[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Epilog Bahasa Indonesia

 

Epilog: Touka Bergabung ke Dalam Pertempuran!

 

Ya Tuhan! Apa yang terjadi belakangan ini?! Aku tidak pernah semarah ini seumur hidupku. Ini semua karena perempuan jalang itu, Hasaki-senpai. Dia benar-benar tengiler-ngiler saat melihat Yuuji-senpai pagi ini!

Aku menyuruhnya untuk mengatakan yang sebenarnya tentang Natsuo karena kupikir Yuuji-senpai perlu bertemu dengan “Natsuo” lagi, tapi aku tidak pernah mengira dia akan mengutarakan perasaannya!

Dan lagi, kurasa aku tidak terlalu terkejut. Setiap kali kami semua berkumpul bersama, dia akan selalu terlihat sangat sedih. Aku memberinya sedikit dorongan untuk jujur ​​dengan dirinya sendiri dan dengan Senpai karena dia telah berbohong padanya selama bertahun-tahun, tapi berani-beraninya dia menembak Senpai! Dia tahu betul bahwa Senpai sudah bersamaku!

“Touka terlihat kesal hari ini.”

“Apa kau belum dengar? Tampaknya, pacarnya yang preman itu menduakannya. Kau tahu gadis dengan tetek besar di kelasnya yang bermain tenis? Ya, dia.”

“Whoa, seriusan?! Tidak heran dia sangat kesal.”

“Aku merasa kasihan padanya sekarang…”

Semua orang bergosip dan menyebarkan kebohongan tentang kami, seperti biasa. Biasanya amunisiku telah terkunci dan terisi, siap untuk melawan argumen bodoh mereka, tapi aku tidak menghiraukan mereka hari ini. Aku tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak sepenuhnya marah. Tidak ada yang mendekatiku hari ini karena hal itu.

“Hei, Touka. Kau terlihat sangat sedih. Kau baik-baik saja?”

Oh, koreksi—kurasa ada seseorang yang punya cukup nyali untuk datang berbicara denganku. Ugh… Dari sekian banyak orang, kenapa harus psikopat aneh ini? Psikopat yang dimaksud adalah Kai Rekka. Entah kenapa, dia tersenyum. Kurasa dia sedang mencoba menghiburku.

“Aku tidak bisa membayangkan Tomoki-senpai melakukan itu. Meskipun ada sedikit kebenaran, aku yakin pasti ada alasan di baliknya. Aku mengerti kenapa kau merasa sedih sekarang, tapi aku juga tahu bahwa kau memahami Tomoki-senpai lebih baik daripada siapa pun. Benarkan?”

Apa-apaan orang ini? Apakah dia tidak sadar bahwa wajahnya adalah hal terakhir yang ingin aku lihat sekarang? Dan kenapa dia tersipu? Seperti, apakah dia berpikir bahwa dia memiliki kesempatan untuk mendapatkan Senpai sekarang karena Hasaki berusaha untuk memenangkan Senpai? Tidak, itu tidak mungkin. Setidaknya dia mencoba menghiburku. Meskipun aku masih belum  bisa memaafkannya atas apa yang dia lakukan kepada senpai, aku berterima kasih karena dia telah berusaha menghiburku.

“Mhm. Makasih, Kai-kun,” kataku.

“Jangan dipikirkan,” jawabnya sambil tersenyum. “Dan karena Hasaki-senpai sedang berjuang memperebutkannya sekarang, itu artinya aku juga punya kesempatan bersamanya,” tambahnya dengan bisikan saat pipinya memerah. Ya ampun, dia terlihat seperti salah satu gadis yang tersipu dan mekik-mekik yang bisa kalian lihat di sinetron TV.

Oke, lupakan apa yang aku katakan barusan—lagian, dosanya sudah tidak terampuni lagi. Aku tidak akan, PERNAH memaafkannya.


Saat ini istirahat makan siang, jadi aku bergegas ke ruang kelas Senpai begitu kelasku berakhir. Aku ingin melihatnya segera! Istirahat makan siang tanpa berbicara dengannya adalah istirahat yang tidak lengkap.

