[LN] Yuujin-chara no Ore ga Motemakuru Wakenaidarou? Volume 1 Chapter 17 Bahasa Indonesia

 

Chapter 17: Perkelahian

 

“Hei…” kataku. Kai tidak terlalu gentar, dan dia tetap diam. Akhirnya, dia angkat bicara.

“Aku tidak berencana duduk di sini dan berbicara denganmu. Aku hanya memiliki satu hal yang perlu aku perjelas,” katanya.

Aku cukup yakin aku sudah tahu apa yang akan dia katakan, tapi aku akan diam dan mendengarkannya. Dia sudah terlihat cukup marah.

“Apa itu?”

“Berjanjilah padaku kau akan menjauhi Touka.”

Sudah kuduga.

“Kenapa? Apa kau merasa terganggu jika kami berpacaran? Apa kau menyukainya atau semacamnya?”

Aku tidak akan mengalah sedikit pun terhadap orang ini. Jika aku melakukannya, itu akan membuat seluruh situasi ini menjadi lebih buruk.

Dia menggigit bibirnya dan menjawab, “Aku sudah bilang kan—aku sudah melihat apa yang mampu kau lakukan. Aku melihat apa yang kau lakukan tahun lalu.”

“Oh, benar. Itu ya.”

“Saat itu, yang bisa aku lakukan hanyalah diam dan menonton. Ketakutan menguasaiku, dan aku benar-benar membeku di tempat. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa melihatmu menyakiti mereka,” katanya, suaranya diwarnai dengan penyesalan. “Aku tidak dapat membantu mereka, meskipun aku ingin. Aku bahkan tidak tahu nama mereka. Wajah mereka, yang didera rasa sakit dan penderitaan, masih menghantui di dalam mimpiku. Itu mengingatkanku betapa tidak berdaya dan pengecutnya diriku pada hari itu. Itu sama, bahkan sekarang—aku masih takut padamu.”

Dia mengepalkan tinjunya, tapi aku menyadari bahwa, jika aku melihatnya baik-baik, aku bisa melihatnya sedikit gemetaran. Dia mencoba yang terbaik untuk menyembunyikannya. Jadi pada akhirnya dia takut padaku.

“Tapi tetap saja! Bahkan jika aku takut, bahkan jika aku sama sekali tidak berdaya melawanmu, aku tidak bisa membiarkanmu lebih lama lagi! Aku tidak ingin kau mencuri senyum polos Touka! Aku tidak ingin merasa seperti orang bodoh lagi!”

Ya ampum, orang ini jelas keras kepala dan cepat mengambil kesimpulan. Sepertinya dia benar-benar memalangi orang ketika dia meyakinkan dirinya sendiri akan sesuatu, dan akibatnya, dia akhirnya benar-benar salah paham tentang situasinya, seperti sekarang.

Tapi mengingat dia melihat apa yang aku lakukan setahun yang lalu, aku tidak terkejut bahwa dia sangat menentangku. Dari sudut pandangnya, aku adalah “orang jahat”, dan “orang baik” mencoba menghentikanku. Pada kenyataannya, situasi tersebut bahkan tidak mendekati itu.

Itu mungkin pandangannya tentang situasi itu. Yah, aku juga ingat hari itu. Aku ingat dipaksa ke dalam situasi itu, dan aku ingat telah mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan peduli tentang apa yang orang lain pikirkan tentangku karena itu.

…Pada akhirnya, dia hanya ingin membuai egonya sendiri. Dia pikir dia memiliki keunggulan moral di sini karena dia perlu memperbaiki apa yang salah.

“Sebenarnya aku hanya ingin tahu tentang satu hal,” kataku saat Kai mengambil satu langkah maju, “Kenapa kau datang ke sini sendirian, lagi?”

Aku mengira dia akan membawa teman. Ketika aku sampai di atap, aku mencoba mencari orang lain, tapi aku tidak benar-benar melihat orang lain. Dia sendirian. Jika aku sangat berbahaya, mengapa dia tidak mengajak orang lain untuk membantunya? Aku tidak mengerti.

