[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 3 Chapter 3 Bahasa Indonesia
Chapter Tiga: Malam Itu Singkat, Tetaplah Bersamaku, Wahai Gadis
Bergandengan tangan, Anima dan Luina berjalan menuju Garaat, rumah mereka semakin mengecil di belakang mereka. Sejak awal, Anima sudah sangat cemas meninggalkan anak-anak di sana sendirian, tapi kecemasan itu semakin memburuk dengan setiap langkah yang mereka ambil.
Setelah serangan goblin yang menyebabkan pemanggilan Anima, putrinya tidak pernah dalam bahaya diserang, karena para Hunter selalu berpatroli di area itu untuk memastikan keselamatan penghuninya. Anima telah melihat mereka beberapa kali saat pergi keluar dan, sejauh ini, mereka berhasil. Hampir tidak terbayangkan bahwa monster bisa menembus pertahanan kota. Itu jelas bukan masalah. Namun, yang menjadi masalah adalah hal lain.
Apakah mereka bisa membawa cucian ke dalam? Bisakah mereka membuat makan siang sendiri? Apakah mereka bisa menimba air ke bak mandi? Anima dan istri akhirnya memiliki satu hari untuk dinikmati sebagai pasangan, hanya mereka berdua, namun pertanyaan seperti itu membanjiri pikirannya. Anima, dalam diam, menatap tanah saat dia berjalan, tidak mampu memadamkan ketakutannya.
“Kita beruntung cuacanya sangat bagus hari ini,” kata Luina, memecah kesunyian.
Anima menyentakkan kepalanya dan mengangguk setuju.
“Cucian akan cepat kering kalau hangat begini. Semoga saja mereka bisa meraih cuciannya…”
“Jangan khawatir. Aku sudah mencuci pakaian ketika aku seusia Myuke, dan dia bahkan lebih tinggi dariku saat itu. Aku yakin mereka tidak akan punya masalah.”
“Oh, oke… Tapi dengan cuaca yang sangat cerah, mereka pasti akan haus. Myuke tidak mungkin bisa mengambil air di sumur…”
“Itu tak masalah. Kamu kemarin sudah menimba cukup air untuk persediaan selama dua atau tiga hari meski jika mereka memilih untuk menambah cucian. Masih ada air di bak mandi juga; mereka hanya perlu memanaskannya.”
“Tapi mereka harus membuat api untuk melakukannya. Mereka bisa terluka saat menggunakan batu kadal api milikmu…”
“Anima, mereka akan baik-baik saja.” Luina berhenti dan menatap mata Anima, dengan senyum pengertian seorang ibu yang hendak menjelaskan sesuatu yang sangat penting pada anaknya. “Jika seseorang yang tidak berpengalaman sepertiku saja bisa menggunakan batu itu, tidak mungkin Hunter seperti Myuke akan terluka saat menggunakan batu itu. Makanan juga tidak akan jadi masalah. Kamu sekarang pasti sudah menyadari bahwa tangan mereka sudah sangat terampil, kan?”
“Benar. Mereka seniman yang luar biasa, Myuke dan Bram — bahkan si kecil Marie. Tangan-tangan mereka bisa menciptakan seni yang luar biasa, jadi mereka seharusnya lebih dari mampu untuk menciptakan makanan yang sama luar biasanya. Kurasa aku tidak perlu khawatir mereka akan terluka saat memakai pisau…”
Luina terkekeh. Senyum manisnya sudah cukup untuk menghilangkan semua ketakutan Anima.
“Mereka melakukan yang terbaik untuk membuat kita bahagia. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka saat mereka bekerja sama. Tidak akan terjadi apa-apa, jadi berhentilah khawatir. Percayalah kepadaku. Aku juga harus menjaga rumah saat masih kecil, dan... Aku di sini bersamamu sekarang, kan?”
“Apakah kamu tidak takut menjaga rumah sendirian?”
Luina menggelengkan kepalanya. Ada secercah nostalgia di matanya.
“Aku tidak sendirian, begitu pula anak-anak. Sangat menyenangkan bagi kami untuk bekerja sama dan mencapai hal-hal yang biasanya tidak dapat kami lakukan sendiri. Aku masih ingat rasa sup yang kami buat. Supnya sedikit gosong, tapi itulah yang membuatnya semakin enak.”
Anima lega mendengarkan ceritanya.
“Aku mengerti. Anak-anak suka menjaga rumah?”
“Ya, jadi jangan khawatir soal mereka. Mereka akan baik-baik saja.”
Kata-kata hangat Luina menenangkan jantung Anima yang berdebar kencang. Begitu dia sudah tenang, dia memikirkan kembali perilakunya, yang membuatnya merasa agak menyedihkan. Anima telah bertingkah seperti anak kecil yang mencari kenyamanan di balik ketiak ibunya— sangat kontras dari sikapnya yang biasanya serba bisa.
“Aku minta maaf karena kamu harus melihatku bertingkah sangat menyedihkan…”
“Kamu sama sekali tidak menyedihkan,” jawabnya dengan nada serius, masih menunjukkan senyum hangat yang sama. “Orang tua selalu mengkhawatirkan anak-anak mereka, dan dapat melihat betapa kamu peduli pada mereka, adalah sesuatu yang sungguh berarti lebih dari yang kamu tahu. Aku jatuh cinta padamu lagi setiap hari, dan aku sangat bersyukur karena akhirnya kita memiliki kesempatan untuk pergi kencan.”
“Luina…” Anima sesak. Senyuman mempesona menyebar di wajahnya saat gelombang kegembiraan memenuhi seluruh tubuhnya. “Aku merasakan hal yang sama; kata-kata tidak bisa mengungkapkan betapa bahagianya aku bisa pergi kencan denganmu! Mari jadikan hari ini sebagai hari terbaik dalam hidup kita!”
Sementara kekhawatiran sebelumnya hilang, Anima memiliki satu dinding mental lagi yang harus dia hancurkan. Kencan mereka bukanlah kencan biasa, itu adalah akumulasi dari usaha putri mereka dalam bentuk hadiah yang sepenuh hati; dia harus menikmati itu sepenuhnya. Dia berhutang itu tidak hanya pada Luina, tapi juga pada tiga malaikat kecil mereka.
“Ya! Ayo buat kenangan yang indah hari ini!”
Terbawa oleh senyuman indah Anima, Luina mengaitkan lengannya dengan lengan Anima. Sensasi hangat, yang halus, dan wangi lembut Luina yang harum hanya memperluas seringai di wajah Anima. Akhirnya, dia mendapatkan pola pikir yang benar untuk kencan. Beberapa saat yang lalu, dia adalah orang tak berguna yang menyedihkan, tapi itu tidak lagi. Dia sudah siap mengawal istrinya yang cantik dengan kepala terangkat tinggi.
Mereka mengambil langkah kecil ke depan, melanjutkan perjalanan mereka melintasi Garaat. Bergandengan tangan, mereka dengan riang berjalan di jalan utama di bawah sinar matahari yang menyilaukan. Mereka menuju ke blok yang ada toko instrumen, toko perlengkapan seni, restoran, dan penjahit, lalu memasuki sebuah gang. Melewati sebuah bar kecil yang nyaman dan tersembunyi, mereka dengan cepat keluar ke sisi seberang. Mereka berkeliling tanpa tujuan sementara Anima mencoba memikirkan tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi.