Aku membanting pintu kelasnya terbuka, seperti biasa, dan dengan penuh semangat berseru,

“Senpai, ayo makan siang bare—”

“Yuuji-kuuun! Aku membuatkanmu bekal hari ini! Mau makan siang bareng?” sela Hasaki-senpai dan memotongku.

“Tunggu, kamu membuatkan bekal untukku juga?” kata Yuuji-senpai.

“Ya! Ini, semua milikmu!” katanya dengan bahagia. Dia melingkarkan salah satu lengannya ke lengan Senpai dan menggunakan lengannya yang lain untuk mengambil dua kotak bekal kecil dari tasnya. Dasar lacur… Dan yang terburuk adalah Senpai terlihat senang karena dia membuatkannya bekal! Ugh! Bodo amat, aku akan masuk juga. Persetan denganmu, Hasaki-senpai.

“Um, Hasaki-senpai? Bisakah kau berhenti melakukan pendekatan yang menjijikkan pada pacarku? Kami sudah punya rencana untuk makan bereng, lho?”

Dia menggelengkan kepalanya, mengangkat bahu sedikit, dan memberikanku seringai paling menyebalkan. “Oh… Hei, Touka-chan! Bagaimana kalau kita semua makan bareng? Lebih ramai lebih meriah! Kau juga dapat mencoba beberapa makanan yang aku buat—aku yakin kau akan menyukainya!”

“Gaaaak.”

“Eek, ceyaaam!” teriaknya sambil mendorong dadanya ke lengan senpai. Fakta bahwa Senpai bahkan tidak bereaksi terhadap itu membuatku semakin kesal.

“Sial, itu adik Ike.”

“Ini terasa seperti kebuntuan yang sebenarnya, bung.”

“Dan Ike bahkan tidak ada di sini untuk menyaksikannya. Astaga, terkadang dia pergi di saat-saat terburuk.”

Semua orang melihat kami dan bergosip, jadi aku memelototi mereka. Mereka segera menutup mulut dan membuang muka; beberapa anak laki-laki bahkan bersiul untuk pura-pura tidak bersalah, seolah-olah mereka bukan bagian dari masalah saat ini. Teman sekelas Senpai terlalu lebay untuk seleraku. Aku benar-benar marah sekarang.

“Maaf, Kana, tapi aku harus menolak tawaranmu untuk hari ini. Dan tolong, bisakah kamu juga melepaskan dirimu dariku?” kata Senpai akhirnya.

“Apaa?” katanya dengan cemberut. Syukurlah, pada saat Senpai menatapnya dengan serius, dia segera melepaskan diri darinya.

“…Oke, kurasa aku ditolak. Tapi aku masih membuatkan bekal ini untukmu, jadi hari ini, bisakah kamu setidaknya memakan bekal ini? Aku tidak ingin ini jadi mubazir,” tanyanya sambil gelisah.

Senpai mengangguk dan menerima kotak bekal itu. “Ya, aku akan sangat senang memakannya.”

“Ehehe! Berikan pendapatmu nanti, oke?” kicaunya dengan senyum bodoh di wajahnya.

“Tentu. Ngomong-ngomong, ayo pergi, Touka,” katanya sambil menatapku. Aku  bisa tahu dengan pasti hanya dari melihat wajahnya bahwa dia mencoba meminta maaf padaku tanpa mengatakan apa-apa. Saat ini, aku tak masalah membiarkan dia dan semua orang di sini lolos, tapi aku malah menyelesaikan hal ini dengan tatapan kematian klasik.


“Sudah lama sejak aku merasa begitu canggung,” kata Senpai dengan menarik napas dalam-dalam. Kami berada di tempat biasa kami di atap. Aku bahkan telah membentangkan alas untuk kami duduk.

“Itu karena apa yang kamu katakan pada Hasaki-senpai di hari itu. Kamu tahu, tentang tidak menyerah dan sebagainya? Mungkin jika kamu tidak melakukannya, ini tidak akan terjadi,” balasku.

“…Kamu benar sekali. Aku minta maaf atas hal tersebut.”

“Sejujurnya, kupikir kamu juga seharusnya tidak menerima kotak bekalnya.”

