[LN] Uchinukareta Senjou wa, Soko de Kieteiro Volume 2 Chapter 1 Bahasa Indonesia

 

1. EXELIA BARU

 

“Gah, aaah!” Rain mengerang kesakitan. “Ugh…”

Kelima indranya menggelepar, seolah-olah dia terombang-ambing.

Ini tidak sakit lagi… Semua rasa sakit dan luka di tubuh Rain dari pertempuran sebelumnya telah menghilang.

……

Padahal, sensasi tercekik masih melekat di kesadarannya. Setiap kali dia mencoba menarik napas, rasa sakit merobek paru-parunya… Butuh beberapa saat, tapi dia perlahan-lahan bisa mengatur napas. Dan saat dia akhirnya mengangkat kepalanya …

…dia mendapati dirinya di padang salju.

Ini… Bukannya hutan yang dipenuhi tembakan, dia mendapati dirinya berada di padang salju. Warna putih keperakan membentang ke segala arah. Saat ini Rain berada di wilayah pegunungan, jadi sulit untuk memahami situasinya dengan tepat. Setidaknya tidak ada tentara musuh di dekatnya. Dan dalam hal ini, tidak ada rekan juga.

Dia memasuki dunia yang telah bergeser…

Rain menaiki senjata lapis baja setinggi sepuluh kaki… Exelia M4 timur. Baik situasi dan areanya berbeda dari pertempurannya beberapa saat yang lalu. Dia berdiri sendiri di padang salju itu.

“Sumpah…”

Tidak… dia tidak sendirian. Seseorang duduk di kursi depan Exelia dengan punggung membelakanginya.

“Rain,” dia memanggil namanya dengan lesu. “Sumpah, saat aku berpaling sebentar, kau hampir membuat dirimu sendiri terbunuh. Bukankah aku sudah memerintahkanmu untuk bertahan setidaknya selama tujuh puluh detik?”

“…Maaf.”

“Sheesh.”

Itu adalah suara yang sama, yang telah berbicara dengannya melalui transceiver nirkabel sebelumnya, menghitung mundur ke saat aktivasi.

 “Yah, kau masih hidup, jadi kurasa semuanya berakhir baik.”

“…Dimana kita?”

“Entahlah. Aku juga berada di tengah hutan beberapa detik yang lalu, tapi di sinilah kita sekarang.”

Rambut peraknya yang panjang dan matanya yang cerah, dengan warna jernih yang sama, memberikan penampilan yang anggun, namun dia sungguh mencolok bahkan dengan latar belakang salju.

Gadis itu menyisir rambutnya, lalu berkata, “Kita mungkin cukup jauh dari medan perang sebelumnya. Tidak ada orang lain di dekat kita.”

“Air, Pemrograman Ulang barusan…”

“Tentu saja, itu aku,” kata gadis perak, Air. “Aku menggunakan Peluru Iblis.” Dia sangat santai tentang kata-kata yang amat penting itu. Kemudian dia berbelok ke arah selatan dan berkata, “Sejujurnya, mereka mengirim pasukan lebih banyak dari yang aku kira.”

Rain harus melihat ke bawah untuk berpapasan dengan tatapannya, tapi meskipun penampilannya cantik, dia berbicara kasar kepada anak laki-laki yang lebih tinggi itu.

“Aku mungkin akan memuji pemula karena selamat dari serangan lima penyihir selama tujuh puluh detik, tapi kau masih terlalu lemah untuk bertahan di medan perang jika hanya itu yang bisa kau lakukan.”

“…Siap.”

“Jika aku harus menilai kinerjamu, aku akan bilang kalau kau sendiri telah menangani dengan baik melawan penyihir biasa. Namun, jika kita bertemu dengan Hantu, kau akan mati tanpa sempat menunjukkan semua kerja kerasmu.”

Air memberinya evaluasi yang agak pahit dan kasar, tapi Rain merasa dirinya tidak dapat membantah. Semua yang Air katakan sangat masuk akal.

Gadis berambut perak tersebut adalah Hantu, makhluk yang memiliki kekuatan tak terbayangkan. Rambut perak dan dua senjata besar di punggungnya, yang juga berfungsi sebagai senjata utama, membuatnya mudah dikenali di tengah kerumunan. Namun, kekuatan sejatinya terletak pada peluru perak, peluru yang hanya bisa diproduksi olehnya.

Peluru Iblis, begitulah sebutannya. Siapapun yang ditembak dengan peluru itu akan menghilang. Dan itu berarti lebih dari sekedar mati. Semua pencapaian, prestasi, dan akibat yang dihasilkan oleh orang tersebut akan terhapus, tidak meninggalkan sedikit pun jejak keberadaannya. Jika seseorang menembak ibu seorang pahlawan, pahlawan itu akan menghilang. Dan jika penemu suatu senjata ditembak, dunia akan bergeser ke tempat dimana senjata itu belum pernah ditemukan.

Pemrograman Ulang… Air telah memberikan nama itu pada kekuatan untuk mengubah dunia. Dan setelah mendapatkan kekuatan tersebut, Rain telah menggunakannya berkali-kali. Dia telah menembak mati para perwira yang sudah menyebabkan kematian banyak orang dan komandan musuh yang memimpin pembantaian besar-besaran, mengubah sejarah setiap saat.

Peluru yang dapat menghapus seseorang dan semua yang telah mereka lakukan, jatuh ke tangan seorang anak laki-laki yang tidak berdaya, yang memberinya otoritas untuk mengendalikan dunia.

Aku bisa mengubah banyak hal. Aku pasti bisa mengakhiri perang…

Namun—

“Yah, baiklah,” Air menghela nafas. “Aku menggunakan Peluru Iblis untuk menarik kita keluar dari skenario kekalahan itu, tapi kenyataannya adalah, kita telah mengalami kerusakan hingga sisa dua puluh persen dari unit lapis baja kita sebelumnya. Aku ragu kita bisa memenangkan pertarungan berikutnya jika kinerja kita seperti itu.”

Bahkan kekuatan yang luar biasa itu tidaklah maha kuasa. Air mengingatkan Rain akan hal ini sambil membersihkan salju yang menumpuk di atas pakaiannya.

“Mari kita sudahi hari ini.”

Sialan…

Di mata Rain Lantz, Peluru Sihir adalah sebuah senjata. Sudah hampir sepuluh tahun sejak api peperangan melahap kampung halamannya, dan sejak saat itu dia telah memoles keterampilan teknis dan magisnya untuk memastikan bahwa dia tidak akan pernah lagi kehilangan orang-orang yang dia sayangi. Tentu saja, dia tidak cukup sombong untuk percaya bahwa dia bisa mengalahkan perwira berpangkat tinggi. Namun, dia masih bertahan hidup melewati pertempuran berkali-kali. Bahkan di akademi yang melatih penyihir muda, hanya sedikit orang yang bisa menandinginya.

“Sungguh, aku hanya bisa menggonggong dan tidak menggigit, bukan…?”

Akademi Alestra. Akademi militer yang didirikan untuk melatih dan mengembangkan penyihir muda. Saat matahari terbit, Rain dan Air duduk berdampingan di atas gerbang barat akademi. Tidak ada orang yang berjalan di sekitar area sepi tersebut pada jam segitu, sehingga mereka sering berdiskusi di sana.

“Kau terdengar menyedihkan,” kata Air, kata-katanya menusuk langsung ke dalam hatinya.

Sudah sehari sejak pertempuran terakhir mereka, perebutan lokal di Hutan Jilen. Negara Barat telah mempertahankan kendali penuh atas situasi sampai akhirnya menang, sedangkan Negara Timur telah kehilangan salah satu jalur darat internalnya yang penting.

Itu bukanlah kerugian kecil. Kehilangan jalur logistik utama di tengah perang sama saja dengan putusnya pembuluh darah. Ditambah lagi, pemahaman bahwa mereka telah kalah dalam pertempuran besar seperti itu memberikan pukulan pahit dan melumpuhkan mereka dengan sendirinya. Kerusakan moral tidak akan segera sembuh.

Momentum dari kekalahan itu mengancam akan mengubur mereka, itulah kenapa mereka harus memenangkan pertempuran di hari sebelumnya, bahkan jika itu berarti mendapatkan banyak korban. Namun, bahkan Peluru Iblis, yang bisa menggeser dunia, gagal membalikkan hasil.

Sialan…

“Ini membuatnya menjadi empat kekalahan berturut-turut.”

“…Aku tahu.”

Pertempuran itu bukanlah keanehan. Semua pertempuran yang diikuti Rain selama sebulan terakhir telah berakhir dengan kekalahan. Dalam beberapa bulan sejak dia mendapatkan Peluru Iblis, dia bergegas melewati banyak medan perang dan menggunakannya untuk mengubah hasil… untuk mengubah dunia. Dia telah menembak mati banyak perwira yang menyebabkan tragedi, mengganggu masa lalu lagi dan lagi untuk secara bertahap memandu perang menuju akhir.

Sayangnya, musuhnya, negara barat Harborant, adalah kekuatan besar yang tidak pernah membiarkan negara lain melanggar batas wilayahnya. Banyak individu kuat menghuni perbatasannya, sehingga itu dapat dengan mudah menambah kekuatan untuk melawan gangguan Rain dan Peluru Iblis.

Kekuatan Peluru Iblis tidaklah maha kuasa. Itu tidak akan berhasil tanpa mengenai target, dan kondisi itu mungkin sulit untuk dipenuhi. Dan jika target tersebut tidak cukup memengaruhi keadaan pertempuran, efek peluru akan sangat kecil.

Model Exelia baru yang diproduksi secara massal di Barat dan membangun kekuatan invasi yang kuat, yang memberi mereka keuntungan yang tidak dapat diatasi oleh Peluru Iblis dengan mudah. Dan akibatnya, O’ltmenia mengalami banyak kekalahan.

Apa yang harus aku lakukan…? Apakah aku harus mengambil langkah selanjutnya?

Saat Rain memeras otaknya…

“Hmm, apa yang harus aku lakukan?”

…jelas bahwa Air sama sekali tidak mempertimbangkan masalah tersebut.

“Berpikir itu terlalu merepotkan!”

“…Hei,” kata Rain padanya

“Oh? Apa yang kau mau?” gadis berambut perak di sampingnya menanggapi dengan murung. “A-Aku tidak akan memberimu satu pun stroberiku,” tambahnya sambil menyembunyikan tas.

“Aku tidak peduli dengan stroberimu.”

“…Sebaiknya begitu.”

Air melahap sekantong penuh stroberi saat dia mendengarkan renungan Rain. Itu adalah buah yang agak langka dan berharga selama musim dingin, dan sejak dia mulai memakannya, mood Air telah meningkat secara signifikan.

Pertempuran hari sebelumnya baru saja berakhir, jadi mereka bertemu di gerbang barat untuk mendiskusikan situasinya di pagi hari. Air sepertinya tidak sedikit pun lelah. Justru sebaliknya. Dia dengan diam menyaksikan matahari pagi, tangannya dimasukkan ke dalam tas saat ekspresi masamnya berubah menjadi seringai senang.

“Tetap saja, berhentilah terlihat begitu tertekan. Murung tidak akan mengubah fakta bahwa kau telah kalah.”

“Itu lebih baik daripada bertingkah tanpa beban.”

 “Kurasa kau tipe orang yang mati pertama di medan perang.”

“……”

“Terlalu banyak berpikir bisa sama bodohnya dengan yang tidak memikirkan semuanya sama sekali.”

“Bodoh…?”

“Yah, terserahlah. Depresilah semaumu. Untungnya, aku punya sedikit sesajen di sini,” kata Air sambil memasukkan stroberi lagi ke mulutnya. Rain telah menerima sekantong buah beberapa hari yang lalu dari temannya Athly, dan dia  membawanya pada Air dengan maksud untuk membagikan setengahnya. Tak perlu dikatakan lagi, Air akhirnya merampas semuanya darinya.

“Apa kau tidak punya lagi?”

Dan dia bahkan memiliki keberanian untuk minta tambah, yang mana hal itu tidak bisa Rain berikan.

Haaah… Rain menghela nafas di dalam hati. Dia merasa lelah. Diingat-ingat lagi, dia sadar bahwa Air selalu berperilaku sangat arogan dan sombong. Beberapa bulan yang lalu, Rain, seorang taruna di medan perang, hampir menemui ajalnya. Tapi dia tak sengaja menemukan peluru perak, dan ketika dia menggunakannya, dia bertemu Air.

Benar…

Dia menyebut dirinya Hantu, makhluk yang terus ada dengan memakan api peperangan. Namun, sebelum Rain sempat membantah pernyataan yang tidak masuk akal seperti itu, dia bertemu dengan Hantu lain seperti dia.

Hantu…

Dipaksa ke dalam situasi yang sangat berbahaya, Rain tidak punya pilihan lain selain bertarung.

Dan seperti yang Air katakan sebelumnya, seandainya Rain bertemu dengan Hantu lain selama pertempuran itu, dia pasti sudah mati.

Untuk mempertahankan jiwa mereka, Hantu menyebarkan perang dan konflik. Mereka memiliki kekuatan sihir yang sangat besar dan tidak alami, menekan batas-batas konsep itu sendiri. Melawan mereka akan membahayakan semua orang di daerah itu, menyebabkan banyak kematian dan kehancuran. Banyak orang telah meninggal, dan banyak kota telah terbakar, menyebabkan duka yang berkelanjutan.

Namun, beberapa hal tetap ada. Sebulan yang lalu, selama pertempuran terakhirnya dengan para Hantu, Rain telah menjalin kemitraan jangka panjang dengan Air. Dia masih memiliki itu, serta rumah sementaranya, Akademi Alestra.

 


 

Mereka memiliki hubungan yang aneh, persekutuan yang tidak stabil, yang terancam akan runtuh kapan saja. Namun, dia tetap di sisi Rain. Dia adalah salah satu dari sang Hantu. Seorang penyihir perak yang berdiri di atas segalanya, luhur dan penuh harga diri serta bermartabat. Namun, pada intinya, dia adalah gadis yang rapuh. Dia tetap bersamanya melalui itu semua, bahkan selama saat-saat tenang dan santai di luar medan perang.

“Kita bisa menyelesaikan pembicaraan ini lain kali. Dingin sekali di sini.”

Pada akhirnya, Air membuat persiapan untuk pergi karena dia merasa pagi yang dingin terlalu sulit untuk ditahan. Dia tidak melakukan apa pun selain mengobrol dan menjejali pipinya dengan stroberi, tapi itu tampaknya sudah cukup bagi Rain. Pikiran tentang masa depan membuatnya cemas, jadi dia membutuhkan perubahan langkah.

“Kalau begitu, kapan pertemuan kita selanjutnya?”

“Benar, tentang itu. Aku punya beberapa tugas yang harus dilakukan, jadi aku akan pergi selama sepuluh hari.”

“Sepuluh hari…?” Jangka waktu yang agak lama, menurut Rain. Jika memungkinkan, dia ingin membicarakan semuanya lebih cepat.

“Mendapatkan waktu untuk memikirkan segalanya akan membantumu.”

“Tapi ekspedisi kita berikutnya akan dimulai dalam lima hari.”

“Kau harus mengatasinya tanpa aku. Ingat, jangan melakukan sesuatu yang sembrono dan membuat dirimu terbunuh, jika bisa.”

Setelah ucapan perpisahan pada Rain, Air menghilang.

Lima hari kemudian, Rain tiba di titik ekspedisi berikutnya, Danau Hazul. Air, tentu saja, tidak menemaninya. Itu adalah daerah di sepanjang perbatasan, dengan danau sebagai pusatnya, tempat Negara Barat sering melancarkan serangan gerilya. Wilayah itu berisi tambang besi yang penting bagi Negara Timur. Jika Danau Hazul jatuh ke tangan Barat, Timur akan kehilangan sumber besinya yang besar, itulah sebabnya mereka bahkan mengirim taruna untuk mempertahankan area ini. Tapi–

Ini buruk…

Itu terjadi dua hari setelah Rain dan rekan sesama tarunanya tiba. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari seratus hari, kekuatan serangan Barat muncul di dekat danau. Dan itu juga bukan untuk berpatroli atau menjaga musuh dari mendekat.

Lima puluh unit… Barat telah melancarkan invasi ke Danau Hazul dengan lima puluh unit Exelia ketika masing-masing negara hanya memiliki sekitar seribu unit. Tindakan mereka tampak tidak masuk akal, tapi musuh tetap melakukannya. Timur, sebagai perbandingan, hanya mencapai tiga puluh unit dengan menambahkan para taruna.

Tiga puluh unit lebih dari cukup untuk menahan garis pertahanan mana pun, tapi ketika musuh mengerahkan lima puluh unit, mereka tidak memiliki kesempatan.

Sudah satu jam sejak pertempuran dimulai, dan sementara mereka mencoba melawan dengan cara biasa, semua upaya mereka berakhir dengan kegagalan. Pasukan Barat menerobos Danau Hazul dan menghancurkan pertahanan Timur dengan jumlah yang lebih banyak, sehingga pertempuran dengan cepat menguntungkan musuh. Peluru Sihir menghujani tanpa henti dari formasi kokoh musuh.

“Sialan…” Rain menggertakkan giginya karena frustrasi saat dia menyaksikan pertempuran dari belakang bersama dengan sisa taruna. Mereka belum bergabung dengan pasukan utama karena kurangnya perintah. Jika Air ada di sana, mungkin dia akan menyelinap ke garis depan, tapi…

“Whoa… Unit lain gugur…”

…dia tidak berada di sisinya. Sebaliknya, teman sekelasnya Athly berpasangan dengannya di dalam Exelia.

“Kita akan kalah kalau begini, kan…?” tanya Athly.

“Kita sudah kalah. Sial, dari awal kita bahkan tidak punya kesempatan…”

“Ugh, tidak bisakah mereka memerintahkan kita untuk mundur saja…?”

Athly sudah menjadi rekannya sejak mereka mendaftar di Akademi Alestra, dan kemampuannya sebagai operator Exelia jauh melebihi apa yang diharapkan dari seorang taruna biasa. Namun terlepas dari bakatnya, dia masih tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Air.

Rain menolak untuk bertindak, terutama karena Athly tidak tahu tentang Peluru Iblis. Dia harus merahasiakan kekuatan itu dengan segala cara. Athly sama sekali tidak sadar, jadi dia tidak punya alasan untuk bertindak di luar lingkup perintah yang diberikan pada mereka.

Jadi, Rain hanya melihat Timur bertempur menuju kekalahan mereka.

Pada titik ini, pertempuran akan… Tidak. Bahkan jika ada Air, membalikkan keadaan sepertinya tidak mungkin. Kesenjangan antara kekuatan mereka tampak terlalu besar untuk diatasi. Dan tentu saja, akhirnya…

“Perhatian. Semua pasukan timur selain dari unit kedua harus mundur ke hilir. Kita mundur.”

Mayor Jenderal Kobachi, yang memimpin pertahanan Danau Hazul, telah menyimpulkan bahwa tidak ada gunanya meneruskan pertempuran. Itu adalah tindakan paling bijaksana dan cerdas mengingat situasinya.

Pertempuran berakhir dengan kekalahan Timur. Itu tampak jelas bagi semua orang yang hadir.

Namun–

“Baiklah, ada perintah untuk mundur. Ayo tinggalkan tempat ini, Rain!”

“…Teruslah maju, Athly.”

“Huh?”

“Menuju batu yang berada seribu lima ratus kaki di depan itu.”

Seorang taruna satu-satunya menolak menerima kenyataan itu. Sementara semua orang mundur, Rain memperbaiki teropong senapannya, melepaskan pengamannya, dan meletakkan jarinya di atas pelatuk.

Jika terus begini, kami akan kalah… Selama beberapa minggu terakhir, Timur tidak mendapatkan satu pun pencapaian penting. Mereka hanya terus menghadapi kekalahan satu demi satu; lagi dan tamatlah mereka. Dia harus mengubah pertempuran, tidak peduli apapun risikonya.

“U-um, Rain, mereka menyuruh kita untuk mundur…,” kata Athly, mencoba menghalanginya.

“Lupakan itu!” teriak Rain.

“Ah…”

Terintimidasi oleh teriakan Rain, Athly mengemudikan unit mereka dengan Rain yang mengarahkan. Melewati unit-unit yang menjauh dari garis depan, mereka berjalan menuju ujung utara Danau Hazul. Tentu saja itu bukan sembarang komando. Dia memiliki rencana yang jelas dalam benaknya.

Aku telah mengamati medan perang selama ini, tapi… Dia telah menganalisis medan perang, bahkan saat dia berdiam diri di belakang, dan berhasil mempersempit rantai komando musuh. Sekelompok beberapa unit yang hampir tidak bergerak berdiri di tengah medan perang, mengamati segalanya. Jika dia berhasil menembak komandannya…

Segalanya mungkin berubah…

Dia memiliki kesempatan untuk mengubah alur pertempuran, tapi sebelum mereka mencapai batu itu…

“Ah…!”

Peluru Sihir yang kuat meledakkan unit Rain dari belakang. Musuh tidak berhasil melancarkan serangan langsung, tapi ledakan itu masih membuat unit mereka terbang. Dan ketika awan debu mereda dan Rain mendapatkan kembali penglihatannya, dia melihat Athly mengeluarkan banyak darah dari kepalanya.

“Ugh…”

“Athly!”

“Oh, Rain… O-ow… Aku baik-baik saja; sebuah batu baru saja menyerempetku…,” jawabnya dengan gagah, tapi jelas terlihat seperti luka yang lebih serius. Sejujurnya, menyaksikan upaya kaku Athly — untuk tersenyum penuh semangat menahan rasa sakitnya — sungguh menyiksa Rain.

“…Athly. Ayo berkumpul kembali dengan pasukan kita yang lain.”

“Siap.”

Rain mengubah perintahnya dan membuat mereka mundur dari garis depan, menghasilkan kegagalan lain di belakangnya…

“Sungguh, aku baik-baik saja. Mereka bilang aku butuh waktu istirahat, tapi mereka terlalu berlebihan.”

Setelah mereka berdua mundur, Rain segera mendesak Athly untuk menerima perawatan medis. Kemudian, setelah kembali ke Akademi Alestra, dia diberikan istirahat selama dua hari di bagian rumah sakit. Athly duduk di tempat tidur, kepalanya ditutupi perban.

Satu-satunya luka yang dideritanya adalah luka gores, tapi karena melibatkan trauma benda tumpul di kepala, dokter bersikeras agar dia tetap dirawat.

Rain telah tiba pada pukul delapan pagi, yang Athly tanggapi dengan cekikikan.

“Mereka tidak membesar-besarkan apa pun. Kau mengalami benturan serius di kepala.”

“Tapi mereka… Tetap saja, dengan kau yang datang menemuiku setiap hari seperti istri penyayang membuatnya sepadan.”

“Aku yang menjadi istrimu?”

“Yaampuuuun, aku ingin sekali sesuatu yang manis.”

“…Aku akan membawakanmu besok.”

“Yaaay! Oh, dan semoga berhasil di kelas hari ini. Aku akan tidur siang dengan nyenyak saat kau belajar,” kata Athly sambil menutupi kepalanya. Dia bercanda, tapi…

Lukanya masih sakit.

…Rain tahu Athly menderita. Luka besar itu dijahit dengan kasar, jadi akan sangat sakit saat obat penghilang rasa sakit mereda. Bahkan saat dia berbicara dengannya, senyumnya tampak bergetar.

Kenapa?

Kenapa segelanya menjadi sangat buruk? Dia telah mendapatkan kekuatan Peluru Iblis, tapi dia terus kalah dalam pertempuran. Ditambah lagi, dia bahkan telah membuat pasangannya terluka.

“Aku akan mengunjungimu lagi nanti hari ini.”

“Okeeee!”

Rain meninggalkan ruangan dan menuju bagian kelas akademi.

“Brengsek!”

Saat dia berjalan ke koridor kosong, Rain mengungkapkan rasa frustrasinya dengan menendang dinding. Dia sadar bahwa dia sedang membuat amukan kekanak-kanakan, tapi dia tetap gagal mengendalikan emosinya. Perasaan jengkel menguasai dirinya. Dia benci bahwa tidak ada yang berjalan sebagaimana mestinya… Dia membenci dirinya sendiri karena begitu tidak berdaya.

Aku tidak akan pernah bisa merubah apapun dengan cara ini… Kesabarannya menipis. Kemarahan menguasainya sebelum dia sadar bahwa dia harus tenang.

“…Huh?”

Tak lama setelah dia mengucapkan selamat tinggal kepada Athly, Rain melangkah ke bagian kelas akademi. Dia datang terlambat, jadi dia berharap semua orang sudah ada di sana. Namun, semua siswa berkumpul di sekitar papan buletin, berbicara dengan penuh semangat.

“Sekarang ada apa lagi?” dia menghela nafas. Rain merasa sangat buruk, tapi pemandangan itu tetap membangkitkan rasa ingin tahunya. Jadi, dia mengintip ke papan buletin yang memiliki selembar kertas baru yang ditempel di sana.

Murid tahun ketiga Rain Lantz dari divisi matematis, tolong segera melapor ke kantorku.

Rektor Akademi Alestra Kreis Falman

“Tentang apa semua ini?” gumam Rain pada dirinya sendiri saat dia berjalan menyusuri lorong. Dia menyadari teman-teman sekelasnya menatapnya dengan rasa ingin tahu. Dan mereka juga bukan hanya sekedar curi-curi pandang. Setelah menyadari kehadirannya, mereka menoleh ke arahnya dan langsung menatapnya.

Ugh…

Alasannya jelas. Pesan di papan buletin ditujukan padanya secara pribadi, dan orang yang memanggilnya adalah rektor, pejabat tertinggi di Akademi Alestra. Ini sangat tidak biasa.

Kenapa memanggilku…?

Akademi Alestra adalah akademi perwira terbesar di negara ini. Akademi itu menghasilkan orang-orang yang bertugas sebagai inti militer tapi juga berisi banyak orang yang bergabung dengan lembaga penelitian. Meski lembaga penelitian dihitung sebagai personel militer, beberapa dari mereka bahkan tidak pernah memegang senjata. Jumlah mereka lebih sedikit dibandingkan dengan tentara biasa seperti Rain, yang jumlahnya kurang dari 60 persen dari jumlah siswa. Sebagian besar juga lebih muda dari Rain; meskipun demikian, beberapa peneliti adalah pria paruh baya.

Ada kursus non-gelar yang didirikan untuk para peneliti tersebut. Beberapa dari kursus tersebut berfokus pada peperangan, seperti kursus operator Exelia, tapi kebanyakan, seperti jurusan teknik mesin, adalah pekerjaan di belakang meja. Meskipun demikian, semua jurusan mewajibkan taruna untuk mengikuti pelatihan praktik dan beberapa perkuliahan pengetahuan umum hingga mereka mencapai tahun ketiga. Pemisahan yang sebenarnya menjadi mata kuliah pokok dimulai pada tahun keempat, yang berarti tahun ketiga masih diperlakukan sebagai siswa umum.

Tapi panggilan, huh?

Rain berhenti di depan kantor rektor, yang berada di lantai satu gedung paviliun, tempat yang jarang dikunjungi orang.

Aku ingin tahu apa yang dia inginkan dariku…?

Dia merasa sangat gugup saat menatap pintu kayu hitam yang memiliki catatan di atasnya yang bertuliskan TIDAK PERLU DIKETUK, tapi dia masih harus melewati pintu tersebut.

“Permisi,” katanya saat membuka pintu dan masuk sesuai instruksi. Saat dia melakukannya, Rain mengerutkan hidungnya. Ruangan itu cukup besar, tapi kantor rektor itu dipenuhi dengan dokumen dan aroma khas dari kertas baru.

Ugh…

Ada juga bau alkohol tinta yang mudah menguap, biasa terjadi di tempat-tempat yang penuh dengan dokumen.

“Ugh…”

“Mengerang saat kau masuk agak tidak sopan, bukankah begitu?”

Rain berbalik ke arah orang yang telah berbicara itu.

“Maksud saya, maaf, tapi…,” Rain meminta maaf dengan canggung.

“Astaga, kau benar-benar menjadi siswa yang tidak sopan, bukan? Aku harus bilang, kau jauh lebih sopan saat tahun pertama. Kau dulu menahannya hanya dengan senyuman tidak nyaman.”

“Sejujurnya, saya merasa itu sudah cukup tidak sopan…”

“Yah, kupikir reaksi canggungmu itu lucu.”

Setelah itu, seorang wanita berseragam militer menongolkan wajahnya dari balik gunungan dokumen.

“Lama tak jumpa, Rain.”

Ketika Rain pertama kali bertemu dengannya, dia mengira bahwa wanita itu tampak berusia empat puluhan, tapi rumor mengatakan dia satu dekade lebih tua dari itu. Dia adalah wanita yang cukup menarik dengan tubuh yang ramping. Jika bukan karena delapan medali dan lencana peringkat emas di dadanya, siapa pun akan mengira kalau dia adalah perwira senior biasa… dan sebagian besar akan menolak untuk percaya bahwa dia adalah rektor dari akademi perwira terbesar di negara ini.

Rain hanya berdiri di depan wanita berseragam yang telah memanggilnya.

“Jadi ada urusan apa Anda denganku, Mayor Jenderal Kreis Falman?”

Mayor Jenderal Kreis Falman adalah seorang perwira wanita yang telah dipromosikan menjadi rektor dua tahun lalu. Dia awalnya instruktur di divisi matematis, di mana dia bekerja pada pengembangan Exelia, tapi dia diangkat setelah rektor sebelumnya meninggal. Promosi itu adalah pencapaian besar, tapi Kreis tidak pernah mencari ketenaran dan sebagian besar menyesali kerja ekstra yang jatuh ke pangkuannya.

“Jadi jika saya boleh bertanya lagi…” Rain terdiam saat dia menutup pintu, lalu melanjutkan. “Ada urusan apa Anda denganku?”

