[LN] Uchinukareta Senjou wa, Soko de Kieteiro Volume 2 Chapter 7 Bahasa Indonesia
7. MELAWAN DEADRIM
Air dengan cepat berlindung di hutan lebat, sementara Deadrim tanpa henti menyerang mereka. Melihat ke belakang, Rain melihat Exelia putih mendekat di belakang mereka. Isuna duduk di kursi operator dan mengemudikan unit asing itu dengan terampil. Dia memastikan agar Rain dan Air tidak mendapatkan terlalu banyak keuntungan.
Deadrim berkata Isuna masih punya lebih banyak waktu, tapi luka Isuna tetaplah terlihat agak dalam. Namun, itu tidak memengaruhi keterampilan mengemudinya sedikit pun. Rekan Deadrim, Isuna Cole, sangat ahli. Dia pernah menjelaskan dirinya sebagai orang biasa, tapi dalam keadaan normal, dia akan menjadi operator militer teratas. Dia telah membangun banyak pengalaman sejak Deadrim meninggal, yang memberinya keterampilan yang secara sempurna melengkapi kemampuan Deadrim dengan Peluru Sihir.
Rain dan Air, di sisi lain, tidak memiliki sarana untuk menyerang balik. Rain masih mendapati dirinya tidak dapat memegang senapannya dengan mantap, sementara Air baru saja menghindari enam unit musuh. Pengemudiannya semakin tidak stabil dari menit ke menit. Lawan mereka adalah Hantu yang kuat, yang membuat mereka kesulitan.
“Ah…! Rain! Pegangan yang erat!” teriak Air tepat saat pepohonan besar menghujani di depan mereka. Dia dengan cepat menginjak rem untuk mencegah Exelia mereka bertabrakan dengan pepohonan itu, tapi sentakannya hampir membuat mereka terguling ke samping.
Ugh…!
Rain memaksa anggota tubuhnya untuk bergerak. Lukanya berdenyut tajam, tapi dia bertahan dan berhasil memperbaiki postur tubuhnya saat mereka berakselerasi lagi.
Benturan pohon yang jatuh ke tanah membuat udara bergetar. Ukuran pohon-pohon itu menunjukkan beratnya ribuan pon, jadi mereka tahu jika mereka tidak menghindar, Exelia mereka akan hancur seperti karton.
Sayangnya, serangan musuh tidak berhenti sampai di situ. Lebih banyak pohon menghujani mereka tanpa henti, menghalangi jalan mereka. Mereka bahkan merasa tidak perlu berbalik dan memeriksa sumbernya.
Deadrim!
Dia jelas menggunakan Peluru Crystalline untuk menggeser posisi pepohonan di hutan, berharap bisa memblokir Rain dan Air. Kekuatannya belum menunjukkan nilainya yang sebenarnya sebelumnya, ketika mereka berada di hamparan salju yang luas dan kosong, tapi hutan yang dipenuhi rintangan sangat cocok untuknya. Apa pun dengan massa besar berfungsi sebagai senjatanya.
Air berhasil menghindari serangan ganasnya, tapi Rain tidak dapat membayangkan bagaimana ini akan berakhir dengan baik.
Ini perlahan memburuk…
Mereka tidak punya cara untuk membalas tembakan. Sihir Peluru apa pun yang mereka tembak membutuhkan beberapa kali percobaan, yang sepertinya itu tidak mungkin. Bahkan Model Kubah pun kian mengering.
Pikirkan… Rain memfokuskan pikirannya, berharap menemukan jalan keluar. Air telah berkonsentrasi sepenuhnya dalam menghindar, jadi Rain harus memikirkan sebuah rencana.
Pasti ada sesuatu yang aku lewatkan…
Dia perlu mengenai lawan yang dapat dengan bebas mengubah posisi mereka sesuka hati, yang berarti mengenainya dari depan adalah hal yang mustahil. Jika Rain mencoba untuk menembaknya dan dia melihat, Deadrim hanya perlu bergeser menjauh, seperti yang sering dia lihat sebelumnya.
Apakah dia memiliki kelemahan? Rain teringat kembali kata-kata Deadrim sebelumnya.
Jika aku mencoba untuk memindahkan sesuatu di luar radius enam puluh lima kaki yang berpusat di sekitarku, akurasiku akan turun drastis.
Deadrim telah mengungkapkan salah satu dari sedikit batasan yang dimiliki Peluru Crystalline. Dia tidak memiliki batasan sebenarnya pada jarak, tapi dia harus tetap pada gerakan jarak pendek jika dia memikirkan tentang penentuan posisi. Dengan kata lain, selama posisi itu tidak penting, dia pada dasarnya tak terkalahkan. Dia bisa mengirim apapun, kemanapun dalam sekejap, tidak peduli jaraknya.
…Tunggu, mengirim apapun, kemanapun?
Pikiran itu membuatnya bingung. Dia mengulangi kata-kata itu secara internal dan menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
Apa itu? Apa yang membuatku ragu?
Namun, bahkan saat dia memeras otaknya, Deadrim melanjutkan serangannya. Seperti permainan catur yang maju menuju skakmat yang telah ditentukan sebelumnya, pola mengelak Air terpotong satu per satu.
Pertukaran mereka berlanjut, dengan Deadrim memberikan serangan mengancam yang akan mempersempit pilihan mereka menjadi nol. Rain berbalik dan melihat unit musuh berjarak sekitar 150 kaki. Deadrim terus-menerus mengirim pohon dan batu dari jarak itu, tapi…
Oh, begitu!
…itu membuat segalanya tepat di benak Rain.
Itulah yang menggangguku! Kenapa Deadrim tidak…?
Rain mengingat peristiwa kemarin. Kereta itu terlempar keluar dari rel dan jatuh dari tebing, memaksa mereka berempat untuk bekerja sama mencari jalan keluar. Tapi itu tidak masuk akal, karena Deadrim memiliki peluru spesialnya selama ini.
Kenapa dia tidak bergeser kembali ke atas setelah kita jatuh di sini?
Peluru birunya memungkinkannya untuk menggeser posisi objek dengan bebas. Dengan kekuatan itu, dia bisa dengan mudah kembali ke rel. Itu juga akan menjadi rute terpendek dari gunung bersalju.
Apakah dia tetap disini untuk mencuri Exelia generasi kedua?
Tidak, kedengarannya tidak tepat. Dia tidak punya alasan untuk mengambil risiko tinggal di gunung saat dia bisa saja mencuri prototipe lain. Exelia generasi kedua langka dan berharga, tapi ada lebih dari satu di kereta.
Apa itu berarti dia tetap tinggal demi Isuna?
Itu juga tidak masuk akal. Jika prioritas pertamanya benar-benar adalah nyawa Isuna, maka dia memiliki lebih banyak alasan untuk kembali ke rel dan melarikan diri dari gunung. Sejujurnya, Rain tidak bisa memikirkan alasan apa pun kenapa dia tidak langsung mendaki tebing, yang berarti jawabannya bukanlah bahwa Deadrim tidak ingin berpindah ke gunung.
Itu karena dia tidak bisa. Dan seharusnya ada penjelasan logis akan alasannya.
……
Semua informasi yang didapat Rain membimbingnya ke sebuah jawaban. Gunung bersalju. Mereka berempat diisolasi. Exelia generasi kedua. Tentara tak dikenal. Sihir yang menggeser posisi objek. Dan… hujan salju yang tiada henti.
Tidak mungkin…!
Rain memandang ke langit dan melihat tirai awan kelabu dan, tentu saja, salju yang beterbangan ke arah mereka. Dia mencoba untuk melihat lebih jauh ke depan, tapi awan putih tipis menghalangi penglihatan. Jarak pandang tetap buruk seperti hari kemarin.
“…Air.”
Rain mengemukakan teori yang dia yakini benar.
“Ada apa? Aku sedang sibuk.”
“Aku punya rencana. Mari bekerja sama.”
Dia sudah memikirkan cara menghentikan Hantu pembunuh itu.
“Kita akan menembak mati Deadrim.”
“…Kau memikirkan ide konyol, kan?”
“Timingnya akan sangat kritis. Jika kita meleset sedikit saja, kita akan berakhir.”
“Kalau begitu kita harus menjalankannya dengan sempurna. Ayo, beritahu aku.”
Rain memberi tahu Air apa yang dia duga berdasarkan informasi mereka. Dia memberi tahu kemungkinan kelemahan Deadrim.
“Perjudian yang layak,” jawab Air setelah Rain selesai bicara. “Jika benar, itu akan mengejutkannya.”
“Jadi—tentang timingnya…”
“Seharusnya tidak terlalu sulit ketika kita berada sedekat ini. Cobalah mengepalkan tanganmu.”
Rain menatap dadanya. Mereka berdua berbagi kokpit yang sama, dengan Air duduk di antara kedua kakinya. Lengan Rain terulur ke pelatuk meriam, jadi tubuh Air bersandar tepat di depannya. Rasanya sekecil dan selembut biasanya, tapi tubuh kecil itu tampak lebih dapat diandalkan daripada apapun dalam situasi itu.
Air…
Pada saat itu, Rain menyadari kalau dia tidak ingin kehilangannya. Emosi yang kuat itu membasuh hatinya dan menahan rasa takutnya sebelum mereka memulai operasi yang kemungkinan besar akan gagal.
“Ayo,” kata Air, memberinya sinyal.
Exelia mereka sejauh ini hanya mengemudi untuk menghindari pepohonan, tapi begitu dia mengatakan itu, dia melepaskan pedal gas dan menarik kopling pada saat yang bersamaan.
Ah…!
Mereka tiba-tiba mengerem, tapi unit mereka tidak berhenti di tempat. Momentum itu membuatnya menjadi lompatan, yang digunakan Air untuk memutar poros Exelia di udara. Begitu mereka mendarat, dia menyentak Exelia itu berbalik, mengemudi mundur saat kubahnya menghadap ke arah unit yang mengejar mereka … Exelia putih milik Deadrim.
Deadrim tidak begitu gentar saat dia terus mendekati mereka. Dia tampak yakin bahwa dia akan menghindari tembakan langsung. Satu-satunya pilihan ofensifnya adalah meluncurkan massa besar ke arah mereka, tapi jika dia cukup dekat, dia akan bisa bergeser tepat ke Exelia mereka dan menebas mereka. Mereka akan mati saat dia berada dalam jarak enam puluh lima kaki.
Seratus dua puluh lima kaki… Seratus lima belas kaki… Seratus kaki…
“Aku akan mengerem,” kata Air saat dia menginjak rem dengan kuat. Dan begitu dia melakukannya, jarak di antara mereka semakin menyusut.
Delapan puluh kaki.
Sekarang…!
Rain menekan pelatuknya. Kubah Exelia generasi kedua melepaskan tembakan panas murni… langsung ke tanah.
“Terima ini!”
Suara ledakan yang memekakkan telinga mengelilingi mereka. Tapi bukannya menghantam musuh, ledakan mereka malah menghantam tanah. Unit Deadrim tetap tidak terluka sama sekali. Namun, Rain tidak meleset dari tembakannya.
Seperti yang dia rencanakan, kepulan asap putih menyelimuti seluruh area.
“Apa?!” mereka mendengar Deadrim berseru kaget dari transmisi nirkabel itu. Dia sadar bahwa asap itu disengaja. Meriam panas yang kuat langsung menguapkan salju, yang menciptakan lapisan kabut saat terkena udara dingin. Dan itu juga berfungsi untuk membuktikan hipotesis Rain.
Sudah kuduga!
Deadrim tidak berpindah meskipun ada trik aneh mereka—dan semuanya masuk akal.
Dia tidak bisa berpindah.
Kabut yang mengambang di area itu menghalangi kekuatan peluru birunya.
Deadrim hanya bisa memindahkan sesuatu ke tempat yang bisa dia lihat!
Rain menduga ada semacam kondisi awal, semacam keterbatasan pada kemampuannya untuk memindahkan benda yang menjelaskan kenapa dia tidak mendaki tebing. Dan apa pun faktor itu, itu pasti berlaku saat mereka jatuh dari kereta.
Aku sangat senang aku menemukan jawabannya…
Kondisi itu adalah jarak penglihatan. Cuaca buruk saat mereka terjatuh telah menutupi mereka dengan kabut, jadi dia tidak bisa melihat puncak tebing. Maka, Deadrim tidak punya pilihan lain selain mengandalkan Rain dan Air untuk meloloskan diri dari gunung.
Dengan kata lain, mereka hanya harus menghalangi bidang penglihatannya untuk membuat peluru birunya tidak berguna.
“Isuna!” teriak Deadrim saat dia mungkin menyadari rencana mereka. Jarak di antara mereka menyempit menjadi enam puluh lima kaki, cukup dekat baginya untuk melihat Air dan Rain secara langsung. Dia berencana untuk memindahkan dirinya sendiri dan mencincang mereka sampai mati.
Untungnya, seluruh strategi Rain mengandalkan tindakan gegabah itu.
Dia memakan umpannya!
Tangannya mencengkeram pelatuk lagi, tapi dia tidak segera menembak. Menyerang secara sembarangan tidak akan ada gunanya melawan operator andalan seperti Isuna. Dia pasti akan menghindarinya bahkan dari jarak dekat, terlebih lagi Rain dan Air tidak punya harapan untuk mendapatkan tembakan kedua.
Mereka harus menjatuhkan mereka dalam satu serangan… atau mati. Rain harus memastikan mereka tidak bisa menghindari serangannya.
Sekarang!
Dia memfokuskan Qualia-nya seolah-olah menembakkan Peluru Sihir.
Ugh…
Panas membengkak di kubahnya. Dia bisa merasakan pengisian yang sangat besar, tidak seperti tembakan biasa. Selama pertempuran mereka di padang salju, Rain terlalu takut untuk menembak. Tapi sekarang dia harus mempertaruhkan segalanya. Dia sadar kalau mesin itu tidak sekedar meniru Peluru Sihir, jadi dia hanya harus memanfaatkan kemampuan sebenarnya dari Exelia Model Kubah.
Sekarang atau tidak sama sekali!
Rain menarik pelatuknya.
“Ah…!”
Bidikan yang dia lepaskan menjadi kilatan yang menyilaukan… dan menghancurkan hutan di depan mereka dari peta.
Ledakan panas dari larasnya jauh melebihi daya tembak Peluru Sihir normal. Ledakan itu bertiup menembus hutan bersalju dan meninggalkan kawah di tanah yang jaraknya ratusan kaki, sementara pohon-pohon yang berada di jalur tembakan itu hangus dan terbakar. Serangan itu mengurangi lebih dari separuh bidang penglihatan mereka menjadi bumi hangus.
…Apa-apaan ini?! Bagaimana bisa ada sesuatu yang sekuat ini?!
Rain melepaskan pelatuknya saat kelelahan dan syok menguasai dirinya.
Aku tahu itu akan sangat kuat, tapi…
Hasilnya sepuluh kali lipat lebih dari yang diharapkan Rain. Ledakan itu menghancurkan hutan sepenuhnya. Dia bergidik, membayangkan kekuatan seperti ini dikerahkan secara massal. Dia bahkan tidak ingin memikirkan malapetaka yang senjata tersebut akan buat.
Unit Deadrim, yang telah menerima ledakan itu secara langsung, telah jatuh agak jauh dengan armornya benar-benar meleleh.
…Tunggu, tunggu dulu; armornya meleleh?!
Armor logam campuran nuklir Graimar dapat menahan panas ribuan derajat, tapi ledakan Model Kubah itu membuat armor tersebut tidak berdaya. Seperti es melawan api.
Dia tidak pernah membayangkan Exelia generasi kedua akan begitu kuatnya… Memikirkannya membuat Rain menggigil sekali lagi.
“Rain.”
“…Aku tahu.”
Namun, mereka tidak punya waktu untuk berhenti dan mengagumi hasil karyanya. Setelah Air mendesaknya, Rain keluar dari Exelia mereka dan mendarat di tanah. Dampak dari mendarat di tanah itu mengirimkan sentakan rasa sakit ke seluruh tubuhnya… dan lukanya mulai mengeluarkan darah lagi.
“Nih,” kata Air sambil meminjamkan bahunya. “Tidak lama lagi. Hanya tinggal satu hal yang harus dilakukan.”
“…Benar.”
Berkat bantuan Air, Rain berhasil mencapai puing-puing unit Deadrim. Begitu mereka sampai di sana, pemandangan tubuh Isuna, yang hitam hangus menyambut mereka.
“……”
Pemandangan itu mengganggu Rain. Dia telah meleleh; sulit untuk mengatakan bahwa tubuhnya pernah berbentuk seperti manusia. Tubuh Hantu arang itu berada tepat di sebelahnya.
“Deadrim…”
Tubuhnya tidak terlihat seburuk Isuna, tapi sebagian besar telah berubah menjadi hitam. Dia kemungkinan besar telah menunduk untuk berlindung dan mendarat ke samping saat ledakan terjadi, yang membantunya menghindari luka fatal.
“Agh…”
Dia mungkin hanya memiliki sedikit waktu yang tersisa untuk hidup apapun yang terjadi, tapi bahkan dengan setengah tubuhnya terbakar, dia bertahan hidup.
“Rain,” kata Air, menatapnya. “Aku akan menyerahkan pilihan untuk menggunakannya padamu. Kau harus memutuskannya sendiri.”
Dia menyerahkan keputusan penting itu padanya.
“Jika kita menembak Deadrim dengan Peluru Iblis, sejarah akan berubah, dan kita akan dengan aman mengirimkan Exelia generasi kedua ke tujuannya. Jika dia tidak ada lagi, semua yang terjadi di gunung ini akan dibatalkan.”
“……”
Peluru Iblis. Kekuatan transenden untuk menghapus siapa pun yang dikenainya dari buku sejarah. Jika mereka menembak Deadrim dengan itu, kejadian di gunung itu tidak akan pernah terjadi. Lagipula, tidak ada orang lain selain Hantu arang itu yang bisa melancarkan serangan mendadak dan tidak masuk akal di kereta yang sedang melaju. Dan yang paling penting–
Lukaku…
Lubang di dada Rain telah merampas sebagian besar kekuatannya. Dia berhasil berdiri tegak berkat bantuan Air, tapi jika Air melepaskannya, dia akan langsung pingsan. Jika keadaan tidak berubah, dia kemungkinan tidak akan bertahan satu jam lagi. Sehingga–
“Deadrim…,” gumam Rain saat dia mengarahkan senjatanya, yang terisi dengan peluru perak, pada gadis yang terluka itu. “Kau adalah prajurit yang hebat.”
Bahkan mengangkat pistolnya terasa seperti siksaan pada saat itu, tapi Rain mencengkeram pistolnya sekencang mungkin untuk menghormatinya. Namun, tepat ketika dia bersiap untuk menarik pelatuknya…
“Ah…!”
…Kaki kiri Rain tiba-tiba tertekuk, yang membuatnya jatuh berlutut. Dia menunduk, merasakan sesuatu menariknya. Dan ketika dia melakukan itu, dia menyadari bahwa itu adalah Isuna, orang yang telah dibakar sampai habis.
“Tolong… Tunggu…,” gumamnya. “Heh-heh-heh… Ini pertama kalinya aku harus… berpura-pura mati…”
Lukanya benar-benar fatal, tapi tampaknya dia masih memiliki beberapa saat tersisa di dalam dirinya.
“Tapi berkat itu… aku mendengar sesuatu yang menarik…”
“Isuna, kau…”
“Peluru Iblis… kau bilang…”
Kulitnya yang terbakar kejang, dan dia hampir tidak bisa bergerak. Tenggorokannya tampak remuk; suaranya parau.
“Aku tahu… Hantu memiliki kemampuan yang tidak biasa, tapi… peluru yang menghapus keberadaan seseorang…? Ha-ha-ha… Sungguh absurd…”
Isuna telah mendengarkan percakapan Rain and Air. Dia tahu tentang Peluru Iblis, serta rencana mereka untuk menembak Deadrim menggunakan itu.
……
Rain mengabaikan cengkeraman Isuna di kakinya dan mengarahkan moncongnya ke Deadrim lagi, tapi…
“Ugh…!”
…pria itu tiba-tiba mengencangkan cengkeramannya seperti catut.
“Hentikan,” kata Rain sambil melihat ke arah Isuna. Kekuatannya tidak wajar bagi orang yang sekarat.
“…Bisakah kau menggunakan peluru itu… padaku saja?”
“… Apa?”
“Jika aku tidak ada… Deadrim tidak akan pernah menjadi Hantu…”
Isuna Cole, anak laki-laki yang kehilangan Deadrim sepuluh tahun lalu, memohon bantuan mereka.
“Dia tidak bangkit lagi tanpa alasan… Dia hanya muncul lagi karena… emosi kuat yang mengikatnya ke dunia ini… Dan emosi itu mungkin hanya ada… karena dia mati di depanku.”
Semua Hantu menyimpan dendam yang kuat. Deadrim telah mati di depan anak laki-laki yang dicintainya. Pada hari yang seharusnya istimewa dan penuh perayaan, mereka berselisih atas sesuatu yang sepele. Kemudian Deadrim tewas sambil memegang penyesalan itu.
“Jika aku tidak ada, Rim, dia… akan mati… dan tetap mati…” Suara Isuna semakin lemah saat kekuatannya kian menghilang. “Menjadi Hantu membuatnya sadis. Dulu dia benci harus memegang senjata, tapi sekarang dia menggunakan pedang… dan menikmati… membunuh orang…”
“K-kumohon…,” dia melanjutkan dengan semua energi yang bisa dia kerahkan. “Aku tidak bisa… memaafkan diriku sendiri karena membiarkan dia pergi berkeliling membunuh orang sebagai Hantu… dan menghapus kebanggaan yang dia miliki ketika dia masih hidup … Dan aku… tidak tahan memikirkan bahwa dia tidak pernah ada sejak awal…”
Jadi, dia mengharapkan hasil yang sepenuhnya berbeda.
“Jika kau menghapusku, Hantu Deadrim akan musnah… Tolong…”
Cengkeraman di kaki Rain mengendur. Isuna pingsan. Dia jelas hanya memiliki beberapa saat lagi sampai dia meninggal.
“……”
Rain menepis tangan Isuna, menahan tarikan emosi, dan mengarahkan senjatanya ke arah Deadrim sekali lagi.
“Tunggu!” seru Air, menghentikannya. Kemudian dia berjalan ke arah Deadrim, berjongkok di depan tubuhnya yang setengah terbakar, dan merogoh isi perutnya yang terbuka. Rain tidak yakin apa yang Air lakukan pada awalnya, tapi ketika dia menarik tangannya, Rain melihat peluru di telapak tangan Air yang berlumuran darah.
“Ugh, menjijikkan…,” gumam Rain. Tapi meski ada darah, dia melihat warna hitam yang jelas dari logam itu.
Bukankah itu…?
Sebuah peluru hitam legam tersembunyi di dalam tubuh Deadrim.
“Peluru apa itu…?” tanya Rain.
“Sebuah peluru kontrak,” jawab Air.
“Kontrak? Maksudmu…?”
“Ya, peluru yang sama yang aku tembakkan padamu. Ini adalah Peluru Sihir yang dimiliki semua Hantu. Yang memungkinkan kita untuk mengontrol makhluk lain dengan imbalan berbagi kekuatan kita dengan mereka.”
Penjelasannya terdengar familiar bagi Rain. Ketika dia mendapatkan kekuatan Peluru Iblis, Air telah menembaknya dengan peluru yang sama. Karena itu, Air bisa memerintahkan Rain untuk melakukan apa saja kapan saja, bahkan bunuh diri jika dia mau.
Tapi ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa peluru kontrak ada di dalam tubuh Deadrim… di dalam tubuh Hantu?
“Itu sebenarnya sederhana…,” kata Air, mengertakkan gigi dengan terlihat marah. “Hantu lain menembakkan peluru kontrak ini kepada Deadrim untuk memaksanya bertempur.”
Sebuah peluru kontrak hanya bisa digunakan oleh Hantu, tapi peluru itu bekerja pada manusia hidup dan Hantu. Saat peluru tersebut diaktifkan, peluru itu akan mengukir nama penembaknya di atas peluru, jadi Air menyeka darahnya untuk memeriksanya.
“Orang yang bertanggung jawab adalah… Kaisei. Kaisei Reisman.”
Isuna telah menyebutkan nama itu pada Rain semalam.
“Meski, itu sebagian besar karena Kaisei terus mengatur pertempuran untuknya…”
Dia adalah orang yang berpura-pura mendukung Deadrim.
“Kaisei… Deadrim menyebutkan tentangnya,” kata Air, tampak tak asing juga dengan nama itu.
……
Mereka hanya memiliki bukti tidak langsung, tapi semuanya cocok dengan sempurna.
“Dulu dia benci harus memegang senjata, tapi sekarang dia menggunakan pedang… dan senang… membunuh orang…”
Menurut perkataan Isuna, perilaku Deadrim telah berubah. Selama pertempuran, dia telah bertindak sama sekali tidak seperti biasanya semasa hidup. Jika perubahan itu terjadi karena peluru di dalam dirinya… maka dia mungkin berada di bawah pengaruh Kaisei tanpa dia sadari.
“Apakah menurutmu si Kaisei ini memaksa Deadrim untuk bertempur?”
“Yah, kita tidak memiliki bukti yang pasti, tapi masuk akal untuk berasumsi begitu,” kata Air sambil meraih kemejanya dan mengeluarkan peluru hitam yang menjuntai dari lehernya. Dia pernah berkata kalau peluru itu berisi jiwanya.
“Peluru ini mirip dengan aksesori yang aku bawa, yang awalnya mengubahku menjadi Hantu. Jika peluru ini benar-benar sama dengan milikku, maka si Kaisei ini bahkan mungkin bukanlah Hantu…” Air berhenti untuk mengambil napas. “Sejak awal, dia mungkin adalah orang yang menciptakan Hantu.”
“Itu…”
“Ya, petunjuk tentang asal-usul Hantu. Sesuatu yang telah aku cari selama satu abad. Solusi memungkinkan atas pertanyaan tentang siapa yang menciptakan kami.”
Informasi datang dari sumber yang tidak terduga, tapi hal itu membuat mereka lebih dekat untuk memecahkan pertanyaan yang tidak dapat mereka jawab. Tentu, itu hanya satu nama, tapi kemajuan tetaplah kemajuan.
“Aku tidak percaya… akhirnya aku menemukan sesuatu,” kata Air dengan tidak percaya. Dia telah mengambil langkah maju yang besar. Sayangnya, mereka tidak punya waktu untuk merayakannya.
“Gaaah, ah… Ugh, aaah…!”
Deadrim mulai batuk, buih darah keluar dari mulutnya. Dia tampaknya berada di ambang kematian, dan Peluru Iblis tidak akan mempengaruhi mayat. Mereka harus segera memutuskan apa yang harus dilakukan.
“……”
“Air,” kata Rain sambil menutup matanya sebelum membukanya sekali lagi.
“Ya?”
“Aku akan melakukan apa yang menurutku benar. Apa kau tak masalah?”
“Silakan. Tidak peduli apa pun yang terjadi, aku akan mengawasimu dari samping.”
Bagus…
Mereka yang menggunakan Peluru Iblis membutuhkan seseorang untuk tetap berada di sisinya dan mengamati pilihan mereka.
“Isuna Cole,” Rain memanggil nama pria itu sambil mengangkat pistolnya dan mengarahkan moncongnya ke arahnya. “Keberadaanmu akan menghilang dari dunia ini, tapi aku tidak akan pernah melupakanmu. Bahkan saat aku mencapai dasar neraka, aku akan tetap mengingatmu.”
Suara tembakan terdengar. Sesaat kemudian, peluru perak menembus Isuna, pria yang didambakan Deadrim bahkan setelah mati.
Dan demikianlah…
…dunia bergeser.
Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya
Post a Comment