[LN] Chitose-kun wa Ramune Bin no Naka Volume 1 Chapter 1.8 Bahasa Indonesia
Chapter 1: Riajuu yang Dibenci Memiliki Pengaruh Besar Atas Sekolah
8
─Aku pertama kali bertemu Asu-nee pada September tahun lalu. Setelah keluar dari klub baseball saat liburan musim panas, dengan lebih banyak waktu luang sepulang sekolah yang membuatku tidak tahu harus melakukan apa, aku dengan linglung berjalan di sepanjang palung sungai ini saat menyatu dengan senja.
“…Oi, dia berlari ke arah sana.”
“Kejar dia!”
Suara lari dan tawa.
Sedikit di depanku, aku bisa melihat beberapa anak kecil sedang bermain-main dengan berisik. Itu tampak seperti pertarungan pedang pura-pura. Tiga dari mereka sedang mengejar seorang anak laki-laki dengan tongkat kayu yang mereka ambil dari suatu tempat. Anak laki-laki yang melarikan diri juga memiliki tongkat kayunya sendiri, tapi sepertinya dia tidak akan melawan balik. Mungkin perannya di dalam grup adalah sebagai orang penakut, yang diganggu.
Setelah aku mengawasit itu untuk beberapa saat, anak laki-laki yang melarikan diri itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke sungai. Sungai di sini dangkal dan juga arusnya lambat, jadi tidak ada bahaya dia akan tenggelam, tapi lereng di tepi sungai tersebut cukup sulit bagi seorang anak kecil untuk naik kembali sendirian.
“Paaaaayah.”
“Whoa… kau sangat kotor. Jangan dekat-dekat saat pulang nanti!”
Kelompok yang terdiri dari tiga orang itu merendahkan anak laki-laki itu, tertawa mengejek. Mereka tampaknya tidak berniat membantunya.
Ada juga beberapa siswa lain yang sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah di sekitar sini, tapi entah itu karena dari awal mereka memang tidak tertarik, atau hanya karena mengabaikan situasi, mereka terus berjalan tanpa mengubah kecepatan.
Yah, mungkin itu bukan niat mereka untuk mengolok-oloknya, tapi anak laki-laki yang jatuh itu sepertinya akan menangis kapan saja. Mungkin aku harus menariknya keluar dari sungai dan meminjamkan handuk, dan selagi aku melakukan itu, aku akan memberi tahu tiga orang lainnya bahwa mereka sedikit terlalu kelewatan.
Setelah menyadarinya, akan sangat menyedihkan jika berpura-pura tidak melihat dan berjalan melewatinya.
Benar. Tapi saat aku memikirkan itu ─
“Onee-san akan meloncat juga lho!”
Dengan cipratan keras, seorang gadis SMA melompat ke sungai.
Tidak memahami apa yang baru saja terjadi, aku menatap pemandangan itu dengan mulut ternganga bodoh.
Mengabaikan kelompok tiga orang yang kebingungan itu, gadis SMA itu mulai memercikkan air ke anak laki-laki yang jatuh ke sungai. Dilihat dari seragamnya, dia siswi di sekolah yang sama denganku.
“Ada apa? Kemarilah.”
Murid-murid lain, yang telah menyamar sebagai pejalan kaki tanpa nama beberapa waktu yang lalu, berhenti tanpa berpikir dan menatapnya dengan tatapan yang kurang baik. Bahkan ada beberapa orang yang saling berbisik sambil mencibirnya. Tidak mungkin aku bisa mendengar percakapan mereka, tapi berdasarkan suasananya, itu mungkin kalimat semacam“Ada orang aneh di sini”.
Akan bohong jika aku bilang bahwa pikiran itu tidak terlintas dibenakku. Begitulah sulitnya memahami pemandangan itu. Itu bukan selokan air kotor, tapi juga bukan sungai yang bersih dan jernih. Jika kau menceburkan diri ke dalamnya, maka kau harus siap untuk menjadi sangat kotor.
Gadis SMA itu memercikkan air ke anak laki-laki itu, tidak peduli sedikit pun tentang kotoran di seragamnya atau tatapan orang-orang di sekitarnya.
Dengan senyum dan energi yang sangat polos, seolah rinciannya tidak lagi penting, berkata “Nah kau sudah melakukannya!”, Bocah lelaki itu mulai balas memercikkan air.
“Ayo kalian, cepatlah meloncat juga.”
Mengatakan itu, gadis SMA itu mengulurkan tangannya ke arah mereka bertiga di tepi sungai. Meskipun mereka hanya menonton dengan curiga pada awalnya, keingintahuan mereka tampaknya menang, dan setelah bertukar pandang satu sama lain, mereka juga terjun ke sungai dengan sangat bersemangat.
“Hei, Onee-chan ini orang aneh.”
“Serang, serang!”
“Mufufu, jika kalian meremehkan orang dewasa, kalian akan berada di dunia penuh luka, lho? …Tunggu, kenapa kamu juga menjadi musuhku, nak? Meskipun aku telah menolongmu, Dasar pengkhianat kecil~”
“Nah, Kamu tidak menolongku, kamu cuma memercikkan air kepadaku.”
Dengan tsukkomi yang masuk akal, anak laki-laki yang jatuh ke sungai bergabung dengan tiga orang lainnya untuk mengincar gadis SMA itu.
“…Oi, dia lari kearah sana.”
“Kejar dia!”
Suara lari dan tawa.
Semua anak laki-laki itu mulai mengejar gadis SMA tersebut. Meskipun sebenarnya, yang mereka lakukan adalah sama seperti sebelumnya, entah sejak kapan, area itu telah dipenuhi dengan suara tawa yang hangat dan berkilauan.
…Hah, apa yang baru saja terjadi?
Setelah puas, mereka semua keluar dari sungai.
Pada saat itu, aku akhirnya memanggil, dan menawarkan handuk olah raga milikku. Para anak laki-laki itu saling berbagi handuk di antara mereka berempat dan dengan santai menyeka rambut mereka. Kemudian, mengatakan “Sampai jumpa, Onee-chan yang aneh!”, Mereka dengan penuh semangat berlari bahu membahu dengan kaus mereka yang basah kuyup.
Setelah melihat mereka pergi, gadis itu menoleh untuk melihatku. Tak perlu dikatakan lagi, tapi blazer, rambut, dan wajahnya juga basah kuyup dan berlumuran lumpur. Bahkan kutangnya bisa terlihat, tapi tidak sampai pada titik dimana itu terlihat erotis. Melihat lambang sekolahnya, dia sepertinya siswi kelas dua, seorang senpai.
“…Mungkinkah seperti seorang gadis yang dipenuhi dengan keanggunan?”
“Tidak, meski dilihat lewat sedotan, kau terlihat seperti hantu seorang gadis yang mati tenggelam.”
“Apakah aku benar-benar terlihat seperti itu?”
Gadis itu tertawa bahagia.
“Oops. Sepertinya pakaian ini sebaiknyadi dry cleaning. Apa kamu membawa pakaian olahraga? Lihat, aku tidak ada pelajaran penjaskes hari ini.”
Saat dia berbicara, dia mencoba menyeka rambutnya dengan handuk yang telah lama kehilangan keefektifannya setelah menyerap kelembaban dari empat orang.
“…Ya, tapi keringatku cukup banyak sehingga ini bau.”
Aku menyerahkan tas yang menyimpan pakaian olahragaku, di mana dia memasukkan wajahnya ke dalam dan mengendusnya.
“Kamu benar, ini sangat bau. Baunya seperti kain yang digunakan saat makan siang untuk mengelap tumpahan susu.”
“Hei ayolah, bajuku tidak sebau itu. Oke, aku akan mendorongmu ke sana lagi.”
“Aku bercanda. Aromanya seperti pelembut kain dan matahari. Aku akan pastikan untuk mencucinya sebelum mengembalikannya padamu, jadi apakah kamu keberatan jika aku meminjamnya? Aku akan kembali ke sekolah untuk berganti pakaian sebelum pulang. Seperti yang kau perkirakan, jika aku sepoyongan kembali di senja yang meredup dengan penampilan seperti ini, tidak aneh jika aku tidak sengaja diruqyah.”
Meski mengatakan itu, sepertinya dia sendiri tidak terlalu peduli tentang basah dan kotor.
“Tidak masalah… tapi sebagai gantinya, bolehkah aku mengajukan sebuah pertanyaan?”
“Apa itu?”
“Kenapa kamu melakukan itu? Biasanya, kupikir hal yang benar untuk dilakukan adalah menarik anak yang jatuh dan dengan ringan memarahi anak-anakyang lain. Itu jugalah yang akan aku lakukan…”
Dia meletakkan tangan ke mulutnya, dan dengan bersuara “Hmm…”, merenung sejenak. Sepertinya dia tidak punya alasan khusus atas tindakannya.
“Aku juga heran, apakah itu hal yang benar jika salah satu anak kembali dengan sedih, sementara anak-anak lainnya kembali dengan perasaan sakit hati setelah dimarahi? Jauh lebih baik jika mereka semua kotor bersama, tertawa, dan pulang bahu-membahu, bukankan begitu?”
“…Bahkan jika sebagai hasilnya, kamu, orang yang tidak ada kaitannya, juga basah kuyup? Bahkan jika kamu diejek oleh orang asing yang lewat?”
Dia menatap langsung ke mataku, tersenyum lembut. Entah kenapa, rasanya dia bisa melihat seluruh isi di dalam diriku, jauh ke dalam hatiku.
“Aku tidak tahu kenapa seseorang harus peduli tentang hal-hal semacam itu, tapi…”
Senyuman lembut itu berubah menjadi senyuman yang kuat, hangat, dan mencapai sanubari.
“Itu bukan seperti aku benar-benar ingin dilihat oleh seseorang bahwa aku melompat ke sungai, lho? Aku melakukannya karena bagiku, cara itu tampak paling menyenangkan.… Itulah sebabnya, apa yang kau katakan agak melenceng.”
…Kata-kata itu tidak langsung keluar dari mulutku.
Bagi kebanyakan manusia, ada hubungan yang tidak terpisahkan antara kata-kata dan tindakan mereka, dan pandangan orang lain yang menyertainya.
Aku sendiri telah mempertimbangkan untuk membantu anak laki-laki yang jatuh ke sungai, tapi aku tidak akan memilih metode di mana sebagai gantinya aku akan dipandang dingin oleh orang lain seperti itu… tidak, metode seperti itu bahkan tidak terlintas dalam pikiranku.
Namun, orang ini telah bertindak berdasarkan perasaannya sendiri “Inilah yang ingin aku lakukan”.
Seolah-olah mengatakan, ‘Tidak masalah untuk menjadi diriku sendiri… tempatku berada adalah tempat di mana aku seharusnya berada, dan kehendakku sendiri adalah pembimbingku’.
Dan akhir yang ditimbulkannya jauh lebih indah daripada yang bisa aku bayangkan.
“…Bolehkah aku menanyakan satu hal lagi?”
“Silakan~”
Dia dengan sungguh-sungguh memeras handuk, seolah-olah dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang aku pikirkan.
“Tolong, beritahukan namamu.”
“─ Namaku Nishino Asuka. Asuka seperti dalam ‘angin yang berhembus di hari esok’.”
Membelakangi matahari terbenam yang merah cerah, dia tersenyum lembut. Entah bagaimana, rambut basah yang menempel di pipinya, ujung hidungnya yang menghitam akibat lumpur, dan bahkan jari-jari kaki kecil telanjangnya yang tadinya tertutupi oleh kaus kaki, semuanya tampak begitu murni dan indah.
Angin sepoi-sepoi yang masih berbau musim panas menyelinap di antara kami.
Sejak hari itu, baik di sekolah, atau dalam perjalanan pulang, aku selalu mendapati diriku entah bagaimana mencari sosoknya.
Angin yang berhembus di hari esok.
Untuk dia yang hidup bebas dengan kehendaknya sendiri, aku pikir nama itu sangat cocok untuknya.
Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya
Post a Comment