Tekanan yang membebani pundaknya sangat besar. Ini adalah kencan pertama mereka, hadiah dari putri kecil tersayang mereka; suatu bar bobrok tidak masuk standar. Anima membutuhkan tempat yang megah untuk membuat kenangan terbaik. Itu adalah tugas yang sulit, terutama karena idenya, soal berjalan-jalan di tempat yang pernah Luina sukai di masa lalu, tidak membuahkan hasil. Kepala Luina bersandar di bahunya, Luina hanya berjalan bersamanya sambil tersenyum diam. Jika dia ingin membawa istrinya ke suatu tempat yang istimewa pada hari yang begitu penting, dia harus membuat otaknya bekerja sangat keras.
Mungkinkah kami harus mampir ke kios buah…? Tidak, itu sama sekali bukan sesuatu yang akan kau lakukan saat berkencan. Lalu, mungkinkah ke penginapan yang bagus? Oh, apa yang sedang kupikirkan? Masih terlalu cepat untuk itu.
Mereka akan bermalam di Garaat, jadi kencan mereka pasti akan berakhir di penginapan. Ini adalah kesempatan langka bagi mereka untuk berduaan, dan dia akan memanfaatkannya sebaik mungkin—dia ingin mencium, memeluk, mendekap, dan akhirnya bercinta dengan Luina. Satu-satunya pertanyaan adalah, bagaimana dia akan melakukannya. Tentunya Anima tidak bisa begitu saja menoleh pada Luina dan berkata, “bercintalah denganku”. Itu akan aneh, dan bahkan mungkin akan membuat Luina takut. Namun, memberikan kode halus bukanlah gayanya, dan selalu ada bahaya itu akan disalahartikan. Terlepas dari itu, dia masih punya waktu untuk memikirkan pilihannya. Mereka tidak akan pergi ke penginapan sampai menjelang matahari terbenam, jadi untuk saat ini, dia harus fokus pada sisa kencan mereka.
Namun, itu tidak lebih mudah. Dia masih belum bisa memikirkan tempat untuk dikunjungi. Lebih buruknya lagi, tak satu pun dari mereka mengatakan sepatah kata pun semenjak tadi—Anima terlalu tenggelam dalam pikirannya untuk dapat berinteraksi dengan istrinya. Dia harus mengatakan sesuatu sebelum Luina bosan, berbalik, dan pulang.
Oh, tidak… pikirnya. Mungkin sudah terlambat.
Anima meliriknya, tapi yang mengejutkan, Luina tidak terlihat bosan sama sekali. Sebaliknya, dia tersenyum, dan sepertinya menikmati saat-saat dalam hidupnya. Tapi kenapa?
“Kamu tampak menikmatinya,” kata Anima.
“Iya! Ini sangat menyenangkan.”
“Tapi, kita hanya berjalan.”
“Ya. Kita berjalan, bergandengan tangan, bebas seperti burung. Aku merasa ini sangat menenangkan dan menyenangkan, tapi mungkinkah kamu tidak merasa begitu? Dahimu telah berkerut sejak tadi, apakah kamu masih mengkhawatirkan anak-anak?”
Anima menggelengkan kepala.
“Tidak. Maksudku, tentu saja, tapi aku percaya pada mereka.”
“Kalau begitu, apa yang kamu khawatirkan?”
“Yah…” Dia ingin bersikap segagah mungkin pada kencan mereka, tapi itu sudah berlalu. Anima harus berhenti untuk bersikeras menyelesaikan semuanya sendiri; imejnya tidaklah penting jika istrinya yang cantik tidak menikmatinya. Tidak peduli seberapa payah dirinya akan terlihat, Anima harus meminta bantuan Luina. “Aku tidak tahu harus membawamu kemana.”
Luina menerima pengakuan Anima dengan senyuman.
“Kamu sangat baik sekali. Tidak banyak orang yang akan sangat mengkhawatirkan orang lain. Aku sangat beruntung bisa berkencan dengan orang yang luar biasa.”
“Apakah kamu menikmati kencan kita?”
“Tentu saja. Kencan bukanlah soal tempat yang kamu kunjungi, itu soal orang yang bersamamu. Hanya berkeliling berjalan bersamamu sudah cukup membuatku bahagia, jadi untuk semua maksud dan tujuan itu, kencan ini sudah menjadi sukses besar.”
“Oh, jadi… ini sudah kencan.”
“Ya, dan kencan yang sangat menyenangkan.”
Kata-kata Luina mengangkat beban dari pundak Anima. Anima menegakkan punggungnya yang bungkuk dan melihat sekeliling, membiarkan dunia dengan kemungkinan tak terbatas dan keramaian kota menguasai inderanya. Dengan melakukan itu, dia menyadari bahwa alun-alun kota berada tepat di dekatnya. Itu akan menjadi tempat yang bagus untuk mereka berhenti dan beristirahat setelah berjalan sekian lama.
“Bagaimana kalau kita mengunjungi alun-alun? Mungkin ada beberapa harta karun yang tersembunyi di sana. Aku sudah memberitahu di mana aku mendapatkan ikat rambut kelinci Marie, kan?”
“Ya, Kamu mendapatkannya dari kompetisi adu panco.”
“Gerobak mereka penuh dengan hal-hal menarik yang tak terhitung jumlahnya. Kamu mungkin bisa menemukan sesuatu yang kamu suka jika mereka masih ada. Jadi, bagaimana menurutmu? Haruskah kita memeriksanya?” Luina mengangguk, dan mereka menuju ke alun-alun. Mereka mengamati berbagai kios yang didirikan di sekelilingnya, tapi meja adu panco tidak dapat ditemukan. “Sayang sekali, sepertinya kita melewatkannya… Oh, apakah kamu menemukan sesuatu?”
Luina sedang melihat ke seberang jalan, ke sebuah bangunan yang telah agak rusak dimakan waktu. Seorang pria dan wanita, bergandengan tangan, berhenti di pintu masuk dan membaca papan nama di samping pintu sebelum masuk. Pada saat yang sama, pasangan lain sedang keluar dari sana.
“Tempat apa itu?”
“Itu adalah teater.”
“Apakah sudah mulai? Apakah kamu sebetulnya menyukai drama?”
“Ya, aku menyukainya! Aku tidak punya kesempatan untuk kesana akhir-akhir ini, tapi aku sering menonton drama bersama orang tuaku ketika aku masih kecil.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi melihatnya?”
“Kedengarannya menyenangkan! Aku berharap mereka masih ada tiket…”
Mereka mendekati teater. Drama yang ditayangkan adalah sebuah cerita romansa, yang sangat cocok untuk kencan mereka. Pertunjukan siang hari teater itu hampir terjual habis, tapi pertunjukan malam hari ada banyak kursi kosong.
“Yang mana yang harus kita tonton?”
“Aku lebih suka yang pertama.”
Mereka membeli dua dari sedikit tiket yang tersisa.
“Kita masih punya waktu sebelum pertunjukan, jadi bagaimana kalau kita makan dulu?” saran Anima. “Apakah kamu lapar?”
“Aku lapar, tapi kita tidak punya waktu untuk benar-benar makan siang.”
“Lalu bagaimana kalau kita membeli sesuatu dari sana?”
Anima menunjuk ke arah alun-alun yang dihiasi dengan berbagai kios yang menawarkan cemilan. Sudah ada orang-orang yang menikmati indahnya hari di bangku, mengunyah jajanan favorit mereka dari banyaknya pilihan kios yang ditawarkan. Luina setuju, dan mereka mulai berkeliling kios. Tersesat di lautan manis akan makanan panggang, mereka menghabiskan waktu untuk melihat-lihat sampai Luina menemukan sesuatu.
“Ah, lihat!” serunya, dengan penuh semangat menunjuk ke salah satu kios. “Bisakah kita membeli itu?”
“Yang mana?”
“Wafel! Apakah kamu sudah pernah makan wafel?!”
“Aku tidak dapat bilang kalau aku pernah.” Anima benar-benar lengah oleh kegembiraan Luina atas wafel. “Apakah ‘wafel’… ini benar-benar begitu enak?”
“Benar! Itu sangat manis, tapi yang paling penting, aku memiliki kenangan sangat berharga yang berhubungan dengan wafel. Suatu hari, ketika aku masih kecil, aku pergi menonton drama bersama Ibu dan Ayah. Kami makan wafel sambil menunggu pertunjukan dimulai. Wafelnya sangat lembut dan manis; Aku masih mengingatnya sampai hari ini. Itu mengenyangkanku sampai--titik di mana aku tidak bisa menahan kantuk selama pertunjukan.”
“Kamu pasti gadis kecil yang sangat menggemaskan,” kekeh Anima melihat cerita imut istrinya. “Baiklah, kamu telah meyakinkanku. Ayo beli wafel.”
“Ya, ayo.”
Dengan mata tertuju pada mangsa, mereka mendekati kios. Mereka menyaksikan juru masak menaburkan adonan goreng berpola jaring dengan gula halus. Itu terlihat sangat manis dan lembut.
“Permisi, dua wafel! Satu dengan saus cokelat.”
Wafel Luina, disiram dengan saus cokelat yang lengket, terlihat lebih manis. Anima semakin bersemangat untuk mencobanya sendiri. Wafel tampak seperti makanan yang cocok untuk acara khusus—Anima merasa bahwa mereka tidak akan pernah lupa saat-saat berbagi wafel pada kencan pertama mereka.
“Dan untuk pria itu?”
“Umm…” Tidak masalah baginya selama dia bisa berbagi pengalaman dengan istrinya. Pertama, Anima berpikir untuk memakai topping yang sama, tapi setelah melihat beberapa orang lain berbagi wafel mereka dengan orang terdekat mereka, dia mendapatkan ide yang lebih baik. “Aku mau pakai madu.”
Mereka mengambil wafel mereka, dibungkus dengan kertas tipis, dan duduk di bangku terdekat. Angin musim gugur membuat rambut biru Luina yang indah berkibar.
“Apakah kamu kedinginan?”
“Tidak, ini sempurna. Aku memilikimu untuk menghangatkanku,” kata Luina, meringkuk lebih dekat ke Raja Iblis yang memerah.
“Kita harus mencarikanmu sesuatu untuk dipakai setelah drama selesai. Aku tidak ingin kamu masuk angin.”
“Apa kamu yakin?”
“Ya. Kita bisa menikmati kencan musim gugur berikutnya jika kita memakaikanmu sesuatu yang hangat.”
“Itu benar,” jawab Luina dengan tawa gembira. Senyum riangnya benar-benar membuat Anima terpikat. “Ah, madunya menetes ke tanganmu.”
“Oh. Aku terlalu terpesona oleh kecantikanmu hingga tidak menyadarinya.”
“Mulai lagi…”
Anima benar-benar terpesona pada istrinya yang menggemaskan dan sedikit memerah. Anima bisa saja menatapnya selamanya, tapi mereka harus pergi ke pertunjukan.
“Haruskah kita mulai makan?”
“Ya. Mari makan.”
Anima membawa wafel ke mulut dan menggigitnya. Wafel itu memiliki kehalusan yang baik dan lembut, seperti awan musim semi. Aromanya yang manis mengisyaratkan rasa, tapi itu tidak mempersiapkannya pada rasa manis luar biasa dari madu yang lengket dan gula bubuk yang melapisi mulutnya.
“Rasanya sangat manis dan enak,” kata Luina dengan ekspresi polos dan kekanak-kanakan. Anima sangat gugup saat melihat istrinya tersenyum, pipinya dipenuhi wafel. Itu adalah sisi diri Luina yang tidak pernah benar-benar dilihat Anima di rumah. Luina meliriknya dan terkekeh. “Ada sedikit gula yang menempel di pipimu.”
Luina mengambil saputangannya dan dengan lembut menyekanya.
“Terima kasih. Apakah kamu ingin mencoba wafel punyaku?”
“Ya! Silakan, cicipi milikku juga.”
Mereka bertukar gigitan. Wafel Luina terasa lebih manis darinya, tapi itu mungkin karena dia disuapi oleh istrinya yang cantik. Anima dengan bahagia kembali memakan wafelnya sendiri, dan saat dia selesai, dia menyadari bahwa Luina tidak lagi memakan miliknya. Luina menyukai rasa wafel, hingga membuat tindakannya sekarang semakin aneh.
Anima mengikuti arah tatapan Luina untuk mendapati suatu pasangan sedang berciuman di bangku terdekat. Mereka dengan leluasa mengungkapkan rasa cinta mereka tanpa takut dihakimi publik. Jantung Anima mulai berdegup kencang, dan gelombang kecemburuan melandanya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hal terakhir yang dia inginkan adalah menempatkan Luina dalam situasi yang membuatnya tidak nyaman. Dalam benak Luina, berciuman di depan umum adalah hal yang tidak terbayangkan. Itu disimpan untuk privasi rumah mereka.
Tepat ketika Anima siap untuk menghela nafas kekalahan, Luina dengan erat meremas tangan Anima. Luina menatapnya dengan pipi memerah dan mata mempesona. Bahkan tanpa kata-kata, Anima mengerti apa yang ingin Luina katakan: “Tidak apa-apa. Aku siap.”
Anima balik menggenggamnya, menatap jauh ke dalam matanya yang berkaca-kaca. Tidak ada jalan untuk kembali. Anima membungkuk dan berbagi ciuman penuh gairah dengan istrinya. Setelah momen ajaib berlalu dan Anima mundur, Luina menatapnya dengan senyum nakal.
“Kita melakukannya di depan umum…” katanya malu-malu.
“Ya. Benar.”
Dunia sekarang hanya milik mereka berdua. Tidak ada apa-apa selain mereka dan cinta mereka yang membara untuk satu sama lain. Setelah percakapan kecil itu, mereka berdua membungkuk dan berciuman lagi.
“Ah, lihat! Mereka berciuman!” teriak sebuah suara muda. Luina langsung membuat jarak antara dirinya dan Anima meskipun pasangan lain di seluruh alun-alun juga berciuman. Pikiran akan seseorang yang meledek mereka membuatnya lebih merah daripada tomat matang.
“Sungguh menyenangkan melihat orang yang begitu saling mencintai.”
“Kuharap aku semuda itu dan bersemangat lagi.”
“Sungguh pasangan yang serasi. Berkatilah hati mereka.”
Hanya satu pasangan yang dibicarakan secara terbuka di tengah alun-alun yang ramai, dan itu adalah Anima dan Luina. Anima senang mendengar bahwa mereka adalah “pasangan yang serasi”, tapi kata-kata itu tidak mengurangi rasa malu Luina. Luina berdiri dengan terengah-engah dan menoleh ke arah Anima.
“B-Bukankah ini sudah waktunya pertunjukan?”
“Tidak, kita masih punya banyak—”
“Kita sebaiknya menunggu di dalam!”
Memotongnya, Luina menarik tangan Anima dan menyeretnya ke teater.
◆◆◆
Saat Anima dan Luina sedang menikmati drama itu, di rumah, para gadis sedang makan siang.
Apa yang harus kami lakukan untuk makan malam?
Roda gerigi di kepala Myuke berputar dengan kecepatan tinggi saat dia melihat adik-adiknya mengisi pipi mereka dengan sup kacang yang hangat dan manis. Mereka sedang memakan sisa masakan Luina, jadi dia harus membuat makan malam mereka sendiri.
Myuke-lah yang menghangatkan makan siang mereka, dengan ahli menggunakan batu kadal api sampai-sampai dipuji oleh adik-adiknya karena kendali atas api yang dia ciptakan, dan meski Myuke senang menjadi pusat perhatian, itu juga memberikan tekanan yang luar biasa padanya. Daripada mengandalkan sihir untuk memanaskan sisa makanan, membuat makanan lezat dari awal merupakan tantangan yang cukup berat. Yang bisa Myuke lakukan hanyalah berharap agar dia bisa memenuhi harapan adik-adiknya.
“Kenapa melamun, Myuke? Jangan sedih, oce?”
“Aku sedang memikirkan makan malam.”
“Sudah dipikirkan? Kita baru saja makan, oce? Apa kamu masih lapar?” tanya Bram dengan nada khawatir.
Hanya ada sedikit sup kacang yang tersisa, jadi dia memberikan sebagian besar makanannya untuk Bram dan Marie. Jika digabungkan dengan fakta bahwa Myuke telah menghabiskan mangkuknya dalam waktu yang begitu singkat, ada lebih dari cukup alasan bagi Bram untuk khawatir. Myuke tidak boleh membuat adik-adiknya mengkhawatirkannya; dia harus tetap kuat. Dia menoleh ke arah Bram dengan senyum meyakinkan untuk mencoba menenangkan dirinya.
“Tidak, aku sudah kenyang.”
Myuke tidak kenyang. Faktanya, dia kelaparan, tapi dia tidak bisa memberi tahu mereka tentang hal itu. Menggosok perutnya, dia memalsukan senyum senang.
“Oke, itu bagus. Agak aneh untuk memikirkan apa yang akan kita makan nanti malam secepat ini, oce?”
“Semakin cepat kita memikirkannya, semakin baik. Memasak tidak hanya ‘tambahkan ini, aduk itu, dan selesai’; itu membutuhkan banyak waktu. Tapi jangan khawatir, aku yakin masakannya akan siap sebelum matahari terbenam.”
Myuke dengan percaya diri membagikan apa yang dia ketahui soal memasak. Dia tidak ingin Bram menyadari bahwa ada kemungkinan mereka akan tidur dengan perut kosong.
Aku harus membuat sesuatu yang luar biasa. Aku berhutang budi pada Bram, Marie, Ayah, dan Ibu!
Memastikan mereka mendapatkan makanan yang enak untuk malam ini adalah misi terpenting yang pernah diberikan kepadanya. Jika dia gagal, lalu Anima dan Luina pulang untuk mengetahui kalau mereka kelaparan, mereka berdua pasti akan diliputi rasa bersalah yang luar biasa karena pergi keluar. Mereka berdua akan menyesal telah meninggalkan mereka sendirian, dan tidak akan pernah berkencan lagi. Sementara pikiran menakutkan itu menggerogoti dirinya, Bram membagikan sebuah ide.
“Kita hanya perlu makan apel dan roti jika memang harus, oce?”
“Tidak mungkin! Makan dengan benar itu hal yang sangat penting! Kamu akan menyesal nanti jika kamu tidak makan dengan sehat.”
“Kamu sangat baik, oce?”
“T-Tidak... Aku yang tertua, jadi itu sudah tugasku,” gumam Myuke. Adiknya yang imut pantas mendapatkan sesuatu yang enak, dan Myuke akan menghadapi tantangan itu.
“Ceyima kacih untuk makanannya!” senandung Marie tepat saat tekad Myuke kembali.
“Wow, kamu menghabiskan semuanya! Kerja bagus, oce?”
“Aku bantu beyes-beyes!”
Marie mengambil mangkuknya dan melompat dari kursinya.
“Tunggu, Marie! Kita akan mencuci piring di dapur kali ini, bukan di sumur.”
Myuke bisa menimba air jika dia benar-benar mau, tapi dia ingin menyimpan staminanya untuk memasak. Mereka menuju ke dapur, tempat kendi, yang telah diisi Anima sampai penuh dengan air semalam, telah menunggu mereka.
“Airnya akan kotor jika kita memeras kain lapnya ke dalam kendi, jadi ambil mangkuk lagi untuk itu, oce?”
“Ide bagus. Mari kita lihat…” Myuke melihat sekeliling dan menemukan ember yang cocok untuk itu. Mereka menyendok air ke dalamnya, lalu membasahi kain lap. “Ah, Marie, tunggu! Kamu akan membuat airnya—”
Myuke terlambat. Marie memeras kain itu, membuat genangan air yang cukup besar di kakinya. Myuke dengan cepat menyuruhnya untuk diam di tempat, lalu membawa handuk kering dan membersihkan lantai agar Marie tidak terpeleset.
“Wooow, kinclongnya! Myukey cangat pincay!”
“Terima kasih.”
“Aku juga bisa kinclong!”
Marie sibuk menggosok peralatan makan sebaik mungkin. Karena supnya adalah makanan sisa semalam, mereka hanya memiliki sedikit barang untuk dicuci, dan selesai dalam sekejap.
“Wow, kerja bagus, Marie!” puji Myuke. “Kita juga akan menggunakan ini untuk makan malam, jadi taruh saja di atas meja, oke?”
“Okeeey!”
Dia melihat Marie dengan riang berlari ke ruang makan, lalu melihat-lihat dapur. Ada selusin apel tergeletak di samping seikat pisang, bersama dengan roti, sosis, dan beberapa bumbu.
“Kita punya banyak bahan, oce?”
“Ya, tapi kita kekurangan bahan yang paling penting.”
“Yang paling penting? Oce…”
“Ya. Sayuran.”
Mereka yang makan sayur setiap hari tidak perlu khawatir sakit. Myuke telah dibesarkan seperti itu selama dia dalam perawatan Luina, dan tentu saja, dia tidak pernah sakit parah.
“Aku mau petik cayuy!”
“Kita akan segera memanennya, oce?”
“Wah, pelan-pelan! Jangan lari-lari!”
Mengejar adik-adiknya yang antusias, Myuke bergegas keluar rumah. Sinar matahari yang cerah hampir membutakannya saat dia melangkah keluar.
“Kami akan segera kembali,” dia meyakinkan ke arah rumah kosong, lalu lanjut mengejar adik-adiknya, sembari membawa topi jerami di tangannya. Dia membagikan topi jerami, lalu melihat ke ladang.
“Beritahu aku apa selanjutnya, oce?”
“Hmm, mari kita lihat…”
Dia meletakkan tangan di pinggangnya dan mengamati ladang. Lobak, wortel, bawang bombay, paprika, dan kentang semuanya sudah matang untuk dipetik. Ada sayuran lain yang tumbuh dan belum siap untuk dipanen, tapi mereka masih memiliki lumayan banyak pilihan. Mereka belum memutuskan apa yang akan dimasak, tapi dia pikir dia tidak boleh salah memilih kesukaan mereka.
“Baiklah, kalian berdua, sebutkan sayuran favorit kalian.”
“Aku suka ubi jayay! Itu sangat manis!”
“Ooh, bagus! Aku suka ubi jalar!”
Ubi yang bisa mereka beli di Garaat memiliki rasa biasa yang sangat sederhana, tapi ubi yang mereka tanam sendiri manis dan teksturnya jauh lebih baik. Mereka telah menanam ubi biasa sejak dulu, tapi setelah orang tua Luina meninggal dan mereka tidak mampu lagi membeli yang manis-manis, dia menukarnya dengan ubi jalar.
“Aku suka lobak, oce?”
“Lobak juga enak!” Yang tersisa hanyalah masalah untuk membuat makanan yang menggabungkan ubi jalar dan lobak. Ubi jalar enak digoreng, tapi dia belum pernah makan lobak goreng sebelumnya. “Hmm… Bagaimana kalau kita merebus ubi dan lobak bersama dengan sosis?”
Dia dengan setengah hati melontarkan idenya, tapi para gadis itu menyukai ide tersebut.
“Kedengarannya enak, oce?”
“Ayo yebus!”
Antusiasme adik-adiknya segera menghiburnya. Tanpa metode memasak, mereka hanya perlu mencabut sayuran dari tanah. Yang pertama adalah ubi.
“Lihat! Aku mau yang ini!” teriak Marie, menunjuk ke tanaman tinggi yang mencuat dari tanah.
“Oh wow, besarnya! Aku tidak sabar untuk memakannya, oce?”
“Baiklah, pertama-tama kita harus menggalinya. Tunggu sebentar.”
Myuke berjongkok dan mulai menggali di sekitar tanaman dengan tangan kosong. Akan lebih mudah menggunakan sekop, tapi dia tidak ingin merusak ubinya. Ingin membantu, Bram dan Marie juga berjongkok dan mulai menirunya.
“Tangan kalian nanti kotor,” Myuke memperingatkan.
“Lebih cepat jika kita semua membantu, oce?”
“Biyay kugayi! Aku gadis becay!”
“Bram… Marie…”
Senyuman cerah mereka menghilangkan semua kekhawatiran Myuke, dan memberinya aliran energi. Mereka menggali, menggali, menyeka dahi, lalu menggali lagi. Setelah beberapa saat, mereka berdiri dan setuju bahwa sudah waktunya ubi itu meninggalkan pelukan tanah yang penuh kasih. Trio itu meraih tanaman dan mempersiapkan diri untuk menarik.
“Pada hitungan ketiga! Satu, dua, tiga!”
Mereka mencabut tanaman itu dengan kuat, dan tiga ubi terbang keluar dari tanah.
“Ga!”
“Dan ini sangat besar, oce?!”
“Kelihatannya enak!”
Hanya dengan melihat ubi bulat sempurna yang indah saja sudah membuat Myuke lapar. Dia ingin mencari lobak yang enak secepat mungkin agar dia bisa lari ke dapur dan mulai memasak. Untuk itu, para gadis berjalan ke ladang bagian sana dan mulai mencari lobak yang menjanjikan. Marie dengan cepat menemukan satu lobak berdaun besar dan bergegas.
“Aku bisa tayik! Yihat!”
Dia membungkuk dan mengambil tanaman itu. Di bawah pengawasan kakak-kakaknya, dia menarik, menarik, dan dengan sekali angkat, lobak meluncur dari bumi, bertukar tempat dengan Marie, yang jatuh ke tanah.
“A-Apa kamu baik-baik saja?”
“Jangan menyakiti diri sendiri, oce?”
“Aku ketemu yobak becay!”
Kedua kakaknya menghela nafas lega saat Marie melompat dengan senyuman dan dengan bangga menunjukkan hasil tangkapannya.
“Wow, besar sekali, oce?”
“Tiga kentang dan satu lobak raksasa… Itu seharusnya cukup untuk kita, kan? Bisakah kalian membawanya ke sumur?”
Setelah memberikan tugas kepada adik-adiknya, Myuke pergi ke dapur, menuangkan air ke dalam ember, lalu kembali ke taman. Sulit baginya untuk membawa ember yang berisi air sampai penuh sendirian, tapi mengetahui bahwa adik-adiknya sedang menunggunya memberinya kekuatan yang dia butuhkan.
“Maaf aku terlalu lama! Ayo cuci sayuran ini!”
Marie suka mencuci. Bermain air di dapur itu berbahaya, tapi dia bisa bermain-main air di luar sesuka hatinya. Dia memasukkan ubi ke dalam air dan memercikkanya dengan riang.
“Semua kinclong!”
Dia mengangkat ubi yang telah bersih berkilau tinggi-tinggi ke udara dengan senyum berseri-seri.
“Kerja bagus! Aku juga sudah selesai, oce?”
“Lobaknya juga sudah bersih. Ayo bawa ke dapur!”
Dengan sayuran bersih dan ember kosong di tangan, mereka kembali ke dapur. Melangkah ke stadion tempat pertarungan akbar berlangsung, Myuke mendesah cemas.
Yah... Kurasa ini saatnya lakukan-atau-mati.
Rencananya adalah merebus ubi, lobak, dan sosis, tapi Myuke tidak bisa begitu saja memasukkannya ke dalam air tanpa persiapan. Semuanya harus dikupas dan dipotong agar sesuai dengan mulut kecil Marie, yang berarti satu hal: dia harus menggunakan pisau. Dia ketakutan. Sangat ketakutan. Tapi dia tidak boleh menunjukkannya, jangan sampai dia membuat adik-adiknya panik. Dia harus menjadi kakak yang bertanggung jawab serta dapat diandalkan, dan memastikan yang lebih muda bersenang-senang menjaga rumah untuk pertama kalinya.
“Baiklah, ayo kita potong!” kata Myuke untuk menyemangati dirinya sendiri, lalu mengambil pisau. Dia meletakkan lobak di atas talenan dan menekan bilah pisau ke dalamnya.
Whoa, benar-benar keras!
Pisau tersangkut di lobak. Itu membuatnya panik total, tapi dia memutuskan untuk menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri. Dia mulai menggoyangkan pisaunya ke depan dan ke belakang sampai pisau itu menghantam talenan dengan buk!, mengirim kedua bagian lobak itu menggelinding.
“Kerja bagus, oce?”
“Wooow!”
Gadis-gadis itu menyemangatinya, tapi dia tidak punya waktu untuk merayakannya bersama mereka. Dia masih harus memotong bagiannya menjadi irisan tipis. Ketika potongan-potongannya semakin kecil, risiko jarinya sendiri akan terpotong semakin besar, tapi dia terus melanjutkannya, dan akhirnya berhasil memotong seluruh sayurannya. Namun, itu, adalah bagian yang mudah—dia masih harus mengupas kulitnya. Dia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, dan mempersiapkan diri secara mental. Dia kemudian mengambil irisan lobak dan dengan hati-hati menyapukan bilah pisau di sepanjang tepinya.
“...”
“…”
Gadis-gadis itu menyaksikan dalam keheningan saat kakak mereka mengupas lobak dengan sangat hati-hati dan konsentrasi.
“S-Selesai.”
Myuke selesai dengan potongan pertama, tapi itu jauh dari sempurna. Tepinya sangat tidak rata, dan mengupas hanya satu irisan lobak membuatnya terasa seperti keabadian. Ada tujuh irisan lobak yang tersisa untuk dikupas, dan kemudian tiga kentang utuh setelah itu. Dengan kecepatannya saat ini, makan malam mereka tidak akan siap sampai Anima dan Luina kembali keesokan harinya.
Meskipun dalam situasi yang mengerikan, dia tidak dapat meminta bantuan. Pisau adalah peralatan yang berbahaya. Dia benar-benar bingung, tapi dia yang kian jatuh ke keputusasaan diganggu oleh suara ketukan pintu.
“Sepertinya kita kedatangan tamu, oce?”
“Ibu dan Ayah puyang?”
“Masih terlalu cepat bagi mereka untuk pulang. Terus juga, mereka tidak akan mengetuk pintu,” jelas Myuke saat lebih banyak suara ketukan datang. “Aku akan pergi dan memeriksanya. Kalian tetaplah di sini.”
“Tidak, biarkan aku yang memeriksanya! Aku hanya perlu menggunakan ini jika terjadi apa-apa, oce?” ujar Bram dengan berani, menyentuh anting-anting hijau cerahnya. Anting itu, batu sihir Naga Giok, luar biasa kuat; sangat sedikit orang yang bisa bertahan melawannya. Itu sangat kuat, pada kenyataannya, bukan tidak mungkin hanya ada satu orang di seluruh dunia yang bisa bertahan melawannya: yaitu Anima.
“Biar aku buka!”
“Baiklah, kalau begitu, bagaimana kalau kita semua memeriksanya?” Demi keamanan, Myuke memimpin jalan saat mereka mendekati pintu depan dan membukanya. “Oh, kamu rupanya.”
Senyuman lega muncul di wajah Myuke. Di depan mereka berdiri seorang wanita muda cantik berambut pirang—pemimpin dari Korps Pertama Ksatria Raiten, Shaer.
“Saaaer!”
Sudah tiga bulan sejak terakhir kali mereka melihat Shaer, tapi Marie masih mengingatnya. Dia berlari ke arah ksatria cantik itu dan memeluk kakinya. Shaer membungkuk, dan membalas pelukannya.
“Aku senang melihatmu masih seorang gadis kecil yang ceria seperti tiga bulan lalu, Nona Marie. Tapi oh, aku tidak bisa mempercayai apa yang dilihat kedua mataku. Apakah kamu sudah tumbuh besar, nona kecil?”
“Uh-huh! Apakah kamu tahu berapa umurku?”
“Katakan padaku berapa umurmu.”
“Aku empat!”
“Ya ampun, sudah empat tahun? Itu luar biasa! Aku senang melihat kalian berdua juga sehat-sehat saja.”
“Itu berkat masakan luar biasa Luina yang bisa kami makan setiap hari, oce? Apakah kamu juga sehat-sehat saja?”
“Aku sangat sehat. Meski harus kuakui bahwa aku sedikit lapar. Aku berpikir mau menerima tawaran Nyonya Luina untuk bergabung makan malam dengan kalian semua, jadi aku mampir,” jelas Shaer, bersemangat untuk memakan masakan Luina. “Ngomong-ngomong, di mana Tuan Anima dan Nyonya Luina?”
“Ibu dan Ayah sedang berkencan! Itu adiya kami!”
“Hari ini ulang tahun mereka, oce?”
“Ibu juga tidak masak hari ini.” Myuke berhenti sejenak. “Ngomong-ngomong, apakah sekarang kamu luang?”
“Aku harus ada di Ibu kota besok siang, tapi aku luang hari ini, begitulah.”
Butuh waktu sekitar setengah hari untuk sampai ke ibu kota menggunakan batu Pegasus miliknya, jadi dia tidak perlu pergi sampai nanti malam.
“Bisakah kamu membantu kami memasak?”
Sebagai tanggapan, Shaer mengerutkan alisnya dan menunduk.
“Malu untuk mengakuinya, tapi karena aku telah menjalani hidupku dalam jalan berpedang, aku belum berkesempatan untuk mempelajari cara menggunakan pisau. Namun, aku akan dengan senang hati menemani kalian ke Garaat jika kalian mau. Aku akan mentraktir kalian apa pun yang kalian inginkan, baik itu pesta manisan atau lainnya!”
“Itu tidak bisa. Bagaimana kalau kita malah berpapasan dengan mereka?”
“Tepat. Dan kami berjanji akan menjaga rumah, oce?”
“Bantu kami memocong!” tawar Marie sambil menarik tangan Shaer ke dalam. Itu pasti dorongan terakhir yang dia butuhkan, karena dia menatap Marie dan mengangguk dengan hati-hati.
“Jika kalian mau percaya pada diriku yang belum berpengalaman ini, aku akan dengan senang hati membantu!”
“Terima kasih banyak!”
Meskipun dia bilang bahwa dia tidak begitu ahli dalam menggunakan pisau, dia memiliki pendidikan dan latihan pedang yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun. Kemungkinannya besar bahwa dia setidaknya bisa memotong dan mengupas beberapa ubi jalar.
“Jadi, apa yang akan kita persiapkan?”
“Kita akan merebus lobak, ubi, dan sosis. Aku akan menyelesaikan mengupas lobaknya, jadi bisakah kamu mengupas ubi jalarnya dan memotongnya menjadi potongan-potongan berukuran kecil?”
“Dengan senang hati!”
“Bram, bisakah kamu menyiapkan pancinya?”
“Baiklah, oce? Berapa banyak air yang harus aku masukkan ke dalamnya?”
“Umm, kayaknya isi setengah saja, ya? Marie, bisakah kamu menyemangati kami?”
“Ayo masak! Ayo masak!”
Setelah membagikan tugas, Myuke kembali mengupas lobak.
“Oh tidak... aku tidak sanggup melihat semua pemborosan ini…” erang Shaer dalam kekalahan. Melirik ke atas, ubinya menjadi jauh lebih kecil, dan lapisan tebal daging yang bisa dimakan menempel di kulit yang telah dikupas.
“Kupas, Saer! Kupas, Saer!”
“Camkan kata-kataku, yang berikutnya akan sempurna!”
Myuke semakin fokus. Dia harus menyamai tekad Shaer.
“Selesai!” teriaknya.
“Aku juga selesai!” Akhirnya, semua pemotongan dan pengupasan selesai. Sudah waktunya bagi mereka untuk memasukkan sayuran—dan beberapa sosis lezat—ke dalam panci. “Bagaimana kamu ingin membumbui ini?”
“Mari kita lihat… Kurasa kita bisa menambahkan garam dan merica untuk saat ini,” kata Myuke, dan menambahkan sedikit bumbu ke dalam sup.
“Menurutku itu belum cukup, oce?”
“Ingin aku menambahkannya sedikit lagi?”
“Kurasa tidak ada salahnya menambahkannya sedikit lagi,” tambah Shaer.
“Oke… Bagaimana dengan ini?”
“Itu mungkin cukup, oce?” ujar Bram, meski menurutnya itu masih belum cukup.
“Jika kamu ingin lebih, tambahkan saja ke mangkukmu setelah masakannya jadi.”
Meskipun Bram ingin sedikit lebih banyak bumbu, Myuke melanjutkan dan menggunakan batu kadal api untuk mulai menghangatkan panci. Mereka berempat menyaksikan air perlahan mulai mendidih.
“Rencananya, berapa lama kamu mau membiarkan supnya mendidih?” tanya Shaer.
“Sampai irisan lobak menjadi lembut. Biar kuperiksa.” Myuke mengambil garpu dan mencoba memasukkannya ke dalam lobak. “Tidak, masih keras.”
Dia menunggu beberapa saat sebelum mencobanya lagi. Ketika akhirnya dia melakukannya, garpu dengan mudah menusuk irisan lobak, dan dia memadamkan api.
“Baiklah,” katanya, “Kupikir ini sudah jadi.”
Meskipun Myuke kurang antusias, Marie menatapnya dengan senyum cerah.
“Myukey, aku yapay! Peyutku jadi ‘grrr’!”
“Aku juga lapar! Ayo segera makan, oce?”
“Katanya, ‘Segalanya akan terasa lebih enak saat kamu lapar’. Aku yakin kita semua akan menikmati masakanmu, Nona Myuke!”
Mendengar isi pikiran mereka membuang semua kekhawatirannya.
“Ya, kamu benar! Ayo, mari kita makan selagi panas!”
Sup itu seharusnya terasa enak. Lagipula, itu adalah hasil dari usaha bersama antara mereka berempat. Myuke menyendok semangkuk sup untuk semua orang, saat yang lain menyiapkan meja. Dia mengisi kendi di dapur dengan air sebanyak yang bisa ditampung kalau-kalau rasanya mengerikan, lalu duduk.
“Aku bisa mengucapkan salam! Dengay! Makasih untuk makanannya!”
Mereka semua mengikuti contoh Marie, lalu merendam sendok mereka ke dalam sup.
“Mm, ini bagus,” kata Myuke. “Mari kita lihat bagaimana lobaknya terasa… Oh, wow! Tidak buruk sama sekali!”
Supnya agak terlalu ringan, dengan hanya beberapa potong setiap bahan yang mengambang, tapi itu dibumbui dengan baik.
“Ini sangat enak, oce?”
“Oh, aku ingat memotong yang ini!”
“Saer sungguh pincay!”
“Aku hanya bisa mencapai prestasi seperti itu berkat dukunganmu yang tak henti-hentinya, Nona Marie. Tentu saja, kepemimpinan karismatik Nona Myuke dan instruksi yang tepat juga berperan penting dalam kesuksesan.”
“Makasih, Myuke, oce?”
“Makasiiiiih!”
“Sama-sama!”
Myuke tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Dia telah berhasil memasak masakan pertamanya, dan sudah berencana ingin memasak satu lagi untuk Anima dan Luina, yang pasti akan menghargai usahanya dan menyukai hasilnya. Membayangkan hari dimana dia akan melakukan itu, dia terus makan sup yang mereka berempat buat bersama sampai tidak ada yang tersisa di mangkuknya.
◆◆◆
Setelah menonton dan benar-benar menikmati drama romantis tersebut, Anima dan Luina melanjutkan makan siang yang mengenyangkan dan lezat serta membeli beberapa pakaian baru. Pada saat mereka akhirnya duduk di bangku untuk beristirahat, matahari sudah mulai terbenam di balik cakrawala.
Anima sedang menikmati pemandangan, mengamati semua yang telah terjadi sepanjang hari. Dia tampak tenang dari luar, tapi dari dalam, jantungnya berdegup kencang. Matahari menghilang dari langit yang luas, yang berarti dia dan istrinya akan segera menuju ke penginapan. Sangat tidak mungkin baginya untuk tetap tenang ketika malam pertama mereka berduaan sedang mendekat dengan kecepatan yang sangat tinggi.
“…ma? Anima? Apakah kamu baik-baik saja?”
Pikirannya telah mengembara sangat jauh, tapi kembali tersadar dengan tergesa-gesa ketika Luina dengan ringan menarik lengan bajunya.
“Oh, maaf. Ya, aku baik-baik saja. Apakah kamu lapar?”
Anima mencoba mengulur waktu untuk menenangkan dirinya. Makan malam yang menyenangkan dan santai pasti akan memberinya kesempatan itu.
“Tidak, tidak juga, tapi aku tidak keberatan ikut denganmu jika kamu lapar.”
“Aku juga tidak lapar.”
Belum lama sejak mereka makan siang. Dengan putus asa hanya mengharapkan sedikit waktu, Anima memutar otak untuk mencari pilihan lain, sementara Luina dengan penuh harap menatapnya.
“Hari sudah mulai gelap,” kata Luina.
“Benar.”
“Apakah kamu lelah?”
“Tidak, aku baik-baik saja. Staminaku tidak terbatas.”
“Oh. Oke…”
Anima menyadari nada sedih dari suara Luina, tapi Anima tidak tahu kenapa Luina merasa seperti itu. Setengah tahun sejak mereka menikah, Anima mampu membaca pikiran Luina sampai batas tertentu, tapi hati seorang wanita seluas dan misterius seperti lautan. Dia tidak mungkin bisa memahami segala sesuatu tentang Luina dalam waktu sesingkat itu.
Tapi, itu bukan berarti dia bisa mengabaikan perasaan Luina. Luina bukanlah orang asing hingga tidak dapat mengutarakan perasaannya pada Anima, tapi itu kontras dengan kepribadiannya yang sopan dan beradab, yang memberikan tatapan lembut pertama kali yang membuat Anima jatuh cinta. Luina bukanlah tipe yang memberikan kode samar, dan karena dia tidak memberi tahu ada apa, itu berarti dia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kesedihan. Hanya ada satu emosi, yang akan mendorong Luina diam, yang terpikir oleh Anima: yaitu rasa malu.
Berdasarkan situasi mereka saat ini, satu hal yang pasti akan membuat Luina merasa malu adalah berciuman. Dengan kata lain, dia ingin menciumnya, tapi dia ingin berada di lokasi yang lebih pribadi dulu—terutama setelah apa yang terjadi pagi itu. Penginapan akan menjadi tempat yang aman untuk berciuman, dan bahkan mungkin lebih dari itu. Meskipun Anima masih belum menemukan cara untuk mengangkat topik itu, dia jelas bukan orang yang bisa menolak ciuman.
“Sudah semakin dingin,” kata Anima. “Haruskah kita pergi ke penginapan?”
“Ya, ayo,” jawabnya dengan senyum mempesona, membuktikan bahwa intuisi Anima tepat. Dengan dorongan kepercayaan dirinya sebagai seorang suami, dia meraih tangan Luina, dan mereka berjalan di jalan berbatu sampai mereka mencapai sebuah penginapan.
“Bagaimana menurutmu dengan tempat ini? Haruskah kita memesan kamar di sini?” tanya Anima.
“Ya. Dimanapun tak masalah selama aku bersamamu.”
Mereka memasuki penginapan dan menyewa kamar di lantai dua untuk bermalam. Kamarnya kecil, tapi nyaman. Di dalamnya hanya ada tempat tidur dan lemari kecil, jadi setelah melihat sekilas, mereka duduk di sisi tempat tidur.
Anima melirik ke arah Luina yang sedang melihat ke bawah, ke arah lantai. Anima tidak bisa melihat ekspresinya, tapi bahu Luina yang lembut tampak gemetar. Dengan asumsi bahwa Luina kedinginan, Anima dengan lembut meletakkan tangan di pundak Luina untuk menghangatkannya.
“Nh!”