Dia membuka kotak bekal dan menjawab, “Maksudku, dia meluangkan waktu untuk membuatkan ini untukku. Bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?”

“Tapi sekarang, setelah kamu menerimanya, dia akan terus membuatkan lebih banyak bekal kapan pun dia bisa! Itu tidak jauh lebih baik, kan?!”

“Ya, tampaknya akan begitu. Tapi akan bohong jika aku bilang bahwa aku tidak suka orang lain membuatkan bekal untukku,” jawabnya dengan suara lembut dan senyum yang dipaksakan.

Ugh, rasanya seperti ditikam di dada.

“Njiir!” teriaknya tiba-tiba saat dia mengintip ke dalam kotak. Huh? Apa yang dia masukkan di sana? Biar kuperiksa.

“Whoa…” semburku tanpa sadar. Di dalamnya ada nasi putih dan tempura merah muda yang ditata berbentuk hati di atasnya. Ada beberapa makanan lain juga, tapi itu tidak terlalu penting untuk disebutkan. Bukankah mereka seharusnya “hanya teman?” Aku pasti akan merasa geli jika pacarku memberikan ini padaku, apalagi kalau cuma teman. Hei, tunggu—apakah Senpai baru saja mengambil sumpitnya seperti itu bukan masalah besar?

“Pokoknya, waktunya makan,” umumnya. Dia mulai dengan patty kecil buatan tangan, yang dia makan dengan senang hati. Saat dia dengan bersemangat terus memakan isi kotak bekal itu, mau tidak mau aku bertanya, “…Apakah itu lezat?”

“Ya, ini sangat enak,” jawabnya.

“Bagaimana jika dibandingkan dengan punyaku?”

“Keduanya enak. Sejujurnya, sulit untuk membandingkannya,” katanya dengan lesu, mencoba menghindari pertanyaan dengan jawaban yang tidak total.

Aku tahu aneh bagiku untuk menanyakan itu, dan itu akan menempatkannya pada posisi yang sulit, tapi aku benar-benar ingin tahu mana yang menurutnya lebih baik. Dia melihatku ragu dan berbicara. “Apakah kamu ingat saat tempo hari kamu bilang padaku bahwa kita akan melanjutkan hubungan ini sampai salah satu dari kita bosan?”

Dadaku terasa sangat berat sekarang. Aku tahu percakapan ini akan muncul pada akhirnya.

“Aku berinvestasi dalam hubungan kita sekarang. Dulu saat dia menyatakan cintanya, hal pertama yang terlintas di benakku adalah aku belum ingin ‘hubungan’ kita ini berakhir. Aku tidak menyesali keputusanku, tapi memikirkannya lagi membuatku mengingat hal lain,” lanjutnya dengan agak serius.

“Dan apa itu?” tanyaku. Aku benar-benar tidak ingin mendengarnya, tapi aku tahu aku harus mendengarnya.

“Aku sadar bahwa jika aku benar-benar jatuh cinta dengan seseorang, aku akan segera mengakhiri hubungan ini. Aku bahkan tidak tahu apakah sejak awal aku mampu untuk memiliki perasaan yang serius terhadap orang lain, tapi jika itu terjadi, aku pasti akan memberi tahumu.”

Aku senang bahwa dia sangat peduli dengan hubungan kami. Tapi pada akhirnya, aku tidak lebih dari seorang adik kelas yang dia pedulikan sebagai seorang teman. Itu benar-benar menyakitkan.

“Itukah alasan kamu menyuruhnya untuk terus berusaha saat itu?” tanyaku.

“Aku tahu kau akan menyebut ini sebagai omong kosong dan mengatakan itu adalah alasan yang payah, tapi aku memberinya nasihat seperti itu dengan berpikir bahwa orang yang dia bicarakan sepanjang waktu adalah Ike, bukannya aku. Tapi menurutnya nasihat itu juga berlaku untukku. Itulah sebabnya semua ini terjadi,” jelasnya dengan serius.

Huh, dia terlihat tulus dan tidak bahagia. Sigh, akulah yang terburuk, bukan? Aku seharusnya tidak marah padanya karena ini; Aku tahu aku seharusnya tidak melakukannya. Semua yang aku lakukan adalah dirasuki dengan pemikiranku sendiri tentang situasi tersebut. Aku begitu terpaku pada pemikiran bahwa dia tidak “menyukai”-ku lagi sehingga aku tidak pernah mau repot-repot menempatkan diriku sendiri pada posisinya. Aku salah jika melampiaskan rasa frustasiku padanya.

“Aku mengerti, oke? Aku tahu kamu tidak akan pernah melakukan hal seperti itu dengan sengaja. Aku sudah tidak sopan karena bilang begitu. Maaf,” aku meminta maaf.

“Jangan khawatir… dan terima kasih,” katanya sambil tersenyum.

Dia tidak perlu khawatir tentang pernyataan cinta itu, sungguh. Maksudku, bukan seperti Senpai bisa memprediksi bahwa Hasaki-senpai akan jatuh cinta padanya dari sekian banyak orang. Mungkin jika kami berada dalam hubungan yang sebenarnya—atau jika ini tidak pernah terjadi sejak awal—dia bisa saja memiliki persahabatan yang normal dengan Hasaki-senpai. Sebaliknya, kami terjebak dalam… entah situasi apa ini, dan dia merasa sangat bersalah karena itu.

Aku menyadari hal ini, tapi aku tetap tidak ingin dia mempertimbangkan pemikiran itu. Aku ingin kami bersama dengan sebenarnya, agar dia mencintaiku dan hanya aku! Aku tidak ingin memberikannya pada gadis mana pun di seluruh dunia! Oke, aku rasa itu tergantung pada ini—aku akan memberi tahu dia apa yang sebenarnya aku rasakan saja.

“Um, Senpai!” bukaku. Aku harus mengatakan yang sebenarnya agar dia tidak menderita lagi.

“Hm? Ada apa?”

Ini sederhana. Aku hanya perlu mengucapkan kata-kata ajaib itu: “Aku sangat mencintaimu, Senpai. Maukah kamu benar-benar menjadi pacarku?”

“A-Aku…!” Aku tergagap. Aku harus mengatakannya, tapi kata-katanya tidak keluar! Jika aku mengatakan yang sebenarnya padanya—bahwa aku telah berbohong tentang perasaanku yang sebenarnya, dan fakta bahwa aku akan mendesaknya untuk berpacaran denganku demi keuntunganku sendiri, seperti Hasaki-senpai—maka dia mungkin akan membenciku. Aku sangat takut; Aku tidak menginginkan itu. Akhirnya, aku berhasil berkata, “Aku tidak berencana untuk mencari pacar selain kamu, Senpai.” Oke, jadi aku tidak bilang padanya secara langsung bahwa aku menyukainya, tapi menurutku seperti ini saja tak masalah, kan?

“Benarkah? Jadi kamu merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan tentang kita sekarang? Bagus, itu membuatku bahagia,” ucapnya dengan malu-malu sambil menggaruk salah satu pipinya.

Ugh, dia tidak mengerti sama sekali. Aku menyalahkannya karena dia telah begitu lama menjadi orang buangan sosial; dia cuma tidak pernah mengerti cara membaca sesuatu yang tersirat. Aku harus lebih terus terang dengannya, seperti Hasaki-senpai!

“…Bodoh,” bisikku. Oh bagus, dia tidak mendengarku. Dia akan mengira kalau aku marah padanya lagi, padahal itu sebenarnya ditujukan untuk diriku sendiri.

Sampai sekarang, yang aku inginkan hanyalah agar orang lain menerimaku apa adanya. Bukan sebagai adik Ike Haruma, tapi sebagai Ike Touka. Aku telah menjalani kehidupan neraka selama bertahun-tahun karena itu. Aku tidak pernah takut untuk mengatakan apa yang ada di pikiranku kepada orang lain, tapi kali ini, aku terlalu takut untuk melakukannya. Aku ingin Senpai melihatku dengan cara yang positif, lho? Agar dia berpikir bahwa aku adalah gadis yang manis dan menyenangkan. Seorang gadis yang pantas mendapatkan cintanya. Aku membenci diriku sendiri. Aku membenci diriku sendiri, karena yang selama ini aku lakukan hanyalah memikirkan diriku sendiri. Aku, aku, dan aku. Haaski-senpai lebih baik dariku, dia lebih berani dariku karena menyatakan cintanya, dan sebagainya.

Saat aku menyesap kopiku, aku melirik ke arah Senpai. Kapanpun aku memikirkannya, dadaku terasa berat, dan rasa sakit mulai memenuhi tubuhku. Aku mencintainya. Aku tidak ingin orang lain memilikinya. Aku ingin kami bersama selamanya. Meski begitu, aku masih takut mengganggu apa yang kami miliki sekarang. Pikiranku berputar-putar sendiri dengan gila ketika aku berpikir tentang hilangnya hal itu—tentang hilangnya kami—dan aku tidak bisa mengendalikan diri.

“Aku tahu kamu ingin mengatakan sesuatu, Touka. Katakan saja. Kamu mengenalku kan,” kata Senpai tiba-tiba, memecah keheningan. Mungkin dia mengira aku marah padanya. Aku tidak bisa menyalahkannya—maksudku, aku mungkin terlihat seperti akan melakukan pembunuhan ganda.

Aku menguatkan diri dan berdiri. “Aku telah membuat keputusan,” kataku sambil menatap matanya secara langsung. “Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku!”

“…Huh? Apa yang sedang kamu bicarakan?” tanyanya, dengan ekspresi bingung di wajahnya. Yah, kebingungannya masuk akal. Siapapun akan merasa aneh jika mereka diberitahu begitu tiba-tiba. Aku tidak bisa hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Aku harus mempertahankan diri melawan para pelacur itu. Aku telah mengerti. Aku sadar bahwa aku mencintainya, jadi aku akan bergabung dalam pertempuran untuk mendapatkan hatinya!

“Bukankah aku baru saja memberitahumu bahwa aku tidak menginginkan siapa pun kecuali kamu sebagai pacarku, Senpai?!”

“Ya, kamu bilang begitu. Memangnya kenapa dengan itu?”

“Jika aku ingin kehidupan sekolahku menyenangkan, kamu harus memasuki persamaan sebagai pacarku yang sebenarnya. Tidak ada jalan lain!” beritahuku padanya.

“Kurasa itu cara terbaik untuk memastikan tidak ada pria yang mendekatimu, karena semua orang membenci tampangku,” katanya dengan ekspresi suram.

Aku tahu itu hal yang salah jika aku tidak mengakui perasaanku secara langsung, tapi aku juga tidak ingin dia berpikir bahwa tidak ada orang yang akan memiliki perasaan padanya. Itu benar-benar bohong. Dia pria paling baik, paling dapat diandalkan, dan paling keren yang pernah aku temui!

“Aku tidak akan memberikanmu pada Hasaki-senpai! Aku ingin kamu menjadi pacarku selama-lamanya!” umumku. Aku tahu itu hanya akan membuatnya semakin bingung, karena secara teknis aku tidak bilang bahwa aku mencintainya, tapi…

Setelah jeda singkat, dia bertanya dengan suara terkejut, “Jadi, pada dasarnya kamu bilang bahwa kamu akan menikmati sisa waktumu di sekolah jika kita akhirnya resmi berpacaran? Dan kamu akan melakukan itu dengan membuatku jatuh cinta padamu?”

Aku mengangguk.

“Kalau begitu janganlah terlalu keras padaku,” tambahnya dengan senyum ringan.

Aku mengarahkan jari telunjukku padanya dan dengan bangga berseru, “Tidak mungkin—aku akan berusaha habis-habisan! Aku tidak akan menahan diri! Kamu lebih baik mempersiapkan diri, Senpai!”

Aku akan memberi tahunya tentang perasaanku yang sebenarnya suatu hari nanti; Aku janji. Namun hingga saat itu tiba, lebih baik kamu tidak jatuh cinta dengan gadis lain, Senpai. Aku akan berjuang untuk mendapatkan cintamu. Kau dengar itu, Hasaki-senpai? Ini perang brengsek!

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya