[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Chapter 13 Bahasa Indonesia
Chapter 13: Kedok
Aku akhirnya tiba di taman atletik dan langsung berhasil melihat Hasaki. Dia menonjol karena dia duduk sendirian di salah satu sudut lapangan dan menonton semifinal. Yah, karena hal itu dan fakta bahwa dia terlihat suram sekali. Aku akan mencoba bersikap semanis mungkin, untuk berjaga-jaga.
“Hei,” sapaku dengan lembut. Dia tidak menjawab; sebaliknya, dia melihat ke arahku, dan matanya terbelalak karena terkejut. Dia bahkan tidak menyadari aku mendekat. Kurasa dia memiliki hal lain dalam pikirannya.
“Hei…!” teriaknya sebagai jawaban, jelas terkejut. Yah, setidaknya dia tidak tampak marah atau muak padaku. Itu langkah awal yang bagus.
“Tak masalah jika aku duduk di sebelahmu?” tanyaku. Dia mengangguk dalam diam sambil menatap lapangan. Aku duduk di sampingnya. Saat aku melakukan itu, dia tiba-tiba mulai bicara padaku, meskipun dia tidak melihat ke arahku, “Aku minta maaf karena kamu telah datang jauh-jauh ke sini untuk mendukungku hari ini. Tapi aku malah berperilaku buruk sepanjang waktu.” Suaranya lemah.
“Jangan dipikirkan. Setiap orang mengalami hari-hari buruk. Seharusnya aku yang meminta maaf.”
Dia akhirnya menoleh untuk melihatku sekarang dan menggelengkan kepalanya. “Kenapa kau harus minta maaf?” tanyanya.
“Aku tahu kau bilang kalau kau ingin sendiri, tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengkhianati keinginanmu itu. Jadi begitulah.”
Dia tersenyum, tapi sepertinya dia hampir menangis sekarang. Kuharap aku tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya. “Jadi, kau mengkhawatirkanku?” tanyanya.
“Ya. Maksudku, kau adalah temanku. Tentu saja aku akan khawatir.”
“Temanku…” bisiknya dengan suara rendah hingga aku hampir tidak bisa mendengarnya. “…Aku tahu ini akan terdengar seperti alasan yang payah, tapi ada alasan untuk mood dan performa burukku hari ini,” lanjutnya dengan nada yang lebih terdengar.
“Oh ya? Alasan?” tanyaku.
“Mhm,” dia mengangguk dan kemudian menambahkan, “Aku kehilangan kesempatan untuk bersama dengan orang yang aku cintai.”
“Benarkah?”
“Mhm, benar. Dia datang jauh-jauh untuk mendukungku hari ini. Aku membuat sedikit janji pada diriku sendiri—jika aku dapat berkonsentrasi penuh pada pertandinganku hari ini, bahkan dengan dia yang ada di sini untuk melihatku, itu berarti aku siap untuk merelakannya. Beberapa kali, aku berkata pada diri sendiri bahwa tenis harus menjadi satu-satunya hal yang ada di pikiranku, bahwa aku sama sekali tidak membutuhkannya, tapi…” dia berhenti untuk mengambil napas dalam-dalam, menutup matanya, dan melanjutkan, “Kupikir bahwa dengan berteman dengannya, kami akan bisa kembali seperti dulu bertahun-tahun yang lalu. Malahan, aku akan senang dengan tetap berteman. Tapi pada akhirnya, aku terbukti salah.” Dia memberiku senyuman tipis dan lemah.
“Tidak peduli seberapa keras aku mencoba untuk melupakannya atau mendorongnya keluar dari pikiranku, aku tidak bisa melakukannya. Aku bahkan tidak bisa berkonsentrasi pada pertandinganku lagi. Aku menghabiskan setiap waktu hanya untuk memikirkannya,” katanya. Dia meletakkan tangannya di dada dan meremasnya dengan ekspresi sedih. “Dan performa hari ini adalah hasil dari itu. Aku tidak bisa berkonsentrasi dan kalah ketika aku seharusnya bisa menang, meskipun dia sudah datang jauh-jauh untuk mendukungku. Dan itu membuat suasana hatiku semakin memburuk. Itulah kenapa aku bermain dan bertingkah seperti sampah hari ini. Aku tidak ada bagus-bagusnya.”
Aku merasa sangat bingung sekarang. Tentu saja, dia membicarakan Ike— maksudku, semua orang tahu bahwa dia ada perasaan besar untuknya. Setelah apa yang baru saja dia katakan, aku hampir 100% yakin itu pasti Ike. Memangnya siapa lagi? Tapi aku benar-benar terkejut Ike menolaknya. Tampaknya itu bukan kejadian hari ini. Kapan itu terjadi?
“Jadi, kau mengungkapkan perasaanmu padanya?” tanyaku
“Tidak, aku tidak melakukannya.”
