[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 2 Chapter 12 Bahasa Indonesia

 

Chapter 12: Pertandingan Memanas

 

Kami kembali ke tribun tempat Ike menunggu.

“Kalian berdua benar-benar lama. Apakah terjadi sesuatu?”

Touka tidak menjawab pertanyaannya. Sebaliknya, dia mengalihkan seluruh perhatiannya pada Hasaki, yang masih bertanding. Sepertinya dia sedang tidak mood untuk berbicara dengan siapa pun.

“Uh, kami ujung-ujungnya teralihkan,” jawabku. Tidak ingin terjadi momen canggung.

Dia terdiam sejenak, seolah-olah sedang berpikir, tapi kemudian seringai dengan cepat terbentuk di wajahnya. “Oh, aku mengerti sekarang. Oke, kedengarannya bagus.”

“Bisakah kalian berdua diam?” bisik Touka tiba-tiba. Suaranya cukup kecil, tapi Ike masih bisa mendengarnya. Aku hanya bisa membayangkan bahwa setelah memberitahuku masa lalunya dan momen curhat yang baru saja kami lakukan, Touka sedang tidak ingin berinteraksi dengannya sekarang. Ike bersiul, memberi tahuku bahwa dia sedang sensitif saat ini. Kami sebaiknya melakukan apa yang dia katakan.

Aku sebenarnya agak penasaran untuk melihat bagaimana pertandingan ini berjalan, karena kami akhirnya melewatkan sebagian besar pertandingannya. “Jadi bagaimana pertandingannya?” tanyaku pada Ike.

“Skor set saat ini adalah 5-3 sekarang. Kana yang servis di game ini—jika dia merebut poin dalam game ini, dia akan menang,” jawabnya.

Aku sadar bahwa dia kecolongan satu game saat aku pergi. Biar aku periksa skor game-nya sekarang… 30-0 untuk Hasaki. Kecepatan yang dia capai saat memukul bola tampak tidak seperti manusia dan mustahil untuk dibalas, tapi lawannya melakukannya dengan sangat mudah. Hasaki mengembalikannya lagi tanpa kesulitan. Bola terbang ke sisi lawannya, dan dia tak bisa meraihnya. Bagus. Satu poin lagi, dan poin game didapatkan, bukan?

“Double fault!”

Sayangnya, Hasaki mengacaukan beberapa servis setelah itu. Skor set sekarang adalah 5-4, dan skor game-nya adalah 40-30 untuk Hasaki. Kemenangan begitu dekat, namun sejauh itu. Jika lawannya mendapatkan poin lain, mereka akan memasuki deuce. Dan jika itu terjadi, maka Hasaki akan lebih unggul dalam game ini, karena dialah yang melakukan servis. Kalah dalam game ini berarti skor set akan menjadi 5-5. Jika Hasaki melakukan kesalahan, dia akan mendapat masalah serius—lawannya yang melakukan servis di game terakhir. Tapi itu hanya pemikiran secara objektif.

TL Note: Dauce = Situasi pada poin 40-40 dan pemain harus merebut dua poin berturut-turut untuk memenangkan sebuah game.

Pertandingan penentuan dimulai. Memperkuat dirinya sendiri, Kana memantulkan bola beberapa kali dengan raket dan men-servis. Dia cenderung memulai dengan backhand. Ini adalah servis pertamanya, tapi yang ini terasa lebih lambat dari biasanya. Ini kemungkinan besar disengaja olehnya—lawannya sudah beradaptasi dengan kecepatan biasanya, jadi ini akan membuat lawannya bingung. Dia mentransfer kekuatan dari pinggangnya langsung ke bola; meskipun lambat, ada banyak tenaga di baliknya. Kali ini, aku yakin bolanya tidak mungkin bisa dibalikkan, tapi entah bagaimana lawannya berhasil melakukannya. Lawannya memukulnya, dan bolanya mengarah ke tengah lapangan dekat net. Hasaki segera mengejar bola dengan seluruh tenaganya, tapi bola sudah memantul sekali. Sayangnya, dia tidak cukup cepat untuk mencapai bola itu sebelum menyentuh tanah.

