[LN] Jakushou Soshage-bu no Bokura ga Kamige wo Tsukuru made Volume 1 Chapter 7 Bahasa Indonesia
Chapter 7 – Manajemen dan Pengembangan
“Apakah kompetisi rutin berikutnya dalam manajemen?” tanya Kai. “Ataukah dalam pengembangan?”
“Kalau tidak salah manajemen,” kata Nanaka ragu-ragu.
“Kalau begitu, kita masih…” punya kesempatan, kata-katanya menghilang ke dalam pikirannya sendiri. Seandainya itu kompetisi pengembangan, tidak akan ada yang bisa mereka lakukan.
Setiap klub social game yang ada di negara ini, dengan aplikasinya terdaftar dalam BOX, berpartisipasi dalam kompetisi rutin dengan tujuan meningkatkan kemampuan pengembangan semua pihak yang terlibat. Klub diadu melawan klub lain dengan keterampilan yang kurang lebih sama, menggunakan peringkat BOX mereka sebagai metrik penentuan lawan. Ada dua jenis kompetisi: manajemen dan pengembangan.
Jenis pengembangan meminta setiap tim untuk membuat aplikasi baru dari awal dalam waktu yang singkat. Itu mirip dengan hackathon, di mana programmer dan desainer grafis berkumpul menjadi tim-tim kecil untuk mengembangkan perangkat lunak. Kedua tim akan menerima permintaan dasar dan tenggat waktu pengembangan yang sama, dan harus mengembangkan permainan baru berdasarkan pedoman tersebut. Tentu saja, membuat aplikasi baru dari awal akan melelahkan secara fisik dan mental. Untuk Klub Social Game SMA Meikun, dalam keadaannya saat ini, itu akan serupa dengan dikirim untuk melakukan death march bahkan sebelum mereka mulai.
TL Note: Hackathon adalah sebuah acara kolaborasi pengembangan proyek perangkat lunak.
Namun, itu bukan berarti bahwa persaingan dalam manajemen akan mudah; itu tidak akan benar-benar mudah. Dalam kasus game konsol, jika kalian memenuhi semua janji dan selesai mengembangkan semua fitur yang diperlukan untuk itu, biasanya itu berakhir sampai disitu. Saat ini, sering ada patch untuk memperbaiki bug parah atau downloadable content tambahan yang masih perlu dikembangkan. Tapi, paling tidak, kasus terakhir ini sering sudah direncanakan sejak pengembangan dimulai.
Dalam hal itu, social game sangatlah berbeda. Tidak ada akhir untuk pengembangan; ada aliran konten baru yang terus-menerus dibuat. Setiap bulan—dalam beberapa kasus, setiap minggu—ada event baru dengan waktu terbatas untuk dikerjakan, atau chapter cerita utama baru untuk ditambahkan, sambil terus memperbaiki masalah yang dilaporkan melalui masukan pengguna. Jika sebuah game terus berjalan dalam jangka waktu yang lama, kalian bahkan dapat mengharapkan terjadinya pembaruan besar-besaran yang merombak mekanisme inti game untuk mencegah sesuatu menjadi membosankan. Semua usaha untuk menjaga social game tetap hidup dibungkus rapi di bawah istilah “manajemen.”
Dengan demikian, kompetisi manajemen didasarkan pada aplikasi yang sudah ada sebelumnya, yang sudah terdaftar di BOX. Meskipun masih ada tenggat waktu pengembangan, tidak ada permintaan untuk mendikte apa yang harus dilakukan, karena pengguna setiap game menginginkan sesuatu yang berbeda dari manajemen game tersebut. Beberapa sekolah mungkin memilih untuk menerapkan banner gacha baru, sementara yang lain mungkin memilih membuat event. Jika sebuah game memiliki masalah keseimbangan, maka merombak desain level game akan dihitung juga ke dalam kompetisi tersebut.
Pada akhirnya, kedua tim akan dinilai oleh para profesional yang bekerja di industri tersebut. Sekolah mana pun yang dinilai paling bagus dalam mengelola game mereka akan menang.
“Aoi-san,” kata Kai, “seperti apa rancangan manajemen terbaru kita?” Biasanya, akan dianggap praktik yang buruk untuk mengubah rancangan manajemen hanya karena kompetisi rutin akan datang. Namun, kali ini situasinya berbeda: kalah dalam kompetisi terkait langsung dengan kelanjutan klub. Klub yang menghilang, pada dasarnya, adalah akhir dari game tersebut sebagai sebuah layanan. Dengan taruhan setinggi itu, diperlukan untuk merevisi setiap rancangan yang telah dibuat sebelumnya.
Untuk melakukan itu, Kai perlu mengetahui rancangan seperti apa yang telah ditetapkan. “…Aoi-san?” tanya Kai lagi.
Sejak Aya dan Eru meninggalkan ruangan, Kai dan Nanaka duduk bersebrangan, saling berhadapan di meja. Tapi karena dia menanyakan pertanyaan ini, Nanaka menolak untuk menatap mata Kai. Dia tampak seperti anak anjing yang sedih karena dimarahi.
Kai merasakan deja vu, seolah-olah dia pernah melihat kejadian seperti ini sebelumnya. Sekitaran saat dia pertama kali bergabung dengan klub social game Tsukigase, Akane menyuruhnya membuat sepuluh rancangan berbeda untuk sebuah event, tapi dia hanya bisa membuat setengah dari jumlah tersebut. Dia baru menyadari bahwa dia melihat dirinya sendiri dalam diri Nanaka ketika dia mengangkat kepalanya dan berkata, “Maaf… Kita tidak punya apa-apa.”
“…Apa?” tanya Kai.
“Kita tidak… punya rancangan,” Nanaka mengakui, entah bagaimana berhasil menyusut lebih kecil lagi saat dia berubah dari ‘anak anjing yang dimarahi’ menjadi ‘siput yang digarami’ di depan mata Kai.
“A-Aku tidak mencoba mengkritikmu!” Kata Kai, buru-buru meyakinkannya sebelum Nanaka mencair dan menghilang seluruhnya. Kemudian dia menanyakan detailnya dan mendapati bahwa Klub Social Game SMA Meikun sama sekali tidak memiliki rancangan manajemen, seperti yang dia katakan.
Pertama-tama, game mereka dirilis hanya beberapa bulan sebelumnya; mereka hampir tidak berhasil merilisnya sebelum liburan musim dingin. Rupanya, pembicaraan tentang pembubaran klub telah dimulai sekitar saat itu dan entah bagaimana mereka memaksanya rilis sebelum liburan dimulai untuk mencegah pembubaran klub terjadi.
Tapi tidak mungkin ada orang yang bisa membuat game bagus dengan standar rilis paksa yang begitu brutal. Tenggat waktu itu penting, dan tidak jarang seorang jenius muncul dengan tekanan dari tenggat waktu yang dekat, tapi itu adalah masalah yang berbeda dari penghentian pengembangan secara paksa. Dan hasilnya, social game SMA Meikun, Miracle Stage, hampir berada di posisi terendah dalam daftar peringkat.
“…Sebenarnya, aku tidak benar-benar bermain social game,” Nanaka mengakui. “Maksudku, aku pernah memainkan RPG di TV dan semacamnya, tapi…”
“Um… Kalau begitu, kenapa kamu bergabung dengan klub social game?” tanya Kai, dan kemudian langsung menyesali cara dia mengucapkan pertanyaannya. Dia pikir Nanaka akan merasa lebih kecil hati dari sebelumnya.
Tapi berbeda dengan perkiraannya, Nanaka sama sekali tidak terlihat sedih. Nyatanya, dia terlihat sedikit lebih bahagia ketika dia bangkit dari kursinya dan menyalakan salah satu komputer di bagian belakang ruangan. Itu adalah komputer yang Eru gunakan sebelumnya, jadi tampaknya kata sandinya adalah pengetahuan bersama.
Desktop melakukan booting untuk menampilkan wallpaper yang merupakan gambar dari dua gadis yang sangat imut. Bahkan background-nya memiliki banyak cinta yang dicurahkan ke dalam detailnya, dan kualitas gambarnya sangat tinggi sehingga tidak akan berlebihan untuk menggunakannya sebagai visual utama game.
“Bukankah ini imut?” tanya Nanaka.
“…Ya, menurutku itu imut,” Kai setuju. Dia belum pernah melihat karakter ini sebelumnya, jadi dia menduga bahwa itu karakter orisinil.
“Eru menggambar ini, lho,” kata Nanaka pada Kai. “Aku sudah berteman dengannya sejak kami masih kecil. Kami biasa bermain game dan menggambar, dan kami selalu bersama. Saat itu, kami berjanji untuk membuat game bersama.”
“Dan itu sebabnya kalian berdua bergabung dengan klub social game?” tebak Kai.
“Ya. Tapi… Meskipun Eru berusaha sekuat tenaga, aku tidak bisa berbuat apa-apa…” kata Nanaka sedih. “Itulah sebabnya…”
“Itu malah memberi kita lebih banyak alasan untuk memberikan semua yang kita miliki,” kata Kai, mengingat kembali kata-kata yang dilontarkan Eru saat dia meninggalkan ruangan. Dia menyebut Kai pembohong besar, tapi menambahkan bahwa Nanaka juga pembohong, karena dia tidak melakukan pekerjaannya sebagai perancang meski berjanji untuk membuat game bersama. Jadi, Kai berpikir, itu bukan hanya Kai—Nanaka juga seorang pembohong.
“Ya! Aku akan melakukan yang terbaik!” Nanaka setuju, dengan sungguh-sungguh menanggapinya seperti anak kecil.
Kai hampir merasa malu saat melihat tatapannya yang bersemangat. Ini tidak bagus, Kai memutuskan. Tidak, ini tidak bagus sama sekali. Inilah Nanaka, yang membuka hatinya untuk menghadapi masalah klub secara langsung, jadi sebagai partnernya, Kai berpikir bahwa merupakan hal yang salah untuk berpaling darinya. Dia menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan ketenangan pikirannya, dan memutuskan bahwa dia akan menjaga percakapan tersebut seprofesional mungkin untuk menjaga dirinya tetap lurus. “…Baiklah,” kata Kai akhirnya. “Pertama, aku ingin mengetahui situasi kita saat ini.”
“Apa maksudmu?” tanya Nanaka.
“Kunci dari kompetisi manajemen adalah menerapkan peningkatan dan perbaikan yang tepat,” jelas Kai. “Untuk itu, pertama-tama aku ingin memahami DAU kita saat ini dan metrik kuantitatif lainnya.”
Kai tidak berpikir kalau dia telah mengatakan sesuatu yang aneh, tapi ada tanda tanya raksasa yang muncul dari kepala Nanaka. Setidaknya, itulah yang tampaknya ditunjukkan oleh ekspresinya.
“Um… Apakah kalian memiliki halaman tampilan admin?” bisik Kai.
“Tampilan Admin?”
Intuisi Kai memberi tahunya bahwa oh, ini buruk. Tapi sudah terlambat untuk melarikan diri sekarang, dan dia harus terus maju. “…Aoi-san, aku akan memberimu beberapa singkatan di sini,” katanya. “Maukah kau memberi tahuku apa kepanjangan singkatan-singkatan tersebut?”
“Huh?” kata Nanaka. “Cerdas cermat?”
“Pertama: KPI.”
“Hmm, mungkin… Kappa Power Island?” kata Nanaka, memberanikan diri menebak.
Kai merasa pusing. Dia tidak pernah mengira kalau Nanaka akan menyebutkan nama makhluk mitos Jepang. Memangnya apa arti Kappa dalam bahasa Inggris, Kai bertanya-tanya. “…Selanjutnya DAU,” katanya lantang.
“Oh, kamu menyebutkan itu sebelumnya… Uhhh, Dragon!” kata Nanaka dengan ceria. “And… Uncle?” Mungkin itu karena dia yakin dengan jawabannya, tapi ada semangat yang bagus di balik kata ‘dragon.’ Tentu saja, itu tidak benar, tapi tetap saja.
‘Dragon and uncle,’ pikir Kai kecut. Kedengarannya seperti cerita dongeng. Kemudian, dia melanjutkan kuisnya, mengatakan, “ARPU.”
“‘Ai-ar-pi-yu?’” Nanaka mengulangi kata-kata Kai lagi. “Kupikir ‘R’ dan ‘P’ mungkin adalah role-playing, tapi…”
“… Terima kasih banyak,” katanya. “Ini akan baik-baik saja.”
“Bagiku kau tidak terlihat baik-baik saja, Shiraseki-kun! A-Apa aku benar-benar mengatakan sesuatu begitu aneh?”
Mau bagaimana lagi, Kai memutuskan. Lagipula, Nanaka sendiri sudah bilang: dia benar-benar tidak tahu apa-apa tentang social game. Dalam hal ini, akan lebih aneh jika dia memahami jargon manajemen. Jadi ini sama sekali tidak aneh. Itu tidak aneh sama sekali, tapi—
“Ini… mungkin sulit,” gumam Kai pelan, sehingga Nanaka yang cemas tidak akan mendengarnya.
◇
Mereka memutuskan untuk melakukan beberapa penelitian tentang lawan mereka sebelum memulai persiapan kerja mereka sendiri… Atau, itulah rencananya, tapi itu tidak berarti banyak pada akhirnya.
Klub lawan berasal dari sekolah di prefektur Aomori, dan social game mereka menempel di peringkat paling bawah. Detail penghitungan peringkat tidak dipublikasikan, tapi tim analisis data di Tsukigase memperkirakan bahwa mereka melihat pendapatan bersih sebagai basis dan kemudian menyertakan pengguna aktif dan pengguna unik baru, juga.
Kai sedikit khawatir bahwa mereka akan mengalami semacam kesalahan administrasi dan menghadapi tim yang jauh di atas level mereka, tapi melihat hal ini memberinya sedikit kelegaan. Jika tim mereka keduanya memiliki peringkat yang sama, itu berarti garis start–nya juga sama. Sekarang, mereka hanya perlu melakukan apapun yang mereka bisa.
“Tentang DAU dan ARPU yang kubilang sebelumnya berkaitan dengan analisis KPI dalam social game,” jelas Kai.
“…Profesor, apa itu ‘analisis kiy-pi-ai?’” tanya Nanaka dengan suara menyedihkan.
“Analisis KPI adalah… Ini sedikit perumpamaan yang berlebihan, tapi misalkan tujuanmu adalah menghasilkan pendapatan senilai 1 juta yen,” kata Kai, mencoba menjelaskan. “Untuk mencapai tujuan itu, kita mengumpulkan data tentang orang-orang yang memainkan game kita dan menganalisisnya untuk mencari tahu apa yang perlu kita lakukan.”
“Jadi itulah analisis KPI ya,” renung Nanaka. Entah kapan, Nanaka telah mengeluarkan buku catatan dan mulai mencatat apa yang Kai katakan. Kai tidak berpikir kalau dia mengatakan sesuatu yang istimewa, jadi Nanaka yang mencatat dan memanggilnya ‘Profesor’ agak membuatnya malu
Kai menunggunya selesai menulis sebelum dia melanjutkan. “Aku akan mencoba membuat perumpamaan yang semudah mungkin bisa dipahami,” janjinya. “Namun, itu hanyalah perumpamaan, jadi nuansanya agak berbeda dari aslinya. Aoi-san,” katanya berikutnya, “berapa besar nilai yang kamu dapatkan pada try out ujian bahasa Jepang?”
“Uh, yah, um…” Mata Nanaka berputar-putar sembari tergagap. Kalau dipikir-pikir, dia sekelas dengan Kai, dan murid pintar biasanya ditempatkan di kelas unggulan di sekolah ini. Pada dasarnya, karena dia tidak berada di salah satu kelas unggulan itu… yah, jadi sudah jelas.
“…Um, jika kamu tidak ingin memberitahuku,” kata Kai lembut, “tidak harus nilai bahasa Jepang.”
“Mata pelajaran yang lain tidak lebih ba—nilainya 62,” akhirnya dia berkata tanpa berpikir. Ketika dia sadar saat di tengah-tengah kalimatnya, bahwa dia telah mengatakan lebih dari yang seharusnya, Nanaka membenamkan wajahnya di tangan.
Mengingat bahwa mereka berada di kelas yang sama, Kai tidak tertawa saat melanjutkan kalimatnya. Bukan berarti Kai dalam posisi untuk mengejeknya. “Ini hanya contoh, tapi anggaplah bahwa tujuanmu adalah untuk mendapatkan nilai 80 pada try out ujian berikutnya,” katanya. “Tujuan akhir inilah yang kita sebut dengan ‘KGI’ dalam pengelolaan social game. Ini adalah singkatan dari ‘Key Goal Indicator.’ Ini hanyalah ukuran dari apa yang harus kita capai.”
“… Apakah seperti KPI barusan?” tanya Nanaka.
“Coba lihat… KPI ada dari sini,” ujarnya. “Try out ujian bahasa Jepang selalu disusun dengan cara yang sama: bagian pertama adalah interpretasi esai kritis, bagian kedua adalah interpretasi prosa, dan bagian ketiga dan keempat masing-masing untuk sastra klasik dan China klasik. Apakah itu semua benar?”
“Ya.” Nanaka setuju.
“Untuk mencapai nilai 80 pada KGI yang kita tetapkan, hipotetis Aoi-san ini perlu memecahnya menjadi langkah-langkah yang konkret.”
“Langkah-langkah… yang konkret?”
“Um… yah…” kata Kai, yang mulai bingung. Nanaka jelas tidak mengerti maksudnya, karena wajahnya berekspresi bingung, yang sedikit memiringkan wajahnya ke satu sisi. Kai sadar bahwa membiarkannya bingung pada saat ini berarti Nanaka tidak akan pernah menjadi perancang yang layak.
Kai berpikir kalau Nanaka belum memiliki gambaran itu di benaknya, jadi dia memutar otak untuk membuat itu menjadi lebih mudah untuk dipahami. “Sederhananya, kau membuat tujuan yang lebih kecil dari situ,” katanya. “Misalnya, mungkin kau akan mengatakan bahwa kau harus 100% menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kosakata pada bagian klasik dengan benar; sesuatu yang seperti itu. Ini seperti membangun tujuan besar selangkah demi selangkah.”
“Oh, jadi itu artinya!” seru Nanaka. “Seperti diet sebelum musim panas, kau bisa mengurangi ngemil.”
“Tepat,” kata Kai. “Begitulah cara kita menggunakan tujuan besar—KGI kita—dan memecahnya menjadi tujuan yang lebih kecil, yang lebih mudah diselesaikan yang dikenal sebagai ‘KPI.’ Itu adalah singkatan dari ‘Key Performance Indicator,’ dan merupakan parameter untuk mengukur pencapaian.”
“Um…” kata Nanaka, terdiam ragu-ragu.
“Kita bisa menganggap KGI sebagai tujuan dan KPI sebagai penunjuk arah yang menuntun kita ke jalan menuju tujuan.”
“…Jadi jika kita berhasil melakukan semua KPI, apakah itu berarti kita menyelesaikan KGI?” tanya Nanaka.
“Benar. Tapi jika kita dapat dengan mudah menyelesaikan semua tujuan yang kita tetapkan, kita tidak akan mengalami kesulitan sama sekali,” kata Kai padanya. “Jadi, untuk semua tujuan kecil kita—KPI kita—kita melakukan analisis tentang cara terbaik untuk menyelesaikannya.”
“Ah! Jadi terhubung kembali ke analisis KPI seperti itu ya.” Nanaka berseri-seri, bertepuk tangan karena mendapat ilham, dan Kai mengangguk sebagai jawaban.
“Ayo kembali lagi ke social game,” sarannya. “Kompetisi manajemen adalah sebuah kontes untuk melihat siapa yang dapat meningkatkan game mereka lebih baik, jadi kita perlu meningkatkan MiSt. Ini mungkin tiba-tiba, tapi Aoi-san, menurutmu apa yang dibutuhkan MiSt agar menjadi game yang lebih baik?”
“Hmm,” Nanaka mengeluarkan senandung renungan dan mulai berpikir. Kai mengira Nanaka tidak akan pernah mencapai jawaban dengan seperti itu, tapi kemudian Nanaka mengulurkan tangan ke tablet di atas meja dan mulai mengetuknya saat dia memainkan MiSt. Dia melamun sebentar saat dia bermain, dan kemudian tiba-tiba menghentikan jari-jarinya.
“Aku tidak… Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya, tapi aku merasa MiSt lebih sulit dimainkan daripada game lain,” kata Nanaka.
“…….Begitu ya,” kata Kai, sangat terkejut sehingga reaksinya terhadap pernyataan Nanaka lebih lambat daripada seharusnya.
Nanaka mengartikan kalau dia telah salah setelah melihat jeda dari jawaban Kai, atau bahwa Kai muak dengan jawabannya, hingga panik untuk mencoba menjaga muka.
Tapi ketika Kai melanjutkan dengan “Menurutku juga begitu,” Nanaka terlihat sangat lega. “Hanya saja,” lanjut Kai, “Aku ingin membuatnya sedikit lebih konkret. Kembali lagi, bagian mana dari game lain yang menurutmu mudah dimainkan?”
“Aku juga memainkan LW, dan, meskipun game itu memiliki banyak hal yang berbeda, aku tidak merasa kesulitan sama sekali,” Nanaka mengakui. “Sepertinya aku dapat dengan mudah mengetahui ada di mana tempatnya. Hmm, mungkin mereka membuatnya hingga kau bisa memainkannya meski kau tidak tahu apa yang kau lakukan? Atau…. semacamnya?”
“Itu berarti, pada dasarnya, UI dan leading line sudah dibuat dengan baik,” kata Kai padanya.
“Oh, oh! Aku tahu ‘UI’!” Kata Nanaka. “Itu adalah ‘User Interface’! Di MiSt, akan seperti tombol yang bertuliskan gacha ini…. Tapi kurasa aku belum pernah mendengar tentang ‘leading line’ sebelumnya.”
“Di LW, ada menu Leveling dan menu Evolusi, kan? Kau tidak dapat meng-evolusi karakter sampai karakternya mencapai level maksimal, tapi pernahkah kau memperhatikan bahwa sebuah tombol yang membawamu dari menu Leveling ke menu Evolusi akan muncul jika kau memaksimalkan level karakter di layar Leveling?”
“Ya!”
“Itulah yang kita sebut sebagai leading line,” jelas Kai. “LW memiliki banyak mekanisme, jadi jika UI-nya tidak bagus, mustahil untuk mengetahui apa sesuatu itu. Selain itu, mereka membuat jalur untuk memudahkan pengguna melakukan apa yang mereka inginkan—ingin ber-evolusi setelah memaksimalkan karakter adalah hal yang jelas—dan semua itu membuatnya lebih mudah untuk dimainkan.”
“Wow!” kata Nanaka, dan dia mulai bertepuk tangan seolah-olah dia melihat ilusi sihir yang menakjubkan.
Ini merupakan pengetahuan umum bagi siapa pun di Tsukigase, jadi dihujani kekaguman karena menjelaskan hal itu membuat Kai merasa seperti dia benar-benar menggunakan semacam ilusi untuk mengelabui Nanaka.
“…Dan dalam kasus MiSt…” kata Kai, melanjutkan saat dia mengambil tablet dari meja. Nanaka bilang kalau dia tidak banyak bermain social game, tapi Kai berpikir kalau Nanaka pasti telah memainkan banyak game konsol. Jika tidak, akan sangat aneh baginya untuk dapat mengatakan bahwa MiSt ‘sulit dimainkan.’
Terlebih lagi, dia benar sekali. Ketika Kai begadang semalaman bermain game kemarin, dia terkejut dengan setiap serat dari keberadaannya. Leading line dari game ini tidak dapat dideskripsikan dengan kata seperti ‘baik’ atau ‘buruk,’ itu— sial, hanya itu. Oh, dan UI-nya juga aneh.
“Pertama-tama,” katanya, “kau mengetuk layar judul dan dikirim ke menu beranda… tapi bagaimana pun kau melihatnya, tombol untuk pindah ke menu gacha terlalu besar, tidakkah menurutmu begitu?”
MiSt dibuat agar sesuai dengan format lanskap, dan di layar beranda, sisi kiri disediakan untuk splash art karakter. Ada juga tombol untuk menu utama, berjejer di bagian bawah layar. Jika bukan karena tombol gacha yang aneh itu, ini dapat dianggap sebagai template standar,.
Daftar menu di bagian bawah memiliki hal-hal seperti Concert, Lesson, Member List, dan Shop. Ini wajar, karena hal-hal itu adalah bagian dari game. Namun di antara itu, ada satu tombol—berlabel ‘Gacha’—yang lebih besar dari tombol lain. Itu juga tidak hanya satu ukuran lebih besar. Setidaknya tombol itu tiga ukuran lebih besar dari tombol lainnya.
“Ayo pindah ke leveling karakter…” kata Kai, menekan ke depan. “Di sini, biar aku coba me-leveling satu karakter. MiSt memiliki konsep yang sama dengan LW, di mana leading line memandu pemain setelah mereka menaikkan level sebuah unit.”
Dia mengetuk tombol Lesson dan pindah ke layar berbeda. Setelah dia menaikkan level sebuah unit—oh, apa ini?—tombol untuk membawa pengguna ke menu gacha muncul.
Nanaka mencoba memahaminya dan membenamkan kepalanya di lengan, mengetahui bahwa jika kau melihat satu menu di MiSt, kau akan melihat semuanya. Dan itu tidak terbatas pada layar leveling: setelah menyelesaikan satu bab cerita; setelah meng-evolusi unit; setelah memainkan concert… apa pun itu, tombol gacha pasti ada di sana, menunggu di akhirannya. Intinya, gacha disodorkan terlalu keras. Sangat keras, hingga, kau akan mengira kalau orang-orang yang membuat MiSt memiliki satu atau dua baut yang longgar di kepala mereka.
“Aoi-san,” Kai setuju padanya, “seperti yang kamu bilang, sangat masuk akal kenapa game ini sulit untuk dimainkan.”
“…Ya, benar.” Nanaka terlihat sangat sedih, Kai bisa melihat rohnya meninggalkan tubuhnya. Akar masalahnya mungkin ada pada programmer penggila gacha itu, tapi fakta bahwa perancang tidak dapat mengendalikannya berarti tanggung jawab juga jatuh pada Nanaka.
“Tapi sekarang kita memiliki masalah yang mencolok, itu berarti tujuan kita lebih mudah untuk dibuat,” saran Kai. “Aoi-san, apakah menurutmu kamu bisa menetapkan KGI dan KPI kita sekarang?”
“Oh, benar! Umm… KGI-nya adalah ‘Jadikan game-nya lebih mudah untuk dimainkan,’ dan KPI-nya adalah ‘Tingkatkan UI’ dan ‘Atur ulang leading line’… Kurasa.”
Idealnya, KGI dan KPI akan ditetapkan lebih konkrit, seperti tujuan yang lebih kuantitatif, sehingga bisa dipecah menjadi angka dan bilangan. Misalnya, “Meningkatkan penjualan sebesar 20% dibandingkan bulan lalu” akan menjadi tujuan yang sempurna. Analisis tidak mungkin dilakukan tanpa angka-angka seperti itu, dan akan tidak pasti apakah tujuannya telah tercapai atau tidak.
Dalam kasus ide Nanaka untuk “mengatur ulang leading line,” harus ada penelitian untuk melihat berapa kali pengguna mengakses setiap halaman untuk kemudian melihat apakah tujuan mereka memiliki pengaruh yang signifikan. Dari sana, banyak hal yang harus diperhatikan akan mengalir keluar seperti satu set kartu domino. Untuk memahami jumlah akses pengguna, mereka perlu mengetahui berapa banyak orang yang memainkan game mereka setiap hari— Pengguna Aktif Harian/Daily Active Users (DAU) mereka—dan seterusnya. Dari sana, mereka akan terus menemukan hal-hal yang lebih mendetail untuk dianalisis.
Secara umum, analisis KPI yang dilakukan dalam pengembangan dan manajemen social game didasarkan pada metrik statistik, seperti DAU, untuk menganalisis kinerjanya. Faktanya, metrik itu adalah satu-satunya hal yang dapat dianggap sebagai penunjuk arah, mengingat kembali pada cara Kai menjelaskan berbagai hal kepada Nanaka sebelumnya.
Pada tingkat paling dasar, angka tidak berbohong. Sekalipun ada tanggapan positif yang sangat besar untuk beberapa peningkatan atau perbaikan di media sosial, jika perbaikan itu sebenarnya tidak efektif, maka angka di balik KPI akan kurang menyenangkan. Ada kasus di mana orang akan salah menafsirkan angka dan menerapkan perubahan yang salah arah, atau terlalu percaya pada angka dan terbakar karenanya. Tapi sebagai aturan umum, angka tidak berbohong, itulah kenapa ada kebutuhan untuk memecah KPI menjadi angka jika memungkinkan.
Namun, tidak ada alasan untuk menjelaskan hal itu kepada Nanaka barusan, Kai memutuskan. Bagaimanapun, bukan berarti jawaban Nanaka salah. Hanya saja, ada lebih dari sekedar hal itu yang bisa diperluas, dan itu selalu bisa dipelajari seiring berjalannya waktu.
Jadi sebagai gantinya, Kai memberikan anggukan yang dalam pada jawaban Nanaka, dan Nanaka memberikan Kai senyuman bahagia sebagai balasan.
◇
Keduanya melanjutkan percakapan di ruang klub sampai pukul setengah enam, lalu pulang bersama.
Untuk sampai ke Stasiun Niigata dari SMA Meikun, satu-satunya pilihan adalah naik kereta. Secara teknis ada bus yang berjalan ke arah sana, tapi halte terdekat lebih jauh dari stasiun kereta terdekat.
Meski demikian, stasiun kereta tersebut memiliki kekurangannya sendiri, yaitu jumlah kereta yang datang dan pergi sangatlah rendah. Selain itu, kereta ini hanya memiliki sedikit gerbong, sehingga selalu padat dengan siswa.
Seandainya ini adalah Jalur Yamanote di Tokyo, mereka bisa saja menunggu beberapa menit sampai kereta berikutnya datang, tapi di Niigata, hal itu bukanlah pilihan. Jika mereka melewatkan kereta jam 7 malam ke Stasiun Niigata, mereka akan terjebak selama hampir tiga puluh menit untuk menunggu kereta lain. Itulah kenapa rute mereka selalu dipadati oleh siswa yang sedang dalam perjalanan pulang dari kegiatan klub sekitaran jam segini.
“Terima kasih, Shiraseki-kun,” kata Nanaka, yang membuat Kai lengah karena Nanaka tiba-tiba berterima kasih padanya saat mereka berdua berjalan pulang.
Kai menoleh ke kiri untuk melihatnya dan menangkap sinar matahari terbenam. Matahari tertangkap di balik bukit pegunungan, dan menerangi lanskap pedesaan yang mengelilingi sekolah. Di sekelilingnya, bayang-bayang para siswa dalam perjalanan mereka ke stasiun terbentang, bergoyang-goyang di jalan setapak.
“Um… Apa yang kamu bicarakan?” tanya Kai.
“Semua hal yang kamu ajarkan padaku hari ini!” seru Nanaka. “Aku sadar… Aku sama sekali tidak tahu apa-apa.”
“Bukan hal yang patut disyukuri,” gerutu Kai karena malu.
“Tidak, itu tidak benar! Shiraseki-kun, setiap kali aku mengalami kesulitan, kamu langsung membuat perumpaan agar aku bisa mengerti, kan? Kupikir itu luar biasa!” Nanaka menyatakan itu dengan sungguh-sungguh. “Itu seperti kau berkata, ‘Inilah artinya menjadi seorang perancang!’ Itu lebih dari sekedar membuat rancangan!”
“Memang benar itu adalah kesalahpahaman yang umum,” Kai setuju. Membuat rancangan adalah bagian penting dari menjadi seorang perancang, tapi hanya memiliki rancangan tidak akan menghasilkan apa-apa bagi siapa pun. Bisa berupa angka, atau kata, atau apa pun, tapi hanya dengan menyempurnakan konsep tersebut secara logis, barulah gambaran samar dari sebuah rancangan dapat diubah menjadi cetak biru yang fungsional. Hanya dengan begitulah anggota tim lain dapat memahami arti di balik sebuah rancangan. Kemudian, dan hanya setelah itu, perancang dapat melanjutkan tugas pertama mereka. Tidak terpikirkan untuk mengakhiri tanggung jawab perancang hanya dengan membuat rancangan.
Setelah mereka memutuskan untuk fokus pada UI dan perbaikan leading line— dengan kata lain, Peningkatan Penggunaan—untuk kompetisi, Kai telah menjelaskan beberapa istilah penting yang perlu diketahui Nanaka saat mengembangkan social game. Nanaka tidak memiliki pengetahuan kerja, seperti yang Nanaka sendiri bilang, dan Kai merasa mengajarinya adalah tugas yang bermanfaat.
Dia menyesali fakta bahwa dia tidak dapat menjelaskan hal-hal seperti DAU dan istilah lain yang terkait dengan KPI dengan angka sebenarnya untuk ditampilkan, tapi sayangnya, klub social game SMA Meikun tidak memiliki sesuatu seperti admin view page. Fitur yang tersedia di halaman admin berbeda dari setiap tim pengembangan. Tapi secara umum, akan ada beberapa cara untuk memantau dan memperbarui pemberitahuan dalam game, serta cara mudah untuk memeriksa statistik yang diperlukan untuk mengukur KPI, seperti DAU.
Selain tampilan admin, mereka bahkan tidak memiliki lingkungan pengujian terpisah untuk menguji patch baru sebelum rilis. Klub itu penuh dengan kekurangan. Dan untuk menambah pederitaan: berpikiran ke depan, masalah terbesar adalah bahwa satu-satunya ilustrator klub, Eru, terlalu kesal untuk bekerja.
“Apakah menurutmu Kuroba-san akan datang ke klub kita sebagaimana mestinya?” renung Kai.
“Hmm… Kurasa dia akan baik-baik saja setelah beberapa saat,” kata Nanaka. “Tapi jika terjadi kemungkinan terburuk, aku akan melakukan sesuatu dan meyakinkan dia!” Mungkin Nanaka sendiri tidak yakin apakah rancangan ini akan berhasil, karena semangat Nanaka yang lebih rendah dari biasanya mengkhianati maksud positif dari pernyataannya.
Jika mereka punya banyak waktu, maka harapannya adalah menunggu murka Eru surut seiring waktu. Namun, dengan kompetisi yang tepat di depan mereka, mereka tidak punya waktu untuk menunggu dengan santai.
“Jika kita ingin meningkatkan UI dan leading line, kita benar-benar membutuhkan elemen grafis baru,” ingat Kai. “Jika ilustrator kita tidak muncul, kita mungkin tidak dapat melakukan apa pun.”
“Oh, kalau begitu, kita akan baik-baik saja!” tanggap Nanaka dengan santai. “Aku adalah orang yang menggambar semua UI dan lainnya, jadi aku bisa melakukannya.” Kemudian dia menambahkan dengan bangga, “Itulah sebabnya aku tahu apa itu UI!”
Kai berhenti sejenak karena terkejut. “…Aoi-san,” akhirnya dia bertanya, “kamu bisa menggambar?”
“Tidak sebagus Eru,” kata Nanaka padanya. “Tapi… aku bisa mengurus masalah UI dan hal semacam itu jika aku mencoba.”
Kai mengingat kembali bagaimana Nanaka telah memberitahunya bahwa mereka berdua dulu bermain dan menggambar bersama saat kecil. UI MiSt sama sekali tidak berkualitas buruk; UI-nya mengambil motif bunga dari tema gadis penyihir dan dengan baik memadukannya dengan realisme tema idol hinnga dapat menyatu baik dalam worldbuilding game-nya. Itu melebihi level seseorang yang hanya membuat sketsa sesekali, jadi mungkin Nanaka telah banyak menggambar ketika dia masih kecil. Mungkin dia bahkan menggambar setiap hari, seperti Eru.
Karena ada begitu banyak siswa di jalur menuju stasiun, mereka terpaksa berjalan perlahan dan baru saja masuk ketika kereta melaju. Untungnya, mereka menemukan tempat duduk yang pas untuk dua orang dan duduk bersama di dalam gerbong kereta.
Gerbong itu penuh sesak dengan siswa SMA, jadi tidak ada banyak ruang saat mereka duduk. Tepi luar paha mereka menempel satu sama lain, dan Kai bisa merasakan sedikit kehangatan tubuh Nanaka menembus kain celananya.
Buruk, pikirnya gelisah. Ini buruk. Semakin dia menyadarinya, semakin banyak sensasi kehangatan yang menyelimuti pikirannya, jadi dia memutuskan untuk membicarakan hal lain agar pikirannya teralihkan dari itu.
Tentu saja, tidak mungkin dia bisa mengatakan sesuatu yang bermakna dengan kehangatan semacam itu. “Aoi-san, kamu luar biasa,” adalah kalimat terbaik yang bisa dia ucapkan.
“Huh?” kata Nanaka. “Ada apa ini, tiba-tiba?”
Di suatu tempat di dalam hatinya, kata “luar biasa” telah terlintas dan berhasil keluar dari mulutnya, yang mana Nanaka sekarang bisa komentari karena kata-kata itu tidak jelas maksudnya. Tapi bukannya mengomentarinya, Nanaka malah tampak penasaran saat dia menatapi wajah Kai. Dia sedikit lebih pendek dari Kai, dan tentunya Nanaka mendongak ke arahnya.
Imut, pikir Kai. Itulah satu-satunya cara untuk mendeskripsikannya. Tidak dapat menatap matanya, Kai dengan sengaja menatap lurus ke depan saat dia menjelaskan, “ Maksudku, fakta bahwa kamu bisa menggambar.”
“…Itu tidak benar,” protes Nanaka. “Eru jauh lebih baik dariku. Aku tidak sebanding dengan—”
“Kamu salah,” kata Kai, memotongnya, dan Nanaka tampak agak terkejut dengan sanggahannya. “Bagi seorang perancang sepertimu, mampu membuat grafik dengan kualitas seperti itu benar-benar luar biasa,” katanya dengan sungguh-sungguh. “Semua perancang tingkat tinggi yang aku kenal memiliki semacam senjata rahasia: beberapa memiliki presentasi yang sangat meyakinkan; yang lain memiliki kemampuan untuk membangun dunia yang luas dan menarik… spesifikasinya berbeda untuk setiap orang, tapi… Aoi-san, kamu punya senjata. Itulah sebabnya, kamu, yah, luar biasa.”
Tanggung jawab seorang perancang berbeda, dan bahkan ada orang yang sampai jauh-jauh mengatakan bahwa segala sesuatu yang bukan seni atau pemrograman termasuk dalam kategori itu. Kai bisa mengerti kenapa orang-orang itu bisa berkata demikian. Sebaliknya, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa siapa pun akan paham jika mereka bekerja sebagai perancang social game. Memikirkan rancangan, menentukan spesifikasi, mempresentasikan materi, berkomunikasi dengan tim luar, dan menanggapi pengguna adalah hal yang diharapkan dari seorang perancang, bersama dengan desain level dan manajemen data master.
Beberapa orang memandang ini secara pesimis dan hanya menyebut perancang sebagai ‘buruh,’ yang mana hal itu tidak salah sama sekali; memang ada unsur buruh untuk peran seorang perancang.
Tapi ketika dia berada di Tsukigase, setiap perancang yang membuatnya berpikir bahwa orang ini luar biasa memiliki senjata yang mendorong mereka ke tingkat yang lebih tinggi dari sekadar menjadi buruh. Sudah pasti mereka bisa melakukan apa saja, karena masing-masing memiliki senjata unik yang membuat mereka menonjol dari rekan-rekan mereka.
UI yang diciptakan Nanaka berkualitas tinggi, dan hanya mungkin diciptakan dengan pemahaman yang mendalam tentang game yang dirancang untuk itu. Dia mengeluhkan kurangnya keterampilannya sebagai perancang, tapi itu hanya karena dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk mempelajari dasar-dasarnya, dan itu adalah masalah yang akan terselesaikan dengan sendirinya melalui lebih banyak pengalaman dan studi.
Tapi Nanaka sudah memiliki keterampilan yang tidak dimiliki perancang lain—keterampilan menggambar. Dia sudah memiliki senjata untuk melindungi dirinya dari orang-orang yang membuatnya menjadi buruh biasa, dan itu sangat menakjubkan.
“Benar-benar memalukan saat kamu tiba-tiba memujiku begitu…” gumamnya.
“M-Maaf,” tanpa sadar Kai meminta maaf. Saat dia melihat pipi Nanaka memerah karena malu, Kai merasa ini aneh karena, dirinya sendiri, semakin menjadi lebih malu daripada Nanaka.
“Ah—” Nanaka mengetukkan tinjunya ke telapak tangan seperti dia telah mendapat pencerahan. “Lalu, Shiraseki-kun, apa senjatamu?”
“Aku…” katanya, terhenti.
Tidak ada niat buruk di balik pertanyaan Nanaka. Nanaka memiliki keyakinan murni bahwa Kai juga, memiliki senjata yang luar biasa. Lagipula, Kai sebelumnya adalah seorang perancang di SMA social game terbaik di negeri ini.
“Aku… tidak bisa menggambar,” Kai mengakui, mengingat kembali hari pertamanya setelah pindah, ketika Nanaka mengajaknya berkeliling untuk melihat setiap klub yang berbeda-beda. Tidak ada satu klub pun yang ingin dia ikuti, atau apa pun yang dapat dia lakukan: begitulah orang yang dikenal sebagai Shiraseki Kai.
“Aku tidak bisa menulis cerita yang akan menarik pengguna,” lanjutnya. “Aku tidak memiliki pemikiran analitis yang dapat memprediksi keberhasilan game berdasarkan sedikit perubahan dalam KPI, dan aku tidak memiliki kemampuan tentang cara mendesain level yang akan dinikmati semua orang.” Kemudian dia mengeluarkan laptop dan empat smartphone dari tas ke atas pangkuannya. Ini adalah segala yang Shiraseki Kai punya.
“—Dengarkan, Shiraseki,” Nanaka akan menceramahinya. “Kau pasti menikmati social game lebih dari orang lain. Setiap hari, aplikasi yang tak terhitung jumlahnya mengulangi proses trial and error. Membuat hatimu tergerak oleh setiap game. Hal terpenting adalah tergerak, dan jangan lupa bahwa kau telah tergerak. Aku tidak bisa menjanjikanmu kalau itu akan menjadi senjata, tapi itu akan menjadi jalan milikmu, dan milikmu sendiri—”
Kai masih ingat kata-kata Akane.
“Aku memutuskan untuk mengikuti social game lebih dari orang lain,” katanya kepada Nanaka. “Untuk lebih banyak memainkan social game, untuk lebih tergerak olehnya, untuk lebih mengaguminya, untuk lebih iri, dan untuk menikmatinya lebih dari siapa pun. Laptop ini memiliki catatan laporan harianku dari setiap social game yang aku mainkan. Tidak sebagus itu, tapi… ini adalah senjataku.”
Untuk perancang setingkat Akane, senjata Kai mungkin tidak bernilai untuk dicuri. Jika senjata mereka adalah misil dan pistol, maka senjata Kai paling bagusnya cuma pisau. Dan terlebih lagi, itu adalah pisau kecil, tumpul, dan rusak yang tidak dapat digunakan sama sekali. Tetap saja, Kai memegang senjatanya sekuat yang dia bisa, dan bangkit. Setiap waktu yang dia habiskan di sekitar para jenius berbakat di Tsukigase, tekad dan harga dirinya tidak pernah berubah.
“Shiraseki-kun…” Nanaka mulai bertanya, meletakkan tangannya di atas laptop. “Hei, bolehkah aku melihatnya?”
“Huh? Tapi ini adalah sesuatu yang kutulis untuk diri sendiri,” protesnya, “jadi menurutku ini tidak menarik untuk diba…”
“Aku ingin melihatnya! Oh, tapi jika kau tidak mau menunjukkannya padaku, tidak apa-apa. Lagipula, itu adalah senjata berhargamu.” Yang dilakukan Nanaka hanyalah mengatakan sesuatu yang menurutnya jelas, dan baginya, itu hanya pernyataan biasa.
—Tapi Kai terharu lebih dari yang diperkirakan. Dia memiliki sesuatu yang tidak bernilai untuk dicuri, namun, Nanaka mengakui itu sebagai senjata. Kesadaran itu meresap di suatu tempat jauh di dalam dadanya.
Sebagai tanggapan, Kai meletakkan smartphone dan membuka laptopnya. Suara kecil dari komputer yang dihidupkan, dengan tenang tenggelam oleh suara kereta yang bergoyang. “Um… Misalnya,” kata Kai, “ini adalah laporan tentang event di D&P.”
“Ada berapa banyak?” Nanaka ingin tahu.
“Aku memiliki semuanya, dari event pertama hingga yang terbaru,” kata Kai padanya. “Aku memastikan untuk mencatat semua yang aku bisa. Untuk event, aku menganalisisnya secara menyeluruh, lalu melanjutkannya dengan desain hadiah peringkat dan bagaimana layar menu mengalir satu sama lain… Jika ada sesuatu yang bisa aku catat, aku pastikan untuk membuat catatannya.”
“T-Tunggu, kamu melakukannya sedetail ini?!” jeritnya.
Spreadsheet yang tampil di layar laptop berisi angka, grafik, dan tangkapan layar, semua dengan subteks yang dilampirkan dan dijejalkan bersama. Dia merancangnya agar bisa dibaca sendiri, jadi itu bukanlah dokumen yang dibuat dengan baik, tapi Nanaka menatap layarnya dengan seksama.
“Bagaimana dengan file yang ini?” tanya Nanaka.
“Ini adalah data tentang gacha StrikeMon.”
“…Apakah yang ini juga memiliki semuanya mulai dari awal rilis?” tanyanya.
“Ya. Hanya ini yang bisa aku lakukan, jadi…”
“…D-Dan semua file lainnya ini, semuanya sepanjang ini?”
“Ya, benar,” kata Kai.
“Itu luar biasa!” teriaknya, cukup keras hingga menyebabkan siswa lain di sekitar mereka melihat ke arah mereka, tapi Nanaka sendiri terlalu bersemangat untuk menyadari hal itu. “Kamu bilang aku luar biasa,” semburnya. “Tapi Shiraseki-kun, kamu jauh lebih luar biasa dariku!”
Post a Comment