“Aku sudah tahu bahwa tidak peduli berapa banyak orang yang aku bawa untuk membantu—kau akan menyapu habis mereka pada akhirnya. Aku hanya akan membuat orang lain menderita tanpa alasan. Aku sendirian karena aku tidak peduli tentang diriku sendiri. Jika kau terus menutup telinga terhadap permintaanku untuk kau menjauhi Touka, maka aku akan mempertaruhkan segalanya—bahkan nyawaku sendiri—untuk mencoba dan menghentikanmu.”

Wow, dia tampaknya cukup bertekad dalam keyakinannya sendiri. Bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri jika ini berubah menjadi pertengkaran, ya? Tidak bisakah dia, dan perasaan benar sendirinya yang menyebalkan itu mengikuti jalan keadilan di tempat lain dan berhenti menggangguku? Aku berharap aku bisa mengatakan itu padanya, tapi itu hanya akan menambah bensin ke dalam api.

“Aku mengerti.”

“Jadi kau mengerti, ya? Kalau begitu, berjanjilah padaku bahwa kau akan menjauhi Touka!”

Aku tahu dia sedang stres berat saat ini, menilai dari caranya berteriak.

“Aku tidak mau. Aku pacarnya, jadi, yeah, tidak.”

Emosinya lenyap begitu aku mengatakan itu.

“Aku tahu sejak awal bahwa dia tidak menyukaimu, tahu.”

Dia tajam untuk bisa menangkap ketidaktulusan dari hubungan kami.

“Kau hanya memanfaatkan dia. Aku yakin kau hanya membuatnya mengatakan apa yang ingin kau dengar dan memaksanya untuk berpacaran denganmu. Dia menderita, dan dia tidak bisa melarikan diri.”

Aku berharap aku bisa mengatakan kepadanya betapa salahnya dia di bagian itu, tapi sepertinya dia tidak akan mendengarkanku atau percaya apa pun yang akan aku katakan pada saat ini… jadi masa bodo lah.

Dia mendidih sekarang. Aku mendengar suara orang lain menaiki tangga menuju atap. Kai juga mendengarnya, dan dia menghadap ke pintu, jadi dia bisa melihat orang itu datang. Dia menjadi bingung dan dengan marah berteriak, “Tidak mungkin… Beraninya kau!”

Dia terlihat sangat putus asa sekarang karena orang lain akan datang. Keberuntungan yang buruk, bung.

Suara langkah kaki itu berhenti di depan pintu, dan pintu perlahan terbuka dengan suara berderit…

“Ahhh, disana kau rupanya, Senpai! Aku telah mencarimu kemana-mana, dan…! Tunggu apa?”

Itu Touka. Dia melihatku, tapi langsung memperhatikan Kai juga. Bisa dimaklumi, dia terlihat khawatir.

Waktu berhenti untuk kami bertiga, dan tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun untuk sesaat. Kai yang pertama memecah keheningan.

“…Jadi, kau juga melibatkan Touka dalam hal ini, ya? Dasar PENGECUUUT!” Dia berteriak, mencurahkan semua amarah dan kebencian yang dia simpan di dalam dirinya. Seperti dia melepaskan lautan api itu sendiri.

Touka terkejut dengan responnya.

Jadi sekarang dia mengira aku membawanya ke sini sebagai sandera atau semacamnya? Ya ampun, aku tahu ini tidak akan berakhir dengan damai.

Sepertinya tidak ada pilihan lain sekarang selain berkelahi; Aku menyerah untuk mencoba berunding dengannya.

Aku mengepalkan tangan, siap berkelahi.

“Apa yang sedang terjadi?” tanya Touka, ketakutan.

“Negosiasi gagal.”

“Negosiasi? Ini bukan waktunya untuk bercanda, Senpai. Kau tidak bisa bernegosiasi untuk menyelamatkan hidupmu, tidak dengan betapa introvertnya dirimu.”

…Itu menyakitkan. Tapi aku tidak punya waktu untuk fokus padanya—Kai adalah urusan utamaku di sini.