“Game set and match! Pemenangnya adalah Hasaki!” umum wasit tiba-tiba.

Untungnya bagi Hasaki, bola tersebut akhirnya memantul ke daerah lawannya, bukan daerah miliknya. Gadis lainnya tidak terlihat sangat senang, namun tetap tenang. Sementara itu, Hasaki menuju ke kursinya untuk istirahat sejenak. Dia benar-benar tanpa ekspresi.

Itu nyaris saja sehingga aku sama sekali tidak yakin siapa yang akan menang. Aku sangat tegang.


“Apakah menurutmu Hasaki bisa bertahan?” tanyaku.

“Uh, entahlah, bung,” jawab Ike, jelas cemas.

Kami pergi untuk berbicara dengannya setelah pertandingan terakhirnya, tapi dia terlihat agak muram. “Maaf, teman-teman, tapi kupikir aku perlu waktu sendiri untuk memikirkan kembali strategiku. Aku tidak bisa menghabiskan banyak waktu dengan kalian,” katanya dan segera pergi. Kami bahkan tidak sampai satu menit pun untuk bicara dengannya.

“Bukan berarti khawatir padanya akan membantunya. Begitu dia bermain di lapangan, dia akan sendirian. Yang bisa kita lakukan adalah mendukungnya dan berharap yang terbaik,” kata Touka, nampaknya tenang. Cukup jelas dari komentar itu bahwa dia juga pernah bermain tenis, mengingat dia tahu bagaimana rasanya berada di lapangan. Jika itu sarannya, kurasa yang bisa kami lakukan hanyalah mendukungnya.

“Lagian, bagaimana pun perasaannya saat ini. Dari sekian banyak orang, tidak mungkin dia akan kalah melawan orang itu,” kata Touka sambil melihat ke bawah ke arah lapangan. Sepertinya Hasaki menghadapi gadis kuncir kuda yang Touka ajak bicara sebelumnya. Aku setuju—tampaknya dia sudah mengaku kalah, jadi ini seharusnya menjadi pertandingan yang mudah bagi Hasaki.

“Dia sudah dalam mood untuk kalah, jadi tidak mungkin Hasaki-senpai akan dikalahkan, bahkan jika dia tidak berada dalam kondisi puncaknya hari ini,” lanjut Touka, terdengar sangat bosan.

Yep, kemungkinan besar ini akan menjadi kemenangan yang sudah terjamin bagi Hasaki. Tapi semakin dia bilang begitu, semakin aku berpikir bahwa itu sebenarnya pertanda buruk. Mau tak mau aku berpikir ini bisa jadi pertandingan  yang Hasaki kacaukan.


“Game, set, and match! Dimenangkan oleh Hasaki!”

Yah, keraguanku dengan cepat menghilang. Dia memberikan banyak tekanan dalam permainannya, membuat pertandingan menjadi sangat sepihak. Seseorang tolong telepon polisi, karena aku baru saja menyaksikan pembantaian di lapangan itu. Sementara itu, gadis lainnya hampir menangis.

“Kana sepertinya mengalami performa yang tak menentu hari ini,” bisik Ike. Sepertinya dia masih mengkhawatirkannya.

“Sepertinya begitu, ya,” turutku.

Kami menuju pintu masuk lapangan untuk memeriksa Hasaki. Sekarang, dia terlihat sangat lelah.

“Selamat atas kemenangannya. Kau benar-benar mendominasinya,” kata Ike.

Kurasa dia tidak akan mengungkit masalah tabu itu? Maksudku, masalah penampilannya yang aneh. Aku hanya akan mengikuti Ike dan memberi selamat padanya. “Jika kau memenangkan pertandingan berikutnya, kau akan lolos ke semifinal, kan? Itu sangat menakjubkan,” kataku.

