[LN] Uchinukareta Senjou wa, Soko de Kieteiro Volume 2 Chapter 2 Bahasa Indonesia
2. PERSELISIHAN
Rain bergabung dalam misi pengawalan Exelia generasi kedua. Mereka dikirim menggunakan kereta api ke kota pertambangan bernama Baran, yang terletak di ujung utara O’ltmenia. Ini akan menjadi sekali perjalanan sepanjang 120 mil yang membentang dari pusat negara, dan perkiraan waktu tempuhnya adalah enam jam. Rain telah dipaksa naik kereta pada pukul enam pagi tanpa mengetahui sebelumnya tentang keterlibatan sesama taruna.
“Ada dua tempat yang sangat berbahaya.”
Para taruna berdiri diruang kargo. Keenam siswa yang dikirim semuanya mendengarkan dengan saksama perkataan seseorang dengan tubuh besar dan kekar… Orca A. Dandalos.
“Titik pertama adalah tempat yang akan kita capai dalam satu jam, Dataran Levant. Ini wilayah kita, tapi wilayah itu agak pedalaman, jadi akan sulit untuk mendeteksi tentara mana yang sedang bersembunyi, menjadikan itu sebagai tempat penyergapan yang sempurna. Yang kedua adalah Pegunungan Lemina. Itu adalah daerah berbahaya karena alasan yang sangat sederhana… Daerah itu terhubung ke wilayah barat.”
Itu adalah dua tempat potensial yang bisa diserang oleh Negera Barat. Mereka mengangkut lima unit tiruan yang disamarkan sebagai Exelia generasi kedua meskipun mereka tidak tahu apakah Barat akan datang untuk menyerang kereta. Tapi mereka perlu bersiap untuk semua skenario yang mungkin akan terjadi, karena prioritas mereka adalah melindungi kargo.
Dalam hal personel, mereka memiliki dua puluh empat prajurit standar dan enam taruna, dengan total tiga puluh orang. Tapi mengingat mereka semua adalah penyihir, jumlah itu lebih dari cukup untuk menjaga satu kereta.
“Baiklah, jadi tentang penempatan kita… Rain dan Athly yang akan berjaga, jadi kalian semua bisa santai-santai saja,” beritahu Orca pada mereka dalam kapasitas resmi.
Karena hanya enam jam perjalanan, mereka tidak perlu berganti shift. Karena itu, mereka memutuskan untuk membuat dua taruna menangani tugas jaga mereka. Mereka menggunakan lemparan koin untuk memilih siapa yang akan berjaga, dan Rain kalah setelah memilih kepala empat kali berturut-turut. Namun, Athly, menjadi sukarelawan meskipun keluar sebagai pemenang.
“Ini, Rain. Transceiver nirkabel punyamu.”
“Makasih.”
“Mari selesaikan enam jam ini.”
Dia mengambil transceiver dari Athly. Itu adalah model kecil, portabel, dengan ketepatan tinggi untuk penggunaan militer. Setelah itu, mereka berdua menuju pos masing-masing.
“Wah, dingin!” teriak Athly.
“Yah, ini kan wilayah bersalju…”
Mereka keluar dari gerbong. Di balik pintu, mereka melihat scaffolding yang dimaksudkan untuk mengintai. Itu menyuguhkan pemandangan yang bagus dari daerah sekeliling mereka, tapi suhunya jauh di bawah titik beku. Duduk di luar kereta terasa berat, namun mereka harus melakukannya selama enam jam berturut-turut.
“Kau yakin tentang ini?” tanya Rain sambil menatap transceiver yang diserahkan Athly padanya. “Kupikir ini akan menjadi tugas yang cukup menyebalkan.”
“Hmm, yah, aku tidak akan mengajukan diri jika kau tidak terjebak di sini.”
“Tapi kau belum pulih betul dari cedera kepala itu…,” kata Rain khawatir.
“Sudah empat hari. Aku baik-baik saja, sungguh.” Dengan santai menepis kekhawatirannya.
Satu jam telah berlalu. Mereka tidak banyak bicara, karena mereka berusaha untuk fokus pada tugas mereka. Tapi kemudian…
“Sadarkah kau, kita…,” bisik Athly.
“Apa?”
“Kita jarang sekali menghabiskan waktu bersama akhir-akhir ini.”
Mereka berada di luar kereta yang sedang bergerak, jadi kebisingannya terasa cukup kuat. Namun, karena mereka duduk berdampingan, Rain mendengarnya dengan jelas.
Huh…?
“Apa maksudmu? Kita bersama-sama setiap hari di Akademi Alestra,” jawabnya.
“Maksudku, ya, tapi kita dulu pergi ke kota menggunkan mobil atau menyelinap ke dalam lab untuk mencuri bubuk mesiu, ingat?”
“Kita melakukan permainan yang cukup berbahaya saat itu…”
“Segalanya tentu telah berubah, huh?” bisik Athly pada dirinya sendiri, penuh nostalgia. “Dan bukan hanya kita saja. Segala sesuatu di sekitar kita semuanya kian berbeda sekarang. Termasuk lingkungan kita.”
“Yah, ya…,” jawab Rain setuju saat dia curi pandang ke arahnya. Athly, di sisi lain, tidak melihat Rain saat dia berbicara. Dia telah mengarahkan pandangannya ke luar kereta, berpegang teguh pada perannya sebagai pengintai.
Apa yang merasukinya…?
Sesuatu tentang kata-katanya terasa aneh. Dia biasanya berbicara dengan jelas dan tidak bertele-tele. Dia sangat membenci penggunaan kata-kata yang tersirat. Namun, dia sangat tidak jelas tentang ini. Tatapannya terus-menerus tertunduk, dan sesekali, dia mulai berbicara seolah-olah dia tiba-tiba teringat sesuatu. Dia akan mengatakan sesuatu yang membingunkan, lalu berhenti. Dia bertingkah seperti itu sejak mereka meninggalkan stasiun.
Ada apa dengannya…? Mungkinkah ini hari dimana banyak hal buruk terjadi?
Rain juga tidak banyak bicara, jadi satu jam lagi telah berlalu dengan relatif hening. Kereta tidak mengalami masalah selama dua jam perjalanan, jadi mereka menuju Dataran Levant sesuai jadwal.
Seperti yang telah diinformasikan sebelumnya, tidak ada satu rumah pun atau jalan beraspal yang terlihat. Satu-satunya bangunan buatan manusia di daerah itu adalah rel kereta api. Namun, menurut intel mereka, itu adalah salah satu dari dua kemungkinan titik penyergapan. Tidak ada penghalang di daerah tersebut, menjadikannya posisi paling bagus untuk kendaraan lapis baja dan tank.
Rain membiarkan Athly dalam suasana hatinya yang aneh dan fokus berjaga. Salju yang turun sejak dini hari telah menumpuk hingga dua inci di atas tanah. Seluruh area telah berwarna putih. Itu membuat Exelia sangat terlihat, yang mana hal itu sangat membantu, tapi jarak pandang masih rendah karena cuaca buruk.
Rain menyipitkan mata untuk lebih fokus pada tugasnya. Namun, itu membuat pikiran yang tidak perlu beputar di benaknya.
“Kau harus mengambil cuti untuk mendinginkan kepalamu.”
Kata-kata Air tempo hari bergema di dalam dirinya.
“Kau tidak melihat dalam lingkup yang lebih luas, Rain.”
Tapi bahkan setelah dia meluangkan waktu untuk memikirkan apa yang Air katakan padanya…
Tai…
…Rain tidak menyesali apa yang dia katakan. Ketidaksabaran mendorongnya maju, tidak menyisakan ruang untuk hal lain. Kata-kata yang Air ucapkan hanya berputar-putar di benak Rain. Lebih buruknya, pikirannya terus berputar-putar, yang mana hal itu telah mengalihkan perhatiannya. Jika ada pasukan musuh yang mendekati mereka, mereka akan dalam masalah.
“Perhatian, para taruna.”
Rain tersentak tegak. Kata-kata itu berderak dari transceivernya. Itu adalah pesan dari komandan yang memimpin misi pengawalan ini.
“Kita hampir keluar dari Dataran Levant. Apakah ada yang berubah di bagian kalian?”
“T-tidak, tidak ada.” Rain berbicara ke transceiver-nya saat dia melihat sekeliling dengan tergesa-gesa. “Kami tidak melihat sesuatu yang aneh.”
“Bagus. Baiklah, begitu kita melewati dataran ini, kita akan berada di tempat yang aman untuk sementara waktu. Beristirahatlah untuk paruh kedua perjalanan ini.”
Transmisi terputus setelah dia menyampaikan ucapan itu. Mereka mendapat perintah untuk beristirahat, yang tidak akan pernah terjadi dalam keadaan darurat yang sebenarnya. Tampaknya sang komandan juga tidak berpikir bahwa kereta itu akan menjadi sasaran Barat.
Tidak ada yang tahu kapan Exelia generasi kedua akan siap untuk penggunaan praktis. Ditambah, kemungkinan seseorang mencurinya selama perjalanan singkat itu rendah. Rain merasa benar akan pikirannya bahwa seluruh tugas itu hanya membuang-buang waktu, fakta yang semakin membuatnya kesal. Dia tidak punya waktu untuk disia-siakan ketika dia memiliki medan perang yang jauh lebih besar dan lebih penting untuk menggunakan Peluru Iblis.
“Kami akan menghubungi kalian dalam dua puluh menit lagi, sesuai jadwal.”
“Dimengerti.”
Rain memandang ke langit dan mengakhiri transmisi, masih mendidih karena jengkel. Namun, karena dia tidak fokus pada tugasnya, ketika dia bergerak untuk memasukkan transceiver ke sakunya kembali, antena penerimanya…
“Ngh…”
…menggores pipi Rain. Batang logam tipis itu terdorong cukup keras hingga melukainya.
“Ouch…,” dia mengerang, lalu menekan tangannya pada rasa sakit di pipinya, hanya untuk mendapati darah di tangannya.
Ugh…
Pipinya berdarah cukup banyak. Rupanya, udara dingin telah membuat kulitnya rapuh, sehingga antena merobek pipinya, meninggalkan satu garis yang jelas di atasnya.
.…Yah, tai.
Dia tidak beruntung sama sekali. Luka itu sendiri bukanlah masalah besar, tapi lukaitu juga sama sekali tidak ada gunanya dan hasilnya, itu membuat frustrasi.
Kenapa sekarang…?
Kegelisahannya bergejolak. Satu demi satu hal buruk terjadi. Namun, Rain sadar bahwa dia harus fokus untuk menghentikan pendarahan tersebut.
Aku butuh sesuatu untuk menyeka ini... Rain merogoh saku dadanya untuk mengeluarkan sapu tangan, lalu menggerakannya ke bawah wajahnya. Tapi…
Huh?
…pada saat yang tepat, sensasi yang sedikit hangat menyelimuti pipi Rain. Dan itu juga bukan kehangatan dari darahnya sendiri. Sesuatu yang hangat, lembab, dan hidup, kebalikan dari antena sebelumnya, menyentuhnya.
Sentuhan yang menekannya lembut. Dan ketika Rain menoleh ke kiri karena terkejut, dia mendapati wajah Athly tepat di sebelahnya.
“H-huh, apa…?”
“Oh, hei…”
Rain tampak bingung, tapi hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk Athly. Dia menatap lurus ke arah Rain dengan cairan merah di bibirnya—darah yang menetes dari pipi Rain.
“Rain…,” Athly menggumamkan namanya saat bibirnya kian mendekat, hingga cukup untuk merasakan napasnya. Mereka sudah duduk cukup dekat satu sama lain hingga bisa menyentuh wajah mereka, jadi menempelkan bibir ke pipinya itu hal yang mudah.
“Um, uhhh…”
Rain tidak mengerti kenapa Athly melakukan hal seperti itu, sementara dia tetap diam. Namun, Rain paham bahwa Athly mencoba menyampaikan sesuatu. Wajah Athly, yang berada tepat di depan matanya, tampak penuh keraguan dan ketidaksabaran.
Apa maksudnya itu…?
Rain mengarahkan pandangan menyelidik ke arahnya. Apa yang ingin Athly katakan padanya? Apa pun itu, itu bukanlah keputusan mendadak. Athly jelas-jelas ingin memberitahunya sesuatu yang penting.
Kenapa tiba-tiba begini…? Tidak…
Itu tidaklah tiba-tiba. Dia tampak gugup tapi tidak bingung. Dia jelas telah mempersiapkan dirinya sendiri. Athly bermaksud untuk mengutarakan pendapatnya sejak dia mengajukan diri untuk berjaga dengannya.
