[LN] Uchinukareta Senjou wa, Soko de Kieteiro Volume 2 Chapter 5 Bahasa Indonesia
5. HANTU “DEADRIM”
Mereka menghabiskan satu jam berikutnya dengan bergerak maju. Akhirnya matahari mulai terbenam. Mengendarai Exelia selama hujan salju dan dalam kegelapan sama saja dengan bunuh diri, terutama karena hal itu membuat lampu depan mereka mudah dideteksi dari jauh. Mereka tidak punya pilihan lain selain mencari tempat berlindung.
Mereka benar-benar telah menghancurkan pasukan musuh… Atau lebih tepatnya, Deadrim-lah yang melakukannya. Tapi ketiga unit itu adalah bagian dari kelompok yang jauh lebih besar. Unit mereka yang tersisa kemungkinan besar sedang mengejar.
Kami tidak bisa terus bertempur seperti ini…
Pertempuran terus menerus telah melelahkan semua orang saat ini, termasuk Air dan Deadrim.
“Kita perlu mencari tempat untuk beristirahat,” saran Air.
Saat mereka menuju utara, Rain dan kelompoknya mendapati diri mereka di tempat terbuka kecil yang kemungkinan besar merupakan area penebangan kayu yang digunakan selama musim panas. Pondok kecil yang berfungsi sebagai gudang kayu mengelilingi area tersebut.
Tempat perkemahan itu tidaklah besar, tapi mereka setidaknya bisa menyalakan api agar tetap hangat dan menghindari kebekuan. Mereka berempat memutuskan untuk bermalam di salah satu gubuk. Fakta bahwa mereka bisa menghabiskan malam tanpa membuang stamina atau bahan bakar Exelia adalah suatu berkah.
Saat memasuki gubuk, mereka menyalakan api dan mengambil waktu beristirahat. Mereka berencana untuk berangkat lagi saat matahari terbit, yang memberi mereka waktu sekitar dua belas jam saat itu. Meski, dengan kata lain, persiapan apa pun yang mereka buat selama dua belas jam itu berarti perbedaan antara hidup dan mati.
Intinya, mereka membutuhkan informasi.
“Deadrim.”
“Apa?”
“Tentang peluru yang kau tembak sebelumnya…,” tanya Air, mencoba untuk memahami situasi.
“Rupanya, aku adalah Hantu,” jawab Deadrim dengan acuh tak acuh saat dia menyesap air panas. “Atau, begitulah temanmu di sana itu memanggilku.”
Dia kemudian membuat senyum mencela diri sendiri dan menambahkan, “Tapi Kau juga begitu, kan? Ketika kau mengeluarkan sihir sebelumnya, aku melihat matamu menjadi hitam dan merah, seperti mataku. Mata itu… ciri khas Hantu, kan?”
Deadrim mengangkat kepalanya, dan matanya berubah menjadi warna tawon yang tidak wajar.
“Aku tentu ingat pernah mati,” katanya sambil menyentuh matanya. “Itu adalah medan perang yang cukup kecil, dan aku sedikit teralihkan, tapi hanya itulah yang dibutuhkan. Seorang musuh menembakku dari kejauhan, pertama menembus dada, lalu menembus leher. Diingat-ingat lagi, aku mungkin mati seketika, tapi kesadaranku bertahan untuk waktu yang sangat lama.”
Deadrim terkekeh, tapi tidak ada yang ikut tertawa. Kedua pasangan itu duduk saling berhadapan. Rain dan Air dari Timur, Deadrim dan Isuna dari Barat. Namun, setiap pasangan berisi seseorang yang seharusnya tidak ada.
“Saat berikutnya aku tersadar, aku mendapati diriku di suatu kota asing,” lanjut Deadrim. “Aku mencoba hidup damai. Aku tidak memiliki apa-apa, tidak punya apa-apa. Tapi pada akhirnya, aku ditarik kembali ke medan perang. Sepertinya hal itu juga sama untukmu, Air.”
“……”
“Jadi, kau mendengarkanku tapi tidak akan menanggapi… Hmm, kalau begitu…” Gadis itu berhenti. “…Bagaimana kalau kita membahas ini berdua saja, Air?”
“Huh?”
“Kau merasa sedikit kurang lelah sekarang, kan?” gadis berbaju hitam itu bertanya sambil bangkit berdiri. “Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu, karena kau adalah sesama Hantu dengan kehidupan yang mirip denganku.”
Setelah itu, Deadrim keluar dari gubuk. Dia pergi sebelum ada yang menghentikannya, dan Air tampak ragu-ragu untuk mengikutinya.
“Kau mungkin harus mengejarnya,” kata Rain, menyadari tatapan Air yang ragu-ragu.
“Tapi…”
“Aku akan baik-baik saja. Kita perlu mengumpulkan informasi tentang musuh, kan?”
“…Aku akan berada di luar, oke? Jika terjadi sesuatu, panggil aku,” kata Air sambil memanggul senjatanya dan mengikuti Deadrim.
Namun, saat Air pergi…
Aku harus memastikan bahwa aku siap.
…Air memasukkan peluru ke dalam ruang pelurunya. Peluru perak tidak seperti peluru lain.
Jika aku menemukan celah, aku akan menembaknya.
Dia berencana untuk menembak Hantu arang tersebut dengan peluru itu. Peluru Iblis itu berisi kekuatan Pelupaan. Peluru itu menghapus setiap jejak korbannya dari sejarah. Jadi, jika dia menembak Deadrim dengan peluru itu, situasi mereka akan segera membaik. Penyerangan di kereta tidak akan ada lagi.
Air tidak melupakan tujuan awalnya bahkan untuk sesaat. Deadrim sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Tapi jika situasinya berubah, Deadrim mungkin akan membuat kesalahan. Dengan pemikiran itu, Air mengikutinya keluar.
“Dingin, ya?” Hantu lainnya berkomentar, yang pertama berbicara.
“Jelaslah. Kita di luar,” jawab Air singkat, menghadapnya.
Mereka berdiri di dekat tembok pondok, agar angin tidak bertiup menerpa mereka. Namun, suhu udara tetaplah membekukan.
“Baiklah, mari kita duduk,” katanya, mendorong Air untuk bergabung dengannya di atas tumpukan kayu.
“……”
Air duduk sedikit jauh darinya untuk menunjukkan kehati-hatian. Dia masih bisa melihat wajah Deadrim dengan jelas berkat sinar rembulan yang menyinari mereka di antara awan, memantulkan putihnya salju.
“Tapi tetap saja,” kata Deadrim saat dia mengamati posisi Air, “kita mungkin Hantu, tapi tubuh kita bertindak sama. Ini dingin.”
“Ya.”
“Aku selalu mudah kedinginan dalam hidupku, dan sepertinya kematian tidak mengubah hal itu.”
“Tidak bisa bilang kalau aku peduli.”
“Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan tubuh kita.”
“Apa maksudmu, ‘apa yang terjadi’ dengan tubuh kita…?”
“Yah, aku tidak bisa membayangkan mereka meninggalkan tubuhku begitu saja.”
Deadrim hanya menjadi Hantu selama perang saat ini. Pertempuran antara kedua negara mereka terus berlanjut selama abad terakhir, dan setiap kali perang besar baru meletus, yang mati bermanifestasi dalam tubuh yang segar — sebagai Hantu. Air telah mati seratus tahun yang lalu dan bermanifestasi empat kali sejak itu. Karena itu, dia tahu sedikit tentang Hantu. Dan itulah kenapa dia ragu-ragu.
Terbuat dari apakah tubuh Hantu? Jawaban atas pertanyaan itu tidak akan membuat Deadrim tenang.
“Kita menggunakan tubuh yang awalnya milik orang lain.”
“Uh, apa?”
“Hantu mencuri tubuh untuk bermanifestasi. Seseorang mati, lalu kau merasuki mayatnya.”
“…Yah, itu agak mengganggu,” kata Deadrim, ekspresinya sedikit bingung. Tetap saja, dia tidak menjadi depresi yang tidak perlu. “Siapa yang bisa menggunakan sihir sekuat itu?”
“Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak dapat memastikan bahwa hanya satu orang yang bertanggung jawab atas itu. Namun, aku telah aktif selama seratus tahun terakhir, jadi siapa pun yang melakukan ini setidaknya telah melakukannya selama itu. Jika itu satu orang, dia pastilah sudah sangat tua.”
“Pastinya…” Deadrim tidak menjawab lelucon itu dengan baik.
“……”
“Apakah ada Hantu lain selain kita?” Deadrim terus menanyai Air, berharap untuk memastikan kodrat aslinya. Deadrim mendengarkan jawaban atas pertanyaannya dan mengikuti topik apa pun yang menarik minatnya. Dan Air, yang duduk di sana saat gadis itu melontarkan pertanyaan, mendapati dirinya dengan senang hati menurutinya.
Kurasa memberitahunya sedikit lagi tidak ada salahnya…
Tidak ada yang pernah menjelaskan sesuatu kepada Air ketika dia pertama kali menjadi Hantu, jadi dia mengerti bagaimana perasaan Deadrim. Pertanyaan terus bertumpuk, seperti siapa dan apa dia itu, seperti bagaimana bisa dia hidup ketika dia ingat telah mati.
Pada saat itu, Air harus menggali informasi dan mengumpulkannya sendiri, melawan kecemasan itu sepanjang waktu. Dan setelah melawan para Hantu lainnya selama seratus tahun terakhir, dia semakin memahami siapa dirinya.
Jadi, jika Deadrim ingin tahu, Air ingin menjawab pertanyaannya.
“Ada Hantu lain di luar sana. Meski, aku hanya bertemu beberapa dari mereka.”
“Apakah Hantu memiliki ciri-ciri pembeda?”
“Yang paling membedakan adalah bagaimana mata kita berubah menjadi warna tawon saat kita menggunakan sihir. Bukan hanya kita. Itu juga terjadi pada Hantu lainnya. Aku tidak pernah menemukan pengecualian. Oh, dan setiap Hantu memiliki peluru khusus yang diimbuhi dengan sihir unik. Punyaku adalah peluru perak ini.”
Air menunjukkan miliknya. Dia berasumsi menunjukkan penampilan pelurunya tidak akan menjadi masalah jika dia tidak mengungkapkan kekuatannya.
“Aku mengerti. Jadi ini peluru spesialku,” kata Deadrim sambil merogoh kemejanya dan mengeluarkan kalung. Itu bukan kalung biasa, tapi sebuah peluru.
Warnanya agak dalam, seperti teal yang dicelupkan ke dalam cat hitam. Itu juga memiliki kilau abu-abu tua istimewa yang tidak dapat dengan mudah ditiru. Tidak salah lagi. Peluru itu membuktikan bahwa Deadrim adalah Hantu.
Peluru itu memberikannya kemampuan untuk mengubah posisi, yang terasa sangat kuat. Air hanya melihatnya memindahkan es dari danau, tapi dia tahu itu memiliki kekuatan untuk membuat taktik atau formasi apa pun menjadi tidak berarti. Itu benar-benar melewati strategi standar.
Ditambah lagi, tergantung pada bagaimana peluru itu digunakan, peluru itu memiliki berbagai macam penerapan. Air berasumsi bahwa Deadrim bisa mengaktifkan peluru itu hanya dengan menyentuhkannya ke sesuatu. Dengan kata lain, dia sebenarnya tidak perlu menembak menggunakan peluru itu.
Deadrim bisa memanipulasi apapun yang bersentuhan dengan peluru itu sesuka hati. Dan itu juga berlaku untuk peluru yang dia kenakan. Karena itu menggantung di lehernya, peluru itu terus bersentuhan dengannya, memberikannya kemampuan untuk ber-teleportasi.
Itu menjelaskan bagaimana dia bisa menikam Rain dari belakang.
Dan dia bisa saja dengan mudah menargetkanku… Hantu benar-benar sangat kuat.
“Begitu,” kata Deadrim sambil menatap peluru birunya. “Aku tidak pernah memiliki kekuatan ini sepanjang hidup, jadi itu membebani pikiranku. Aku senang aku mengerti sekarang. Sungguh melegakan.”
“…Kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya?”
Air membutuhkan waktu cukup lama untuk mengumpulkan informasi tentang Hantu, tapi dia tidak pernah bermalas-malasan seperti Deadrim. Air dengan sungguh-sungguh mencari informasi, sementara Deadrim bahkan tidak terlalu peduli.
“Aku selalu menganggap semua Hantu serius dan ulet, tapi kurasa aku keliru.”
“Yah, aku memiliki Isuna di sisiku, jadi aku tidak harus menanggung semuanya sendirian. Ditambah lagi, ada pria bernama Kaisei yang selalu mencarikan medan perang yang sempurna untukku.”
“Kaisei?”
“Dia adalah seorang letnan di angkatan darat Harborant. Dia sangat menilai tinggi kemampuanku, jadi dia berkata bahwa dia akan memberiku semua kesempatan yang aku inginkan untuk bertempur. Berkat itu, aku berhasil melakukannya tanpa mencari informasi sendiri.”
“Hmm…”
“Tapi Kaisei belum memberitahuku tentang apapun selain perang. Dia mempersiapkan medan perang dan mengirimku untuk bertempur, tapi hanya itu. Aku dan Isuna telah bertempur untuknya sejak saat itu.”
Rupanya, Deadrim terbangun di lingkungan yang mendukung. Dia memiliki seseorang yang mengenalnya sebelum dia mati seperti Isuna, dan si Kaisei ini telah menangani semua seluk-beluk menjadi seorang tentara tugas aktif. Berkat itu, Deadrim hanya harus fokus untuk bertahan dari pertempuran.
“Kau beruntung. Meskipun aku tidak bisa bilang kalau aku benar-benar iri.”
“Itu berbeda untukmu?”
“Bukan hanya aku. Semua Hantu hidup berdasarkan aliran waktu yang terpisah. Kami harus berpikir sendiri dan berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Itulah sebabnya kita memiliki kontrak.”
“Kontrak?” Deadrim membeo kosong. Sepertinya dia benar-benar tidak tahu.
…Aku bahkan belum mengungkapkan rahasia ini pada Rain.
Air mengeluarkan peluru yang menggantung di lehernya sendiri. Namun, tidak seperti peluru biasa, peluru itu memiliki namanya, Air Arland Noah, terukir di atasnya.
“Ini adalah kemampuan unik lain yang kita para Hantu miliki. Setelah mengukir nama kita di atas peluru, kita bisa mengikat siapa pun yang kita tembak ke dalam perbudakan mutlak. Intinya, mereka kehilangan hak untuk menentang perintahmu.”
“Oooh…,” deru Deadrim, mengungkapkan keterkejutannya. Rupanya, gagasan itu menarik minatnya. “Itu menarik. Mungkin aku harus menembak salah satunya kepadamu atau Isuna.”
“Jangan mencobanya. Selain Isuna, membuat kontrak dengan seseorang berarti berbagi beberapa sihir unikmu dengan mereka. Jika kau menembakku, aku bisa menggunakan peluru birumu.”
“…Kurasa sebaiknya tidak.”
Kontrak itu sangat kuat. Banyak Hantu mengandalkan kontrak untuk menciptakan budak di medan perang. Tapi itu bukanlah kekuatan absolut, jadi kontrak membawa serangkaian risikonya sendiri yang membuatnya sulit untuk disalahgunakan.
Para Hantu secara naluriah tahu bagaimana memanifestasikan peluru unik mereka. Meskipun tidak memiliki pengetahuan akan itu sebelumnya, Air telah menggunakan Peluru Iblis dan peluru kontrak seolah-olah itu adalah insting. Namun hal itu tampaknya tidak berlaku untuk Deadrim. Dia diberkati dengan orang-orang yang mendukungnya; mungkin dia tidak membutuhkan kontrak itu.
“Dimengerti. Kalau begitu, aku tidak akan menggunakan kontrak tersebut. Syukurlah, aku sepertinya dikelilingi oleh pria yang melakukan apa yang aku katakan, jadi aku tidak perlu memaksa siapa pun untuk mematuhiku.”
“Bagus untukmu,” jawab Air, memikirkan Isuna dan si Kaisei itu jelas-jelas melakukan pekerjaan yang sulit. Kemudian Air memasukkan kembali peluru berisikan namanya ke dalam pakaiannya.
“Selanjutnya aku ingin bertanya tentang kenangan Hantu,” kata Deadrim.
“…Jika kau mau,” jawab Air singkat. Tentunya, dia telah pasrah pada kenyataan bahwa dia tidak akan menemukan celah dalam situasi ini.
Karena Air memiliki jawaban yang dia cari, Deadrim ingin tahu semua yang dia bisa untuk menghilangkan keraguannya yang sudah lama ada. Namun, setelah melewati pertanyaan yang paling penting, Deadrim menundukkan kepalanya.
“Kalau begitu aku ingin mengajukan permintaan, sebagai sesama Hantu.”
Permintaan?
“Tolong bantu aku menyelamatkan Isuna.”
“…Apa?”