“Makasih, teman-teman, tapi itu tidak terlalu menakjubkan. Orang-orang mengharapkanku untuk memenangkan turnamen ini dari awal, jadi…,” suaranya mengecil. Orang lain akan menganggapnya sombong karena mengatakan itu, tapi apakah aku merasakan ada penyangkalan diri yang tercampur di dalam kata-katanya? Dia melanjutkan dengan senyum tipis, “…Maaf, rasanya tidak enak. Aku belum berada dalam kondisi prima, jadi aku perlu menenangkan diri dan memperoleh semangat secepat mungkin.”

Ike mengangguk dan menjawab, “Ya. Kami tidak ingin mengganggumu saat kau mencoba berkonsentrasi, jadi kami akan tetap di tribun dan mendukungmu.”

“Tapi apakah hanya itu yang bisa kita lakukan untuknya? Pasti ada yang bisa kami bantu, kan?” tambahku.

 “Tidak, tidak—bukan seperti itu. Mendapatkan semua dukungan dari kalian sangat membantuku. Maafkan aku… Aku meminta kalian datang jauh-jauh ke sini untuk menontonku bertanding, dan yang aku lakukan hanyalah merusak suasana,” katanya.

“Tidak, kamu hanya menganggap serius pertandingan ini. Keren sekali melihatmu seperti ini, Hasaki,” jawabku.

Dia melihat ke bawah dan melanjutkan, “Aku akan melakukan yang terbaik di pertandingan berikutnya sehingga kamu akan terus berpikir seperti itu tentangku.” Dengan itu, dia segera kembali ke lapangan. Kupikir dia sudah bermain sangat baik, tapi kurasa dia menganggap dirinya karatan saat ini.

“Aku tidak benar-benar tahu bagaimana menjelaskannya, tapi tampaknya dia sedang banyak pikiran yang mencegahnya bermain dengan benar,” tambah Touka tiba-tiba saat dia melihat Hasaki pergi. Ini pertama kalinya dia menimpali.

“Kurasa begitu,” jawab Ike.

Dia benar—Hasaki tampak tegang dalam setiap pertandingan yang dia mainkan sejauh ini. Di satu sisi, itu keren, tapi aku lebih suka melihatnya bermain saat dia tenang dan terkendali.


Sayangnya, sepertinya aku tidak akan bisa melihatnya dalam performa puncaknya hari ini.

“Game, set, and match! Pemenangnya adalah Arisumi!”

Hasaki bahkan tidak berhasil memenangkan satu pun game. Skornya berakhir 6-0. Dia terengah-engah dengan tangan di lututnya, jelas kelelahan. Aku tidak dapat melihat wajahnya, tapi aku yakin dia tidak dapat menerima kekalahan ini dengan baik. Di sisi lain, gadis yang baru saja dia hadapi—orang yang memiliki peringkat lebih rendah—terlihat sangat gembira. Dia sedang dikerumuni oleh orang-orang yang meneriakkan namanya. Pada akhirnya, Hasaki kalah di babak perempat final. Dia dipandang sebagai favorit yang akan menyapu habis kompetisi.

“Hahaha… Maafkan aku. Pada akhirnya, aku benar-benar mengacaukannya,” kata Hasaki sambil meninggalkan lapangan. Dia sangat sedih dan sepertinya sedang tidak mood untuk melakukan apa pun. Aku paham perasaannya—kekalahan itu akan menghancurkan semangat siapa pun. Meski dia masih tersenyum, seolah menenangkan kami sambil menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

“Ini adalah pertama kalinya aku melihat pertandingan tenis yang sebenarnya, tapi itu sebenarnya cukup menarik. Semoga kamu tidak keberatan jika aku datang untuk melihatmu bertanding lagi,” kataku. Dia mungkin kalah, tapi senang melihatnya bermain seperti itu. Mudah-mudahan dia menyadari bahwa aku terkesan dengan apa yang aku lihat.

“Mhm. Aku akan pastikan untuk bermain dengan cara yang lebih baik di lain waktu untuk menebus apa yang terjadi hari ini,” jawabnya. Sepertinya dia kurang mengerti maksudku.

“Apa rencanamu untuk sisa hari ini, Kana?” tanya Ike.