“Lalu apa yang kau maksud dengan kehilangan kesempatan untuk bersamanya?”
Entah kenapa, dia menatapku dengan agak kesal, tapi kemudian menjawab, “Dia sudah punya pacar. Itulah sebabnya.”
Sejauh yang aku tahu, dia tidak punya pacar. Jika ya, aku pasti terlambat mengetahuinya; tapi kupikir aku akan sadar jika dia sudah punya pacar. Sebenarnya, biar kupikirkan—mungkin dia mengira Ike punya pacar? Meski hampir mustahil, Ike mungkin benar-benar sudah berpacaran dan belum memberi tahuku, tapi aku ragu hal itu terjadi. Apa yang harus aku katakan padanya sekarang? Aku bingung di sini, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin.
“Tapi menurutku itu bukan alasan untuk sepenuhnya kehilangan harapan,” kataku padanya.
Dia mengangkat kepalanya saat aku mengatakan itu. “Huh?” katanya, bingung dan terkejut.
“Maksudku, aku tidak akan bilang bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaan, tapi aku juga tidak berpikir kau harus menyerah memperjuangkannya.”
“Bahkan jika aku sudah tahu lebih dulu jawaban apa yang akan kudapat? Bahkan jika itu pada akhirnya akan membuatnya tidak nyaman?” tanya dia. Dia jelas menentang saranku.
Aku menggelengkan kepala dan mencoba menjelaskan alasanku. Jujur adalah kuncinya di sini. Hasaki harus menatap lurus ke matanya dan mengungkapkan perasaannya dengan terus terang. Dengan begitu, sebagai gantinya, Ike bisa menjawabnya dengan jujur. Apa yang terjadi setelah itu cukup menentukan. Maksudku, Hasaki adalah teman masa kecilnya—saat ini dia seharusnya tahu bahwa terus terang dengannya adalah pendekatan terbaik. Yah, bukan berarti aku punya pengalaman untuk menunjang pengetahuanku. Aku jelas tidak pernah berkencan, tapi setidaknya aku tahu itu.
“Orang-orang berubah seiring waktu, baik dalam hal penampilan maupun perasaan. Maksudku, lihat aku—aku seharusnya menjadi kriminal sekolah. Seseorang yang seharusnya tidak punya teman. Tapi sekarang aku punya Ike, kamu, dan juga yang lainnya.”
Ike dan Makiri-sensei benar-benar berkontribusi untuk itu. Berkat OSIS, aku berhasil mendapatkan beberapa teman baru, seperti Asakura.
“Banyak hal terjadi, dan situasi terus berubah. Tapi bisa juga sebaliknya—banyak hal bisa menjadi stagnan. Seperti, jika tidak melakukan apa-apa tentang situasi saat ini, maka tidak akan ada kemajuan. Jika kamu ingin mengubah perasaannya terhadapmu, lakukanlah. Duduk berpangku tangan tidak akan mengubah situasi saat ini.”
“Jadi jika aku melakukan sesuatu, mungkin dia akan melihatku dari sudut pandang yang berbeda? Misalnya, secara romantis?” tanyanya.
Aku mengangguk. Bahkan jika Ike memang memiliki pasangan saat ini, jika Hasaki memberi tahu padanya bagaimana perasaannya yang sebenarnya, mungkin itu akan mengubah keseluruhan perspektifnya—baik kepada pacarnya saat ini maupun kepada Hasaki.
“Aku tidak benar-benar ingin menjadi PHO. Maksudku, bagaimana jika dia berubah pikiran tentang pacarnya?” tanyanya dengan suara khawatir.
TL Note: PHO=Perusak Hubungan Orang
“Maksudku… jika kau mengungkapkan perasaanmu, dan kau berhasil mengubah pikirannya, bukankah itu adil? Pada akhirnya, itu terserah padanya, bukan kau. Jika dia berubah pikiran, hubungannya saat ini akan berakhir, bagaimanapun caranya. Jadi begitulah, aku tidak akan terlalu mengkhawatirkan itu. Seperti yang kubilang, menyerah tidak akan menyelesaikan apa pun. Kau setidaknya harus mencoba mengungkapkan perasaanmu. Bukankah begitu?”
Sekali lagi, aku bukan dokter cinta yang berpengalaman. Mungkin aku hanya menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat buruk, tapi aku tidak ingin dia terus menderita dalam diam. Aku perlu membantunya entah bagaimana, bukan?
“Kamu sebenarnya cukup pintar dalam hal ini, Tomoki-kun. Tapi aku tidak yakin bersikap terlalu memaksakan perasaanku adalah cara terbaik untuk mendekatinya,” katanya. Sial, dia mungkin merasa aneh dengan saranku. Aku benar-benar kacau.
“M-Mungkin, ya…” gumamku. Aku hanya setuju untuk menenangkannya, tapi dia sadar bahwa aku merasa kecewa dan tersenyum untuk menghiburku.
“Hei, Tomoki-kun. Apakah menurutmu semuanya akan baik-baik saja jika aku mengungkapkan perasaanku padanya?” tanya dia.
“Entahlah,” kataku terus terang. Sejujurnya, aku benar-benar tidak tahu. Mereka selalu tersenyum dan bersenang-senang bersama, tapi aku tidak tahu sejauh mana situasinya.
“Kamu tidak akan terlibat kalau-kalau terjadi kesalahan?” tanyanya.
“Kurasa. Jika semuanya hancur berkeping-keping, kau bisa menyalahkanku sebanyak yang kau mau. Aku akan bertanggung jawab penuh atas itu.”
Jika dia akhirnya ditolak, yang terpenting adalah melihat ke depan dan melanjutkan hidup. Pada akhirnya, aku akan mencoba meringankan rasa sakitnya sebanyak mungkin. Melepaskan seseorang yang kalian cintai tidaklah mudah; itulah kenapa dia membutuhkan semua bantuan yang bisa dia dapatkan.
“Jangan bicara begitu. Mengambil tanggung jawab untuk hal seperti itu tidaklah semudah yang kamu bayangkan,” katanya.
Yah, dia benar. Misalnya dia ditolak, dan aku mencoba membantunya—apa pun yang aku lakukan, tidak peduli seberapa banyak dia mengeluh, intinya adalah bahwa dialah yang harus melangkah maju. Tidak mungkin aku bisa membantunya mengatasi itu. Aku seharusnya memilih kata-kataku dengan lebih baik, dan aku telah mengatakannya sebanyak itu.
Dia menarik napas dalam-dalam. Bahunya terkulai, tapi dia memaksakan senyum dan mulai bicara lagi. “Kurasa aku sudah menyadari sedari tadi, tapi… kamu tidak mengerti apa yang aku katakan, kan?” Kali ini, nadanya dingin dan jauh.
“Hm?” seruku.
“Kayak, poin sebenarnya tidak masuk ke dalam kepalamu.”
“A-Apa?”
“Aku mencoba memberitahumu sesuatu, lho.” katanya.
“Benarkah?” tanyaku. Apa sih yang dia bicarakan?
“Ya Tuhan! Masa bodo. Kurasa terlalu mengkhawatirkan hal itu tidak ada gunanya bagiku!” teriaknya tiba-tiba. Dia memusatkan pandangannya pada mataku, sangat tegas, dan menyatakan, “Oke, aku tidak akan menyerah! Tidak masalah jika dia sudah punya pacar! Aku akan melakukan apa saja untuk membuatnya mencintaiku! Segera, dia akan menyadari bahwa akulah satu-satunya untuknya! Sudah terlambat untuk menarik kembali kata-katamu sekarang, Tomoki-kun! Kau tidak dapat bilang padaku lagi bahwa mengganggu hubungan orang adalah hal yang salah! Dan kau tidak bisa bilang padaku bahwa terus mengungkapkan perasaanku adalah hal yang aneh, tidak peduli berapa kali aku ditolak!”
Sial, apa yang terjadi di dalam benaknya sampai-sampai mengatakan ini? Aku merasa agak terintimidasi sekarang. Aku tidak tahu apakah saranku membantunya atau tidak, tapi rasanya aku hanya membuatnya gusar dan marah-marah. Kenapa berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain begitu sulit?
“Y-Ya, tidak masalah…” Aku akhirnya tergagap.
“Jangan terlihat begitu sedih! Bagaimanapun, aku telah menemukan jawabanku!” beri tahunya padaku sambil tersenyum. Yah, setidaknya, membuatnya gusar sedikit sepertinya membantu—sikapnya berubah total 180 derajat dibandingkan dengan dirinya beberapa saat yang lalu. Tapi, dia masih terlihat seperti akan menangis. Kurasa dia terlalu terstimulasi dari semua emosi ini?
“Senang mengetahuinya,” kataku.
Dia mengangguk dan berseru, “Mhm, makasih! Berkatmu, sekarang aku merasa jauh lebih baik, Yuu-kun!”
“Huh?”
Tunggu sebentar. Aku tidak salah dengar, kan? Hanya satu orang yang pernah memanggilku menggunakan nama itu. Itu adalah nama panggilan yang dia berikan padaku bertahun-tahun yang lalu—anak laki-laki dengan rambut indah berwarna coklat kemiri. Anak laki-laki yang cengeng, tapi begitu cantik hingga dia bisa dengan mudah disalahartikan sebagai perempuan.
“…Natsuo?”
Tidak mungkin, kan? Apakah itu benar-benar dia? Entah kenapa, aku menyebutkan namanya begitu saja, tapi…
Post a Comment