“Aku berharap untuk menjaganya sampai menit terakhir, tapi kami kehabisan waktu.” Suara Deadrim tetap dingin dan padat, tapi isi kata-katanya tampak sangat berbeda dari diskusi mereka sejauh ini.
Menyelamatkan Isuna?
“Aku merahasiakannya dari kalian berdua, tapi Isuna tidak hanya terluka di kakinya. Dia juga memiliki luka yang dalam di punggungnya. Aku telah melakukan semua yang aku bisa, tapi pendarahannya tidak kunjung berhenti. Dia mungkin hanya punya waktu paling lama setengah hari lagi.” Deadrim meminta bantuan Air. “Jika kau melakukannya, aku akan mengabaikan misiku untuk merebut kembali prototipe Exelia generasi kedua.”
Dan sekarang dia menawarkan untuk mengabaikan tugasnya sebagai tentara demi menyelamatkan seorang pria.
Apa yang dia katakan…?
Air, tentu saja, menolak untuk mempercayai kata-katanya begitu saja. Dia berasumsi kalau Deadrim berencana untuk mengkhianatinya. Seorang prajurit yang baik tidak akan pernah melakukan apa yang dia sarankan; menolak berperang karena takut mati adalah kejahatan militer. Meninggalkan tugas di tengah misi bisa dihukum oleh regu tembak.
“Aku akan pensiun dari militer. Jika kau membantu menyelamatkan Isuna, aku akan bekerja sama denganmu di semua lini.”
Namun Deadrim masih membuat pilihan itu. Dia memutuskan untuk mengesampingkan misinya guna menyelamatkan diri mereka. Dia ingin hidup alih-alih berjuang sampai nafas terakhir mereka.
“Apa…?”
“Ya?”
“Apa yang sebenarnya kau katakan…?” Sebagai sesama Hantu, Air tidak bisa memahami apa yang baru saja disarankan Deadrim. “Bukankah kalian berdua datang ke sini atas perintah militer yang sangat rahasia?”
Keputusan itu terasa sangat tidak bisa dimengerti. Dalam pikiran Air, misi militer adalah hal yang penting. Rekan Deadrim terluka parah, memang, tapi begitu juga dengan rekan Air. Rain sempat mengalami luka yang parah di dada, sehingga jangankan setengah hari, dia tidak akan bertahan sampai beberapa jam ke depan. Tapi tidak sekali pun Rain menyarankan lari untuk bertahan hidup. Pikiran itu tampaknya belum terlintas di benaknya.
Gagasan tentang kematian membuatnya takut, itu sudah pasti, tapi Rain telah menguatkan tekadnya untuk melindungi Exelia generasi kedua hingga napas terakhir.
Meskipun ada rasa sakit yang luar biasa, Rain menolak untuk membiarkan itu terlihat di wajahnya. Dia tahu tindakannya akan menyelamatkan nyawa banyak orang, jadi dia tidak menyerah. Dan karena Air memahami perasaannya, dia juga tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan melarikan diri.
Rain terluka parah tapi masih ingin menjalankan tugasnya. Dan Air membantunya, karena itu adalah cara terbaik untuk menghormati keinginannya.
Sayangnya, hal itu membuat Air tidak dapat mengatakan satu hal yang benar-benar ingin dia sarankan.
Ayo kita kabur.
Ugh… Apa yang sedang kupikirkan?
Air menggelengkan kepalanya dengan putus asa untuk menghilangkan pikiran itu. Deadrim tidak ragu-ragu menyarankan hal itu, dan itu membuat Air marah.
Dia sungguh…!
Air marah. Dia benci melihat gadis lain ini menganggap remeh gagasan akan harga diri. Maka, dia bangkit berdiri, mengeluarkan sarung pistol di dekat dadanya, dan mengarahkannya ke arah Deadrim dengan gerakan yang tidak salah lagi merupakan gerakan menyerang.
“Whoa…,” gumam Deadrim saat dia meraih pedang di pinggangnya. Hanya jarak beberapa kaki yang memisahkan mereka. Biasanya, senjata api lebih cepat pada jarak itu, tapi…
……
…Air tidak bergerak. Tekanan membuatnya tetap di tempatnya. Masa depan yang Air ramalkan berakhir dengan kematiannya. Dan sebagai tambahan, Air telah melihat sekilas bagaimana Deadrim bertarung pada hari itu.
Deadrim…
Dia telah membantai tiga puluh penyihir hanya dengan sebuah pedang di tangan. Dia benar-benar mengabaikan peluru musuh dan mobilitas Exelia saat dia bergerak di medan perang, menebas musuhnya satu per satu.
Pemandangan gadis berbaju hitam yang dengan anggun melayang di udara terlintas di benak Air. Keterampilan tak tertandingi itu adalah sumber kepercayaan dirinya… sumber keberadaannya sebagai Hantu.
“…Hmm.”
Beberapa detik berlalu saat mereka berdiri membeku.
“Air.” Deadrim merasakan amarah Air. Air dipenuhi dengan—dan terikat oleh, rasa tanggung jawab—sampai ke helai terakhir rambut peraknya.
“…Apa?”
“Apakah kau ingat bagaimana kau mati?”
“……” Air mengangguk tapi tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Begitu. Yah, begitu juga aku. Itu adalah kematian yang hampir seketika, tapi hal terakhir yang aku dengar dan lihat meninggalkan kesan yang kuat padaku,” kata Deadrim tanpa sama sekali membiarkan tangan atau pedangnya bergetar. “Isuna tepat di sampingku saat aku tertembak.”
“Maksudmu…?”
“Ya, pria paruh baya di gubuk itu,” dia menegaskan dengan sedikit main-main dalam suaranya. “Kami seumuran saat itu.”
Air memahami maksudnya. Dan kesedihan karena tidak bisa menua bersama teman-temannya.
“Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu… Dan sungguh, itu adalah pertempuran kecil,” Deadrim melanjutkan ceritanya seolah mengenang. “Kedua negara berada dalam keadaan perang dingin, jadi pertempuran sebenarnya jarang terjadi. Harborant mengirim kami untuk menambah jumlah dalam Pertempuran Winkel. Aku adalah seorang penyihir di daftar perwira resmi, sedangkan Isuna adalah seorang taruna.”
“Apakah kalian berdua…?”
Apakah kalian berdua sedang jatuh cinta? Air hampir bertanya, tapi dia menelan kata-kata itu pada detik terakhir.
……
Tidak masalah jika dia bertanya, tapi pikiran itu membuatnya malu.
“Apa kau ingin tahu?”
“…Tidak juga.”
“Ha-ha-ha-ha! Kau lebih polos dari yang aku kira.”
“Sudah kubilang aku tidak ingin tahu!”
“Oh, diamlah. Tidak ada aturan yang melarang tentara jatuh cinta.”
“Aku cuma bilang kalau aku…” Suara Air perlahan mengecil, lalu berhenti sebentar dan berkata, “Aku tidak terlalu… peduli…”
Deadrim tersenyum melihatnya ngeles dengan tergagap. Gadis berambut perak itu tampak berkemauan keras, tapi tampaknya, dia bahkan memiliki topik yang tidak dapat dia tangani dengan baik.
“Yah, ini tidak seperti kami sedang menjalin hubungan atau semacamnya.”
“…Begitu ya.”
“Tapi aku memang mencintainya.”
“……”
Deadrim sangat santai tentang hal itu sehingga Air tertegun.
“Tidak ada yang lebih penting bagiku selain Isuna. Jika dia mati, aku juga akan mati. Tanpa dia, aku tidak punya lagi alasan untuk hidup… Tapi siapa yang tahu bagaimana perasaannya tentangku.”
Air telah bertemu beberapa Hantu selama hidupnya, tapi mereka semua didorong oleh kebencian yang kuat. Mereka semua akan memprioritaskan memuaskan amarah mereka di atas segalanya. Namun, Deadrim tidak seperti mereka. Di dalam jiwanya, dia membawa…
“Isuna adalah segalanya bagiku. Dan itu tidak akan pernah berubah.”
…kasih sayang yang murni dan suci untuk satu orang. Perasaannya pada Isuna mendorongnya maju. Sekilas, hal itu tampak indah, tapi ada juga sisi gelap dari cinta yang halus itu.
Deadrim terobsesi…
Air melihatnya sebagai bentuk lain dari kekejaman. Isuna tak tergantikan, tapi itu juga berarti Deadrim rela mengorbankan semua orang dan yang lainnya demi Isuna. Prinsip moralnya begitu kokoh sehingga nyawa orang lain dapat dibuang di matanya.
“Aku dan Isuna telah berteman sejak kami masih kecil. Saat itu, kami bercita-cita menjadi penyihir militer. Desa kami berada di dekat perbatasan, jadi pertempuran sering kali meluas ke daerah sana. Itu sebabnya kami ingin menjadi penyihir dan melindungi desa kami,” Deadrim memberitahunya. “Aku memiliki lebih banyak bakat sebagai penyihir, jadi aku dipromosikan lebih cepat, tapi Isuna dengan sungguh-sungguh mengikuti jejakku. Dia bilang dia ingin bertarung di sisiku meski dia kurang berbakat. Hari itu… Hari dimana aku tertembak adalah pertama kalinya kami bertindak sebagai pasangan resmi. Itu adalah hari dimana impian kami menjadi kenyataan.”
Air hanya bisa membayangkan kehidupan yang mereka jalani sejak kecil dan apa yang mereka rasakan satu sama lain. Mereka jelas lebih dari sekadar kenalan. Tentunya… Deadrim menyimpan perasaan yang dalam pada perwira itu.
“Aku telah mati di depan mata Isuna. Hal terakhir yang aku ingat adalah melihatnya menangis dan mencoba mengumpulkan serpihan jantungku yang hancur. Kurasa aku belum pernah melihat seseorang terlihat begitu bingung, kehilangan, atau sedih sebelumnya. Dan sejujurnya, aku juga ragu aku akan melihat hal itu lagi.”
“……”
Bahkan setelah dia mengetahui apa yang mendorong Deadrim, Air tidak mempercayainya.
“Dan juga, aku akan memberitahumu sesuatu, karena kita sudah sampai sejauh ini.”
“Apa?”
“Masalahnya, aku sudah menjadi pengkhianat. Sebelum kami memulai serangan kami di kereta, aku dan Isuna telah membunuh sepuluh tentara Harborant.”
“……”
“Militer mengirim kami untuk mendapatkan Exelia generasi kedua, tapi aku dan Isuna memiliki tujuan lain.”
Tampaknya, mereka punya alasan untuk mengkhianati negara mereka dan membunuh rekan-rekan mereka sendiri.
“Dengar, kami tidak pernah bermaksud menyerahkan Exelia generasi kedua ke Negara Barat. Sebaliknya, kami berencana untuk mengklaimnya untuk diri kami sendiri.” Deadrim menunjukkan kepada Air peluru yang menjuntai dari lehernya. Kemudian Deadrim menunjukkan tatapan bertanya padanya. “Air, apakah kau menikmati perang?”
“…Pertanyaan macam apa itu?” jawab Air, jelas bingung. Dalam benaknya, kesenangan tidak perlu dipertimbangkan dalam perang. Dia hanya melihatnya sebagai fenomena yang berada di luar kendalinya.
“Lihat, aku benci perang,” kata Deadrim.
“……”
“Ketika aku masih muda, aku dipenuhi dengan rasa tanggung jawab. Aku percaya bahwa musuhku jahat dan membunuh mereka akan membuatku merasa lebih baik. Lebih bangga. Namun, ketika aku akhirnya menjadi seorang penyihir dan untuk pertama kalinya melihat medan perang yang sebenarnya, aku menyadari sesuatu… Anak-anak yang berdiri di pihak lain itu tidaklah berbeda denganku.”
Itu adalah kenyataan pahit yang harus diterima semua orang. Persepsi tentang kebaikan, kejahatan, dan keadilan tidak ada gunanya di masa-masa perang.
“Pada titik ini, perang telah mencuri segalanya dariku. Itu merenggut nyawaku, masa depan Isuna… segalanya.”
Deadrim, bagaimanapun, menolak untuk menerima itu. Dia menolak kegilaan itu.
“Aku dan Isuna akan mengakhiri perang ini. Tidak lebih, tidak kurang,” kata Hantu arang itu tentang sumpahnya.
“Ah…!”
Dan anehnya, itu adalah keinginan yang sama dengan yang dimiliki oleh Air dan Rain.
“Sihir yang aku peroleh sebagai Hantu sangatlah kuat. Aku dapat dengan bebas mengubah posisi apa pun yang disentuh peluruku. Sihir ini membuat formasi dan medan sama sekali tidak relevan. Jika kami menggabungkan kekuatan itu dengan kemampuan Exelia generasi kedua untuk operasi tunggal, kami tidak akan terkalahkan.”
Kemampuan untuk mengabaikan posisi pasukan dan topografi dengan sendirinya cukup kuat, jadi dengan tambahan mobilitas Exelia generasi kedua, keunggulan mereka tidak dapat diatasi.
Apa pun akan mati jika kepalanya dihancurkan, baik itu serangga, manusia, ataupun seluruh pasukan. Membunuh komandan adalah metode jitu untuk mengakhiri pertempuran apa pun. Dan Deadrim bisa melakukan itu dengan efisiensi yang mematikan, dengan mengabaikan segalanya dan men-teleportasi-kan dirinya langsung kepada mereka.
“Aku dan Isuna akan bisa menyelesaikan semua pertarungan secara instan seperti itu, yang seharusnya akan mengakhiri perang untuk selama-selamanya. Itulah alasan kami membutuhkan Exelia generasi kedua… Tetap saja, tidak ada yang lebih berharga bagiku selain nyawanya,” kata Deadrim, lalu mengalihkan pandangannya ke arah gubuk. Seorang perwira yang terluka duduk di sisi lain dinding itu… pria yang sama, yang telah terikat dengannya selama sepuluh tahun.
“Kedamaian hanya penting jika Isuna ada di sana untuk mengalaminya bersamaku. Aku telah mati seperti serangga di kaca depan sepuluh tahun lalu, jadi setidaknya aku pantas mendapatkan kedamaian kalau cuma segitu, kan?”
“Jika kau memiliki seseorang seperti itu…”
“Hmm?”
“Jika kau memiliki perasaan yang begitu kuatnya terhadap seseorang, bagaimana bisa kau membunuh orang dengan cara yang tidak berperasaan seperti yang kau lakukan?”
Air telah melihat Deadrim secara sadis bermain-main dengan tiga puluh tentara musuh. Jika semua yang dikatakan hantu lain itu benar, dan cintanya pada Isuna serta kebenciannya pada perang lah yang mendorongnya maju, lalu kenapa dia bertindak begitu kejam dan tanpa ampun? Tidak masuk akal. Kekejaman yang dia lakukan adalah penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri. Seseorang yang benar-benar menginginkan cinta dan kedamaian tidak akan melakukan hal itu.
Itu tidak masuk akal.
Atau begitulah yang Air percayai, tapi—
“Kau salah paham. Aku bisa melakukan itu karena aku telah terbunuh.”
“…Apa?”
“Pada akhirnya, aku tidak merasakan apa-apa.”
Dia mati seketika karena tembakan penembak jitu. Dia ingat telah melihat Isuna di saat-saat terakhirnya—tapi hanya itu.
“Aku bahkan tidak diberikan waktu untuk merenung. Aku tidak merasakan sakit, tidak punya waktu untuk menderita, berduka, menghirup nafas terakhir, takut… untuk merasakan kematian merayap ke atas diriku. Aku mati begitu saja tanpa arti. Dan hal berikutnya yang aku tahu, sepuluh tahun telah berlalu…” Deadrim berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Aku ingin meninggalkan semacam bukti bahwa aku pernah hidup. Aku ingin meninggalkan kesan yang dalam dan abadi dari emosiku. Aku tidak peduli meskipun itu terdengar palsu, selama aku tetap berada di hati Isuna. Jika aku harus mati, aku ingin menyampaikan keputusasaan, rasa sakit, kemarahan, dan penyesalanku kepada dunia.”
Jadi, Deadrim mengukir emosi itu ke musuh-musuhnya. Jika dia harus membunuh mereka, dia mengukir rasa sakit yang dalam dan keputusasaan ke dalam daging mereka karena bahkan emosi negatif itu adalah sesuatu yang pernah dia inginkan. Dalam pikirannya, membiarkan mereka meninggalkan jejak di dunia adalah kehormatan terbesar yang bisa dia berikan kepada orang sekarat. Pikirannya tentang kepantasan… tentang kesopanan. Namun–
“…Apa kau sudah gila?”
Air mengerti alasannya, tapi dia tidak bisa bersimpati. Apa yang dicapai hal ini? Menimbulkan ketakutan pada seseorang dengan menyiksa mereka sebelum kematiannya? Tindakan itu bahkan tidak memiliki makna religius di dalamnya—itu hanya murni kekejaman. Namun, entah bagaimana, dalam benak Deadrim, tidak ada satu pun dari hal itu yang bertentangan dengan keinginannya akan perdamaian.
Tidak peduli bagaimana dia mencoba membenarkan tindakannya, seberapa besar dia menyatakan ingin mengakhiri perang, Air hanya mencapai satu kesimpulan tentang gadis hitam itu.
Dia adalah Hantu. Seorang wanita mati yang bergerak di luar nalar manusia. Sebuah pertanda bencana. Seseorang yang aneh dan sinting…
Tapi ini masih tidak masuk akal…
Sesuatu pasti telah mengubahnya. Air sudah terbiasa dengannya, jadi tidak lagi tampak mencolok seperti awalnya, tapi dia menggunakan pedang. Itu tidak masuk akal.
Kenapa dia melakukan itu?
Dunia ini memiliki sihir tapi tidak ada keajaiban. Membawa pedang ke dalam baku tembak adalah tindakan bodoh, dan peluru yang memungkinkanmu mengubah posisi tidak mengubah fakta akan hal itu. Penyihir bertarung dengan menggabungkan penglihatan masa depan dari Qualia mereka dengan sihir dari senjata api mereka. Namun, Deadrim bertarung menggunakan pedang.
Tunggu, bagaimana jika aku membaliknya?
Mungkin semua yang dia pikirkan salah? Mungkin Deadrim tidak terlalu kuat hingga dia hanya membutuhkan pedang.
Mungkin hanya karena itu lebih nyaman.
Semuanya lebih masuk akal dari sudut itu.
Itu menjawab keraguannya. Hantu selalu bertindak menurut logika murni, tanpa terkecuali. Mereka tidak terikat oleh etika atau moral, jadi mereka dengan tegas memilih cara yang paling optimal untuk mencapai tujuan mereka. Dengan pemikiran itu, mungkin Deadrim menggunakan pedang karena itu paling cocok dengan gaya bertarungnya.
Kekuatan yang diperoleh Deadrim adalah peluru dengan kemampuan untuk menggeser posisi objek, jadi dia tidak menggunakan pistol karena pedang paling cocok dengan sihir itu. Namun, menggunakan pedang untuk membunuh musuh jauh lebih langsung dan jelas daripada menembak mereka dengan pistol, yang berarti dia harus mengembangkan ideologi untuk mengurangi rasa bersalahnya. Dia harus membuat pembenaran atas tindakan pembunuhannya yang mengerikan dan biadab.
“Aku peduli dengan kesejahteraan Isuna lebih dari apapun di dunia ini,” kata gadis hitam itu. “Ketika aku bangun setelah sepuluh tahun, dia menangis dengan gembira dan memilih untuk tetap di sisiku. Aku tidak akan pernah melupakan itu. Aku mencintainya sepenuh hatiku, Air.”
Dan itulah alasan dia memohon bantuan Air.
“Aku berencana untuk mengambil rute terpendek dari gunung ini besok pagi. Ada kemungkinan besar aku akan bertemu musuh, tapi jika aku tidak mengambil risiko itu, Isuna akan mati. Dan di situlah kau masuk.”
Dia mengusulkan rencana bodoh. Mengambil jalan memutar tampaknya lebih pintar, karena itu sangat mengurangi kemungkinan musuh untuk mendeteksi mereka. Jika Air ingin menyelesaikan misi mereka dan membawa kembali Exelia generasi kedua, maka jalan memutar sangatlah ideal. Sayangnya, memilih opsi itu…
“Bocah berambut hitam itu juga akan mati, tahu?”
…akan menandatangani bukti kematian Rain. Lagipula, Rain berada di ambang mati kehabisan darah.
Air tahu dia harus memprioritaskan pengiriman Exelia. Satu unit itu memiliki potensi untuk mengubah gelombang perang, jadi nyawa seorang taruna bahkan tidak dapat dibandingkan dengan itu. Namun–
“Apa yang akan kau lakukan?”
“……” Air tetap diam. Dia mendapati dirinya tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
“Apa yang paling penting bagimu?” tanya Deadrim. “Kalau dipikir-pikir, orang yang kau ajak bicara sebelumnya menyuruhmu untuk membunuh Rain, kan?”
“Ah…!”
Maksudnya jelas-jelas Kreis. Kata-kata dari percakapan mereka sebelumnya terngiang di benak Air.
“Jika kau tidak dapat melarikan diri dari gunung dan harus memilih antara kelangsungan hidupmu dan Rain, aku ingin agar kau membunuhnya.”
“Tapi kau tidak membunuhnya, bahkan setelah semua ini, yang artinya…”
“…Kau keliru.”
“Apa?”
“Aku tidak sepertimu!” Air meninggikan suaranya karena marah saat Deadrim mempertanyakan tekadnya. “Aku tidak akan pernah melupakan misiku! Beraninya kau menyarankan aku dan Rain untuk melakukan itu!”
Kata-katanya yang memanas sepertinya menasihati dirinya sendiri seperti halnya Deadrim.
“Aku dan Rain adalah rekan—rekan dan hanya itu! Tidak ada tempat untuk emosi yang tidak perlu di antara kami!”
Air yakin bahwa hingga saat itu, dia selalu memilih tindakan yang paling logis dan bermanfaat.
“Kami membuat janji. Kami bersumpah akan mengakhiri konflik ini… bahwa kami akan menghentikan perang ini untuk selama-lamanya. Jika itu bisa membantu mewujudkan mimpinya, aku akan meninggalkan Rain tanpa berpikir dua kali. Dan aku tahu kalau dia akan melakukan hal yang sama! Kami hanya berhasil sejauh ini karena kami memiliki tekad itu.”
Kami akan mengubah dunia. Kami akan mengakhiri zaman peperangan ini.
Mereka berdua rela mengorbankan hidup mereka untuk mencapai tujuan itu, yang menjelaskan mengapa mereka membuat sumpah yang terdengar seperti khayalan menggelikan. Air sangat marah mendengar seseorang mengungkit emosi yang manis ini ke dalam pikiran mereka.
“Kami tidak sepertimu, Deadrim. Kami tidak akan pernah mengesampingkan misi untuk menyelamatkan hidup kami. Jika kami tidak dapat mengambil risiko itu, kami tidak akan pernah benar-benar mengubah apa pun.”
Mungkin Deadrim dan Air benar-benar menginginkan hal yang sama. Metode mereka berbeda, tapi Deadrim memang membenci perang. Kata-kata itu terdengar benar. Dia menginginkan perdamaian, dan dia rela mengorbankan banyak orang dan membuang hampir semua hal untuk mencapainya. Dalam hal itu, dia tidak seperti Hantu mana pun yang pernah Air temui. Dia pada dasarnya berbeda dari mereka yang hanya ada dalam pertempuran dan berkembang dalam konflik.
Tetap saja, cara berpikirnya terlalu berbeda dengan Air. Dan memang, dia mengesampingkan kata-katanya seperti bulu.
“Bukan itu yang aku tanyakan. Aku ingin tahu apakah kau ingin menyelamatkan anak itu… Itu saja.”
“…Kurasa kita tidak akan pernah sependapat.”
“Aku setuju. Kau ingin menciptakan dunia yang damai, tapi bagaimana kau berniat untuk tinggal di sana ketika semua orang yang kau cintai sudah mati dan dikubur?”
“……”
“Ini bukan soal memilih salah satu dari yang lain. Raihlah dan rebut keduanya. Aku ingin bersama Isuna. Aku ingin berpegangan tangan dengannya, menciumnya, dan jika memungkinkan, memiliki anak dengannya. Dan untuk melakukan itu, aku perlu mengakhiri perang. Itulah yang terpenting,” kata Deadrim, lalu menghela napas. “Yah, kau harus segera memutuskannya.”
Lalu dia berbalik…
“Di sini terlalu dingin untukku. Kita bisa melanjutkan pembicaraan ini nanti.”
…dan berjalan kembali ke gubuk dimana Isuna dan Rain menunggu mereka kembali.
Setelah kedua Hantu itu berjalan keluar gubuk untuk berbicara …
Ah…!
…Rain membungkuk sampai batuk.
“Gah, aaaaaah!”
Campuran darah dan air liur mengalir dari mulutnya. Dia mengangkat jarinya dan melihat jari-jarinya sudah merah. Sepertinya dia sudah terbatuk-batuk sebentar.
Luka tusukan menyiksanya, sementara tubuhnya mati rasa.
Ini buruk…
Bayangan kematian membayangi Rain. Dia sangat mengerti. Pendarahannya tidak berhenti, dan pikirannya semakin kabur dari menit ke menit.
“Apakah kau masih bisa bicara?” tanya Isuna pada Rain, menyadari betapa lemahnya dia.
“Kurasa begitu…”
“Ha-ha-ha, kita berdua dalam kesulitan. Aku sendiri mulai merasa sangat buruk.”
Keduanya memasang sikap gagah agar tidak memberikan kekhawatiran yang tidak perlu kepada pasangan mereka. Namun, luka mereka masing-masing masih mengancam akan memadamkan kelap-kelip lilin nyawa mereka.
Keduanya berbicara dengan nada berbisik saat mereka bersandar di dinding paralel.
“Hantu… kan?”
“Apa…?”
“Itu sebutan mereka, ya?” kata Isuna dengan bisikan parau. “Gadis itu, Air… dan Deadrim, juga… Mereka Hantu. Sungguh aneh. Kata itu membuat segalanya masuk akal. Aku ingin tahu bagaimana seorang gadis yang meninggal sepuluh tahun lalu menemukanku lagi… terlihat seperti dia dulu…”
“Apakah kau mengenalnya sebelum dia meninggal?” tanya Rain.
Isuna mengangguk dan menjawab, “Aku tidak sekedar mengenalnya… Aku bersamanya saat dia meninggal. Dia ditembak di leher dan dada, dan beberapa detik kemudian, dia… meninggalkanku…”
Dalam sepuluh tahun berikutnya, Isuna mengarungi medan perang sendirian.
“Tapi beberapa bulan lalu, Rim, dia… muncul entah dari mana. Sudah sepuluh tahun, tapi dia terlihat persis sama seperti yang kuingat… Dia hanya berjalan ke arahku dan berkata ‘Wah, kau benar-benar sudah tua sekarang.’ Dia terlihat sangat bingung…” Isuna menghela nafas. Lagi pula, jika ada yang terkejut, itu adalah Isuna. Dia mempelajari Rain lebih dekat dan bertanya, “Bagaimana denganmu dan gadis itu?”
Isuna sepertinya ingin tahu hubungan mereka.
Sejujurnya Rain tidak punya alasan untuk menjawab pertanyaan itu, tapi dia melunak di hadapan ketulusan dalam nada perwira itu.
“…Aku baru bertemu Air untuk pertama kalinya setelah dia menjadi Hantu. Aku tidak tahu apa yang dia alami dalam hidup atau selama tugas sebelumnya sebagai Hantu.”
“…Ha-ha-ha.”
“Apa?”
“Aku sudah menduganya,” kata Isuna, dan tersenyum saat dia melihat Rain. Tatapan Rain bertemu dengan tatapannya, dan Rain melihat kesedihan yang dalam tersembunyi di balik mata lembut itu.
Huh…?
“Mungkin ini hanya imajinasiku, Rain, tapi kau mengingatkanku pada diriku sepuluh tahun yang lalu. Dulu ketika aku masih belum berpengalaman dan tidak memahami hubunganku dengan Rim. Pada dasarnya, saat aku masih berjiwa muda.”
“Uh, oke?”
“Rasanya seperti sedang melihat foto lama, lho?”
Tidak, aku benar-benar tidak…
Isuna bilang mereka mirip, tapi Rain tidak tahu apa yang membuat mereka mirip.
“Biar kutebak, Rain.” Isuna berhenti sejenak. “Apakah kalian berdua bertengkar hebat akhir-akhir ini?”
“……”
“Ya, wajah itu. Sudah kuduga.”
Rain hampir bertanya “Bagaimana kau bisa tahu?” tapi memutuskan untuk tidak melakukannya. Hubungannya dengan Air akhir-akhir ini canggung. Ada banyak alasan untuk itu, tapi…
“Aku tahu. Aku dan Rim juga sama sepuluh tahun yang lalu.”
Sepuluh tahun yang lalu…
Isuna tidak benar-benar kekurangan bakat ketika dia masih muda. Menjadi penyihir menempatkannya di antara yang terbaik, jadi tidak ada tentara biasa yang mampu menandinginya. Tapi ketika dia masih hidup, Deadrim berdiri di atas tingkatan penyihir lain, jadi Isuna terus-menerus dibandingkan dengannya. Saat itu, dia tidak keberatan dengan perbandingan tersebut. Siapa di antara mereka yang lebih baik tidak terlalu penting, karena mereka bersama. Sayangnya, saat mereka dewasa, lingkungan mereka berubah… dan mereka pun juga.
“Pada hari Rim meninggal, kami bertengkar hebat.”
Mereka tidak tetap berteman dekat selamanya.
“Itu adalah hari dimana aku akhirnya mendapatkan keinginanku… untuk berdiri di sampingnya di medan perang. Kami berdua mulai bertengkar karena dia terus berusaha membantuku. Sekarang, saat diingat-ingat lagi, aku tahu dia mengatakan sesuatu yang sangat jelas, tapi aku kesal karena dia tidak mempercayaiku, jadi kami berhenti saling bicara. Dan hal berikutnya yang aku tahu, Rim…”
Dia mati dengan penuh penyesalan. Ceritanya terdengar terlalu umum.
Pria yang kehilangan cinta masa mudanya menatap langsung ke Rain, matanya penuh emosi. “Rain, kamu sama seperti aku dulu.”
“Apanya yang sama?”
“Kita berdua merasa tidak sabaran karena rekan yang jauh lebih terampil daripada kita.”
Mereka berdua diliputi oleh frustrasi karena kurangnya pengalaman dan kedewasaan mereka sendiri.
“Aku bukannya tidak sabaran…”
“Apakah kau menentang ide-idenya tanpa alasan yang jelas?”
“……”
“Dan itu membuatmu sulit untuk membicarakannya dengan dia, kan?”
……
Dia tidak memiliki cukup jari untuk menghitung berapa kali hal itu terjadi. Isuna mungkin memahami perselisihan mereka dari ekspresi Rain.
“Kupikir kau memiliki kesalahpahaman yang sangat jelas.”
“Kesalahpahaman macam apa?”
“Dari sudut pandangmu, bagaimana kau menggambarkan Air?”
“…Penyihir yang ideal.”
“Yah, sebagai permulaan, aku dapat memberitahumu bahwa itu tidaklah benar.”
Keyakinan itu tampaknya menjadi akar penyebab perselisihan mereka.
“Mereka berdua, Deadrim dan Air? Mereka terampil, tapi mereka bukan Tuhan atau semacamnya. Mereka mungkin pintar dan berbakat secara manusiawi… yah, mungkin tidak manusiawi. Karena mereka adalah Hantu. Tapi pada intinya… mereka adalah gadis normal. Mereka manusia, seperti halnya aku dan kau.”
Kesalahpahaman Rain berasal dari keyakinannya bahwa pasangannya tak terkalahkan.
“Dan itulah kenapa kau sangat tidak sabaran.”
“……”
“Kau menempatkannya di atas tumpuan berdasarkan kesalahpahaman sementara berasumsi bahwa dia berbeda darimu. Kau secara tidak sadar memutuskan semua yang dia katakan adalah mutlak. Jadi, hal kecil apa pun yang dia katakan akan membuatmu berhenti. Kau lebih menghargai kata-katanya daripada pendapatmu sendiri, jadi kau menganggap kata-katanya selalu benar. Dan itulah kenapa kata-katanya menyakitkan.”
Ketika Air mengatakan kalau dia salah… Rain percaya bahwa dia tidak punya kesempatan untuk mendekatinya.
“Satu peringatanku padamu adalah… jangan membuat kesalahan itu. Keduanya sama manusiawinya seperti kita. Mereka membuat kesalahan, mereka mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, dan terkadang mereka salah dan membuat keputusan yang salah. Mereka terkadang ceroboh juga. Kupikir Deadrim tidak akan pernah kalah, tapi dia mati dengan begitu mudahnya. Saat itulah aku belajar.”
“Tapi…”
“Kalau begitu, haruskah aku mengatakannya?”
Nasihat Isuna seperti pisau di hati Rain saat dia mencoba untuk memahami semua ini.
Saat dia melihatnya, Isuna melanjutkan. “Saat ini, kau marah dan merajuk pada gadis yang kau kagumi, yang mana hal itu menyakiti gadis itu.”
“Ugh…” Rain hanya mengerang sebagai jawaban, yang membuat Isuna tertawa.
“…Ha-ha-ha.”
Suara lemah tak berdaya menggema darinya, tapi dia tetap tertawa.
“Itu lucu. Kuharap aku bisa mengatakan hal itu pada diriku sendiri sepuluh tahun yang lalu, tapi mengatakannya sekarang terasa menyenangkan…”
Bagi Rain, pencerahan itu memalukan. “Kau…” dia mulai membentak, tapi kemudian memikirkannya dengan lebih baik.
“Tetap saja, aku tidak bisa mengguruimu, bukan?” kata Isuna, suaranya lemah. “Masih banyak yang aku tidak tahu tentang Rim. Ketika dia pertama kali muncul sebagai Hantu, kupikir dia benar-benar telah kembali padaku. Dia tampak persis sama seperti sepuluh tahun lalu. Aku sudah berubah, tapi fakta bahwa dia tidak berubah membuatku begitu bahagia. Tapi begitu kami keluar untuk bertempur… Aku segera menyadari betapa salahnya aku.”
Mereka berdua telah bertarung berdampingan, baik di masa lalu maupun saat ini, yang membuat perubahan pada Deadrim menjadi jelas baginya.
“Dia sangat sadis sekarang. Aku tidak tahu apakah karena harus terus bertempur dalam perang yang dia benci entah bagaimana telah menyesatkannya, tapi…”
Rain hanya mengenal Deadrim saat ini, di mana dia melihatnya secara brutal membunuh tiga puluh orang, jadi kata-kata itu membuatnya bingung. “Dia tidak seperti itu ketika dia masih hidup?” tanya Rain.
“Tidak. Dia adalah prajurit paling terampil yang pernah aku lihat, tapi aku tidak pernah sekalipun melihatnya tersenyum di medan perang. Saat ini, dia brutal, dan dia juga lebih sering keluar untuk bertempur. Meski, itu sebagian besar karena Kaisei terus mengatur pertempuran untuknya…”
Kaisei… Rain tidak tahu seperti apa pria itu, tapi dia pernah mendengarnya. Dia adalah seorang perwira dari Barat yang telah terlibat dalam beberapa pertempuran besar. Tetap saja, dia tidak memiliki rekam jejak yang luar biasa, jadi dia tidak pernah meninggalkan banyak kesan.
“Sekarang setelah kupikir-pikir, pria itu mengendalikan tindakan Rim selama ini. Rim hanya melakukan apa yang dia katakan dan terus bertempur… Mungkin jika aku lebih tegas, dia akan tetap menjadi Rim yang aku kenal, bukannya menjadi Hantu Deadrim…”
Deadrim telah berubah. Dia belajar menikmati pertempuran lebih dari saat dia masih hidup.
“Aku… aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika aku hanya mengatakan kepadanya untuk tidak berubah…”
Kesadarannya semakin kabur. Suara Isuna perlahan melemah.
“Aku ingin kalian berdua… mencapainya…”
“……”
“Kami berdua tidak berhasil. Tapi kalian berdua… mungkin masih memiliki kesempatan…” Isuna terdiam, tidak memiliki kekuatan untuk menyelesaikan kalimat itu. Dia tertidur lelap.
“Rain, bagaimana lukamu?” Air masuk ke dalam gubuk dan langsung menanyakan pertanyaan itu.
“Aku tidak berpikir ini menjadi lebih buruk, tapi tidak juga lebih baik.”
“Benar…”
Rain mencoba berbohong padanya. Air hanya keluar sebentar, tapi perban di lukanya tampak memerah. Itu jelas memburuk. Namun, Air tidak menunjukkan fakta bahwa Rain telah berbohong.
“Aku akan melepas perban dan mencucinya. Ini akan sakit, jadi gertakkan gigimu.”
“Ini tidak sesakit it—Babababa, aaaaaah!”
“…Sudah kubilang ini akan menyakitkan.”
Dia melepas perban dan mencoba membilasnya dengan air yang mereka temukan di gubuk, tapi darah tetap menempel. Rain juga kehilangan cukup banyak darah dalam prosesnya. Namun, dia tetap menolak untuk mengakui parahnya lukanya, karena dia yakin membicarakannya hanya akan memperburuk situasi.
Itu… benar…
Air memikirkan kembali hubungannya dengan Rain. Mereka membutuhkan tekad yang kuat untuk sampai sejauh itu, dan mereka mempertaruhkan nyawa mereka berkali-kali dalam prosesnya. Dan seperti saat-saat itu, mereka memiliki satu tujuan yang ingin mereka prioritaskan di atas segalanya. Mengakhiri siklus peperangan. Dan Rain berencana untuk menyelesaikan misi mereka sampai selesai, karena hidupnya tidak…
……
Dia tahu Rain tidak akan bertahan sepuluh jam lagi. Dia hanya akan bertahan hidup jika mereka meloloskan diri dari gunung sebelum fajar, yang berarti mereka harus melawan pasukan tak dikenal yang mereka temui sebelumnya.
Kekuatan Deadrim tampaknya tak terhentikan, tapi mereka hanya memiliki satu Exelia untuk menyusun strategi mereka. Karena itu, peluang mereka untuk kabur tampak tipis. Tapi sebaliknya, jika mereka tetap bersembunyi, mereka memiliki kesempatan yang bagus untuk lolos dari deteksi musuh. Itu membuat pilihan di hadapannya jelas, tapi…
“Aku ingin tahu apakah kau ingin menyelamatkan anak laki-laki itu… Itu saja.”
…kata-kata Deadrim muncul di benaknya. Air tidak punya jawaban atas pertanyaan itu… Tidak, dia menolak untuk menjawabnya karena dia tidak ingin menghancurkan hubungan yang dia bangun dengan Rain. Dia tidak ingin membatalkan janji mereka untuk mempertaruhkan nyawa demi misi, jadi dia secara aktif mencoba menghindari itu.
Apa…? Apa yang harus aku lakukan…?
Air selesai mencuci perban Rain dan mengeringkannya, pertentangan itu membebani hatinya selama ini. Menyentuh tubuh Rain dan merasakan kehangatannya mengingatkannya bahwa Rain masih hidup, tapi itu hanya akan bertahan paling lama satu hari lagi.
Aku tidak ingin itu…
Dia tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya, tapi bertindak berdasarkan keinginannya terasa salah. Pikirannya terus berputar-putar, menanyakan pertanyaan yang sama, tidak pernah menemukan jawaban.
“Ugh…” Rain tiba-tiba mengerang. Ketika dia mendengarnya, Air mendongak dan mendapati dirinya sedang menatap wajah Rain.
Benar…
Dia selalu punya pilihan untuk bertanya pada Rain. Hidup Rain-lah yang tergantung pada seutas benang, bukan hidupnya, jadi Rain hanya perlu memutuskan apa yang harus dilakukan… Itu juga membuat segalanya lebih mudah bagi Air…
“Um, Rain…,” katanya.
“…Air?”
Ah…!
Namun, saat Air bertemu dengan tatapannya, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.
Apa yang… akan kutanyakan padanya?!
Kelemahannya sendiri membuatnya takut, membuatnya diam. Dia sudah tahu apa jawabannya. “Korbankan aku dan selesaikan misimu.” Dan dia hanya bermaksud menanyakan itu karena itu sudah sangat jelas. Dengan kata lain, dia hampir membuang pilihan itu sepenuhnya karena dia tidak sanggup melakukannya.
Dan aku memiliki kelancangan… keberanian untuk mengatakan aku mempertaruhkan nyawaku dalam misi ini?! Aku tidak… Aku tidak memiliki tekad sama sekali!
Pada saat yang paling penting, emosinya mengendalikannya. Dia pikir dia akan mengeraskan hatinya untuk membuat keputusan yang tepat, tapi ketika situasi menjadi buruk dan dia harus melakukan itu, dia menjadi goyah.
“Hmm… Kau benar-benar mengabdikan diri untuk merawatnya kembali sehat, bukan?” kata Deadrim saat dia duduk bersandar di sisi lain gubuk.
“Deadrim…”
“Aneh, mengingat kau berpikir untuk membunuhnya sebelumnya.”
“Ah…!”
“Kau jauh lebih manis jika kau sejujur ini sepanjang waktu.”
Setelah itu, Deadrim membuang muka dan mencoba untuk tidur. Rasanya hampir seperti dia mengigau, tapi kata-katanya terdengar jelas di telinga Air.
“Kau berpikir untuk membunuhnya sebelumnya…”
Rain pasti mendengar kata-kata itu. Tentu saja, dia tahu kata-kata itu tidak akan terlalu mengganggu Rain. Rain pasti sudah memikirkan ide menggunakan Peluru Iblis untuk menghapus keberadaannya sendiri. Tak satu pun dari mereka yang mengungkitnya, tapi itu adalah rencana yang wajar.
“Um, Rain…” Air mencoba memuluskan apa yang dikatakan Deadrim.
“Tidak apa-apa.”
“…Huh?”
Pandangannya terpaku pada Rain, dengan pikirannya yang berputar-putar. Namun, bocah itu hanya berbicara padanya dengan suara tanpa emosi.
“Itu wajar saja, sungguh. Aku akan mempertimbangkan hal itu juga jika aku berada di posisimu. Siapa yang bisa kau hapus untuk mengeluarkan kita dari situasi ini? Sudah jelas… Jawaban untuk pertanyaan itu adalah… aku.”
Rain terdengar sangat acuh tak acuh saat dia mengatakan itu. Kata-katanya terdengar jujur dan sungguh-sungguh. Tapi melihatnya seperti itu…
Kenapa…?
…mengisi hati Air dengan ketidaknyamanan dan rasa sakit.
Bagaimana kau bisa… begitu tenang dan santai tentang hal ini?!
Rain pasti telah mendengar apa yang dikatakan Deadrim. Dia mendengar bahwa Air berencana menembaknya dengan Peluru Iblis. Itu berarti gadis yang merawatnya ini benar-benar memikirkan bagaimana membuangnya dengan dingin. Tetap saja, itu tidak membuatnya bingung sama sekali. Dengan kata lain…
Dia pikir itu sudah jelas…
…Rain berpikir masuk akal bagi Air untuk meninggalkannya. Jadi, hal itu tidak mengganggunya. Dia percaya Air dapat menghapus orang lain untuk mencapai tujuannya karena dia adalah Hantu, makhluk yang membunuh orang lain. Itu sama sekali tidak mengejutkannya. Baginya, itu adalah hal yang jelas.
Aaah…
Air tiba-tiba merasakan sesuatu mengalir di pipinya.
“Huh…?”
Tetesan kecil. Air mengalir di pipinya.
“Kenapa…?”
Awalnya, Air mengira atapnya bocor. Tapi tidak peduli berapa banyak dia menyekanya, lebih banyak air mengalir di pipinya. Akhirnya, dia menyadari itu adalah air matanya sendiri.
Tidak mungkin. Kenapa…?
Dia mencoba menahan air matanya, tapi tidak berhasil. Air matanya meluap seperti bendungan yang meledak, jadi menggunakan tangannya untuk menutup matanya tidak banyak membantu untuk menghentikan air matanya. Itu tidak terasa seperti dia sedang menangis. Dia telah menahan emosinya dengan ketat. Dia tidak punya alasan untuk menangis, tapi itu masih terjadi.
Kenapa…?!
“A-Air?!” bentak Rain, terkejut dengan pemandangan itu. “Apa yang terjadi?!”
Gadis di sampingnya mulai menangis saat gadis itu melihat langsung ke matanya. Ekspresinya tetap stabil seperti sebelumnya, tapi air mata mengalir di wajahnya. Tentu saja itu membuat Rain bingung.
Kenapa…?!
Setelah melihat Rain akhirnya kehilangan ketenangannya, Air mengutarakan isi pikirannya.
“Kenapa…?”
“Huh?”
“Kenapa… ini mengejutkanmu ketika…?”
“…Air?”
“Kenapa ini mengejutkanmu ketika… kau bahkan tidak terkejut sebelumnya? Kau tahu kalau aku berencana untuk membunuhmu, jadi bagaimana kau bisa tetap tenang…? Bagaimana bisa kau begitu tenang sekarang?!”
Semburannya terdengar tidak masuk akal. Mereka berdua sepakat untuk menjalin hubungan di mana mereka menggunakan satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, jadi reaksi Rain tampaknya tepat. Jika salah satu dari mereka menghalangi tujuan mereka, dia harus menghilang. Itu adalah cara hidup yang mereka sepakati. Namun, Air tampaknya membenci gagasan itu.
Kenapa ini membuatku sangat marah?
Reaksi Rain mengejutkannya, meski terlihat jelas.
“Kenapa kau begitu… masa bodoh tentang semua ini?!”
Kepercayaan—itulah yang secara tidak sadar diinginkan Air darinya. Seseorang yang dikhianati oleh pasangannya seharusnya terlihat kaget dan marah. Tapi jika pengkhianat adalah seseorang yang tidak pernah mereka percayai, mereka tidak akan peduli. Rain tidak terkejut dengan gagasan itu, yang berarti dia tidak pernah sekalipun benar-benar mempercayai Air.
“Ngh, gaaah…!”
“Ah, Air, kau… J-jangan menangis…!”
Air mata mulai mengalir di wajahnya bahkan sebelum dia menyadari alasannya, tapi emosinya segera menyusul. Sudut matanya menjadi panas, dan hidungnya perih. Dia mencoba menghentikannya, tapi segera itu dia mulai terisak seperti anak kecil. Air akhirnya tahu bagaimana Rain melihatnya, jadi tentu saja dia kehilangan kendali.
Ku… Kupikir aku mengerti segalanya, tapi…
Mereka saling memegang rahasia dan bergerak maju sambil berbagi tujuan yang sama. Mereka memiliki sesuatu yang ingin mereka capai dan rela mengorbankan apa pun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan… Mereka maju ke depan, bersama-sama, dengan tekad di hati mereka.
Namun, saat mereka bekerja sama, emosi yang berbeda berkembang di hati Air. Emosi yang dia harap dimiliki pula oleh Rain.
Aku sungguh… menyedihkan…
Dia tidak tahu kapan, tapi dia mulai berharap. Dan harapan itu telah ditolak, membuatnya menangis. Kesedihan memenuhi hatinya. Emosi yang manis itu telah mengendalikan tindakannya bahkan sebelum dia sadar bahwa dia merasa seperti itu.
Ini sungguh… memalukan. Apa yang kuharapkan?
Dia mengecam tindakan Deadrim sebelumnya, tapi Air pada akhirnya tidak ada bedanya. Emosi telah mengikatnya juga, jadi bagaimana dia bisa menyuruh Deadrim untuk mengabaikan perasaan pribadinya?
Air malu untuk mengakui bahwa dia berpura-pura bertindak secara objektif. Dan ketika ditambah dengan fakta bahwa Rain tidak mempercayainya, dia kehilangan kendali sepenuhnya.
“…Aku mungkin harus mengatakan ini hanya untuk memperjelas,” kata Rain. “Kau keliru, Air.”
“Huh…?”
“Maksudku, aku tidak tahu bagaimana kelihatannya tapi, aku, uh… merasa sangat buruk tentang ini.”
“…Tentang apa?”
“Melihatmu goyah.”
“…Apa?”
“Aku serius. Aku tidak akan bohong…”
“Huh…?” Air bersiap untuk berdebat, tapi Rain memeluknya dan menariknya.
“Aku tidak akan berbohong padamu. Setidaknya untuk saat ini.”
Tubuh mungil Air tidak berusaha untuk menolak, memungkinkan Rain untuk menariknya ke dalam pelukan. Dia membenamkan wajahnya ke dada Rain.
Tubuhnya sangat kecil. Dia benar-benar… sangat kecil.
Bahkan saat Rain memeluknya erat-erat, tidak terasa seperti Air ada di sana. Air terasa begitu fana sehingga Rain khawatir Air akan patah dalam cengkeramannya. Tapi dia mengencangkan cengkeramannya dan memeluknya erat.
“…Aku tidak perlu kau memanjakanku,” gumam Air. Sementara dia berpura-pura tenang, dia jelas terkejut. Dia sudah menguatkan tekadnya, tapi emosi masih mengalir di hatinya.
“Aku melakukan ini hanya karena aku ingin. Ditambah lagi, sejujurnya, aku sendiri bisa menggunakan sedikit pelukan ini untuk memanjakan diriku sendiri.”
“…Benarkah?”
“Ya.”
“Yah, ternyata kau cukup lembut. Terutama mengingat seberapa kokohnya tubuhmu.”
Saat Air berbicara, lengannya melingkari punggung Rain, menanggapi emosinya. Kekuatan cengkeramannya menyengat luka Rain dan mengirimkan sentakan rasa sakit yang luar biasa ke dalam dirinya. Tetap saja, ada hal lain yang ingin dia sampaikan terlebih dahulu.
“Air.”
“…Apa?”
“Aku serahkan hidupku di tanganmu. Jika perlu, buang aku kapan pun kau mau. Kau tidak boleh membiarkan perasaanmu menghalangi. Itu adalah beban yang harus kita tanggung sebagai ganti Peluru Iblis. Kita tidak boleh goyah ketika waktunya tiba, apa pun yang terjadi.”
“…Kau benar.”
Rain menegur Air, yang tersendat di jalannya, dan dirinya sendiri, yang mulai berubah pikiran. Namun–
“Jika kita berdua berhasil keluar dari situasi ini hidup-hidup… Aku ingin bicara. Aku agak sulit menangkap, jadi ada beberapa hal yang ingin aku diskusikan denganmu. Apakah tidak masalah?”
“……” Air tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya membiarkan kekuatan pelukannya menjadi jawabannya.
Post a Comment