Dia mengarahkan pandangannya ke bawah dan berbisik, “Aku akan menenangkan diri dan menonton sisa pertandingan. Aku tahu ini agak aneh untuk meminta hal ini, tapi bisakah kalian memberiku waktu sendirian untuk sisa hari ini?”

“Oke, kalau begitu kami akan pulang. Hati-hati juga dalam perjalanan pulang,” kata Ike.

Tunggu, kita benar-benar akan meninggalkannya sendirian? Benarkah?

“Kedengarannya bagus. Terima kasih sudah datang untuk menghiburku hari ini, Tomoki- kun. Dan kamu juga, Touka-chan,” jawabnya.

“Bagaimana denganku?” timbrung Ike.

“Oh, maaf soal itu! Bagaimana bisa aku melupakanmu, Haruma? Makasih!”

“Kamu tidak terdengar sangat berterima kasih, karena melupakanku dan sebagainya!” candanya dengan mengangkat bahu berlebihan, membuatnya tersenyum seperti biasa. “Ngomong-ngomong, kami akan pulang.”

“Mhm. Da-dah!” kata Hasaki sambil melambai pada kami.

Kami bertiga menuju stasiun kereta, tapi kami tidak banyak bicara di jalan. Aku yakin semua orang memikirkan Hasaki dan performanya hari ini. Setiap kali aku mengingat ekspresi muramnya saat dia meninggalkan lapangan, hal itu akhirnya merusak suasana hatiku sendiri.

“Hei, teman-teman—apakah tidak masalah kita meninggalkannya sendirian seperti itu?” tanyaku pada Ike dan Touka.

Mereka berdua, yang berjalan di depanku, berhenti dan berbalik. Mungkin aku yang salah di sini. Aku tidak tahu bagaimana rasanya kalah seperti yang baru saja dia alami, tapi menurutku menemani dia akan lebih baik untuknya. Mari kita lihat apa yang akan mereka katakan.

“Jika dia ingin dibiarkan sendiri, kupikir itulah yang sebaiknya kita lakukan. Ini bukan pertama kalinya dia meminta hal seperti itu,” jelas Ike.

“Ya, aku pasti ingin sendirian jika aku kalah dalam pertandingan seperti dirinya,” tambah Touka.

“Begitu ya. Kalau begitu ya, kurasa membiarkannya sendirian adalah pilihan terbaik.”

“Namun, aku tidak berpikir itu adalah tindakan yang tepat. Aku ingin tetap disana dan menemaninya—hanya kami berdua, tapi yang terpenting, kita harus menghormati keinginannya terlebih dahulu,” kata Ike. Touka mengangguk setuju. Keduanya memiliki pengalaman bermain olahraga sebelumnya, jadi jika itu pendapat mereka, maka aku akan menghormatinya.

“Oke. Maaf telah menanyakan sesuatu yang sangat aneh. Ngomong-ngomong, kita harus berpisah di sini. Aku harus mencari toilet dulu. Aku akan langsung pulang setelah itu,” kataku.

Ike dan Touka tampak terkejut. Mereka saling memandang dengan heran dan kemudian tersenyum. Mereka mungkin menebak niatku yang sebenarnya untuk kembali dan pergi menemui Hasaki. Setidaknya aku harus mencobanya, meski mereka bilang itu bukan ide terbaik.

“Oke. Sampai jumpa nanti,” kata Ike.

“Aku akan mengirimimu chat nanti, jadi sebaiknya kau membalasnya. Mengerti, Senpai?” tuntut Touka.

Aku mengangguk dan berbalik. Aku tahu aku mungkin akan ikut campur dalam hal yang tidak seharusnya. Aku tahu bahwa aku sebaiknya pulang sekarang. Aku tahu itu, tapi dia temanku. Pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk menghiburnya. Mungkin aku tidak dapat mengatakan apa pun untuk membuatnya merasa lebih baik, tapi aku tahu bahwa ketika seseorang mengalami masa-masa sulit, hal terbaik yang harus dilakukan adalah tetap berada di sisinya.

Aku bergegas kembali ke taman atletik, berharap bisa melihatnya di sana sekali lagi.

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya