[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 4 Chapter 1.2 Bahasa Indonesia
Chapter Satu: Mimpi Terburuk Raja Iblis
2
Setelah sarapan, Anima langsung mulai membersihkan meja. Luina dengan cepat ingin ikut membantu, tapi Anima langsung monolak niat tersebut. Dia tidak bisa membiarkan istrinya yang sedang hamil bekerja di dapur yang dingin.
“Tidak apa-apa, biarkan aku yang mengurus cucian piring. Aku pandai mencuci. Aku baru ingat, serahkan cucian pakaiannya padaku juga. ”
“Aku akan merasa tidak enak jika aku memintamu melakukan semua pekerjaan.”
“Jangan dipikirkan; Aku bisa melakukan ini sepanjang hari. Yang paling penting saat ini adalah kamu bersantai.”
Myuke mengangguk kuat.
“Aku akan membersihkan piring-piringnya dalam sekejap!”
“Aku juga akan buat kinclong!”
“Aku senang kakak adikku sangat dapat diandalkan, oce? Biar aku yang menemani Ibu ngobrol.”
“Kamu juga harus membantu.”
“Tapi dingin, oce…?”
“Ayo, cepatlah. Kita semua harus membantu pekerjaan rumah atau kita tidak akan pernah bisa main salju.”
“Baiklah, baiklah.” Kegembiraan Myuke pasti telah menular pada Bram, saat dia dengan enggan bangkit dan bergabung dengan Myuke. “Katakan saja padaku apa yang harus dilakukan, oce?”
“Bantu Marie membawa pakaian ke sumur, oke?”
“Ayo, Brum!”
Marie sangat ingin pergi ke luar. Dia dipenuhi kegembiraan sejak semalam ketika Myuke memperkenalkan ide bermain salju ke dunia kecilnya.
“Marie, pastikan Bram tetap bersamamu dan ikut membantu.”
“Kamu ikut, Brum!”
“Ya, ya. Aku ikut, oce?”
Marie meraih tangan Bram dan menyeretnya ke ruang ganti, tempat mereka menyimpan cucian baju. Sementara itu, Anima dan Myuke berjalan ke dapur dan membuka pintu belakang.
“Woow! Cantiknya!”
Myuke benar-benar terpesona oleh lapisan halus salju yang berkelap-kelip. Tidak dapat menahan diri, dia mulai berlari menyusuri taman, salju berderak di bawah kakinya saat salju itu menahan setiap langkahnya. Ketika Anima mengikutinya, dia menenggelamkan dirinya setinggi mata kaki ke dalam salju. Matahari bersinar cukup terang hingga membuatnya menyipitkan mata, namun cuaca masih cukup dingin. Menurutnya, salju akan tetap bertahan sementara waktu.
“Ah, lihat!” teriak Myuke. “Embernya penuh salju!”
“Begitulah. Coba putar balik.”
Dia membalik ember itu, memukulnya beberapa kali, lalu perlahan mengangkatnya. Melakukan itu meninggalkan gumpalan salju berbentuk ember yang sempurna di tanah. Setelah melihat baik-baik hasil kerja kerasnya, dia dengan bangga melirik Anima.
“Lihat! Bayi manusia salju!”
“Ini sangat lucu.”
“Akan lebih lucu setelah aku membuat mata dan tangannya!”
“Ayah tidak sabar untuk melihatnya. Tapi pertama-tama, ayo kita cuci piring dulu. Setelah itu, adik-adikmu bisa keluar dan bermain denganmu.”
Anima menimba air sambil melihat Myuke menusukkan jarinya ke manusia salju untuk membuat matanya. Dia kemudian membasahi kain lap, dan mereka berdua mulai mencuci piring.
“Pucihnya! Wooow!”
“Wah! Harus aku akui, ini memang menakjubkan, oce?!”
Marie dan Bram menyuarakan kegembiraan mereka saat mereka melangkah keluar. Mereka mengenakan pakaian hangat dan syal yang serasi.
“Ayah, Myukey! Calju! Caljuna banak!”
Marie dengan riang berlari melewati halaman. Mengikuti di belakangnya, Bram membawa keranjang cucian kotor. Berpakaian hangat dan benar-benar terkejut oleh negeri ajaib musim dingin, tak satu pun dari mereka yang begitu merasakan udara dingin.
“Atapnya juga diselimuti salju, oce? Ooh, apakah kamu yang membuat ini, Myuke?”
“Yucunya!”
“Benar, kan?! Ini manusia salju! Jika menurutmu ini keren, tunggu saja sampai aku benar-benar berusaha membuatnya!”
“Aku mau buat ‘nucia calju juga!”
“Akan kutunjukkan cara membuatnya setelah kita selesai mengerjakan ini.”
“Aku lebih bersemangat soal bola salju, oce?”
Meskipun pekerjaan rumahnya belum selesai, anak-anak ingin sekali bermain. Anima tidak keberatan; dia bisa menyelesaikan mencuci piring dan pakaian sendiri.
“Biar Ayah yang mengerjakan ini. Kalian pergilah bermain.”
“Tapi…”
“Tidak apa, Ayah suka mencuci piring. Bagaimana kalau kalian menebusnya dengan berjanji untuk membasuh punggung Ayah malam ini?”
Mengira bahwa itu akan menghilangkan rasa bersalah mereka, Anima memberi anak-anak cara untuk membayarnya kembali. Myuke memasang senyum berseri-seri, memberitahukan bahwa rencana Anima berhasil dengan baik, dan mereka bertiga mulai berlari dengan gembira melewati salju, riang seperti burung.
“Banak dedak kaki!”
“Aww, jejak kakimu sangat kecil. Sangat menggemaskan.”
“Hei, lihat ini, oce?! Nyah! Lihat seberapa dalam aku tenggelam!”
“Gila karena kamu menggigil kedinginan beberapa menit yang lalu.”
“Aku tidak bisa merasakan dingin lagi, oce?”
“Pastikan kamu tidak masuk angin.”
“Aku baik-baik saja! Berlarian akan membuatku tetap hangat, oce?”
Kicauan gembira anak-anak membuat Anima ingin bergabung dengan mereka, tapi dia masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukan. Setelah selesai mencuci piring, dia melanjutkan untuk mencuci pakaian. Pakaian yang berat tidak perlu sering dicuci, dan membiarkannya terkena sinar matahari sesekali sudah cukup untuk membuat pakaiannya tetap bersih. Namun, pakaian yang tipis harus dicuci hampir setiap hari. Meskipun cuaca di luar dingin, mudah untuk berkeringat di ruang makan yang hangat, yang akan membuat pakaian dalam dan pakaian-pakaian halus lainnya menjadi kotor dengan sangat cepat. Kain tipis juga membutuhkan perawatan ekstra untuk menghindari robekan yang tidak disengaja. Anima tidak pandai dalam pekerjaan yang teliti seperti itu, tapi dia melakukan yang terbaik karena dia tahu itu akan membuat keluarganya bahagia. Melakukan itu demi senyuman mereka menghilangkan semua kebosanan dari tugas-tugasnya. Tapi, yang paling penting…
“Aku bisa menggambar dengan jejak kakiku, oce?”
“Wow, tidak buruk juga.”
“Aku juga! Aku ingin megambay juga!”
...mendengarkan obrolan ceria anak-anak memberinya semua kekuatan yang dia butuhkan untuk menyelesaikan tugasnya.
“Baiklah, cuci pakaian sudah selesai.” katanya, dan melirik anak-anak dengan perasaan puas. Mereka bertiga sibuk mengumpulkan salju, lalu melemparkannya ke udara. Mereka menciptakan hujan salju buatan. “Pastikan agar saljunya tidak masuk ke pakaianmu!”
Setelah memperingatkan anak-anak untuk berhati-hati, Anima mengambil keranjang cucian dan masuk ke dalam. Dia memasuki ruang makan melalui dapur, di mana dia menemukan Luina tertidur dengan tenang di meja. Dia diam-diam melewati istrinya yang sedang tidur, tapi lantai kayu tiba-tiba mengeluarkan suara derit yang keras.
“Nmhhh… Apa kamu sudah selesai mencuci?”
“Ya, sudah.”
“Terima kasih. Kamu pasti kedinginan; biarkan aku membuatkanmu secangkir susu hangat.”
“Aku baik-baik saja, kok. Mari kita simpan susu hangatnya setelah anak-anak selesai bermain.”
“Mereka menyukai salju. Aku bisa mendengar suara mereka dari sini.”
“Apakah kamu kesepian?”
“Aku sangat ingin bermain dengan mereka, tapi aku tidak bisa main salju saat aku hamil. Bukan hanya kesehatanku saja yang akan aku pertaruhkan.”
Anima memeluk istrinya yang murung.
“Saat selanjutnya kita mengalami hari seperti ini, entah itu tahun depan, tahun depannya lagi, atau satu dekade dari sekarang, aku berjanji kita akan bermain salju bersama sepanjang hari seperti keluarga bahagia.”
“Aku menantikannya.” Dia menatap mata Anima dengan senyum lembut saat suara riang putri-putri mereka merembes masuk melalui jendela. “Terima kasih, aku merasa jauh lebih baik sekarang. Aku akan membawa cucian masuk, kamu sebaiknya keluar dan menjaga anak-anak. Kita tidak ingin mereka berkeliaran sampai ke hutan.”
Hunter bekerja keras untuk mengusir monster dari kota, tapi hutan tetaplah berbahaya. Tidaklah aneh untuk berpikiran kalau anak-anak yang terlalu bersemangat akan berkeliaran menjelajahi lingkungan yang mereka kenal, yang sekarang dilukis dengan cahaya baru. Mereka mungkin akan baik-baik saja, terutama dengan Bram dan batu Naga Giok-nya di sisi mereka, tapi lebih baik berhati-hati daripada menyesal.
“Pastikan kamu tidak masuk angin.”
“Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja,” dia meyakinkan Luina, lalu menuju ke luar. Tepat saat Anima membuka pintu, Myuke lewat di depannya. Dia menggelindingkan bola salju raksasa.
“Apakah kamu akan melempar itu?” tanya Anima.
“Gak mungkinlah, itu berbahaya. Ini akan menjadi tubuh manusia salju kita. Ini masih membutuhkan beberapa usaha, sih. Kita harus membuatnya bagus dan halus.”
“Ayah yakin itu akan menjadi manusia salju yang hebat.”
“Pastinya! Tunggu saja!”
Mencoba untuk membuat Anima terkesan, Myuke terus menggulirkan bola salju sampai dia tidak bisa lagi melakukannya. Anima berpikiran untuk menawarkan bantuannya, tapi dia tahu kepribadian Myuke, jadi Anima memutuskan untuk membiarkan dia melakukannya sendiri; dia akan membantunya jika Myuke memintanya. Sampai saat itu, yang bisa Anima lakukan hanyalah memberikan kata-kata penyemangat padanya.
Saat menyaksikan Myuke bergumul dengan manusia salju yang sedang dalam proses, salah satu putrinya berlari ke arahnya.
“Ayah, kita akan melakukan perang bola salju, oce?!”
Bram berhenti sekitar lima belas langkah di depan Anima dan memberi tahu dia tentang rentetan serangan yang akan datang, Marie tepat di sebelahnya sedang membuat bola salju sepanjang waktu. Untuk sesaat, Anima berharap Marie sedang membuatkannya makan siang—mirip dengan saat dia memberinya pai tanah liat—tapi sepertinya tidak begitu. Marie selesai membuat satu bola salju terakhir, lalu berbalik ke arah Anima.
“Ayah, yayi!”
“Baiklah, kalau begitu! Siapa pun yang mengenai Ayah, akan mendapat tur gendong keliling rumah!”
“Yaaay!”
Marie melakukan lemparan pertama. Setelah melengkung kecil, bola saljunya jatuh ke tanah beberapa kaki di depan Anima. Selanjutnya adalah Bram, yang bola saljunya akan dengan mudah mencapai Anima, jika saja bola itu mengarah ke arah yang benar. Mereka benar-benar mencoba untuk mengenainya, dan Anima benar-benar mencoba untuk kena, tapi itu tidak berhasil. Sayangnya, dengan perintah Marie untuk lari, Anima tidak bisa hanya berdiri diam dan menunggu upaya mereka berikutnya. Dia berbalik dan mulai bergerak dengan langkah besar tapi sangat lambat.
“Ayah akan kabur jika kalian tidak segera melempar!”
“Aku akan mengenai Ayah, oce?!”
“Tunggu! Tunggu!”
Mereka berlari melingkar di taman sambil membombardir Anima dengan bola salju. Tak lama kemudian, seseorang mengenai punggungnya.
“Tepat sasaran, oce?!”
“Woow! Brum yu’ay biaca! Aku juga! Dia berjalan ke arah Anima. “Nh!”
Dengan puff!, dia juga mencetak tembakan langsung padanya.
“Yaaay! Aku kena!”
“Kamu seperti master pemanah, oce?”
Anak-anak melakukan tos, merayakan kesuksesan mereka. Mereka benar-benar bersenang-sennag, tapi mengenai Anima tampaknya membutuhkan lebih banyak energi dari yang mereka kira. Wajah mereka benar-benar memerah, dan mereka terengah-engah. Sudah waktunya untuk istirahat.
Untuk itu, Anima menoleh ke arah Myuke. Myuke melihat ke sekeliling taman, berdiri di samping manusia saljunya. Dengan tinggi yang hampir sama dengan Marie, baik kepala dan tubuh manusia saljunya bulat dan licin-halus. Karyanya tampak sudah jadi.
“Itu jelas manusia salju yang mengesankan!” puji Anima pada kreasinya yang imut.
“Makasih, tapi ini belum selesai. Aku masih harus membuat wajah dan memberinya tangan. Apakah Ayah melihat kerikil atau ranting tergeletak di sekitar sini?”
“Mungkin ada beberapa di bawah salju.”
Dia bisa menghempaskan salju dengan satu langkah jika dia mau, tapi itu akan benar-benar merusak kesenangan Myuke.
“Kurasa hutan adalah pilihan terbaikku.”
“Ayah akan pergi dan mencarikannya untukmu. Kamu tetaplah di sini.”
Kekhawatiran Luina tepat sasaran. Seandainya Anima tetap bersama Luina bukannya mengawasi anak-anak, Myuke akan pergi ke hutan mencari ranting dan kerikil.
“Makasih. Ambilkan dua ranting yang seukuran lengan Marie, dan dua kerikil kecil. Dan juga, jika Ayah dapat menemukan daun kemerahan, itu akan luar biasa. Aku bisa menggunakannya sebagai bibir.”
Dilihat dari daftarnya yang rinci, Myuke sepertinya sudah menyelesaikan manusia salju dalam pikirannya. Anima harus bekerja keras untuk membantu Myuke membuat manusia salju yang sempurna.
“Tunggu di sini, Ayah akan segera kembali,” katanya, lalu menuju pintu depan rumah mereka.
Jalan menuju hutan tidak mungkin terlihat di bawah lapisan salju yang tebal, tapi itu tidak masalah baginya; dia mengarahkan pandangannya ke garis pohon dan berjalan lurus ke arah sana. Saat berjalan ke dalam hutan, dia memperhatikan bahwa nadi cokelat hutan—akar pohon yang mencuat dari tanah—tertutup salju, mengubahnya menjadi rintangan tersembunyi yang berbahaya. Anima harus berhati-hati agar tidak tersandung dan jatuh.
Memilih pohon secara acak, Anima berjongkok dan menyapu sebagian salju di sekitarnya. Benar saja, di bawahnya ada beberapa kerikil kecil dan daun merah. Beberapa saat kemudian, dia menemukan dua ranting yang sepanjang lengan Marie. Misinya telah selesai. Dia berdebar berpikiran akan melihat senyum senang Myuke, dan kembali dengan semangat tinggi. Namun, kepulangannya tidak berjalan seperti yang diharapkan.
“Apa yang kau lakukan?!” Anima tidak disambut dengan senyum yang ingin dia lihat. Sebaliknya, jeritan memekakkan telinga menembus negeri ajaib musim dingin yang tenang saat Myuke menginjak-injak tanah, sedang marah. “Aku bekerja sangat keras untuk membuat ini!”
“Apa yang terjadi?”
Menjawab Anima yang bingung, Myuke menunjuk ke arah manusia saljunya. Anima mengikuti arah jarinya sampai dia melihat pemandangan yang mengerikan: kepala manusia salju, yang bulat sempurna dan halus, telah menjadi korban serangan kejam. Itu jelas dipukul dengan sesuatu.
“Bram yang melakukan itu!”
Myuke memelototi pelakunya.
“Itu tidak sengaja! Aku tidak bermaksud melempar bola salju ke sana, oce?!”
Anima yakin bahwa Bram telah meminta maaf ketika insiden itu terjadi, tapi dia mungkin merasa kesal ketika usahanya untuk menenangkan Myuke gagal. Akibatnya, keduanya saling melotot.
“Itu tidak penting! Kau menghancurkan manusia saljuku dan begitulah! Aku baru saja akan menyelesaikannya juga!”
Myuke siap meledak, dan kemarahannya sepenuhnya bisa dimengerti. Dia telah bekerja sangat keras membuat manusia salju, bahkan memilih tidak ikut perang bola salju untuk menyelesaikannya.
Namun, pada saat yang sama, itu pastilah kecelakaan. Bram bukanlah tipe gadis yang dengan sengaja menghancurkan sesuatu yang disayangi Myuke. Dia mungkin berpikir bahwa setelah menyelesaikan ciptaannya, Myuke akan bersemangat untuk bergabung dalam permainan mereka.
“Dengar, Myuke, dia jelas tidak bermaksud mengenai manusia saljumu. Bagaimana kalau kamu berbaikan dengannya?”
“Huh?! Ayah pikir dia benar?! Ayah mau bilang kalau akulah yang salah di sini?!”
“T-Tidak, maksud Ayah bukan begitu…”
“Jadi menurut Ayah Myuke benar? Oce.”
“Maksud Ayah juga bukan begitu…”
“Jadi, Ayah ada di pihakku!”
“Ya benar, oce?! Ayah jelas ada di pihakku! Ayah lebih menyukaiku, oce?!”
“Apa?! Di alam semesta mana?! Aku selalu membantu Ayah di rumah! Aku mencintai Ayah, dan Ayah juga mencintaiku!”
Anima senang mereka berdua sangat mencintainya, tapi dia lebih suka mereka tidak memperebutkannya. Hasil terbaik adalah mereka berbaikan dan berpelukan, dan langkah pertama adalah memadamkan apinya dulu.
“Bagaimana kalau kita buat yang baru?” saran Anima. “Bersama. Kita berempat.”
“Tidak! Sudah cukup! Dia hanya akan menghancurkannya lagi!”
“Sudah kubilang! Itu tidak sengaja, oce?!”
“Jangan berkelahi!”
Mereka berdua langsung merasakan beratnya kata-kata mereka ketika Marie angkat bicara. Sangat mengesankan bahwa yang terkecil dari mereka bertiga dapat menenangkan yang lain dengan satu kalimat. Meski begitu, meskipun keadaan sudah tenang, tidak ada pokok persoalan yang terselesaikan.
“Dengar, Marie, kami tidak sedang bertengkar, oke? Sebagai yang tertua, merupakan tanggung jawabku untuk memberi tahu seseorang ketika mereka melakukan kesalahan. Hanya itu yang kulakukan pada Bram.”
“Itu bukan peringatan! Kamu hanya marah, oce?!”
“Aku marah karena kau tidak mengerti apa yang kau lakukan!”
“Aku sudah minta maaf, oce?!”
“Oh ya?! Dan bagaimana kau melakukannya, hah?! Mengatakan ‘Teehee, salahku, oce?!’ itu tidak terdengar seperti minta maaf!”
“Waktu itu aku belum tahu kalau aku mengenai manusia saljumu, oce?! Aku meminta maaf sungguh-sungguh setelah itu, kan?!”
“Apa yang membuatmu berpikir kalau semua yang ada di dunia ini bisa diperbaiki dengan sekedar meminta maaf?!”
“ENCIKAAAAAAAN!”
Meskipun terasa menyedihkan untuk menyerahkan mediasinya kepada Marie kecil, teriakannya benar-benar efektif. Dia sekali lagi membungkam pertengkaran kakak-kakaknya. Anima dengan cepat masuk ke antara mereka berdua dan mencoba menenangkan emosi mereka.
“Dengar, Myuke, Ayah sudah mendapatkan semua yang kamu minta. Setelah kalian berdua berbaikan, kita bisa membuat manusia salju baru, oke?”
“Makasih, tapi tak usahlah. Bram hanya akan menghancurkannya lagi.”
“Kenapa kamu selalu berkata begitu?! Aku akhirnya keluar dalam cuaca dingin menyengat ini, tapi kau merusak hariku, oce?!”
“Bagus, kalau begitu masuklah saja ke dalam! Berkurunglah di tempat tidur seperti yang selalu kau lakukan sana!”
“Itulah yang akan aku lakukan! Aku tidak ingin bermain denganmu lagi, oce?!”
Anima menyaksikan Bram bergegas kembali ke dalam rumah. Kecemasan Anima meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan, karena dia belum pernah melihat mereka berdua berdebat sebelumnya. Anima ingin membantu menengahi masalah, tapi memihak salah satu anak secara tidak sengaja akan menyakiti yang lain. Di luar metode yang pada dasarnya tidak sempurna itu, dia tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan situasi ini.
Mereka akan segera berbaikan. Kuharap…
Menurut Luina, pertengkaran seperti itu adalah kejadian sehari-hari ketika rumahnya penuh dengan anak-anak dari berbagai lapisan masyarakat. Setiap kali Luina berbicara tentang hari-hari itu, ada rasa kerinduan dalam suaranya, yang menunjukkan bahwa anak-anak selalu berbaikan cepat atau lambat.
Myuke dan Bram memiliki hubungan yang sangat baik. Mereka belum pernah terlibat pertengkaran yang begitu hebat sebelumnya, tapi pertengkaran kecil adalah bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, dan itu selalu cepat terselesaikan. Hal itu tidak mungkin berubah meskipun dengan perselisihan yang lebih besar.
“Aku akan buat ‘nucia calju!”
Marie menyela jalan pikiran Anima dengan eraman ceria.
“Ayo kita buat bersama!”
“Tidak! Aku yang buat! Kamu yihat caja!”
Dia membuat bola salju dengan tangan mungilnya, lalu meletakkannya di tanah dan mulai menggelindingkannya. Pelan tapi pasti, bolanya membesar dengan sendirinya.
“Wow, itu tubuh yang sangat bagus. Bukankah menurutmu begitu, Myuke?”
“Ya, tentu. Tapi, punyaku juga bagus…”
Sementara Anima merenungkan apakah dia harus mencoba untuk melanjutkan percakapan, Marie berhenti dan berjongkok. Dia mengumpulkan segenggam salju lagi, menguleninya menjadi bola, dan mulai menggelindingkannya. Setelah kurang lebih satu menit, bolanya sudah siap.
“Ayah, angkat!”
“Tentu saja!”
Dia dengan lembut mengambil bola salju yang bulat dan meletakkannya di atas tubuh manusia salju. Marie mengambil kerikil dan ranting, yang dikumpulkan Anima, dan menggunakannya untuk menghias manusia salju.
“Selesai!”
“Itu manusia salju yang sangat lucu.”
“Makacih! Aku membuatnya ‘tuk Myukey!”
Marie membuat manusia salju itu untuk menghibur Myuke, tapi tindakan kebaikannya hanya mengoyak jiwa Myuke. Rasa bersalah terlukis di seluruh wajahnya.
“Makasih… Kita harus membangun tembok di sekelilingnya agar tidak hancur.”
“Brum tak akan! Itu tak cengaja!”
“Mungkin, tapi… aku akan tetap membuat tembok. Aku tidak ingin angin menjatuhkannya.”
Myuke berjongkok dan mulai membangun dinding. Dia sebelumnya bersenang-senang di pagi hari; suaranya yang ceria telah sampai ke dapur. Menyaksikannya membangun dinding dalam keheningan total, tanpa sedikit pun senyuman, menyentakkan hati Anima. Salju seperti ini tidak sering datang, jadi Anima ingin memastikan bahwa Myuke dan Bram berbaikan dan memanfaatkan salju sebaik mungkin sebelum mencair.
“Kalian pasti kedinginan sekarang, dan Ayah yakin Luina merindukan kalian. Bagaimana kalau kita istirahat?”
“Ya. Ayo.”
“Aku haus!”
Anima kembali ke dalam bersama kedua anak-anak. Ketika mereka membuka pintu, mereka disambut oleh aroma manis. Luina sedang berdiri di dapur, mengawasi sepanci susu yang diletakkan di atas api.
“Apakah kamu kedinginan?” tanya Anima padanya.
“Tidak, malahan, uap yang naik ke wajahku membuatku panas. Susunya hampir siap, maukah kamu membantuku membawanya ke ruang makan?”
“Tentu saja. Kami akan membawa semuanya, anak-anak sebaiknya menunggu di meja. Kami akan ke sana sebentar lagi.”
“Okeeey! Ayo, Myukey!”
Bereaksi terhadap tarikan Marie, Myuke menyeret kakinya ke ruang makan. Saat mereka berjalan mendekat, Anima berbalik ke arah Luina.
“Apakah Bram ada di sana?”
“Ya, dia ada di meja dengan murung. Aku duga mereka bertengkar.”
Luina tampaknya telah menebak apa yang terjadi berdasarkan gerutuan Bram. Tidak ingin merepotkan istrinya, Anima memasang tampang percaya diri.
“Jangan khawatir. Aku akan pastikan mereka berbaikan.”
“Oke. Aku percaya padamu,” jawabnya sambil tersenyum.
Kepercayaan Luina padanya, dan pengalaman Luina yang luas soal pertengkaran di antara anak-anak, sedikit menenangkan Anima. Semuanya akan baik-baik saja, yang harus dia lakukan adalah membuat yang lain mengikuti jejak Luina dan menunjukkan senyum indah mereka.
Dengan secangkir susu panas di tangan, Anima bersumpah bahwa dia akan memperbaiki keadaan di antara mereka berdua.
Post a Comment