[LN] Jakushou Soshage-bu no Bokura ga Kamige wo Tsukuru made Volume 1 Chapter 8 Bahasa Indonesia
Chapter 8 – Alasan Dibalik Air Mata Itu
“Aku akan mampir ke toko buku dalam perjalanan pulang,” kata Nanaka, begitu mereka keluar dari gerbang tiket di Stasiun Niigata.
Kai tahu bahwa ada toko buku yang cukup besar di bawah lantai dasar dalam gedung tepat di sebelah stasiun dan mengira Nanaka berencana pergi ke sana. Tapi itu berarti Kai harus pergi ke ujung lain stasiun kereta untuk menemaninya. Ada tangga yang berfungsi sebagai jalan pintas ke tujuannya, jadi Kai memutuskan untuk berjalan bersamanya sampai situ.
“Baiklah,” kata Kai. “Sampai jumpa.”
“U-Um!” Nanaka memanggil Kai saat mereka akan berpisah dan menghentikannya. Nanaka berdiri diam di depan tangga dengan ekspresi gelisah di wajahnya.
Kedua tangannya mencengkeram roknya erat-erat seolah dia memeras setiap keberanian yang bisa dia kerahkan. “Alasan kamu mengatakan kalau aku luar biasa sebelumnya adalah karena aku seorang perancang,” katanya. “…Kan?”
Kai telah menguatkan dirinya untuk jaga-jaga, tapi pertanyaan yang datang padanya adalah konfirmasi dari apa yang dia katakan sebelumnya. Kenapa dia mau repot-repot mengkonfirmasi itu? Kai bertanya-tanya. Dia merasa itu agak aneh, tapi setelah dipikir-pikir, dia menilai bahwa mungkin saja ada sesuatu yang secara pribadi Nanaka anggap penting.
“Seperti yang kamu sendiri bilang, ilustrasi-mu tidak sebagus seseorang seperti Kuroba-san,” katanya. “Tetap saja, kupikir itu sudah lebih dari cukup bagi seorang perancang untuk digunakan sebagai senjata. Paling tidak, itu adalah senjata yang tidak aku miliki.”
Kai tidak berniat berbohong atau pun menambah-nambah pujiannya lebih dari yang diperlukan. Dia berpikir bahwa Nanaka hanya kurang percaya diri karena kurangnya pengalaman sebagai seorang perancang. Inilah tepatnya kenapa Kai ingin memberi tahunya bahwa Nanaka memiliki keunggulan yang tidak dimiliki perancang lain.
…Namun, kenapa? Kenapa ada air mata mengalir dari mata Nanaka saat dia berdiri di hadapan Kai?
“M-Maaf,” katanya buru-buru. Nanaka sendiri tampak terkejut, seolah dia tidak mengira akan reaksinya sendiri. Dia berbalik dan berlari menaiki tangga. Air matanya yang belum diseka terguncang oleh momentum gerakannya dan menari-nari di udara, diterangi oleh sinar merah matahari yang hampir terbenam.
Kai tidak mengerti alasannya. Dia tidak mengerti, tapi dia sadar kalau dia harus mengejar Nanaka. Namun saat pikiran itu terlintas di benaknya, pandangannya menjadi gelap.
Sensasi benturan terhadap benda tumpul perlahan menyusulnya, dan rasa sakit yang hebat menyebar ke seluruh wajahnya, terutama di dekat matanya. Saat dia meletakkan tangan ke sumber rasa sakitnya, Kai akhirnya menyadari bahwa sesuatu telah mengenai wajahnya. Dia menekan rasa sakitnya untuk menatap ke bawah dan melihat sebungkus sasa dango tergeletak di kakinya.
‘Sasa dango’ hampir sama persis seperti namanya; itu adalah dango yang dibungkus dengan daun bambu, yang mana ‘sasa’ berarti bambu. Itu adalah salah satu manisan Jepang paling terkenal di Niigata, meskipun Kai hanya tahu hal ini karena Misako membawakannya untuk Kai ketika dia pertama kali pindah.
Tentu saja tidak ada sasa dango di kakinya beberapa saat yang lalu. Dia tidak begitu tahu dari mana asalnya, tapi dia pikir itulah yang menghantam wajahnya.
Kai sedang membungkuk untuk mengambil bungkusannya ketika bayangan muncul dari tangannya yang terulur, dan sepasang sepatu berhenti tepat di depan dango itu.
Dia mengambil manisan itu dan mendongak untuk melihat Eru yang marah berdiri tegak di depannya. “Cari cara untuk ke neraka, ya kan, sayang?” katanya menantang. Yang artinya Eru-lah yang melempar sasa dango ke arahnya.
“Kok… tiba-tiba,” Kai berhasil bicara.
Adegan mereka berdiri berada di tengah-tengah lorong yang ramai selama jam sibuk, sehingga kerumunan besar orang tampak kesal saat mereka berjalan mengitari mereka. Eru tampaknya tidak peduli sedikit pun. Mata kanannya, yang terlihat dari poninya yang panjang, bermandikan amukan balas dendam yang membara.
“Bolehkah aku bertanya kenapa kau membantunya?” tanya Eru dengan sengit.
“…Maksudmu, Aoi-san?” balas Kai.
“Aku yakin kau memiliki motif tersembunyi.”
“Huh?”
“Sungguh merusak pemandangan,” kata Eru. “Aku telah melihat begitu banyak anak laki-laki yang salah paham tentangnya. Sudah begini sejak kami masih kecil. Nanaka-ku tersayang itu imut, adalah orang yang baik, dan memperlakukan semua orang dengan ramah. Itu merupakan peranku untuk mengusir monyet-monyet tolol yang jatuh cinta dan mendapati diri mereka tergila-gila dengan khayalan bahwa dia sangat menyukai mereka.”
“Bukan itu yang aku—” Kai mencoba untuk bicara, sebelum Eru memotongnya.
“Oh, kalau begitu, aku yakin kau tidak suka padanya?” ejek Eru.
“Yah—”
“Kalau begitu, aku yakin kau tidak suka padanya?”
“Aku—”
“Kalau begitu, kau tidak suka padanya?” desak Eru untuk ketiga kalinya.
“Aku… tidak tahu.” Kai ingin memberitahunya bahwa Eru salah, tapi kata-kata itu tidak terucap di mulutnya. Nanaka memang imut; itu faktanya. Saat pertama kali bertemu dengannya, Kai mengira bahwa mereka hidup di dunia yang sepenuhnya berbeda. Jika mereka tidak memiliki social game sebagai perantara, mereka mungkin tidak akan pernah saling bicara. Tidak, itu pasti.
Namun sekarang, Kai mendapati dirinya bicara dengan Nanaka dengan cara yang cukup dekat, dan akan menjadi kebohongan untuk bilang kalau Kai tidak senang tentang itu. Mungkin “tergila-gila” adalah kata yang pas. Tapi memintanya untuk tidak merasakan jantungnya berdebar-debar ketika berbicara dengan orang yang begitu imut—dan melihat senyum manisnya—adalah tugas yang mustahil.
Hanya saja… Kai tidak yakin apakah itu yang dimaksud dengan “menyukai” orang lain. Kai sendiri berpikir bahwa wajar saja jika dia tidak mengerti. Sementara semua teman sekelasnya bergosip tentang cinta, dia sibuk sendiri bermain social game. Tidak mungkin dia bisa memahami seluk-beluk emosi seperti itu. Jadi, dengan segala kejujuran, Kai tidak tahu apakah degupan di dadanya saat dia bersama Nanaka adalah karena dia “menyukainya” atau tidak.
Meski begitu, Eru tampaknya telah sampai pada kesimpulannya sendiri, dan tatapan matanya telah beralih dari murka menjadi cibiran menghina. “Aku tidak peduli apakah kau dari Tsukigase,” katanya, “atau dari mana pun itu. Jika kau membantunya karena motif tersembunyi yang tidak pantas, maka aku akan membuatmu menghilang, segera.”
“Bukan—begitu,” kata Kai. Kali ini, kata-kata itu keluar secara refleks. “Aku tidak membantu Aoi-san dengan motif tersembunyi.”
Eru kemungkinan besar tidak mengharapkan respon itu dari Kai, karena dia tersentak ringan sebagai tanggapan. “L-Lalu, kenapa kau membantu gadisku tersayang?”
“…Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja,” akunya. Awalnya semuanya dimulai dengan amarah; Kai tidak dapat memaafkan Ketua OSIS ketika dia dengan santai mengatakan bahwa social game itu tidak ada nilainya. Pria itu tidak mengerti berapa banyak usaha dalam menciptakan satu social game dan tetap berani bicara sembarangan. Kai tidak bisa tinggal diam menghadapi itu.
Dan karena orang bodoh yang sombong itu, Kai mendapati dirinya tidak dapat meninggalkan klub social game yang di ambang kehancuran—meninggalkan Nanaka—sendirian. Suka dan benci tidak ada hubungannya dengan itu.
“Aku tidak berpikir kalau aku perancang yang sangat berbakat…” katanya perlahan. “Tapi jika aku dapat membantu dengan cara apa pun, bahkan sekecil apa pun itu… Aku ingin membantu. Itulah sebabnya aku melakukan ini.”
“…Kau benar-benar harus diantarkan ke neraka,” kata Eru, yang keadaan emosinya tampaknya melewati kemarahan dan kembali ke ketidaktertarikan saat ekspresinya berubah tenang menjadi tatapan dingin. “Jika kau terus membantunya, Nanaka-ku tersayang akan menangis lagi.”
“Apa maksudmu—” Kai mencoba bertanya, tapi Eru tidak berniat untuk tetap tinggal lebih lama lagi.
“Aku hanya membeli ini karena Nanaka menyukainya…” gerutu Eru. “Sungguh menjijikkan.” Dia merebut sasa dango dari tangan kanan Kai dan dengan cepat berbalik darinya, menandakan bahwa percakapan mereka telah selesai. Eru tidak terlalu banyak melirik ke belakang saat dia berjalan keluar dari pandangan Kai.
◇
Kai sangat gugup ketika dia pulang.
Nanaka telah memberikannya informasi kontaknya, dan akan mudah bagi Kai untuk mengirim SMS atau LIME padanya. Kai ingin menanyakan satu pertanyaan sederhana: kenapa dia menangis? Tentu saja, dia tidak akan pernah kesulitan sejak awal jika dia memiliki keberanian untuk bertanya.
Pada akhirnya, kekhawatirannya tidak berarti apa-apa karena ia tidak sanggup untuk melakukan apa pun pada saat pagi berikutnya tiba.
Nanaka tidak ditemukan di mana pun di sepanjang rute menuju sekolah, bahkan di dalam stasiun kereta. Ketika Kai berhasil sampai ke kelasnya, Nanaka sudah ada di kelas, dengan gembira mengobrol bersama teman sekelasnya. Tidak ada sedikitpun tanda dari air mata kemarin dalam suara dan ekspresinya.
“Ah! Pagi, Shiraseki-kun!” panggil Nanaka dengan riang.
“S-Selamat pagi,” jawabnya dengan hati-hati.
Sebaliknya, dia menyapa Kai dengan ceria begitu Nanaka menyadari keberadaannya. Kai tidak mengerti. Apa yang harus dia lakukan? Dengan pikirannya yang gelisah, kelas Bahasa Jepang Modern, Matematika, dan Bahasa Inggris semuanya terdengar seolah-olah dia sedang mendengarkan bahasa asing yang tidak dikenal.
Dari tempat duduk Kai di belakang jauh di dekat jendela, dia bisa melihat punggung Nanaka dan sekilas wajahnya dari samping. Berdasarkan apa yang bisa dia amati, Nanaka tidak berbeda dari biasanya, dirinya yang ceria. Nyatanya, itu hampir seolah-olah, apa yang terjadi kemarin, hanyalah semacam ilusi—seperti Kai cuma memimpikan semuanya.
Tapi ketika kelas berakhir untuk hari itu dan Nanaka berjalan ke arahnya, dia menyadari sesuatu. “Ayo pergi ke klub, Shiraseki-kun.”
“…Um, apakah kamu lelah?” tanya Kai. Sampai dia berjalan ke arahnya, Kai hanya melihat Nanaka dari kejauhan. Namun, begitu mereka berada tepat di samping satu sama lain, Kai bisa melihat perbedaan di wajahnya. Karena kulitnya yang cerah, itu menjadi lebih menonjol: yaitu dua kantong mata di bawah matanya yang tidak ada di sana sehari sebelumnya.
“Uhh, yah… Sedikit,” Nanaka mengakui. “Tapi itu bukan masalah. Ayo, mari pergi.” Dia menarik Kai berdiri dengan meraih lengan bajunya.
Biasanya Kai tidak akan bisa membuat dirinya tetap tenang jika hal seperti itu terjadi. Tapi sekarang, pikiran itu bahkan tidak terlintas dalam benaknya.
Ada yang aneh tentangnya, Kai menegaskan. Lalu dengan lantang, dia berkata, “Hei, Aoi-san.”
“Hm? Ada apa?”
“Yah… Ini tentang kemarin.”
“…Kemarin?” kata Nanaka. “Apakah terjadi sesuatu kemarin?”
Kai tidak sanggup bicara saat Nanaka berhenti untuk berputar dan tersenyum padanya di tengah lorong saat mereka berjalan ke ruang klub.
Tidak. Bukannya Kai tidak sanggup? Lebih seperti Nanaka tidak mengizinkannya bicara. Senyuman di wajahnya berbeda dari senyuman yang pernah dilihat Kai dari Nanaka sebelumnya. Ada pesan, “Aku tidak akan memberitahumu apa-apa,” terpampang di baliknya.
“Ayo pergi,” katanya, dan mulai berjalan sebelum Kai sempat menjawab.
Tepat pada saat itu, Aya muncul di ujung lorong sambil berjalan menuju mereka. “Ohhh!” kata Aya. “Nana-sen, waktu yang tepat!”
“Oh? Ada apa, Ah-chan?”
“Aku tidak akan muncul di ruang klub apa pun yang terjadi untuk sementara waktu!” beri tahu Aya pada mereka dengan riang. “Baiklah, sampai jumpa!”
“Huh?”
“Apa?”
Kai dan Nanaka memiliki reaksi yang persis sama.
“Yah, aku pulang kemarin dan duar, KEJUTAN BESAR! Kumpulan gacha yang harus aku roll keluar pada saat yang sama…!! Jadi, jika aku punya waktu untuk kegiatan klub, maka aku punya waktu untuk bekerja! Pekerjaan! Aku sudah banyak bekerja paruh waktu tapi sekarang aku harus melakukan lebih banyak pekerjaan lagi!”
“T-Tapi kita—klub kita, kita harus menang di kompetisi berikutnya atau—” Nanaka tergagap.
“Mmm, itu benar! Astaga! Tapi, jika aku tidak melakukan roll sekarang, gacha ini mungkin tidak akan pernah muncul kembali!” kata Aya dengan nada meremehkan. “Inilah sebabnya! Inilah sebabnya gacha untuk waktu terbatas begitu…!!!”
“Mungkin… begitu, tapi…!” Nanaka mencoba membantah.
“Bagaimanapun, begitulah adanya, jadi aku akan bicara denganmu lagi nanti!” Aya menyelesaikan pernyataan terakhirnya dengan senyuman dan melanjutkan perjalanannya seperti tornado yang menerobos lorong.
“…A-Ayo pergi ke ruang klub dulu.” kata Nanaka setelah Aya pergi.
“Y-Ya, ayo.”
Mereka pergi ke ruang klub seperti yang mereka sebutkan, tapi itu tidak mengubah situasi mereka. Mengingat kembali tindakan Eru kemarin, jika mereka salah memainkan kartu, tidak mengherankan jika dia juga tidak akan datang ke ruang klub untuk sementara waktu.
Kai dan Nanaka mengambil tempat duduk saling berhadapan di depan meja dan menghela nafas.
“…Apa yang akan kita lakukan?” Kata-kata itu dengan pelan keluar dari mulut Nanaka, jadi itu pasti apa yang dia rasakan.
“Ayo lakukan apa yang kita bisa,” usul Kai.
Nanaka sedikit terkejut, karena dia tidak mengharapkan jawaban langsung.
Jika sekedar duduk-duduk sambil menghela nafas bersama akan mengembangkan rancangan mereka untuk kompetisi, maka Kai dengan senang hati akan melakukannya. Tapi itu tidak mungkin. Kau harus berjalan untuk tiba di suatu tempat, dan hanya dengan begitu pemandangan di sekitarmu akan berubah.
Selain itu, Kai tahu bahwa hal-hal seperti ini terjadi di klub-klub social game. Terkadang bug akan muncul dan programmer yang bertanggung jawab atas kode itu akan sakit flu, menyebabkan semua orang kehabisan akal ketika mencoba menghubunginya. Di lain waktu, ilustrator akan terkena art block tepat sebelum perilisan event dan tidak memiliki ilustrasi apa pun untuk diserahkan. Terkadang, seorang perancang berputar-putar mencoba mencari tahu spesifikasinya dan tidak memulai apa-apa. Apa pun situasinya, kau harus melakukan apa pun yang kau bisa.
“Kemarin, kita sudah memutuskan apa yang akan kita ubah, kan?” kata Kai.
“Y-Ya,” ujar Nanaka. “Kita berpendapat peningkatan kegunaan, kan? Khususnya, UI dan leading line.”
“Namun, kita belum memutuskan bagaimana kita akan mengubahnya. Jadi, mulai hari ini—”
“Oh, tunggu!” Nanaka mengulurkan tangan untuk menghentikan Kai bicara dan melanjutkan apa yang belum diucapkan Kai. “Kita akan membuat dokumen spesifikasi. Benarkan?”
“Y-Ya,” kata Kai dengan terkejut. “Itu benar.”
Seringai lebar muncul di wajah Nanaka saat dia mendengar jawabannya benar. “Itu artinya meskipun Ah-chan dan Eru tidak ada di sini, kita bisa terus bekerja!”
“Tepat.”
Dalam hal manajemen social game, bagian terpenting dari pekerjaan seorang perancang adalah dokumen spesifikasi. Ada banyak orang yang mengira tugas seorang perancang adalah mengajukan proposal untuk “jenis game apa yang akan dibuat,” tapi kenyataannya sedikit berbeda. Gagasan bahwa seorang perancang akan membuat game baru dari awal itu tersebar luas tapi tidak umum dalam praktiknya.
Terutama di bidang social game, di mana tujuan dasarnya adalah untuk terus mengelola satu game dalam jangka waktu yang lama, pekerjaan perancang sering kali berkisar pada keterampilan manajemen dan bukan keterampilan pengembangan. Ini berarti bahwa menulis proposal dan dokumen spesifikasi yang merincikan pembaruan event dan fitur dalam game adalah tugas utama seorang perancang.
Biasanya, langkah yang diperlukan dalam prosesnya adalah melakukan pembaruan event atau fitur milikmu dan menjelaskan kepada manajemen atas: “Seperti inilah event kita selanjutnya,” atau “Ini adalah fitur yang akan kita ubah.” Jika mereka mengizinkan, maka selanjutnya kau mengumpulkan tim pemrograman dan grafis untuk menjelaskan inti dari rancanganmu. Akhirnya, setelah semua itu selesai dikatakan dan dilakukan, selanjurnya kalian mulai menulis dokumen spesifikasi formal.
Jadi sebenarnya, Kai ingin Aya dan Eru muncul di ruang klub sekarang. Ada kemungkinan programmer melihat proposal perancang dan berkata “Tidak mungkin, ini mustahil.” Ilustrator dapat memberikan perlawanan serupa. Proposal pereancang dapat menyebabkan komposisi layar yang aneh, atau ide mereka mungkin sulit untuk dimasukkan ke dalam grafis game.
Untuk menghindari risiko seperti itu, dia ingin semua orang berkumpul bersama segera setelah proposal awal ditetapkan sehingga mereka dapat mengetahui apa saja kemungkinannya dan berbagi pendapat akan kesulitan ide tersebut atau perundingan sebelum melanjutkan idenya.
Tapi tidak ada yang bisa Kai lakukan sekarang. Melihat Aya dan Eru tidak ada di sini, apa yang mungkin terjadi adalah Kai dan Nanaka akan membuat dokumen spesifikasi skenario kasus terbaik, dan kemudian mereka akan menyelesaikan apa pun yang mereka bisa setelahnya.
“Apakah kamu mungkin pernah membuat dokumen spesifikasi sebelumnya?” tanya Kai memberanikan diri.
“Tidak… Bukan seperti itu,” jawab Nanaka malu-malu dan meraih tas yang ada di kursi di sebelahnya. Dia mengeluarkan lima buku dan menyusunnya di seberang meja. Semuanya berkaitan dengan pengembangan game, dan khususnya peran perancang dalam pengembangan game. Beberapa label mencuat di bagian atas masing-masing buku, memberi tahu Kai bahwa Nanaka telah membaca setiap bukunya dengan cermat.
“Shiraseki-kun, kamu mengajariku banyak hal kemarin. Dan aku berpikir, ‘Aku tidak bagus seperti aku yang sekarang.’ Aku tidak tahu apa-apa… Diajari juga bagus, tapi kupikir aku perlu belajar sendiri dulu.”
“…Huh?” kata Kai. “Apakah alasan kamu pergi ke toko buku kemarin…”
“Yup, itu agar aku bisa membeli ini. Aku membacanya tadi malam, dan sudah pagi tanpa aku sadari, jadi kantong di bawah mataku parah. Itu agak memalukan… ahaha.”
Kai tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Nanaka dan wajahnya yang malu-malu tertawa. Kalau begitu, aku yakin kamu tidak menyukainya? Dalam benaknya, kata-kata yang dilontarkan Eru padanya kemarin terngiang kembali. Dia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Tapi jika dia ditanyai pertanyaan yang sama lagi sekarang, dia akan tahu jawabannya. Lebih sulit untuk tidak menyukai seseorang yang berusaha keras seperti Nanaka.
“Oh, dan juga! Aku banyak membaca, jadi ada banyak bagian yang tidak aku mengerti,” katanya terburu-buru. “Semua bagian yang aku tandai dengan label adalah hal-hal yang tidak aku mengerti. Jika kamu bersedia membantuku memahaminya, itu akan membuatku sangat senang.”
“Selama aku tahu jawabannya, tanyakan saja.” Tanggapan Kai sangat cepat sehingga pada dasarnya itu adalah serangan verbal.
Nanaka terkejut dengan antusiasme Kai. “Y-Ya, terima kasih… Shiraseki-kun, apa kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu menyukainya sekarang.”
“Aku hanya … Aku sadar bahwa aku juga ingin memberikan yang terbaik,” kata Kai. Setelah melihat apa yang telah dilakukan Nanaka, tidak mungkin Kai tidak terinspirasi.
Mata Nanaka terbuka lebar sejenak, dan wajahnya berubah menjadi senyum berseri-seri. “Begitu ya! Kalau begitu, mari kita lakukan yang terbaik bersama-sama!”
Setelah itu, Kai memprioritaskan menjawab pertanyaan Nanaka daripada menulis dokumen spesifikasi. Alasannya adalah bahwa beberapa pertanyaannya terkait langsung dengan penulisan dokumen spesifikasi, dan dia ingin menjernihkan kebingungan sebelum mulai menulis, karena itu akan membuat mereka menciptakan produk akhir yang lebih baik.
Satu per satu, mereka membaca setiap buku dan Kai menjawab pertanyaan sebanyak label yang mencuat di buku. Tapi ketika mereka sampai di buku terakhir, tangannya berhenti. Judulnya adalah Tugas Seorang Perancang. Penulisnya adalah ketua Klub Sosial Game SMA Swasta Tsukigase—Kurenai Akane.
“Ini adalah orang yang seperti Dewa bagimu, kan?” tanya Nanaka. “Sungguh menakjubkan untuk berpikir bahwa dia bahkan punya bukunya sendiri.”
“…Ya. Alasan aku cukup tahu tentang tugas sebagai perancang yang layak adalah karena ket—karena dia,” ungkap Kai. “Aku sudah menunjukkan padamu data yang aku masukkan ke dalam laptopku sebelumnya, tapi Kurenai-san adalah orang yang menyuruhku melakukannya…”
Sisa rasa yang mengerikan meresap ke dalam dadanya setelah dia hampir memanggilnya “ketua”, karena Kai tidak berhak untuk memanggilnya seperti itu lagi. Dia mengambil lebih banyak waktu berharga Akane daripada siapa pun, namun dia tidak berhasil membalasnya. Yang Kai lakukan hanyalah merusak reputasi Akane dan melarikan diri.
—Oh, ini buruk. Pada saat dia berpikiran begitu, sudah terlambat; perasaan buruk itu muncul melewati perutnya sekaligus. Kai mencoba untuk mendapatkan kembali ketenangannya, tapi rasa dingin yang menyengat itu terlalu berlebihan. Setidaknya, dia berusaha menyembunyikan wajahnya.
“Sh-Shiraseki-kun?!” seru Nanaka prihatin.
“Aku… Aku… Baik-baik saja..” katanya lemah.
“Kamu sepucat hantu! Tidak mungkin kamu baik-baik saja! A-Ada apa?! Apa karena bukunya?!”
“…Tidak, tidak. Aku hanya merasa sedikit tidak enak badan… Jangan mengkhawatirkanku.”
“Jangan khawatir …?”
Kai tahu apa yang Nanaka coba katakan. Kai pernah melihat dirinya sendiri di cermin ketika dia seperti ini dulu. Pada saat itu dia berpikir, Orang ini mungkin mati. Wajahnya pucat pasi, menyerap seluruh warna wajahnya. Dia tahu wajahnya sekarang mungkin seperti itu. Diberitahu, “Jangan mengkhawatirkanku’ oleh seseorang yang terlihat seperti itu tidak masuk akal.
Meski begitu, itu yang harus dilakukan. “Mari kita lanjutkan,” kata Kai dengan gigih.
“T-Tidak! Kita bisa menundanya untuk besok, oke?”
“Besok tidak sekolah… Kita harus melakukannya hari ini.”
“Itu benar, tapi—”
“Di antara semua buku yang kamu miliki, buku itu adalah buku yang paling perlu kamu baca.” Saat dia bicara, Kai menyadari bahwa dia perlahan mulai tenang. Dia menarik napas dalam-dalam dan mengatur ulang napasnya.
Baiklah, dia berkata pada dirinya sendiri, aku baik-baik saja. Dengan lantang, dia berkata, “Jadi, mari kita coba.” Mengabaikan ekspresi khawatir di wajah Nanaka, dia mengulurkan tangan untuk membuka sampul bukunya. Dan saat Kai menjelaskan detail dari sebuah buku yang telah dia baca berkali-kali sebelumnya, waktu sepulang sekolah mereka berlalu dalam sekejap.
Post a Comment