“Jadi ini jawabanmu, ya?! Kau tidak akan pernah membiarkan dia pergi!”

Kai, serigala berbulu domba brengsek, akhirnya mengungkapkan dirinya yang sebenarnya.

“Huh? Serius, bung; apa masalahmu?” tanya Touka. Terlepas dari tanggapannya, dia masih ketakutan, dan dia mendekatiku perlahan sambil melirik Kai dengan bingung.

“Aku tidak mengerti. Ada apa dengan orang ini?” dia berbisik padaku.

Kupikir aku tidak punya waktu untuk menjelaskan seluruh situasi ini kepadanya sekarang. Sebaliknya, aku perlu memberi tahu Kai sesuatu.

“Mengingat bahwa aku‘sangat introvert,’ aku tidak tahu bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Yang aku tahu adalah menjelaskan situasi tersebut kepadamu sama halnya seperti berbicara dengan batu. Tidak peduli bagaimana pun itu, karena yang akan kau lakukan hanyalah memutarbalikkan kata-kataku seperti biasa. Kau tidak akan pernah mengerti bahwa Kau-lah yang salah.”

Kai menatapku dengan curiga.

“Itulah sebabnya aku tidak terlalu peduli dengan apa yang kau pikirkan tentangku. Maaf, tapi apa pun yang kau katakan, aku tidak berencana untuk meninggalkan Touka.”

Aku tahu caraku menangani suatu hal bukanlah yang terbaik—aku tidak pernah benar-benar mengharapkan orang lain untuk memahamiku, jadi aku menyerah untuk mencoba melakukannya dan menjaga jarak… tapi kurasa aku bertele-tele. Aku tidak khawatir tentang orang yang mencoba menjebakku dengan cara tertentu, karena sekarang aku tahu ada orang yang akan mencoba memahamiku. Ike, Makiri-sensei, Tanaka-senpai, Suzuki, Asakura, dan Touka telah menunjukkan itu padaku.

Mereka telah menunjukkan kebenaran itu padaku—bahwa memang ada orang di luar sana yang memperhatikanku, yang peduli padaku. Meskipun ada beberapa orang yang takut padaku, yang menjadikanku sebagai ‘orang jahat’, aku tahu bahwa ada orang lain yang mendukungku, dan aku ingin menghargai mereka.

Mata Kai terbelalak oleh tanggapanku.

“…Huh?” kata Touka, bingung dengan situasinya. Yah, itu jelas—dia tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi.

Aku tidak bisa menahan senyum. Aku ingin melindungi hubunganku dengan Touka, yang selalu memperhatikanku dan peduli padaku. Aku menghadap ke arah Kai sekali lagi.

“Touka adalah pacarku.”

Hubungan kami mungkin palsu, tapi itu tetaplah hubungan yang secara pribadi aku hargai. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain kepadaku, aku tidak benar-benar berencana untuk melepaskannya.

“Kau… dasar sampah!” Kai berteriak dengan marah.

Kupikir Touka akan ketakutan lagi karena teriakannya yang kuat, tapi dia malah terlihat malu.

“A-Apa yang sebenarnya kau katakan?!” katanya. Pipinya memerah muda cerah, dan dia mengalihkan pandangannya. Dia sedang berbicara denganku, bukan Kai… Kurasa Kai tidak terlalu menjadi perhatiannya saat ini.

…Tolong berhentilah terlihat malu, Touka. Kau juga akan membuatku tersipu.

“Menjauh darinya, Touka. Jangan khawatir, aku akan datang menyelamatkanmu sekarang.”

“Huh? Oh, maaf, bung… tapi, aku benar-benar pacaran dengannya. Kau tahu, seriusan.” jawabnya, tatapannya sedingin es.

Kai terlihat terlalu percaya diri sekarang. Aku ingin tahu apakah dia memiliki rencana rahasia?

“Kau orang yang baik, Touka, tapi aku sudah membuat keputusan.”

Dia mengeluarkan pisau lipat dan berteriak, “Tomoki Yuuji, aku serius di sini! Bersiaplah!”

Panjang pisaunya sekitar 10 cm. Sepertinya itu satu-satunya senjata yang dia miliki.

“Hei! Apa sih yang sebenarnya kau pikirkan?! Itu berbahaya!”

“Aku akan menyelamatkanmu! Aku akan membebaskanmu—di sini, sekarang juga. Aku tidak akan membunuhnya, itu jelas, tapi aku tidak berjanji untuk tidak melukainya.”

Niatnya jelas-jelas berbahaya sekarang. Dia mengambil pisaunya, bersiap untuk menyerangku. Tangannya gemetar… Ini mungkin pertama kalinya dia mengacungkan pisau kepada seseorang. Tetap saja, dia tampaknya sangat bertekad untuk melukaiku dengan itu.

“Lari, Senpai. Dia sudah gila saat ini!” teriak Touka, takut. Dia mencoba meraih tanganku dan menarikku keluar dari atap.

“Lepaskan tanganmu darinyaaaaaa!” Kai mengaum.

Uh, Kai… Aku harus memperingatinya bahwa Touka-lah yang memegang tanganku, bukan sebaliknya. Tapi kurasa, sekarang bukan waktunya untuk bercanda.

Dia membuat langkah pertama dan bergegas ke arahku. Sepertinya tidak ada jalan untuk kembali sekarang.

“Ini akan berbahaya, jadi mundurlah.”

Aku melepaskan tangan Touka dan membuatnya menjauh dariku agar dia tidak terluka.

“Senpai?!” teriaknya.

Aku senang bahwa dia mengkhawatirkanku.

Aku menghadapi Kai sekarang. Dia terus mendekatiku. Dia dengan cepat mencapai jarak dekat dan mulai mengayunkan pisau ke arahku. Dia siap untuk melukaiku—jika aku tidak melakukan apa pun untuk menangkis serangan itu, alhasil dia pasti akan menusukku. Aku ingin menghindari Touka dari menyaksikan adegan seperti itu, jika memungkinkan.

Jadi menurutku pertahanan terbaik adalah menyerang. Aku mengayunkan tanganku pada tangan yang memegang pisau itu. Aku berhasil memukulnya, dan dia mundur, berteriak, dan menjatuhkan pisaunya kesakitan.

Dalam celah ini, aku mencoba memberinya kesempatan lagi.

“Aku menghormatimu, Kai.”

Dia menatapku, bingung.

“Meskipun amarahmu tidak bisa dibenarkan, dan kau mencoba untuk mendekati Touka, kau memiliki nyali. Kau tetap datang ke sini sendirian dan berhasil mengatasi ketakutanmu sehingga kau bisa menghadapiku secara langsung. Tidak ada orang lain yang pernah mencoba melakukan itu sebelumnya. Kupikir itu cukup luar biasa.”

“Apa sih… yang sebenarnya kau bicarakan?”

“Jangan bilang kau sudah selesai hanya karena aku membuatmu menjatuhkan pisaumu.”

Ini belum berakhir. Aku tidak tahu mengapa dia terlihat begitu terkejut tentang ini.

“Tunjukkan semua kemampuanmu, Kai Rekka!”

“Ugh! AAAH!”

Dia berteriak dalam amarah dan mengepalkan tinjunya ke arahku. Dia tidak menahan apapun; jika aku menerima pukulan itu, aku akan terluka parah. Tapi serangannya lambat, jadi akan mudah bagiku untuk menghindar.

Namun…

Duk!

Aku telah memutuskan untuk menerima pukulannya secara langsung, dan kepalaku berdenging karena itu. Itu adalah pukulan telak—pukulan terkuatnya, dipenuhi dengan rasa moralitas dan keberaniannya.

Aku mencoba menahan rasa sakit, dan, setelah mengerang, aku mempersiapkan tinjuku. Giliranku untuk menyerang.

Darahku mendidih. Sudah lama sejak aku berkelahi satu lawan satu. Aku sangat bersemangat dan siap untuk melakukannya.

“Tidak buruk, bung. Itu menyakitkan. Aku tidak akan menahan diri sekarang.”

Aku meraih lengannya dan menariknya ke arahku. Dia tersandung, kehilangan keseimbangan, dan aku mengambil kesempatan ini untuk menyerangnya.

“Gunakan tinjumu sejak awal! Jangan mengandalkan senjata pengecut!” teriakku saat aku memukulnya.

Dia terlihat bingung, tidak bisa bereaksi terhadap begitu banyak hal yang terjadi sekaligus. Aku menghantamkan tinjuku ke wajahnya, dan dia terbang mundur dan menghantam tanah. Dia tidak bergerak, dan sepertinya dia tidak akan berdiri dalam waktu dekat.

…Ada gelembung buih di sekitar mulutnya. Sepertinya dia pingsan.


Aku menatap Kai, yang terbaring tak sadarkan diri di tanah.

Aku tidak berpikir aku telah melukai bagian vital… hanya wajahnya. Tetap saja, sepertinya dia tidak akan bangun dalam waktu dekat. Kurasa aku akan membiarkan dia untuk saat ini.

Aku akhirnya menurunkan penjagaanku. Saat aku melakukannya, rasa sakit dari pukulan Kai sebelumnya menghantamku dengan kekuatan penuh seperti truk.

“Aduh…”

Itu adalah karya tangan yang mengesankan. Ini sangat menyakitkan.

“A-Apa kamu baik-baik saja, Senpai?!” teriak Touka saat dia berlari ke arahku.

“Aku baik-baik saja. Ini bukan masalah besar.”

“Ini masalah besar, Senpai! Hidungmu berdarah!”

Dia mengambil saputangan dari sakunya dan mencoba untuk menyeka darah dari hidungku, tapi aku tidak membiarkan dia melakukannya. Aku mengambil itu dari tangannya dan membersihkan wajahku, lalu aku mendorong sapu tangan itu sedikit ke dalam lubang hidungku untuk menghentikan darah segar mengalir keluar.

“Aku baik-baik saja. Terima kasih.”

“Jangan ‘terima kasih’ padaku! Apa apaan itu?” dia berseru sambil melihat ke bawah. Dia sepertinya benar-benar mengkhawatirkanku. “Tidak adakah yang ingin kau sampaikan padaku, Senpai?” tanyanya.

Haruskah ada yang perlu kusampaikan? Tidak ada yang terlintas dalam pikiran saat ini… Oh benar, itu.

“Kau benar tentang sosok istri itu. Maksudku, kau bahkan memiliki sapu tangan dan sebagainya.”

Dia tampak sedih dengan tanggapanku.

“Apa kau serius sekarang?” tanyanya.

“Tidak, hanya bercanda.”

Apakah dia mengharapkan aku mengatakan sesuatu yang lain? Jika itu masalahnya, aku tidak tahu apa yang dia maksud.

“Alasan dia menjadi benar-benar gila barusan adalah karena aku, kan? Jika aku tidak setuju untuk melakukan semua hubungan palsu ini denganmu, ini tidak akan pernah terjadi.”

“Tidak, tidak juga. Dia sudah berpikiran bahwa aku semacam ancaman dan orang yang berbahaya, jadi ini pasti akan terjadi cepat atau lambat.”

“Kau benar-benar orang yang baik, Senpai. Kau bisa mencoba untuk membicarakan beberapa alasan kepadanya sebelum itu meningkat menjadi sesuatu seperti ini, bukan? Pasti ada sesuatu yang bisa kau lakukan.”

Aku menggelengkan kepala.

“Tidak. Tidak ada kesempatan untuk membicarakannya. Aku memiliki kebiasaan buruk di mana aku menyerah untuk berbicara dan membiarkan tinjuku yang berbicara. Pada akhirnya, itu hanya memperburuk situasiku—orang-orang memiliki bukti bahwa aku adalah kriminal kejam seperti yang mereka tetapkan padaku. Bukankah kau juga takut, melihatku berkelahi?”

“Dulunya.”

Aku hampir tidak bisa mendengar apa yang dia katakan. Aku tidak akan menyalahkannya jika dia membatalkan kesepakatan kami sekarang, mengingat apa yang baru saja dilihatnya.

“Kenapa kau tidak lari saja ketika kau melihat pisau itu? Kenapa kau memutuskan untuk menerima pukulannya secara langsung daripada dengan mudah menghindarinya? Aku tahu kau bisa! Aku tidak ingin melihatmu terluka, Senpai. Bagaimana jika dia menjatuhkanmu, Senpai? Tidak akan ada cara untuk memulihkan keadaan tersebut jika itu terjadi. Aku benar-benar takut!!” teriaknya.

Kupikir itu hanya luapan kecil, tapi dia melanjutkan, “Dan apa maksudmu, ‘kau membiarkan tinjumu yang berbicara’?! Kau menjadi sekuat ini jadi kau bisa membela diri dari orang-orang yang menganggapmu menakutkan dan menyerangmu, benarkan, Senpai?! Aku tahu tidak mungkin kau yang menyebabkan perkelahian itu sendiri! Kenapa kau repot-repot berusaha keras untuk bersimpati kepada orang-orang seperti itu sejak awal?! Kau tidak perlu berusaha terlalu keras, oke?! Bajingan-bajingan itulah yang harus disalahkan—jika mereka benar-benar memiliki kesopanan untuk memberimu kesempatan, mereka tidak akan membuat diri mereka sendiri masuk ke dalam kekacauan semacam ini! Mengapa kau selalu menyalahkan diri sendiri? Aku benci itu! Ini benar-benar menyedihkan!”

Air mata mulai mengalir di sudut matanya.

“Kau tetap bersamaku bahkan setelah kau mengetahui alasan sebenarnya di balik hubungan kita! Kau menyemangatiku untuk berusaha lagi, dan aku bahkan memutuskan untuk melakukan yang terbaik karena dirimu! Kau pria yang baik dan penuh perhatian, kenapa ini…!”

Oh, jadi ini salahku. Aku akhirnya menyadari apa yang dia maksud, dan dia benar. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari itu sebelumnya?

“Cukup, Touka.”

Aku menepuk kepalanya dan mengacak-acak rambutnya.

“Terima kasih.”

Dia terdiam, dan, setelah beberapa saat, dia meraih tanganku dan melepaskannya dari kepalanya. Aku siap untuk menarik tanganku, tapi dia tidak melepaskannya.

“Kau selalu menggunakan tanganmu untuk melindungi diri sendiri dan orang lain. Tanganmu hangat dan lembut. Ingat—kaulah pria baiknya, bukan mereka,” katanya, pipinya memerah. Dia jelas merasa malu dengan sedikit culas yang baru saja dia berikan padaku, tapi dia berusaha sekuat tenaga untuk menyemangatiku.

“Oke.”

Begitu dia mendengar jawabanku, dia tersenyum… tapi itu hanya berlangsung sebentar. Dia lalu melotot dengan jijik pada Kai.

“Si dungu sialan ini pada akhirnya akan mengulanginya lagi. Kau sadar itu, kan? Kita harus menelanjangi dia dan mengambil beberapa foto telanjangnya untuk digunakan sebagai ancaman. Kau tahu, kalau-kalau dia ingin melakukan sesuatu yang buruk padamu lagi.”

Sial, Touka, kau mengatakan ide yang cukup menakutkan.

“Tidak perlu. Lain kali, aku akan mencoba untuk lebih sabar dan membicarakannya.”

“Membicarakannya? Oke, tapi aku perlu mengatakan sesuatu.”

“Huh?”

Dia berjalan ke arah Kai. Apa yang dia rencanakan? Kai sedang tidak sangat menarik untuk diajak bicara, karena pingsan dan sebagainya.

“Augh!”

Dia menendang perutnya. Sial, ada apa dengannya? Aku tidak pernah berpikir dia akan bertindak sejauh itu.

“A-Apa…? Ugh… wajahku sakit… ”

Kai bangun menutupi wajah dengan tangannya, tapi Touka dengan cepat berhasil menangkapnya dan mengangkat kerahnya.

“Kau tidak pernah repot-repot mau mendengarkan perkataanku! Kau maju dan memutuskan sendiri bahwa Senpai adalah seorang kriminal, dan itu semua keinginanmu untuk bermain pahlawan-pahlawanan dan berkelahi dengannya. Lalu bagaimana hasilnya? Kau bukan tandingannya, meski menggunkan pisau! Dia menerima pukulanmu karena dia merasa kasihan padamu, dan kau dikalahkan hanya dengan satu pukulan. Sial, ya ampun, kau benar-benar pahlawan! Kau yang paling keren, huh?” katanya, suaranya benar-benar penuh racun.

Kai tampaknya benar-benar takut padanya sekarang, tapi dia melanjutkan, “Kau hanya menilai orang dari penampilan mereka. Itulah mengapa kau akhirnya menciptakan situasi ini. Ya, KAU. Ngomong-ngomong, kaulah yang membuat kekacauan ini, bukan senpai. Yuuji-senpai adalah pria yang baik, jadi dia mungkin akan memaafkanmu. Tapi aku… aku tidak akan pernah memaafkanmu untuk ini.”

Dia menarik napas dalam-dalam dan berteriak, “Jangan kau… COBA-COBA meletakkan tanganmu pada pacarku lagi!”

Kai mengangguk tanpa berkata-kata, dan dia melepaskan kerah bajunya dan melemparkannya ke tanah. Dia berlari ke arahku dan berbisik, “Itu serius, Senpai.”

Dia bahkan tidak menatapku saat dia berbicara. Sial, dia pasti malu dengan apa yang baru saja dia katakan.

“Oke, mengerti.”

Dia melontarkan beberapa pukulan main-main dan berseru, “Apa maksudmu, ‘mengerti’? Huh? Dasar bodoh!” dia mungkin mencoba menyembunyikan rasa malunya, tapi pukulan kecilnya menggelitikku lebih dari apapun. Ayolah, Touka.

Aku melihat Kai, tapi dia menatap kosong ke langit. Dia terlihat sangat terkejut. Yah, setelah apa yang baru saja dikatakan Touka, aku mungkin harus meninggalkannya sendirian. Sebaiknya kami pergi saja.

“Oke, ayo pulang.”

“Ya,” jawab Touka.

Kami meninggalkan atap, tapi saat kami menuruni tangga, aku ingat sesuatu.

“Oh, benar—ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, Touka.”

“Huh?!” seru Touka. Dia berhenti di tengah jalan dan menatapku dengan cemas.

Ini sebenarnya bukan masalah besar, tapi aku masih merasa gugup memikirkannya. Oh yeah, terserahlah—aku akan mengatakannya langsung.

“Terima kasih telah membuat bento itu. Itu lezat.”

Mulutnya menganga karena terkejut, dan wajahnya dengan cepat berubah menjadi merah cerah. Dia meraih ujung kemejaku dan berkata, “K-Kau ingin berterima kasih padaku sekarang?!”

“Yah, aku baru ingat bahwa aku tidak pernah memberi tahumu betapa enaknya itu. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?”

“Hmph! Dasar bodoh! Bodooooh!” jawabnya, menggembungkan pipinya. Tapi, dia segera mengubah nadanya—dia segera tersenyum, menatapku dengan mata yang seperti anak anjing, dan berkata, “Kau lucu sekali, Senpai.”

Kami saling memandang, dan pipinya menjadi lebih merah. Astaga, dia terlihat seperti tomat.

“Aku akan membuatkannya untukmu lagi kapan-kapan,” katanya.

“Tentu. Aku tak sabar untuk itu.”

“Tapi lain kali, mari kita makan bersama.”

“Kedengarannya bagus.”

Dia tersenyum padaku, dan suasana hatiku meningkat begitu saja.

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya