[LN] Uchinukareta Senjou wa, Soko de Kieteiro Volume 2 Chapter 4 Bahasa Indonesia
4. MATA MERAH TUA
“Ugh…,” erang Rain saat dia membuka matanya. Rasa sakit yang menusuk membuat tidurnya tidak nyenyak. Sejujurnya dia belum beristirahat sama sekali.
“Air…?”
Dia langsung menyadari kalau ada yang tidak beres. Dia masih di dalam gua, tapi Air tidak bisa ditemukan.
Kemana dia pergi?
Rain duduk sambil memegangi lukanya yang sakit. Kemudian dia mencari gadis berambut perak itu. Sayangnya, dia tidak menemukan apa pun.
“Kau akhirnya bangun,” sebuah suara yang jelas berbicara padanya.
“Ah…”
“Jangan khawatir. Aku tidak akan menyakitimu. Dan sejujurnya, aku tidak bisa menyakitimu meskipun aku mau.”
Suara itu tidak memiliki intensitas apa pun, tapi nadanya meninggalkan kesan yang mendalam di benak Rain. Suara itu datang dari tentara barat dengan rambut coklat kemerahan, rekan Deadrim.
“Sedih mengatakannya, tapi mengendarai Exelia adalah spesialisasiku. Aku tidak memiliki bakat sungguhan sebagai penyihir, dan aku hanya berada di medan perang berkat kemampuan Deadrim. Ditambah, aku bahkan tidak lagi punya senjata,” katanya sambil terkekeh.
Kupikir namanya adalah…
“Kau Isuna, kan?”
“Benar. Isuna Cole.”
Dia adalah orang yang menyerang kereta bersama Deadrim. Kakinya telah cedera ketika gerbong itu jatuh dari tebing, dan ketika dia mendapatkan pertolongan pertama, dia masih terluka parah. Dia pasti merasakan sakit yang luar biasa, tapi ekspresinya tidak terlalu terlihat.
“Pangkatku adalah letnan dua. Namun, aku tidak pernah masuk ke akademi perwira. Aku hanya berhasil sampai kesini setelah sepuluh tahun terakhir.”
“Sepuluh tahun…”
Seperti yang dipikirkan Rain, dia adalah angkatan generasi lama. Mengingat kedewasaan dan kepemimpinannya dalam penyerangan itu, dia tampak lebih tua dari itu.
Namun, meski dia seorang penyihir, Isuna dipromosikan melalui jalur reguler.
Kenapa dia…?
“Oh, aku di sini hanya karena Deadrim memilihku,” kata Isuna setelah merasakan tatapan curiga Rain. “Aku tak memiliki masalah dalam mengendarai Exelia, tapi hanya itulah kemampuanku. Aku tidak punya kemampuan khusus lainnya.”
Cara dia berbicara tentang Deadrim…
Nada suaranya ramah dan hangat ketika dia berbicara tentang Deadrim. Dia juga tidak tampak khawatir sedikit pun.
“…Kau bisa menceritakan lebih banyak padaku nanti,” kata Rain. “Maaf mengubah topik pembicaraan, tapi gadis berambut perak yang bersamaku dan pasanganmu sudah pergi. Apa kau tahu kemana mereka pergi?”
“Ya, aku tahu. Mereka berdua pergi keluar sekitar lima menit yang lalu.”
“Mereka?”
Mereka telah meninggalkan gua yang aman dan pergi menuju badai salju.
“Yah, ke arah pegunungan. Mereka melihat beberapa cahaya dan memutuskan untuk menyelidikinya. Kita bekerja sama untuk saat ini, jadi mereka meninggalkanku di sini untuk mengawasimu.”
Isuna mengusulkan agar mereka menunggu para gadis itu kembali. Namun, duduk diam dan tidak melakukan apa-apa membuat Rain merasa seperti beban, sesuatu yang dia benci.
“Maaf, tapi tidak,” kata Rain sambil terhuyung-huyung berdiri. Luka itu membuat semua tindakannya lamban. “Aku akan mengejar mereka. Jika mereka melihat cahaya, itu berarti ada tentara di sekitar sini.”
“Apa kau yakin? Aku pribadi tidak merekomendasikannya, tapi aku juga tidak akan menghentikanmu. Kecuali…” Isuna berhenti pada saat itu dan merendahkan suaranya menjadi bisikan. “…Jika kau mengejar mereka, menurutku kau mungkin akan berharap kalau kau seharusnya tidak mengejar mereka setelah kau melihat apa yang terjadi di luar sana.”
Hujan salju mulai sedikit mereda.
Ke arah mana mereka pergi…?
Rain berjalan melewati medan yang dipenuhi pohon konifer. Penglihatannya terbatas, tapi dia mendengar suara kecil tembakan di kejauhan.
Isuna telah memberitahunya bahwa Air dan Deadrim melihat cahaya aneh di luar dan pergi untuk menyelidikinya, yang berarti mereka tidak tahu siapa yang mereka lawan. Mereka tidak tahu apakah cahaya itu bala bantuan dari salah satu pasukan mereka, jadi mereka belum mulai bertempur saat itu juga. Namun, semuanya akan berubah setelah mereka mendapat jawaban atas pertanyaan itu…
Baik Air maupun Deadrim bukanlah tipe orang yang menyerah tanpa perlawanan, tapi mereka juga hanya bergerak berdasarkan logika. Setelah menyadari bahwa mereka kalah jumlah, mereka akan menghindari pilihan yang berarti malapetaka. Exelia generasi kedua masih merupakan prototipe yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berkembang dengan baik. Tidak ada gunanya mempertaruhkan nyawa saat perang kian mendekati akhir.
Tapi jika itu benar, kenapa Rain mendengar suara tembakan? Siapa yang melawan siapa?
“Kau mungkin akan berharap kalau kau seharusnya tidak mengejar mereka setelah kau melihat apa yang terjadi di luar sana.”
Peringatan Isuna bergema di benak Rain sekali lagi.
Apa yang dia maksud dengan itu?
Rain berjalan melintasi hutan dengan menggunakan suara tembakan yang berselang sebagai pemandunya. Dan setelah beberapa menit mencari, dia bertemu dengan seseorang. Tidak… bukan seseorang.
Dia mendapati dirinya berhadapan dengan mayat seorang pria tanpa kaki.
Ini…
Tergeletak di atas salju. Darah mengalir keluar dari bagian lukanya, menunjukkan bahwa orang tersebut telah meninggal beberapa menit yang lalu. Dan salju yang berlumuran darah mencair.
Lebih buruknya lagi, orang tersebut jelas tidak dibunuh di tempat itu. Anggota tubuhnya berserakan di mana-mana, jauh dari tubuhnya. Dengan kata lain–
Seseorang memindahkannya?
Noda darah di salju membentuk jalur yang menuju ke lengan kanannya. Lengan kirinya berada beberapa kaki di depan… dan kedua kakinya juga berada di dekatnya. Itu berarti pria itu telah bergerak saat anggota tubuhnya dipotong satu per satu. Dia mencoba lari, saat perlahan tapi pasti dirinya dimutilasi…
……
Dan setelah menyadari itu, Rain merasakan sesuatu yang dingin merayap di tulang punggungnya. Keadaan mayat tersebut menjelaskan bahwa pelakunya sangat brutal.
Rain adalah seorang tentara, jadi dia sudah terbiasa dengan situasi di mana dia harus menembak orang. Namun, dalam kasus tersebut, dia selalu membidik kepala atau dada mereka. Menyerang bagian vital lebih efisien, dan itu membuat target tidak menderita lebih dari yang diperlukan. Sayangnya, pembunuh yang melakukan ini jelas-jelas tidak setuju dengan pandangannya.
Dia mempermainkan pria ini…
Siapapun yang melakukan ini memperlakukan korbannya seperti mainan. Dia tidak membidik kepala atau jantungnya. Sebaliknya, dia telah memotong anggota tubuhnya satu per satu untuk memastikan mereka tidak langsung mati.
Jika si pembunuh bisa memotong lengan atau kakinya dengan sangat rapi, dia bisa saja dengan mudah memenggal pria ini. Tapi dia membuang-buang waktu, sengaja melewatkan titik vital korbannya, dan mengejarnya. Dia hanya memberikan pria ini bantuan kebebasan berupa kematian setelah mencabik-cabiknya dan membuatnya putus asa. Noda darah mengelilingi mayat itu, yang membuktikan bahwa pria itu telah meronta-ronta dan berjuang hingga saat-saat terakhirnya.
Kenapa melakukan ini?!
Rain menelan rasa mual yang mencakar tenggorokannya dan bergerak semakin jauh ke dalam hutan. Salju perlahan-lahan menutupi banyak jejak kaki.
Mayat siapa yang baru saja dia temukan? Rain tidak tahu. Dia mengenakan seragam yang tidak spesifik, jadi tidak ada cara untuk mengetahui afiliasi aslinya. Tetap saja, mereka jelas tidak sendirian. Jauh di depan sana, ada lebih dari dua puluh orang lainnya yang mengenakan pakaian yang persis sama.
Satu lagi…
Rain menemukan mayat kedua. Mayat itu masih memiliki kaki, tapi kedua lengan dan matanya hilang. Setelah itu, dia menemukan mayat ketiga. Kepalanya terbelah di tengah, dan telah ditikam puluhan kali. Dan ketika Rain maju enam ratus kaki ke depan, dia menemukan tiga puluh mayat yang dipenuhi dengan berbagai luka tusuk dan luka sayat.
Mayat-mayat ini…
Ada tiga puluh dari mereka. Berapa banyak darah yang ditinggalkan dari mayat di salju itu? Tak satu pun dari mereka yang diberikan kematian instan. Dia tahu seseorang telah menyiksa mereka sebelum mereka mati. Tindakan kurang ajar itu menyerupai anak polos yang merobek sayap serangga.
Dan kemudian…
“Rain, ya…?”
…Akhirnya Rain mencapai tujuannya.
“Haruskah kau bergerak dalam kondisimu saat ini?”
Dia mengenali suara tenang yang sama yang dia dengar di gua sebelumnya. Dengan kata lain, tidak ada yang terjadi sama sekali. Gadis berbaju hitam itu hanya berbicara kepadanya seolah-olah dia berpapasan dengan Rain di jalan.
Namun, seluruh tubuhnya berlumuran warna merah. Pedangnya berkilau merah tua, dan kulitnya yang segar dan memikat berlumuran darah.
“Kita harus lari, Rain. Ada lebih banyak musuh di luar sana,” Deadrim, gadis yang baru saja membunuh tiga puluh orang, memperingatkannya. “Mereka berhasil menghubungi sekutunya melalui transceiver nirkabel, jadi mungkin ada bala bantuan. Ha-ha…” Dia tertawa saat menyeka darah dari wajahnya. Dia melihat darah itu seolah-olah itu adalah hadiah yang dia menangkan dalam pertarungan, bukan darah milik lebih dari tiga puluh orang mati.
Darah menutupi dia dari ujung kepala hingga ujung kaki, tapi dia sepertinya tidak peduli. Sebaliknya, dia menatap ke kejauhan dengan mata hampa. Dan tidak seperti sebelumnya, warnanya hitam dan merah… berwarna tawon.
“Hantu…,” gumam Rain tanpa berpikir.
“…Hantu?” tanya Deadrim sambil memiringkan kepalanya dengan bingung. Sejujurnya dia bahkan belum pernah mendengar kata itu sebelumnya.
Apa dia tidak tahu?
Rain telah berhadapan dengan beberapa Hantu, tapi mereka semua sadar akan keberadaan misterius mereka. Deadrim tampak berbeda, meskipun matanya mengungkapkan jati dirinya.
Gadis arang, Deadrim. Pupil matanya berkilau seperti batu delima, sedangkan bagian putih matanya menjadi warna pekat. Mata berwarna tawon yang unik untuk Hantu, menandakan bahwa mereka baru saja menggunakan sihir. Dan Deadrim mengarahkan matanya ke arah Rain saat dia berbicara.
“Maksudmu aku, Rain? Apakah kau baru saja memanggilku Hantu?”
“…Ya.”
“Jadi Hantu… berarti orang yang sudah mati sebelumnya, ya?” Deadrim mengangguk pada dirinya sendiri saat dia mengatakan itu, membenarkan sendiri kecurigaannya. Kemudian dia menyentuh matanya dan mengembalikannya ke warna aslinya.
“Aku telah menghabiskan beberapa bulan terakhir hidup tanpa benar-benar mengetahui siapa diriku, tapi aku mengerti sekarang. Aku telah mati saat itu… Aneh. Bagaimana bisa aku hidup kembali?”
Rain telah bertemu dengan Hantu. Sang Hantu Deadrim.
Dia…
Rain ingin berjalan ke arahnya, tapi transceiver di saku dadanya berderak, memberitahukan transmisi yang masuk. Jadi, Rain menekan tombolnya.
“Tunggu, Rain.” Suara Air mengalir melalui perangkat itu. “Kau dimana?”
“Di depan Deadrim.”
“Kalau begitu ulangi apa yang akan aku beritahukan padamu. Ada lebih banyak musuh di sekitar sini. Kita dikepung. Kita membutuhkan mobilitas Exelia untuk mengguncang mereka, jadi kembalilah ke gua, segera.”
Musuh… Rain masih belum tahu identitas mereka, tapi dia memilih untuk kembali ke gua bersama Deadrim. Pada saat mereka kembali, Air dan Isuna sudah duduk di dalam Exelia generasi kedua. Dan begitu Rain dan Deadrim masuk, unit itu bergerak.
“Kita harus keluar dari sini.”
Exelia bergemuruh saat mulai bergerak. Keempat kakinya yang kokoh menopang rangkanya saat kaki-kakinya menikam salju. Mereka tidak mengambil jalur yang semula mereka rencanakan. Bukannya melarikan diri dari gunung melalui rute tercepat, mereka malah memilih untuk melintasi hutan. Air memaksa mereka menyusuri jalur yang membantu mereka terhindar dari deteksi.
Namun, dalam satu menit, gelombang kejut besar menghantam mereka dari belakang.
“Ngh, aaah!”
Ketika dia melihat sekeliling, Rain melihat bahwa sebuah kawah besar telah terbentuk dengan mereka yang berada di tengahnya. Dan juga, tiga Exelia membuntuti di belakang mereka.
Ugh… Kenapa mereka menyerang kita? Tidak, tunggu, siapa mereka?
“Orang-orang ini bukan dari Timur atau pun Barat,” Air menjawab pertanyaan Rain yang tak terucap.
Saat dia mengoperasikan Exelia, Air memberi tahu Rain apa yang terjadi saat dia tidak sadarkan diri. Sepuluh menit sebelumnya, dia dan Deadrim meninggalkan gua untuk menyelidiki sumber cahaya yang berkedip-kedip. Dan mereka telah menemukan satu peleton yang terdiri dari tiga puluh tentara.
Setelah menyadari mereka kalah jumlah, mereka mencoba melarikan diri. Sayangnya, pengintai musuh telah melihat mereka, jadi terjadilah pertempuran. Deadrim membantai banyak dari mereka, tapi itu setelah mereka berhasil mengirim transmisi tentang kehadiran gadis-gadis itu.
Itu menjelaskan tentang Exelia-Exelia yang mengejar mereka.
“Aku telah memeriksa tentara yang dibunuh Deadrim tapi tidak menemukan apa pun,” kata Air. Dia telah memprioritaskan pengumpulan informasi, jadi dia telah mempelajari mayat-mayat tersebut sementara Deadrim melakukan pembantaian besar-besaran. “Mereka tidak memiliki perlengkapan atau pun tanda pengenal yang menunjukkan afiliasi mereka dengan faksi tertentu. Tidak mungkin satu peleton yang terdiri dari tiga puluh orang tentara hanya kehilangan tanda pengenal, jadi itu pasti sistematis. Ditambah lagi, bala bantuan mereka datang terlalu cepat.”
“Seluruh situasi ini terasa mencurigakan,” kata Deadrim. “Bagaimana mungkin beberapa tentara yang tidak berhubungan dengan Timur ataupun Barat tiba di sini lebih dulu? Maksudku, ini adalah pasukan penyerang tingkat tinggi yang diorganisir untuk pertempuran. Sesuatu seperti itu tidak muncul begitu saja.”
Mereka jatuh dari kereta karena kecelakaan. Kemungkinan mereka bertemu dengan beberapa unit musuh yang menyusup ke wilayah Timur bukanlah nol, tapi tampaknya tidak begitu. Selain itu, tidak satu pun dari tiga puluh tentara itu membawa sesuatu yang mengidentifikasikan mereka sebagai anggota pasukan tertentu. Semuanya berjalan dengan sangat sempurna, seolah-olah mereka telah mengantisipasi kontak dengan kekuatan musuh.
Berdasarkan nada Deadrim, tidak ada kemungkinan mereka berasal dari Harborant. Namun, para pendatang baru yang tidak berafiliasi ini muncul dengan perlengkapan yang sempurna untuk situasi tersebut.
……
Rain menilik sepanjang peristiwa sekali lagi. Sesuatu… Sesuatu terasa sangat aneh. Exelia generasi kedua. Deadrim, yang menyerang kereta dengan Exelia dari atasnya. Dan sekarang, tentara tak dikenal yang bukan milik salah satu negara mereka.
Bagaimana jika seluruh skenario ini bukan hanya kejadian kebetulan yang tiba-tiba? Bagaimana jika seseorang telah merencanakan semuanya sejak awal?
……
Rain menggigil. Rasanya seolah-olah dia baru saja melihat sekilas sesuatu yang besar tapi tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Tidak, jangan sekarang…
Dia menggelengkan kepalanya dan mencoba untuk menghalau teror yang mengalir dalam dirinya. Dia harus fokus menangani musuh di depan mata mereka.
Rain berbalik, mengangkat senapan yang dimilikinya, dan menembakkan Peluru Sihir pada unit yang mengejar mereka. Tolak baliknya mengirimkan sentakan rasa sakit melalui lukanya, tapi dia tidak bisa membiarkan mereka terlihat seperti target pasif dan tak berdaya ketika tujuan mereka adalah untuk melarikan diri.
Tiga Exelia musuh tetap mendekat di belakang mereka. Air adalah pengemudi yang jauh lebih baik dan akan dengan mudah mengusir mereka jika hanya ada satu unit musuh. Sayangnya, dia harus menghindari tiga musuh sekaligus, jadi dia kehilangan kecepatan setiap kali harus menghindari serangan. Musuh perlahan-lahan menutup jarak di antara mereka, seolah-olah secara bertahap membuat situasi menjadi lebih buruk.
Sialan… Apa yang bisa kami lakukan?
Jumlah memberikan keuntungan luar biasa dalam pertarungan Exelia. Bahkan keterampilan luar biasa Air tidak cukup untuk mengimbangi kerugian jumlah. Rain melihat sekeliling, mencoba memikirkan cara untuk keluar dari kebuntuan, tapi pepohonan bersalju tidak menawarkan solusi apa pun.
Akhirnya, mereka keluar dari hutan dan mencapai daratan terbuka yang menawarkan jarak pandang yang baik. Mereka mendapati bentangan salju yang besar tanpa satu pohon pun yang terlihat.
Ini…
Butuh beberapa saat bagi Rain untuk menyadari di mana mereka berada.
“Danau yang membeku,” bisik Air dari depannya. “Airnya membeku, dan cukup padat sehingga kita bisa melintasi permukaannya.”
“Jadi sekarang, kita…” Rain terhenti saat menyadari bahwa mereka berdiri di atas es padat. “Kenapa kita tidak menggunakan Peluru Sihir untuk menghancurkan esnya?”
“Hmm?”
“Jika kita membuat lubang di bawah musuh, mereka akan tenggelam ke dalam air. Ketiganya ada di belakang kita, jadi kita hanya perlu menghancurkan area yang sudah kita lintasi.”
Itu adalah jebakan yang cukup sederhana. Dan idenya masuk akal, karena Exelia secara efektif merupakan kepingan besi yang berat saat dijatuhkan ke bawah air.
“Itu tidak akan berhasil,” kata Air sambil menggelengkan kepalanya setelah menganalisis situasi dengan benar. “Dari apa yang aku amati, es ini setidaknya memiliki ketebalan enam kaki. Gelombang kejut Peluru Sihir tidak akan menghancurkannya. Kita tidak bisa melancarkan serangan mendadak dan memecahkan es dengan satu tembakan. Tapi tentu, silakan. Cobalah. Bukan berarti kita punya ide yang lebih baik.”
Rain mengangkat senapannya dan menembakkan Peluru Sihir yang kuat. Tapi seperti yang dikatakan Air, bagian yang dia serang tidak pecah, dan gelombang kejut juga tidak dikirimkan ke bagian es lainnya. Permukaan padatnya tetap utuh, jadi ketiga unit itu terus mengejar mereka. Rain mengira mereka mempertahankan keadaan sekarang, tapi—
“Terus maju dan bawa kita keluar dari danau,” kata gadis arang yang tetap diam sejauh ini.
“Terus maju? Saat kita keluar dari danau, mereka akan menangkap kita.”
“Lakukan saja,” desak Deadrim. “Dengar, Air, tetap menjauh dari mereka semenit lagi… Tidak, bahkan kurang dari itu. Aku akan menangani sisanya… dengan Peluru Sihirku.”
Peluru Sihir Deadrim…?
Rain ingat bahwa Deadrim adalah Hantu, keberadaan supernatural yang dilengkapi dengan keilahian unik yang diberkati Peluru Sihir di luar dimensi penyihir biasa. Peluru Iblis yang dimiliki Air dan Rain menggunakan mukjizat ilahi ras Belial. Dan karena Deadrim adalah Hantu, dia pasti memiliki kekuatan yang setara dengan itu.
“…Aku tidak bisa bilang kalau aku sangat mempercayaimu, tapi cepat atau lambat kita harus keluar dari danau.”
“Benar. Itu tak masalah.”
“Apa yang kau rencanakan? Mungkin kami bisa membantu.”
“Kalau begitu, pinjamkan aku pistol. Bahkan yang kecil pun tak masalah.”
“……” Air dalam diam melemparkan pistol ke arahnya.
“Ada lagi?”
“Lagi…? Heh, yah, kau tidak perlu menguatkan dirimu,” kata Deadrim sambil menyeringai. “Aku akan menyelesaikannya dalam sekejap.”
Exelia mereka keluar dari danau beku, dan beberapa detik kemudian, orang-orang yang mengikuti mereka mencapai daratan juga. Dengan itu, pilihan untuk memecahkan es di bawah mereka telah menghilang.
Unit musuh menambah kecepatan, melesat ke arah mereka. Deadrim mengangkat pistolnya untuk memenuhi tantangan mereka. Itu adalah pertama kalinya mereka melihatnya menggunakan pistol, bukannya pedang.
Apa yang dia lakukan…?
Rain mengawasinya seperti elang, mencoba menyatukan sifat dari kemampuan yang akan dia gunakan. Dia ingin tahu lebih banyak tentang Peluru Sihir uniknya. Sejauh ini Rain sudah melihatnya meluncurkan segala macam serangan yang membingungkan, tapi dia masih tidak bisa memahami cara Deadrim melakukannya. Kemampuannya menentang semua akal sehat dan logika.
Bagaimana dia bisa menyerang kereta? Bagaimana dia bisa menikam Rain? Bagaimana dia bisa membunuh ketiga puluh tentara itu? Rain tidak dapat menjawab semua pertanyaan itu. Dan itulah kenapa…
Deadrim…!
…Rain menajamkan matanya, mencoba untuk melihat tindakan Deadrim. Berkat itu, dia melihatnya. Deadrim mengeluarkan satu peluru. Peluru biru.
…Biru?
Dia memasukkan peluru dengan warna yang tidak biasa dan asing itu ke dalam pistol.
Dan kemudian…
“Aktifkan.”
…dia menembak.
Peluru biru, yang sama sekali tidak terlihat seperti apa pun yang pernah dilihat Rain, melesat di udara. Deadrim berbalik dan menembak ke arah musuh, tapi tembakannya tidak terhubung dengan Exelia mereka. Peluru itu melesat di antara mereka, membelah udara kosong sebelum menghantam danau beku yang mereka lewati beberapa saat lalu.
Peluru hanya mengeluarkan suara kecil saat menabrak es. Tidak ada ledakan yang memekakkan telinga yang terdengar. Peluru itu hanya terbenam ke dalam es.
Dia meleset?
Namun, tepat saat pikiran itu terlintas dalam benak Rain…
…Sesuatu tiba-tiba menghancurkan tiga unit musuh, dan mereka meledak di bawah tekanan yang sangat besar.
Apa-apaan itu?!
Gemuruh hebat mengguncang gendang telinga Rain. Seluruh tubuhnya gemetar saat gelombang kejut meluncur, cukup kuat untuk membutakannya dari segala sesuatu di sekitarnya. Itu memenuhinya dengan teror kematian, meski hanya berlangsung sesaat.
Rain takut musuh mungkin telah menembakkan Peluru Sihir ke arah mereka. Tapi itu tidak terjadi. Sesuatu yang berbeda baru saja terjadi. Rain merasakan gempa susulan dari apa yang terjadi.
Ini…
Es. Bongkahan es yang sangat besar, dengan tebal enam kaki, hanya itu yang bisa dilihatnya.
Es itu menutupi jejak yang mereka ambil, benar-benar menodai pemandangan hutan yang masih asli.
Bongkahan raksasa itu bertempat di sana dengan tiga Exelia musuh di bawahnya, hancur tak bisa dikenali. Bahkan kerangka kokoh Exelia hanyalah kardus di hadapan benda dengan berat puluhan ribu ton.
Apa yang baru saja terjadi?!
Rain tidak langsung mengerti. Namun, saat melihat sekeliling, dia menyadari sesuatu yang membuat setiap bulu di tubuhnya berdiri tegak.
Es di atas danau telah menghilang.
Ah…!
Dua setengah hektar permukaan air yang membeku telah lenyap, hanya menyisakan gelombang air di belakangnya. Bongkahan es yang membentuk permukaan, massa yang sangat berat, telah berpindah ke tempat lain dalam sekejap.
“Peluru yang aku miliki adalah peluru biru,” kata Deadrim saat dia memeriksa kerusakan yang dia sebabkan. Matanya terlihat seperti warna tawon yang tak asing untuk Hantu. “Peluru itu memindahkan posisi dari apa pun yang dikenainya.”
Post a Comment