[WN] Kanojo ga Senpai ni NTR-reta no de, Senpai no Kanojo wo NTR-masu Chapter 37 Bahasa Indonesia

 

Chapter 37 - Simulasi Kencan Bersama Touko-senpai (Bagian 4)

 

Touko-senpai bertanya pada bocah itu.

Siapa namamu?

Shota.

“Kok kamu tadi bisa ada di sana?

“Di sana ada kepiting.

Kepiting?

“Tapi, aku tidak bisa menangkapnya.

Jadi, singkatnya seperti ini ya?

Entah bagaimana anak laki-laki ini sendirian.

Dia menemukan kepiting, lalu dia mengejarnya untuk ditangkap, hingga dia pergi ke tempat berbatu di dekat pantai, di mana dia jatuh dan menangis.

Tiba-tiba, anak laki-laki yang kugendong itu berbicara.

Apakah nii-chan dan nee-chan sedang kencan?

Aku dan Touko-senpai saling berpandangan sejenak.

Apakah kalian sedang kencan?

Sekali lagi, anak itu bertanya.

“Hmm, yah, sesuatu seperti itu?

Ketika Touko-senpai menjawab seperti itu, anak itu menggali lebih dalam.

Jadi, nee-chan dan nii-chan pacaran, ya?

“ “Hah?” ”

Aku dan Touko-senpai berteriak secara bersamaan.

Bagaimana bisa kau mengucapkan semua kata-kata itu dengan lancarnya padahal barusan kau berbicara dengan sangat lambat?

Saat aku bingung, Touko-senpai menjawab.

“Nah, bagaimana menurutmu?

“Entahlah. Tapi, aku diberitahu kalau mereka yang ‘berkencan’ itu karena mereka ‘pacaran.’”

“Siapa yang bilang?

Mii-chan.

Yah, meskipun kau menyebutkan namanya, kami tidak kenal siapa itu.

Tapi, Touko-senpai tersenyum dan menjawab.

“Benar. Jika, Mii-chan berkata begitu, maka kami mungkin memang pacaran.

Diikuti dengan tawa kecil fufu.

Bahkan setelah itu, Touko-senpai terus berbicara dengan anak itu.

Aku kebanyakan hanya membisu.

Namun, itu mengejutkanku.

Aku tidak menyangka kalau Touko-senpai, yang biasanya tenang dan pintar, sangat menyukai anak-anak.

Aku diam-diam memainkan smartphone-ku dengan satu tangan dan mengambil gambar Touko-senpai yang seperti itu sembunyi-sembunyi.

Aku tidak yakin apakah dia sadar atau tidak.

Oh, itu Mama.

Di arah yang ditunjuk anak laki-laki dari punggungku, ada seorang ibu sedang berdiri sambil menggendong bayi dan memegang seorang gadis kecil.

Kami berjalan ke depan ibunya dan menurunkan anak laki-laki itu.

Ketika Touko-senpai menjelaskan apa yang terjadi, ibunya membungkuk kepada kami berulang kali.

Rupanya, saat itu sang ibu sedang membawa putri kecilnya ke kamar mandi.

Akhirnya, Touko-senpai berjongkok di depan bocah itu dan berkata, “Sampai jumpa, Shota-kun. Jangan tinggalkan ibumu sendirian lagi, ya.”

Setelah mengatakan itu, dia meletakkan tangannya dengan lembut di kepala anak itu.

​​Aku segera memotret adegan Touko-senpai itu.

Saat kami sudah jauh dari mereka, aku berkata, “Touko-senpai menyukai anak-anak, ya,?

Ap-? Apa-apaan cara bicaramu itu?

“T-Tidak, maksudku bukan begitu.”

Aku buru-buru mengoreksi perkataanku, tapi Touko-senpai menatapku sambil tersenyum.

“Aku memang suka anak-anak. Dan aku selalu ingin punya adik laki-laki.

Apakah kamu punya saudara, Touko-senpai?

“Aku punya satu adik perempuan, yang tiga tahun lebih muda dariku.”

Jika itu adik perempuan Touko-senpai, pastinya dia cantik juga, kan?

Sebenarnya, yang paling aku inginkan adalah saudara laki-laki.

Saat kami sedang bicara, kami sampai ke mobil.

Sudah lewat tengah hari. Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat untuk makan?

Kami menuju utara di Rute 410.

Kali ini, rute yang kami ambil membawa kami ke sisi timur Semenanjung Boso.

Akhirnya, kami tiba di Rest Area WA-O.

Model kerangka besar seluruh tubuh dari paus biru dipajang di dekat Rest Area Wadaura.

Kami memasuki restoran.

Aku lalu berkata sambil melihat menu.

“Wadaura merupakan tempat perburuan paus, yang jarang dilakukan di zaman modern ini. Tapi, dalam hal perburuan paus, yang terkenal adalah Taiji di Prefektur Wakayama.”

Itulah informasi yang aku dapatkan di internet.

“Omong-omong, aku pernah mendengar kalau ada tempat di Minamiboso di mana mereka memancing ikan paus. Katanya mereka juga menjual daging ikan paus di sana.”

“Aku ingin mencoba daging ikan paus untuk mengetahui seperti apa rasanya.”

Setelah mengatakan itu, aku sudah memutuskan pesananku.

‘Menu spesial paus’.

Ini adalah semangkuk nasi dengan topping sashimi ikan paus, tatsuta ikan paus goreng, dan potongan daging ikan paus.

“Kurasa aku akan memilih ‘Menu Paket Sashimi Ikan Lokal Musiman’ saja. Aku tidak bisa makan daging ikan paus jika rasanya aneh.”

“Tapi, karena sekarang kita sudah sampai sini, tidakkah kamu ingin mencobanya sedikit? Kita tidak akan bisa makan daging paus lagi jika gerakan anti perburuan paus terus berlanjut.”

Meski begitu, Touko-senpai tetap bingung.

“Kalau begitu, ayo kita pesan satu ‘sashimi paus’ ini. Kita bisa membaginya berdua, kan?”

“Baiklah. Ayo.”

Makanan yang aku pesan sudah diantarkan ke meja.

Warna dagingnya jauh lebih merah dan lebih hitam dari daging sapi.

Kelihatan mirip daging kuda.

Ketika aku mencobanya, rasanya lebih normal dari yang aku kira.

Rasanya seperti daging impor tanpa lemak yang kuat, ya?

Tampaknya Touko-senpai juga memiliki kesan yang sama.

“Baunya agak khas, tapi rasa dagingnya cukup normal.”

“Benar. Warnanya daging kuda, tapi rasanya seperti daging paha impor.”

“Tapi, paus merupakan turunan dari ordo artiodactyla yang sama seperti sapi dan babi. Wajar jika rasanya mirip. Saat ini, paus, sapi, babi, dan rusa semuanya diklasifikasikan bersama ke dalam ordo ‘cetartiodactyla.’”

TLN: Artiodactyla adalah ordo mamalia berkuku belah, yang memiliki kaki berjumlah genap, memiliki pencernaan berlapis di usus, pemakan tumbuhan dan memamah biak. Untuk Cetartiodactyla adalah ordo mamalia berkuku belah beserta paus.

“Oh~”

“Omong-omong, hewan darat yang paling dekat dengan paus adalah kuda nil.”

“Seperti yang diharapkan dari ‘Dewi Perpustakaan’. Pengetahuanmu sangat luas.”

Kemudian, Touko-senpai memelototiku.

“Aku tidak suka julukan itu.”

“Kenapa? Menurutku orang-orang menggunakan julukan itu dalam artian baik.”

“Aku bukan objek pemujaan, dan tentu saja aku juga bukan Dewi. Aku dulunya adalah seorang gadis SMA yang sangat normal, dan sekarang aku seorang mahasiswi normal.”

“Benar juga, tapi…”

“Setidaknya, aku tidak ingin Isshiki-kun, yang seharusnya sudah mengenalku sampai batas tertentu, memanggilku seperti itu.”

Touko-senpai terlihat sedikit kesepian saat mengatakan itu.

“Begitu, ya. Maaf.”

Saat aku meminta maaf, Touko-senpai tersenyum lagi dengan cara yang centil.

“Kalau begitu, belikan aku es krim lembut sebagai permintaan maaf. Aku melihatnya dijual di luar tadi.”

Caranya yang menginginkan es krim lembut itu terkesan sangat imut.

“Siap. Kamu boleh beli dua, atau bahkan tiga!”

“Oh, seriusan? Kalau begitu aku mau dua, satu dengan madu dan susu, lalu satunya lagi dengan kacang!”

Ketika kami selesai makan, waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Pada akhirnya, kami berdua membeli varian es krim lembut yang berbeda dan saling bertukaran sambil berjalan.

Ini adalah ‘ciuman tidak langsung pertama’-ku dengan Touko-senpai.

Aku juga memotret Touko-senpai yang sedang makan es krim lembut.

“Kenapa kamu tetap memotretku saat sedang makan seperti ini, sih?”

Dia sedikit kesal, tapi menurutku itu adalah cara makan kekanak-kanakan yang menggemaskan.