Kalau dipikir-pikir, selama pertempuran terakhir Rain dengan Hantu, kampung halaman Athly terbakar menjadi abu dan dia kehilangan orang tuanya. Dia sudah sering melamun sejak saat itu. Rain mengira reaksinya wajar, karena dia baru saja kehilangan rumah dan keluarganya. Namun, cara Athly berperilaku di kereta tidak cukup sesuai dengan analisis itu.
Apa yang dia…? Apa yang coba dikatakan Athly? Apa yang dia sembunyikan?
Suara detak jantung Rain berdebar kencang di telinganya. Dan setelah beberapa saat saling diam, dia akhirnya berbicara.
“Um, sekitar bulan lalu…”
“Bulan lalu?”
Bulan lalu adalah saat ketika orang tuanya meninggal dan rentetan kejadian tidak biasa yang tiba-tiba melibatkan para Hantu.
Sudah kuduga…
Athly ingin memberitahunya sesuatu tentang itu
“Apakah terjadi sesuatu saat itu?” tanya Rain, mendorong Athly untuk melanjutkan topiknya.
“…Ya.”
Athly bersusah payah menciptakan kesempatan bagi mereka agar bisa berbicara empat mata, jadi dia sadar bahwa tidak ada yang akan berubah kecuali dia mengungkapkan isi pikirannya. Beberapa saat keheningan yang lama berlalu sebelum dia mengangkat suaranya lagi.
“Aku…,” gumamnya, bibirnya yang menggigil masih berlumuran darah. “Aku tahu tentangmu.”
“Tahu tentangku? Apa maksudmu?” tanya Rain, terlihat sangat bingung.
“Tentangmu dan gadis itu,” jawab Athly sebelum terdiam. Dia mengatakan itu seolah-olah dia merasa kalau topiknya sulit untuk dibahas, tapi kata gadis itu tidak menjelaskan banyak informasi.
Rain menunggunya untuk melanjutkan dan mengklarifikasi siapa yang dia maksud. Namun, tepat saat Athly bersiap untuk mengucapkan kata-kata menentukan yang akan mengubah segalanya…
“Rain, kau ada di sana?”
“Ah…!”
…seseorang menggedor pintu tempat dia bersandar dengan keras. Suara ketua kelas mereka, Orca, menggelegar di sekeliling mereka. Mereka merencanakan tidak ada rotasi shift, jadi dia mungkin ada di sini karena ada perlu dengan Rain. Rain ingin menyuruhnya untuk kembali lagi nanti, karena pembicaraannya dengan Athly terasa jauh lebih penting. Namun, Orca berbicara sebelum Rain.
“Maaf, Rain. Aku butuh sedikit bantuan.”
Sayangnya, gangguan tersebut menunda percakapannya dengan Athly jauh ke masa depan.
Rain mengintip melalui jendela ruangan dan memberikan respons yang cukup sederhana.
“Ugh… Astaga.”
Udara dingin memenuhi ruangan. Rain mendapati dirinya secara refleks tersentak dan mundur selangkah. Orca telah membawa Rain ke kompartemen kargo gerbong ketujuh, yang berisi lebih banyak kargo biasa. Semua kargo biasa di kereta dibagi di antara kompartemen yang berbeda dalam formasi dua belas gerbong, sementara ruang seluas empat puluh kali enam puluh lima kaki dialokasikan untuk para taruna.
Kenapa di sana begitu tegang…?
Udara terasa seperti timah. Khususnya timah panas. Rain bertanya-tanya apakah seseorang telah menyebarkan racun ke area tersebut, meskipun dia tahu hal itu tidaklah terjadi. Mengintip lagi ke jendela memberi tahu dia semua yang perlu dia ketahui. Teman-teman sekelasnya duduk berjongkok, memeluk lutut mereka, dan di belakang ruangan…
“……”
…Rain melihat seorang gadis yang terlihat sangat kesal. Dia tidak membuat suara apa pun, juga tidak mengomel dengan marah. Sebaliknya, dia hanya duduk di sana dengan ekspresi paling pahit yang bisa dibayangkan, merajuk dalam diam. Jarinya memelintir rambut peraknya saat dia diam-diam mencemari ruangan dengan energi negatif.
Itu, tentu saja, Air. Gadis Hantu itu telah menghancurkan suasana.
“Rain.”
“Apa?”
“Kaulah yang membuatnya kesal, kan? Pergilah perbaiki ini,” perintah Orca. Namun, Rain tidak tahu caranya.
Kenapa aku…? Rain merasa bingung. Air tampak kesal, tapi dia biasanya bertingkah sebagai gadis yang ceria dan menggemaskan di Akademi Alestra. Tentu saja itu semua palsu, tapi aktingnya telah membuatnya memiliki penggemar setia di kalangan siswa.
Apa yang dipikirkan si idiot itu…?
Itu hanya membuatnya semakin terasa ketika suasana hatinya tiba-tiba memburuk. Ketidaksesuaian yang mencolok membuat siapa pun tidak dapat mendekatinya.
Rain and Air berbagi rahasia yang tidak diketahui orang lain, tapi mereka tidak menyembunyikan fakta bahwa mereka cukup dekat dan biasanya mengobrol. Mereka berbicara satu sama lain selama jam sekolah jika memang perlu dan pergi ke ruang kelas masing-masing untuk saling memanggil jika ada urusan mendesak yang muncul. Mereka mengira bahwa bertindak terlalu dingin dapat benar-benar membangkitkan kecurigaan orang lain dan akhirnya mempersulit mereka untuk bergerak bebas, jadi mereka memutuskan untuk tidak melakukannya.
Sayangnya, karena mereka sering menghabiskan waktu bersama, semua orang berasumsi hanya Rain yang bisa membujuknya karena mood-nya yang buruk. Air menggunakan kedok ceria itu untuk memuluskan hubungannya dengan siswa lain. Tapi sementara aktingnya cukup hebat, itu juga menciptakan semacam penghalang di sekitarnya yang membuatnya sulit didekati.
Air punya banyak teman, tapi dia tidak benar-benar membiarkan siapa pun masuk ke dalam hatinya. Itulah sebabnya tidak ada yang berani berbicara dengannya ketika dia menunjukkan amarah yang tidak seperti biasanya. Sebaliknya, mereka meminta Rain untuk menenangkannya. Tidak ada yang tahu kebenaran di balik hubungan mereka, tapi setidaknya semua orang mengira Rain dan Air adalah teman sejati, yang menjelaskan kenapa mereka menyalahkan Rain atas suasana hati Air.
“Aku tidak ada hubungannya dengan ini.” Rain menggelengkan kepalanya dan membantah keterlibatan apa pun.
“Yah, jika kau bukan penyebabnya, kenapa dia sekesal itu?”
“Biarkan saja dia. Tidak perlu diusik.”
Rain tidak mengerti alasan Air sangat kesal. Dia benar-benar tidak mengerti. Tentu, mereka bertengkar beberapa hari yang lalu dan tidak pernah menjernihkan suasananya, tapi tidak mungkin itu akan mempengaruhinya.
Air tidak akan pernah…
Dalam pikirannya, Air tidak pernah marah. Dia tidak pernah kehilangan kendali akan emosinya seperti orang normal. Dia berbeda dari yang lain, Hantu yang telah mati seabad yang lalu. Seseorang seperti dia tidak mungkin kesal karena percekcokan dengan taruna biasa.
Dalam pikiran Rain, Air terlalu istimewa, terlalu unik untuk itu. Sehingga…
“Hmm. Kau yakin kau tidak salah?”
“Ya.”
…dia gagal untuk benar-benar memahami Air.
“Baiklah, oke.” Orca tampak diyakinkan oleh Rain, tapi saat dia mengangguk, dia berbalik menghadap pintu. “Kalau begitu biar aku ubah instruksinya untukmu.”
“Huh?”
“Pergilah hibur dia. Jika keadaan menjadi lebih buruk di dalam sana, seseorang akan mati.”
“Apa? Aku bilang tidak mau,” bantah Rain. Namun, Orca menolak untuk mendengarkan.
“Masuklah!”
“Ah…!”
Dia menangkap lengan Rain, membuka pintu, dan mendorongnya ke dalam ruangan. Tiba-tiba saja Rain mendapati dirinya tersandung ke sumber aura yang menyesakkan itu sebelum dia bisa mencoba melawan.
“……”
“……”
Air dengan kuat mengabaikan masuknya dia. Semua orang di ruangan itu memandang Rain dengan pandangan penuh harap. Akhirnya, seseorang yang bisa memperbaiki ini! Namun, Air tidak memusatkan perhatian padanya atau bahkan mengajukan pertanyaan yang sudah jelas. Apa yang kau inginkan? atau apa pun yang mirip kalimat itu. Dan itu membuatnya terlihat jelas bahwa Air marah dengannya.
“Jadi ini salahnya.”
“Ini semua karena dia.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Apakah dia selingkuh dengan Athly?”
“Tunggu, bukankah dia yang menyelingkuhi Athly?”
Rain mendengar orang-orang membisikkan sembarang rumor tak masuk akal yang muncul di benak mereka, tapi dia tidak repot-repot mencoba meluruskannya.
Sepertinya aku tidak punya pilihan lain… Rain dengan pahit menerima tugasnya.
“Air, kita perlu bicara. Bisakah kau ikut denganku sebentar?” tanyanya mencoba pindah ke tempat yang lebih pribadi.
“Apa yang kau inginkan?”
Itu adalah hal pertama yang dia katakan ketika mereka tiba di ruangan yang berdekatan. Kemuramannya sekarang diikuti oleh sikap kasarnya yang biasa.
…Benar, jadi apa yang harus aku katakan? Rain masih tidak tahu bagaimana cara mendekatinya. Kurasa aku harus minta maaf dulu…? Tunggu, tidak! Itu adalah solusi yang sederhana, tapi kenapa dia harus melakukan itu ketika dia tidak melakukan kesalahan apa pun?
Bahkan jika meminta maaf akan memperbaiki segalanya… Dalam benaknya, Air tidak pantas mendapatkan permintaan maaf. Rain masih merasa dia membuang-buang waktunya dalam misi pengawalan ini. Itu tidak berubah. Itu berarti dia tidak bisa memikirkan apa pun untuk dikatakan kepada Air.
“……”
“……”
Hening.
“……”
“……”
Detik terus berlalu. Rain harus memikirkan sesuatu untuk dikatakan, karena dia yang memanggilnya kemari, tapi dia tidak memikirkan sesuatu yang khusus.
Apa yang harus aku katakan…?
Akhirnya, Air memecah kesunyian.
“…Bukankah kau seharusnya berjaga?” tanya dia. Air mungkin menyadari dengan tepat apa yang dia pikirkan.
“…Athly yang mengurus itu, jadi kita akan baik-baik saja.”
“Oke.”
“Kita sedang melaju di sepanjang tebing bersalju sekarang, jadi aku ragu musuh akan menyerang di sini.”
“Benar. Kemungkinan besar kita aman.”
“Ya.”
Percakapan dengan cepat berhenti.
“……”
“……”
Lebih banyak keheningan menyusul, dan suasana canggung menyelimuti mereka. Sejak dia memasuki ruangan, Air telah menyilangkan lengannya dan dagu diangkat ke atas dalam sikapnya versi merajuk. Rain telah bersusah payah memanggilnya kemari, jadi Air mungkin berasumsi bahwa Rain ingin meminta maaf. Tapi Rain tidak mengatakan apa-apa, jadi mereka berdua hanya gelisah dengan canggung karena semakin banyak waktu yang berlalu.
Rain mempertimbangkan untuk mencoba lagi tapi dengan cepat memutuskan untuk tidak melakukannya.
Kenapa harus aku?
Keyakinan keras kepala bahwa dia tidak melakukan kesalahan apa pun menutup mulutnya. Sebaliknya, Air, tidak berusaha menyembunyikan amarahnya yang murni dan tanpa filter. Berbicara tidak ada gunanya. Sejujurnya terasa lebih buruk di sana daripada di ruangan lain, karena mereka berduaan.
“Bolehkah aku membuka jendela?” tanya Rain.
“Apa hubungannya jendela dengan itu?”
“Aku butuh udara segar.”
“Oh, tentu,” jawab Air tanpa sadar.
Rain membuka jendela ruangan seolah-olah membersihkan atmosfer secara fisik.
Ngh…
Dia melihat keluar sambil bertanya-tanya apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Kereta api itu melaju di sepanjang rel yang dibangun di atas permukaan tebing bersalju, dengan formasi bebatuan curam di kanan dan tebing di kiri. Tebing itu tingginya lebih dari 160 kaki dan memiliki hutan di bawahnya. Jika ada yang jatuh dari kereta, mereka tidak akan lolos tanpa cedera.
Saat dia membuka jendela berkarat, angin salju sepoi-sepoi bertiup ke dalam ruangan. Mereka melaju dengan kecepatan empat puluh mil per jam dalam cuaca buruk, jadi suhunya sangat dingin. Namun, Rain tidak langsung menutupnya karena saat dia mendongak…
Huh…?
…dia melihat sesuatu. Muncul di atas tebing bersalju.
Yang benar saja?
Dia hanya melihatnya sebentar, tapi dia pikir dia melihat itu bersembunyi di celah salju.
Apa itu sebenarnya…?
Itu juga bukan hanya perasaannya. Rain jelas-jelas telah melihat bayangan hitam.
…Apakah kami dalam bahaya?
Suatu benda asing bersembunyi di tengah salju. Namun, jangankan mesin, tebing itu terlalu curam bagi manusia untuk bisa berdiri di atasnya. Salju juga menumpuk setinggi lututnya, jadi tidak ada yang bisa menyembunyikan dirinya pada saat itu juga.
Mungkin aku salah lihat karena Air membuatku stres saat ini… Namun, tepat ketika dia serius mulai mempertimbangkan opsi itu, penglihatannya menjadi gelap. Salju putih bersih menghilang, seolah-olah seseorang telah mematikan lampu.
“Huh…?”
Namun, bukan itu yang membuat Rain bingung.
Armor perak muncul di depan matanya—tapi itu tidak mungkin.
Apa-apaan itu…?!
Sebuah benda mati buatan berkaki empat muncul di atas kereta.
Tidak mungkin!
Sebuah Exelia secara tidak terduga tiba-tiba muncul dan jatuh ke bawah, membuat mereka tidak punya waktu untuk bereaksi.
“Ah…!”
Saat berikutnya, gelombang kejut yang kuat mengalir melalui kompartemen. Dan ledakan angin kencang segera menyusul.
Exelia yang muncul entah dari mana telah mendarat di atas kereta.
Apa yang dilakukan Exelia di sini?!
Itu tidak mungkin. Sebuah tank yang perlu bergerak melintasi permukaan tanah tidak mungkin bisa melompat ke kereta yang sedang bergerak. Namun, Exelia perak telah muncul di udara dan menggunakan gravitasi untuk merobek atap kereta.
Puing-puing beterbangan ke segala arah, dan awan salju serta debu mineral menghalangi penglihatan Rain.
“Ups,” kata suara yang bukan milik Rain maupun Air itu.
Dan bahkan dengan suara kereta yang melesat ke depan dengan kecepatan empat puluh mil per jam, suara bisikan gadis itu sampai ke telinga Rain dengan sangat jelas.
“Kupikir aku memilih kargo kosong, tapi tebakanku salah.”
Dia memakai pakaian serba hitam.
“Aku akui, sayang sekali.”
Dia duduk di atas AT3 barat. Namun, dia bukan sekedar tentara musuh yang akan melakukan serangan mendadak. Sesuatu terasa sangat aneh tentangnya.
Apa…? Apa dia itu?
Kata hitam tidak cocok dengan pakaiannya. Pakaiannya lebih gelap dari aspal, warna yang tidak memantulkan cahaya sama sekali. Rasanya sangat berbeda dari warna hitam samar tentara O’ltmenian seperti Rain.
Rambut sebatas pinggang wanita hanya menambah penampilannya yang aneh. Pakaian dan aksesorisnya yang tidak biasa hanya menambah kesan hitam legamnya yang jelas.
Namun, yang paling menonjol adalah pedang yang dia pegang di tangan kirinya.
…Pedang? Apa apaan? Kenapa?
Pedang melengkung yang unik memang digunakan sebagai senjata pembantu oleh Barat, tapi Rain belum pernah melihat ada orang yang membawanya di medan perang di mana Peluru Sihir merajalela. Pedang sebagian besar disiapkan untuk pakaian formal selama perayaan dan upacara resmi.
Pedang tidak memiliki kegunaan praktis dalam menghadapi Peluru Sihir. Namun, gadis kegelapan itu membawa pedang, seperti itu adalah senjata utamanya.
Dia…
Rain secara naluriah tahu bahwa ini adalah bayangan yang dia lihat di gunung bersalju. Jadi, identitasnya tidak penting. Jika dia tidak segera menyingkirkannya dari sini, dia akan menyebabkan malapetaka untuk para penumpang kereta. Qualia-nya meraung seperti dering alarm. Dia sangat berbahaya.
Ah…!
Rasa dingin merambat di punggung Rain. Tubuhnya menggigil ketakutan. Tapi dia hanya mengesampingkan emosi itu dan langsung bertindak. Seorang tentara musuh telah melancarkan serangan mendadak terhadap mereka, jadi dia tidak punya pilihan lain. Menangkapnya hidup-hidup atau membiarkannya itu terlalu berisiko. Dia harus mengakhiri hidupnya di sini sekarang juga.
Aku harus menembaknya! Rain mengeluarkan pistolnya dan menempelkannya pada gadis arang seram yang berdiri dengan latar putih.
“Tunggu!” Sebuah suara berteriak pada Rain untuk berhenti. “Rain, jangan! Menjauh darinya!”
Suara itu datang dari Air, dan dia terdengar panik. Dia pasti menyadari betapa besar kekuatan yang dimiliki gadis arang itu.
Diam… Sayangnya, Rain memutuskan untuk mengabaikan nasihatnya. Tempo hari, Air bilang padanya untuk tidak bertempur—menolak seluruh tujuan hidupnya. Mendengar Air mengatakannya lagi memacu jiwanya yang belum dewasa dan memberontak.
Rain membidikkan pandangannya pada gadis arang itu dan menembakkan peluru perak untuk menghapus keberadaannya.
Enyahlah. Aku akan menghapusmu, di sini, sekarang juga! Rain mengabaikan peringatan Air dan menyerang, tidak menyadari betapa tidak seimbangnya mereka.
Ah…!
Hawa dingin yang membekukan menghantam Rain. Sesuatu… Sesuatu terasa sangat buruk, dan tidak dapat dijelaskan. Penyihir memiliki Qualia, indra keenam yang memungkinkan mereka meramalkan masa depan yang dekat untuk mendeteksi bahaya. Berkat kemampuan itu, mereka kerap menghindari ancaman dengan satu langkah. Namun, Rain baru saja melangkah maju secara refleks.
Itu adalah tindakan yang sepenuhnya tidak disadari. Bahkan Rain tidak mengerti kenapa dia melakukan itu.
“…Kau benar-benar bereaksi,” sebuah suara berkata dari belakangnya.
“Apa…?”
“Kau bukan penyihir biasa.”
Siapa pun yang berbicara itu cukup dekat untuk menyentuhnya. Pilot Exelia di depannya tiba-tiba muncul di belakangnya membawa pedang…
“Aku mencoba menusuk jantungmu, tapi aku meleset.”
…senjata yang seharusnya tidak pernah digunakan dalam pertempuran…
“Gaaah, aaah…”
…dibenamkan langsung ke dada kiri Rain, menusuk melewati paru-paru dan tulang rusuknya.
“Aaah, gaaaaaaaaaaaaaaaaaah!”
Saat Rain menyadari apa yang telah terjadi, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Serangannya meleset dari jantung Rain, tapi serangannya tetap menembus paru-paru dan perutnya. Rasa sakit yang dia rasakan saat itu lebih buruk daripada gabungan semua cedera yang pernah dia derita.
A-apa-apaan…?!
Apa yang baru saja terjadi?
Aku tidak tahu… Apa yang telah dia lakukan?!
Pikirannya lenyap ke dalam lautan merah. Kebingungan menguasai dirinya. Tidak ada yang masuk akal. Saat dia ditikam, logika bagaimana hal itu bisa terjadi, metode yang membuat gadis itu mendadak muncul di belakangnya. Semua itu terasa sangat tidak bisa dimengerti.
“Sayang sekali aku harus membunuhmu di sini. Tapi dalam perang, tentara muda dan berbakat selalu menghilang seperti gelembung di lautan, jadi… jika kau mau membenci sesuatu, bencilah era mengerikan yang kita tinggali ini. Simpan amarahmu untuk konflik ini…”
Setelah mengatakan itu, gadis itu mempererat cengkeramannya pada gagang pedang. Satu putaran sudah cukup untuk mengarahkan pedang itu ke jantung Rain. Namun, tepat ketika dia bersiap untuk memberikan serangan mematikan…
“Ah…!”
…ledakan mengguncang kereta, dan semburan api menyembur dari lantai di bawah mereka.
Post a Comment