“Oh, tidak ada yang khusus.”

“…Serius?”

“Kau sedang tidak terburu-buru untuk pergi ke suatu tempat, kan?”

Dia memberi isyarat agar Rain duduk di sofa dan menuangkannya secangkir teh dingin. Dalam upaya untuk bersikap sopan, Rain menyesapnya, sementara Kreis duduk di hadapannya, menyeruput teh yang sama dinginnya.

“……”

“……”

Namun, keheningan terjadi.

“Um…”

“Apa itu?”

“Saya tahu ini tidak sopan untuk dikatakan, tapi saya lebih suka tidak berbasa-basi dan langsung ke topik utama.”

“Tidak sabaran, ya? Yah, jika itu yang kau inginkan, aku bisa melakukannya.”

“Terima kasih.”

“Apakah kau bersenang-senang di Akademi Alestra?”

Lebih banyak basa-basi. Apakah dia mengabaikan permintaan Rain?

“Dengar, Rain, ini penting bagiku. Hanya tiga orang yang mendaftar di divisi matematis setiap tahun, jadi kau adalah salah satu dari sedikit orang itu. Sampai kau di tahun kedua, kau sering muncul untuk membantuku dalam penelitian, tapi aku tidak melihatmu akhir-akhir ini, yang mana hal itu membuatku khawatir.”

“Promosi berarti saya sering ditugaskan.”

“Sungguh mengerikan.” jawaban Kreis adalah kritik terhadap perang secara keseluruhan.

Kenapa melakukan semua ini…? Rain gagal memahami alasan Kreis memanggilnya.

Kreis Falman adalah salah satu dari sedikit orang yang dikenal Rain sejak masuk Akademi Alestra. Dia mengambil jurusan matematis, yang memiliki sangat sedikit rekrutan baru, dan Kreis adalah instrukturnya pada saat itu, jadi Rain pergi padanya untuk bimbingan.

Tidak ada banyak siswa di divisi matematis, tapi itu karena, hanya mereka yang memiliki nilai yang luar biasa-lah yang dapat bergabung ke dalamnya. Kreis berdiri lebih baik di atas instruktur lain, dan karenanya, perkuliahan dan nasihatnya terasa sangat berharga. Dia cukup baik dan pandai bicara. Rain dengan jujur ​​menganggapnya wanita berkarakter, dengan cara yang tidak seperti kebanyakan perwira senior, jadi Rain memandangnya sebagai salah satu dari sedikit orang dewasa yang dia kenal yang dapat dia percayai. Dia akan membantunya dengan penelitiannya jika memungkinkan, yang membuat mereka semakin dekat.

Namun, itu semua telah berakhir satu tahun yang lalu. Perang semakin sengit, dengan pertempuran yang menjadi lebih sering pecah di semua lini, sehingga waktu mereka bersama berkurang. Kreis sendiri juga tidak punya banyak waktu luang untuk berbicara dengan seorang siswa. Dia memiliki tugas sebagai instruktur, rektor, dan peneliti yang harus diurus.

​​Sekarang dia telah memanggil Rain tiba-tiba tapi dia malah berputar-putar dalam membahas keperluannya. Tidak ada yang masuk akal, termasuk pertanyaannya. Dia bahkan menggunakan papan buletin untuk memanggil Rain, jadi dia berasumsi bahwa Kreis memiliki urusan yang mendesak, tapi sepertinya itu salah.

“Hmm…” Kreis sepertinya menyadari betapa tidak sabarannya Rain dan berkata, “Baiklah, kalau begitu. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu, Rain.”

“Silakan.”

Cangkirnya, yang tetap di tangannya selama ini, tiba-tiba bergetar.

“Bukankah sulit berada di dekat sang Hantu, Air?”

Saat berikutnya…

“Ah!”

…Rain mengeluarkan pistol yang bersarung di pinggangnya dan menembakkan peluru ke arah Kreis. Itu bukanlah perluru perak dan juga tidak mengandung Peluru Sihir. Itu hanya peluru biasa, proyektil standar yang terbuat dari timah yang tidak mungkin meleset dari jarak segitu. Namun…

“Ow…!”

…Rain mengerang kesakitan saat dia menembak. Peluru yang diarahkan ke bahu Kreis meleset dari sasaran dan terkubur di dinding di belakangnya. Seseorang telah menghentikannya… dan itu bukanlah Kreis. Dia bukan penyihir, jadi tidak ada cara baginya untuk mengimbangi Rain. Orang yang melindunginya adalah…

“Baiklah, aku sangat terkejut.”

…seorang gadis bersembunyi di balik bayangan rak buku.

“Aku penasaran bagaimana reaksimu, tapi aku tidak mengira bahwa kau akan begitu saja langsung berdiri dan menembaknya.”

“Air—”

Rain bahkan lupa untuk bertanya apa yang Air lakukan di sana. Saat dia menembak Kreis, Air telah menembak tangan kanan Rain. Air tidak menembak tangannya menembus tulang, tapi tangan dominan Rain masih menjerit kesakitan. Air telah menembakkan peluru hampa, tapi itu memberikan cedera yang cukup untuk membuat Rain terdiam.

“Kau memiliki bakat untuk melakukan hal-hal yang paling tidak terduga, lho?” bisik Air saat dia berjalan keluar dari tempat persembunyiannya dan memandang rendah pada Rain dengan kejengkelan yang terpancar jelas di matanya. Rain tidak masalah dengan itu. Masalah sebenarnya adalah…

“Air, kenapa…?”

…Air telah menyelamatkan Kreis.

“Memangnya, kenapa…?” Gadis itu menghela nafas. “Menjawab itu akan sedikit memusingkan…”

Kreis tampak terkejut. Mereka berdua memiliki ekspresi yang berbeda di wajah mereka, tapi mereka bertukar pandangan yang akrab.

“Um, bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu, Air?”

“Apa?”

Mereka juga berbicara secara alami, yang menyiratkan bahwa mereka setidaknya pernah bertemu sebelumnya.

“Kurasa aku mendengar suara tembakan barusan, tapi apa yang terjadi?”

“Orang bodoh kecil yang panikan ini mencoba menembakmu.”

“Apa?!”

“Aku sadar kalau kau bukan penyihir, tapi setidaknya sadarlah kalau cuma begitu…”

Berdasarkan cara mereka berbicara satu sama lain, Rain membangun teori.

Mereka… saling mengenal?

Kemungkinan besar mereka sudah bertemu beberapa kali, karena mereka tampak lebih dari sekadar kenalan biasa.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Rain. Air telah mengawasinya dari bayang-bayang di ruangan itu tanpa sepengetahuannya, yang menyiratkan bahwa dia memiliki semacam hubungan pribadi dengan Kreis. Namun, keadaan di baliknya masih belum jelas. Maka, Rain mengalihkan pandangannya ke arah Air, yang duduk di meja Kreis dengan menyilangkan tangan.

“Lihat, aku benar-benar tidak mengerti semua ini,” kata Rain.

“Dan menurutmu kau pantas mengetahuinya? Angkuh sekali?”

“Jelaskan saja situasinya!”

“Aku pertama kali bertemu Kreis empat puluh tahun silam,” kata Air, menjawab pertanyaannya. “Tepatnya selama perang ketiga.”

“Perang ketiga…?”

“Benar, perang besar terakhir sebelum ini. Aku menyelinap ke pasukan darat O’ltmenia pada saat itu, sementara Kreis adalah seorang taruna… Kurasa bocah ini seusiamu saat itu. Dia bertugas sebagai salah satu bawahanku. Itulah hubungan kami.”

Saat perang ketiga dulu…?

Air memanggil Kreis, seorang wanita berusia lima puluhan, bocah ini. Sulit dipercaya, orang yang tempak remaja seperti Air akan menggunakan istilah itu untuk merujuk pada seseorang yang jauh lebih tua darinya. Tapi mengingat hubungan mereka, itu masuk akal. Mereka sudah saling kenal selama empat puluh tahun. Dulu, Kreis memanglah bocah, sedangkan Air terlihat sama seperti biasanya.

“…Mayor Jenderal Kreis.”

“Ya?”

“Saya akan menghargai jika Anda berhenti bertele-tele dan menjelaskan kenapa Anda memanggil kami kemari. Saya sangat ragu kalau Anda ada di sini hanya untuk bernostalgia sambil minum teh.”

“Oh? Dan kupikir kau akan sedikit lebih tertarik pada hubunganku dengan Air.”

“Sejujurnya, saya tertarik, tapi saya ragu bahwa pengetahuan itu akan merubah sesuatu.”

“Aku mengerti. Kalau begitu, Rain Lantz, aku punya perintah untukmu,” kata Kreis, dengan cepat mengganti topik pembicaraan. Dia akhirnya membahas permasalahan yang sedang dihadapi dengan menyebutnya perintah… sesuatu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang tentara. Lalu dia menyebarkan beberapa lembar kertas di atas meja, menunjukkannya kepada Rain.

“Aku ingin kau mengawal sebuah angkutan menuju ibu kota yang membawa Exelia generasi kedua kita.”

Kata-kata yang baru saja diucapkan Kreis, Exelia generasi kedua, mengejutkan Rain. Itu adalah mesin yang akan menentukan arah pertempuran yang akan datang.

“Ini adalah perintahku sebagai rektor, Rain. Karena kau telah membantu penelitianku, aku tidak perlu menjelaskan detailnya. Itu adalah unit yang telah aku kembangkan selama beberapa dekade,” kata Kreis, lalu mengalihkan perhatiannya pada Air. “Air, apakah kau ingat pernah mendengar tentang itu?”

“Aku pernah mendengar beberapa rumor tapi belum pernah melihat aslinya,” jawab Air, lalu mendongak seolah mencoba menarik kata-kata yang tepat dari ingatannya. “Exelia generasi kedua adalah unit baru yang berjalan dengan mekanisme yang sepenuhnya berbeda dari yang sekarang.”

“Ya, kalimat itu sudah menyimpulkannya dengan cukup baik,” tanggap Kreis sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke arah Rain. “Saat ini, Exelia menggunakan mesin piston. Banyak aspek dalam mesin telah berevolusi selama satu abad terakhir, seperti struktur kaki dan banyak langkah diambil untuk mengurangi berat dan meningkatkan kemampuan manuvernya. Namun di sisi lain, mekanisme utama yang menggerakkan Exelia nyaris tidak berubah. Semuanya sama dalam artian bahwa semuanya menggunakan bahan bakar organik… Namun, Exelia generasi kedua menggunakan mekanisme yang sepenuhnya berbeda. Mesin alir yang aku kembangkan menjadikan panas peluruhan logam campuran nuklir graimar sebagai sumber energinya, sehingga menghasilkan senjata yang lebih kuat.”

Klasifikasinya cukup sederhana. Exelia generasi pertama menggunakan mesin piston yang mengkonsumsi bensin untuk bahan bakar, sedangkan Exelias generasi kedua menggunakan mesin alir yang menggunakan panas peluruhan dari logam campuran nuklir graimar.

Tesis Kreis Falman adalah “Radiasi Panas Logam Campuran Nuklir Graimar.” Dia mengajar matematika tapi hanya karena itu terkait dengan bidang aslinya, fisika nuklir. Dan melalui penelitiannya selama bertahun-tahun, dia menciptakan mesin alir yang digunakan pada Exelia generasi kedua.

Mengekstraksi banyak energi dari logam campuran nuklir graimar bukanlah pengetahuan baru dari dirinya sendiri, tapi melepaskan terlalu banyak panas peluruhan, dan tidak ada yang tahu cara untuk mengontrol output-nya, sehingga orang menganggap mesin alir adalah mimpi yang mustahil . Bahkan jika seseorang akan membuat mesin seperti itu dan memasangkannya pada Exelia generasi kedua, mereka tidak memiliki cara untuk mengatur output energinya. Jadi, Exelia generasi kedua tidak ada… sampai sekarang.

“Kami hanya berhasil menghasilkan beberapa unit dari itu, tapi itu kurang lebih telah sempurna. Namun, performanya tidak terlalu ideal, jadi prototipenya tidak cocok untuk pertempuran langsung. Masalahnya, unit-unit itu sendiri sarat dengan rahasia negara, termasuk mesin alir. Kita tidak boleh membiarkan Exelia generasi kedua dicuri, apa pun yang terjadi.”

“Kenapa…?” Rain menghadapi Kreis secara langsung dan menanyainya pada saat itu. “Lalu kenapa saya harus mengawal unit itu?”

“Biarkan aku berterus terang. Aku ingin kau berada di sisi Exelia generasi kedua sebagai mata-mataku. Mesin alir sudah seperti anak bagiku, dan bahkan ada orang di pihak Timur yang mengincar teknologi tersebut. Tapi Rain, kau berbeda.”

Kalau begitu, dia telah membuat pilihan yang rasional.

“Aku mengetahui tentang hubunganmu dengan Air.”

“……”

Fakta bahwa dia bekerja sama dengan Hantu adalah rahasia yang cukup besar untuk disembunyikan, tapi ada hal lain yang lebih dikhawatirkan Rain. Apakah Kreis tahu tentang Peluru Iblis? Menyembunyikan keberadaan peluru yang menghapus orang lain sepenuhnya adalah yang terpenting. Jika pengetahuan tentang Peluru Iblis bocor, itu akan menjadi akhir untuk Rain dan Air. Risiko dari orang lain yang mengetahui hal itu terlalu besar untuk diabaikan begitu saja.

“Sayangnya, tidak seperti kalian berdua, aku bukanlah seorang penyihir, jadi aku hanya bisa menyaksikan peperangan dari jauh. Siapa yang tahu kekuatan khusus apa yang kalian miliki?”

“Maksudmu peluru Hantu…?”

“Peluru Hantu?”

“…Bukan apa-apa.”

Berdasarkan nada suaranya, Rain sadar bahwa Kreis tidak tahu tentang Peluru Iblis. Dia hanya tahu keberadaan misterius dari para Hantu dan bahwa Rain membantu Air. Dia memahami bahwa dia terlibat erat dengan Hantu—bahwa dia memiliki hubungan khusus dengan entitas yang mampu memengaruhi aliran sejarah.

“Aku tidak bisa mempercayakan misi ini kepada seseorang yang tidak bisa menjaga rahasia.”

Itu menjelaskan alasan Kreis memilih Rain. Rain memahami hal itu.

“Mayor Jenderal Kreis… Saya ingin menolak.”

Dan itulah kenapa dia menolaknya.

“Bisa dijelaskan, Rain?” tanya Kreis, tampak bingung.

“Saya tidak cocok untuk misi pengawalan. Ada medan perang yang lebih penting bagi saya, jadi saya menolak. Saya rasa kita tidak punya waktu untuk disia-siakan mengingat keadaan perang saat ini.”

“…Kau mau bilang bahwa mengangkut Exelia generasi kedua dengan aman hanyalah membuang-buang waktu?”

“Sejujurnya, ya,” jawab Rain dengan nada singkat, tapi tidak ada emosi dalam responnya. Dia membuat keputusan setelah pertimbangan yang cermat. Dia memahami kebenaran tersebut lebih baik dari siapa pun. Dia telah membantu Kreis dalam penelitiannya selama dua tahun terakhir, dan sebagai seorang insinyur, dia tahu pentingnya Exelia generasi kedua. Dia tahu betapa berguna dan pentingnya hal itu… atau lebih tepatnya, betapa tidak berguna dan tidak pentingnya hal itu.

“Saya tidak meragukan bahwa teknologi Exelia generasi kedua itu penting, tapi karena kita memprioritaskan teori daripada memajukan teknologi, itu tidak dapat digunakan. Saya tidak paham kenapa mengawal Exelia itu akan memengaruhi perang.”

“Mungkin tidak akan langsung berpengaruh, tapi kami hampir menyempurnakannya. Tidak bisakah kau mempertimbangkan dan menyadari pentingnya tugas ini?”

“Saat itu tiba, perang akan berakhir.”

“……”

“Timur tertatih-tatih di tepi kekalahan pada saat ini. Dan ada medan perang yang harus kita perjuangkan, hasil yang harus kita ubah, tepat di depan mata kita. Jika kita fokus untuk melindungi Exelia generasi kedua, negara ini akan mati.”

Di mata Rain, masalahnya adalah tentang prioritas.

“Kita harus memenangkan pertempuran yang akan datang. Itu lebih penting dari pada apa pun.”

Rain tidak menyangkal fakta bahwa mengembangkan teknologi baru itu penting. Bagaimana mungkin dia bisa menyangkal hal itu ketika keunggulan teknologi telah membantu Barat mengendalikan perang? Namun, pada saat itu, mereka tidak punya waktu untuk disia-siakan. Jika mereka fokus pada pengembangan teknologi baru, negara itu pasti akan kalah perang sebelum penelitian itu membuahkan hasil. Semuanya simpel seburuk itu.

Sudah empat tahun sejak perang keempat dimulai, namun akhir perang sudah mendekat. Kedua negara mengalami kerusakan besar, tapi Barat telah mengambil alih dan mengarahkan perang menuju kemenangan mereka. Mereka tidak akan membiarkan kesempatan seperti itu berlalu begitu saja.

Waktu untuk persiapan sudah lama berlalu. Jika Negara Timur tidak berperang, negara itu akan mati. Mempertimbangkan hal itu, mengawal unit prototipe terasa berprioritas sangat rendah. Terutama bagi Rain, yang memiliki Peluru Iblis dan memiliki potensi terbesar untuk membalikkan keadaan. Misi pengawalan bukanlah tempatnya.

Itu adalah pendapat jujurnya tentang masalah ini.

“Kirim saya ke medan perang besar berikutnya,” saran Rain. Itu terasa seperti tindakan yang ideal setelah menganalisis situasinya. Tapi kemudian…

“Kenapa kau bertindak begitu tidak sabaran?”

…suara dingin menegurnya. Dan juga, suara itu tidak berasal dari Kreis.

“Air…”

“Kau bebas untuk kabur dan mati jika itu yang benar-benar kau inginkan, tapi kasihanilah nyawa orang-orang yang akan kau bawa bersamamu,” kata gadis perak itu, posturnya sangat santai.

“Apa yang sedang kau katakan?” tanya Rain sambil mengalihkan pandangannya ke arah Air, yang menyesap teh Kreis dengan ekspresi jengkel.

“Apa kau sadar seperti apa kau akhir-akhir ini?”

“Aku sadar.”

“Lalu kenapa kau terus kalah dalam pertempuran?”

“Itu…”

Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Dia ingin memberi tahu Air bahwa pertempuran itu terasa seperti tidak ada harapan, tapi itu terdengar seperti alasan hingga dia tidak sanggup untuk mengatakan hal itu.

“Aku akan memberi tahumu alasannya. Itu karena kau tidak pernah memiliki kesempatan untuk memenangkan pertempuran itu. Itulah penyebab semua kekalahan itu.” Air menyuarakan isi pikiran Rain. “Empat pertempuran terakhirmu berakhir dengan kekalahan. Dan aku akan terus terang padamu, Rain. Tidak satu pun dari pertempuran itu adalah pertempuran yang seharusnya kau ikuti. Dan tahukah kau kenapa demikian? Karena itu semua adalah pertempuran yang sudah pasti akan kalah. Meski aku tidak perlu memberitahumu akan hal itu. Kau tahu itu lebih baik daripada aku. Atau apakah aku salah?”

“……” Rain mendapati dirinya tidak bisa merespon.

“Tentu, kekuatan yang kuberikan padamu hebat, tapi itu tidaklah maha kuasa. Tidak mungkin membalikkan pertempuran yang tidak memiliki peluang untuk kau menangkan. Sejujurnya ini terasa seperti kau berpikir bahwa kau dapat mengubah keadaan sendirian tanpa mempertimbangkan faktor luar.”

Rain terkejut mendengar hal ini dari Air. Dia tidak pernah memberikan nasehat pada Rain sejauh ini. Air mungkin telah memberinya jawaban ketika Rain bertanya padanya, tapi dia tidak pernah memberikan nasehat atas kemauannya sendiri.

……

Rain tidak secara aktif memilih pertempuran yang diikutinya karena ketidaksabaran emosional yang menguasainya. Ketika dia pertama kali mulai menggunakan Peluru Iblis, segalanya berubah menjadi lebih baik. Namun, karena dia telah terjun ke dalam pertempuran dengan prospek kemenangan yang rendah, tidak ada harapan baru yang terbentuk.

Dia tidak punya cara untuk memenangkan setiap pertempuran tersebut. Itu hanya keniscayaan matematis. Tapi ketika kekalahan beruntunnya terus berlanjut, dia merasa semakin putus asa untuk mencapai sesuatu. Dia bahkan tidak tahu betapa gegabahnya dia bertindak. Emosi yang tidak bisa dia kendalikan menumpulkan penilaiannya, jadi dia melemparkan dirinya sendiri ke dalam pertempuran tanpa harapan.

Dan aku bahkan membuat Athly terluka…

“Kau harus mengambil cuti untuk mendinginkan kepalamu. Dan misi pengawalan yang menurutmu semacam pengiriman paket sederhana mungkin merupakan kesempatan yang sempurna. Saat ini, kau hanya bergerak secara membabi buta dan sembarangan. Kau tidak akan mengubah apa pun jika seperti ini.” Air memberikan nasehat yang baik, tapi nasehat itu tidak berhasil meresap di dirinya.

Kenapa…?

“Kenapa kau begitu berpuas diri?”

“Huh?”

“Jadi, apa? Apa kau mau menyarankan agar aku santai saja sementara kita terus kalah?”

“Bukan itu yang kukatakan,” jawab Air dengan tenang.

“Tidak, itulah yang kau katakan!” teriak Rain padanya, jelas kehilangan kendali.

Jelas bukan. Berhenti merajuk seperti anak kecil. Dan jangan berani-berani mengubah arti kata-kataku.”

“Kan, kau benar-benar menyebutku anak kecil.”

“Hentikan itu!” bentak Air padanya, menggaruk kepalanya karena kesal. “Aku ingin memberi tahumu bahwa melakukan pertempuran yang tidak dapat kau menangkan karena beberapa delusi dari kemuliaan adalah bunuh diri. Kau tidak melihat dalam lingkup yang lebih luas, Rain.”

 “Jadi, apa? Aku sebaiknya tidak melakukan apa-apa?”

“Ugh! Ya Tuhan, kau menyebalkan!” teriak Air.

“Tapi itu yang kau maksud kan? Kedengarannya seperti kau menyuruhku untuk diam saja.”

Rain terdengar lebih marah dari pada Air. Kata-katanya membawa nuansa tertentu, beban tertentu di pikirannya. Mereka menantang inti keyakinannya. Rain tanpa sadar berasumsi bahwa memiliki Peluru Iblis berarti dia harus bertarung lebih banyak dari yang lain, bahwa dia adalah prajurit paling penting di Negara Timur. Jadi, kata-kata Air membuatnya tersinggung.

Seolah-olah Air berkata bahwa Rain tidak penting. Dari perspektif orang luar, Rain terdengar sangat kekanak-kanakan. Lagian, kata-kata Air masuk akal mengingat situasinya. Tapi Rain membantahnya dan menolak mendengarkan.

“…Baiklah,” kata Rain dengan datar. “Jika kau bilang bahwa itu tindakan terbaik, maka aku akan mengawal Exelia generasi kedua. Tapi apakah itu berhasil atau tidak, tidak ada yang akan berubah.”

Dan dengan mengatakan itu, Rain bangkit berdiri. Masih ada hal-hal yang mungkin perlu dia tanyakan, tapi bocah yang kesal itu hanya mengambil dokumen yang berisi detail misi pengawalan dan meninggalkan ruang rektor, membanting pintu di belakangnya.

Dua orang tetap di ruangan itu.

“Yah, harus kuakui aku sedikit terkejut ketika dia tiba-tiba menembakku,” kata Kreis, memecah keheningan setelah beberapa saat. Kemudian dia melihat ke belakang dan menatap lubang peluru di dinding. Timah panas itu masih bersarang di sana. “Aku akan mati jika bukan berkatmu, Air.”

“Aku harus bilang bahwa aku tidak terkejut dia melakukan itu,” jawab Air, yang membuat Kreis menghela nafas.

“Aku selalu melihatnya sebagai si pendiam kecil, tapi dia tampak seperti anak yang bijaksana, cerdas, dan baik hati… Untuk mengira bahwa dia bahkan akan menembak gurunya sendiri untuk melindungi rahasia para Hantu.”

“Apakah kau terkejut?” tanya Air.

“Sejujurnya, ya,” jawab Kreis. Kemudian, setelah jeda singkat, dia menambahkan, “Apakah kamu benar-benar tak masalah dengan ini, Air?”

“Hmm? Yah, dalam situasi lain, menurutku dia melakukan hal yang benar dengan menembak—”

“Bukan itu maksudku,” petong Kreis dengan menyangkal. “Aku berbicara tentangmu.”

“Apa?”

Rain yang menembaknya bukanlah masalahnya.

“Yang kucoba tanyakan adalah kenapa kau belum membunuh anak itu?”

“Ah…!” Air tersentak dan kaku tanpa sadar.

“Kau memberinya ceramah tegas tentang bagaimana dia tidak bisa melihat dalam lingkup yang lebih luas, tapi aku bisa bilang kalau kau sama saja dengannya. Bocah itu, Rain Lantz, terlalu tidak berpengalaman untuk bekerja bersamamu. Memang benar, dia berada di atas level taruna, dan bahkan aku tidak tahu seberapa besar dia akan berkembang dalam lima tahun ke depan, tapi saat ini, dia tidak cocok untuk Hantu yang kuat sepertimu. Jika kau terus memberinya lebih banyak kekuatan daripada yang bisa dia tangani, cepat atau lambat dia akan kehilangan kendali. Kau tahu hal itu lebih baik dari siapa pun, kan?”

Empat puluh tahun lalu, Kreis pernah bekerja bersama Air, yang bermanifestasi sebagai Hantu selama perang terakhir. Dia telah menempati peran yang mirip dan berbeda dari Rain. Air telah menyatukan dirinya ke dalam jantung militer, sementara Kreis bahkan berada di bawah seorang prajurit berpangkat tinggi. Mereka memiliki hubungan langsung sebagai komandan dan bawahan, serta tujuan yang sama untuk diperjuangkan.

Sejujurnya, hubungan mereka terasa agak dingin dan tidak bernyawa, tapi akhirnya membuahkan hasil yang bagus. Dan itulah kenapa Kreis menanyainya. “Kau harus membuat pilihan, Air.”

Dia tidak melewatkan tanda-tanda kelemahan Air, dan Kreis bergerak untuk memperbaikinya. Kesalahan seorang komandan bisa membuat banyak orang terbunuh. Dia tahu itu dengan sangat baik dari pengalaman pribadinya.

“Sangat jelas bahwa Rain tidak sabaran karena dia kurang dewasa. Kau berhasil mengendalikannya saat ini, tapi bagaimana jika dia menolak untuk mendengarkan penjelasan lagi? Apakah dia benar-benar layak untuk membuat dirimu dan para tentaramu terjebak dalam baku tembak karena keangkuhannya?”

“……”

“Sudah berapa kali kau ragu-ragu menarik pelatuk dalam situasi seperti ini, hanya untuk menyesal nantinya?”

“Itu…”

“Kau harus membunuhnya secepat mungkin.”

“Aku terus mencoba memberitahumu…,” Air mulai berbicara lagi tapi gagal menyelesaikan kalimatnya.

Kreis menyadari itu. “Kau sering membiarkan emosi mempengaruhimu.” Terlepas dari sikapnya yang lembut dan baik hati, dia melanjutkan kata-katanya dengan dingin, “Itulah alasan aku memanggil Rain ke sini hari ini. Aku harus menilai apakah dia pasangan yang cocok untukmu… Pada titik ini, dia hampir tidak lulus. Harus kuakui, Rain juga penting bagiku. Dia adalah muridku. Aku telah melihatnya tumbuh selama bertahun-tahun, jadi dia hampir terasa seperti anakku sendiri. Tapi aku juga bisa mengatakan hal yang sama untuk tentara yang lain. Medan perang penuh dengan alumni Akademi Alestra. Jika aku harus memilih di antara mereka semua dan Rain, aku akan menyingkirkan Rain tanpa berpikir dua kali.”

Jadi, dalam pikirannya, anak laki-laki yang dikuasai oleh kekuatan harus mati.

“Berapa kali kau mengulangi kesalahan yang sama, Air Arland Noah?”

Sayangnya, Air telah membuka hatinya pada Rain, jadi dia mendapati dirinya tidak dapat membuat keputusan itu.

“Aku tahu; Aku mengerti…”

Pola pikir Rain telah melenceng. Jika dibiarkan, dia akan menghancurkan diri sendiri dan melibatkan banyak orang lain dalam bencana itu.

Aku tahu itu. Tapi…

“Kau tahu kalau aku benar, tapi kau tetap tidak bisa melakukannya, kan? Yah, jika kau mau, aku bisa mengatur agar itu terjadi…”

“Sudah kubilang aku mengerti!” potong Air dengan teriakan.

“Berteriak dan berpura-pura tidak mendengarkanku tidak akan mengubah apa pun,” jawab Kreis pelan.

“Sungguh, diamlah sebentar…”

“Aku juga tidak ingin mengatakan ini. Aku tidak ingin seseorang yang aku kenal terbunuh, apalagi itu muridku… Tapi bisakah kau bayangkan berapa banyak orang yang akan dikorbankan jika kau ragu-ragu?”

“Aku tahu. Sungguh, aku mengerti, aku sungguh mengerti. Saat waktunya tiba, aku akan…”

Gadis itu berkata dia akan melakukannya, tapi kata-katanya kurang meyakinkan.

Apa yang sebenarnya kau lakukan…? Kau berjanji bahwa kita akan bertempur bersama-sama…

Yang bisa dia lakukan hanyalah memanggil namanya di dalam hati.

Rain…

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya