggodanya, “Kurasa itu cukup bagus.” Senyum Nanaka secara fisik menyakitkan bagi hati Kai, dan Kai mati-matian berusaha untuk tetap memasang wajah datar.
“Senpai,” kata Aya, “selanjutnya aku!”
“Aya,” katanya singkat.
“Hei, apaan sih!” dia keberatan. “Kenapa kamu harus berjuang keras hanya untuk menambahkan -san ke nama Nana-sen tapi kamu malah mengatakan namaku begitu santainya?! Jika ini adalah galge, nilai kasih sayangku akan turun!”
Kai mulai menertawakan protes Aya yang berapi-api, yang Aya tanggapi dengan menjadi lebih marah, dan situasi menjadi tidak terkendali. Nanaka mulai tertawa terbahak-bahak. Aya, terlepas dari kemarahannya, ikut tertular. Ruang klub kecil itu dipenuhi dengan suara tawa ceria mereka.
Rasanya seperti Kai sedang duduk piknik di bawah sinar mentari yang hangat. Dia tidak pernah merasa seperti ini di Tsukigase, dan dia bertanya-tanya sejenak apakah tidak apa-apa jika klub social game yang sama ini begitu berbeda.
“Ya ampun, sepertinya kalian semua rukun.” Suara tegang muncul bak guntur di langit biru. Eru melihat mereka saat dia berdiri di ambang pintu, satu langkah di luar ruangan.
“E-Eru, kamu terlambat.” Nanaka mendekati temannya meskipun ada suasana canggung di antara mereka.
“Bukan berarti aku datang kesini untuk merayakannya,” kata Eru dingin. “Lagi pula, aku tidak benar-benar berkontribusi di kompetisinya. Kalian sebaiknya bersenang-senanglah sepuas kalian.”
“Eru, jangan bilang begitu. Kamu juga anggota klub,” protes Nanaka.
“…Nanaka, sayang, aku datang ke sini untuk bertanya padamu.”
“Padaku?” tanya Nanaka, jelas terkejut.
“Kamu adalah perancang di kompetisi ini, kan?” tanya Eru dengan tajam.
“Yup… tapi itu semua berkat Kai-kun.”
“Aku tidak peduli berkat siapa itu. Terus? Apakah kamu akan lanjut sebagai perancang?”
Nanaka memaksa dirinya untuk menjawab, tapi setelah ragu sejenak dia diam-diam bergumam, “Ya.”
“…Aku mengerti.” Wajah Eru seperti robot, seperti dinding buatan manusia, dan dia menghela nafas. “Kalau begitu ini perpisahan.” Dia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya dan menyerahkannya pada Nanaka. Tulisan di bagian atas kertas lebih besar dari yang lain, dan Kai bisa membaca, ‘Formulir Pengunduran Diri.’
Untuk sesaat, Eru menoleh ke arah Kai dan melemparkan tatapan penuh amarah, hingga Kai hampir tidak bisa percaya pada betapa tanpa ekspresinya Eru beberapa saat yang lalu. Sebelum Nanaka bisa mengatakan apa-apa, Eru dengan kuat berbalik untuk menyampaikan dengan tubuhnya bahwa dia sudah selesai bicara.
“Sayang,” kata Eru, “Aku tidak bergabung dengan klub ini agar kamu jadi seperti ini.”
Nanaka perlahan ambruk ke lantai, seolah-olah beban kata-kata Eru telah menghancurkannya.
Eru menutup dirinya dengan memakai headphone yang menggantung di lehernya dan berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang.
Post a Comment