Luina semakin menundukkan kepalanya. Bahunya ternyata hangat, yang mana itu melegakan, tapi itu juga menimbulkan pertanyaan kenapa Luina gemetar. Anima menghabiskan beberapa saat untuk memikirkannya, tapi tidak ada yang terlintas dalam pikirannya, jadi dia memutuskan untuk bertanya.
“Umm, Luina?”
“Eep?!”
Luina melompat dan menggigit lidahnya. Wajahnya semerah tomat, air mata mulai menggumpal di sudut matanya.
“Apakah kamu baik-baik saja?”
“Ah-Ahku hahik.”
Dia jelas tidak baik-baik saja.
“Tidak apa-apa, kamu bisa memberitahuku jika kamu kedinginan. Kita cukup mencarikanmu jubah hangat—Itu dia! Bagaimana kalau kamu mengenakan pakaian yang kita beli? Itu pasti membantu!”
“Aku tidak kedinginan. Sebenarnya, aku sedikit panas.”
Luina dengan lembut menepuk pipinya.
“Begitu ya… Yah, senang mendengarnya,” bisiknya, dan mereka sekali lagi terdiam. Detik-detik berlalu perlahan hingga matahari benar-benar lenyap dari langit. “Apakah kamu lapar?”
“Tidak, aku baik-baik saja, terima kasih. Kamu lapar?”
Mereka mengulangi diskusi sebelumnya, tapi itu lebih baik daripada ketenangan hening yang tidak nyaman. Malahan, Anima berharap itu akan menjadi penuh obrolan.
“Tidak, aku juga tidak lapar. Kita agak telat makan siang hari ini, tapi kupikir aku sebaiknya bertanya karena saat ini sudah jam makan malam. Sejujurnya, rasanya aneh duduk di sini bersamamu, hanya kita berdua. Tentu saja, itu bukan aneh dengan cara yang buruk, itu hanya… aneh.”
“Aku juga merasa begitu,” kekeh Luina. “Ini aneh, tapi aku menyukainya. Kita harus berterima kasih pada anak-anak karena telah memberikan kita hadiah yang luar biasa.”
“Ya. Myuke, Bram, dan Marie benar-benar berusaha keras. Kuharap mereka makan malam yang layak.”
“Aku yakin mereka membuat sesuatu yang enak.”
“Satu-satunya saat aku memakan masakan mereka adalah saat aku makan kue lumpur Marie. Aku ingin sekali mencoba makanan sungguhan yang mereka buat.”
“Aku juga. Mungkin kita harus meminta mereka memasak sesuatu untuk ulang tahun kita selanjutnya.”
“Itu ide yang bagus.”
Berbicara soal anak-anak sudah cukup bagi mereka untuk akhirnya mencairkan suasana. Tidak dapat menahan senyum mereka, mereka diam-diam saling memandang. Pada saat itu, di bawah langit berbintang yang tenang, Anima mendapati dirinya tersesat di mata biru lembut Luina.
Itu adalah mata yang sama, yang membuat Anima sangat jatuh cinta. Keduanya menikah dalam waktu satu jam setelah mereka bertemu, dan setengah tahun kemudian, mereka duduk bersama, hanya menikmati keberadaan satu sama lain. Hidupnya telah berubah secara ajaib dari kebencian dan pertumpahan darah menjadi cinta dan kehangatan, dan dia sangat bersyukur karenanya.
“Anima…”
Mata Luina membara dengan gairah, dan nafas hangatnya dengan lembut mengalir dari bibirnya yang menawan saat itu berkelap-kelip di bawah sinar rembulan. Terpesona, Anima memberikan ciuman, mewarnai pipinya dengan warna merah muda seperti matahari terbenam di balik awan musim panas.
“Akhirnya kita bisa berciuman,” kata Luina dengan lemah lembut.
“Ya, aku senang. Sejujurnya, aku ingin menciummu sejak pertunjukkan itu, tapi aku tidak mendapatkan kesempatan yang bagus. Aku sangat senang kita bisa melakukannya sekarang.”
“Aku juga. Dan aku akan lebih bahagia jika kita berciuman lagi.”
Menjawab permintaannya, Anima membungkuk untuk mencium lagi. Dia ingin mengambil langkah berikutnya, tapi dia tidak dapat memikirkan cara untuk melakukannya, dan itu tidak masalah. Dia tidak menyesalinya. Berciuman sudah lebih dari cukup baginya, karena kenangan manis yang mereka habiskan sepanjang hari ini akan terus hidup di hati selama sisa hidup mereka.
“Kamu tahu,” kata Anima, mengingat sesuatu, “Aku punya hadiah untukmu.”
“Oh, kamu tidak perlu membelikanku apa-apa.”
“Tentu saja aku harus. Kamu adalah istriku tercinta dan hari ini ulang tahunmu.”
“Terima kasih, tapi, umm… Maaf. Aku membuatkanmu syal, tapi aku meninggalkannya di rumah…”
“Jangan sedih. Aku tidak sabar untuk mencobanya.”
“Aku senang kamu menantikannya.”
“Tentu saja. Aku hanya berharap kamu akan menyukai hadiahku juga…”
Luina memperhatikan Anima merogoh sakunya dan mengeluarkan hadiahnya. Saat Anima mengeluarkannya, air mata mulai mengalir di mata Luina.
“Oh, Anima…!”
“Aku banyak berpikir soal apa yang harus kuberikan untukmu, dan memutuskan bahwa ini akan menjadi hadiah terbaik untuk ulang tahun pertamamu sejak kita bertemu. Aku tahu butuh waktu lama, tapi terima kasih sudah mau menikah denganku, Luina.”
Dia meraih tangan kiri Luina dan menyelipkan hadiahnya—cincin kawin—ke jari manisnya.
“Syukurlah ini cocok,” Anima mendesah lega. “Aku gugup tentang itu.”
“Terima kasih, Anima,” katanya, tersenyum riang pada cincin yang bersarang di jarinya. “Aku sangat bahagia. Ini mungkin terdengar egois, tapi satu-satunya hal yang bisa membuatku lebih bahagia adalah jika kamu juga memakai cincin.”
“Aku sudah menduga kamu akan bilang begitu,” kekeh Anima, “jadi, aku membeli untukku sendiri juga.”
Melihat Anima memasang cincin yang serasi di jari manisnya sendiri membuat senyum Luina semakin cerah.
“Anima, bertemu dan menikah denganmu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Kata-kata tidak bisa mengungkapkan betapa bahagianya aku.”
“Aku juga merasakan hal yang sama. Setiap hari dalam hidupku dipenuhi kegembiraan sejak kau memanggilku. Terima kasih telah menjadi istriku, Luina.”
“Dengan senang hati. Ayo kita terus membuat kenangan indah bersama-sama.”
“Ya, ayo…”
Mereka perlahan-lahan membungkuk semakin dekat sampai bibir mereka bersentuhan. Mereka melakukan ciuman yang panjang dan penuh gairah, dan Luina segera mendapati dirinya terbaring di tempat tidur saat mereka terus mengekspresikan perasaan mereka satu sama lain. Malam itu, di kamar yang nyaman, di salah satu dari banyak penginapan di Garaat, mereka berdua bercinta.
◆◆◆
Anima dan Luina berjalan di jalan berbatu pulang ke rumah, menikmati angin pagi yang menyegarkan.
“Apakah kamu kedinginan?” tanya Anima.
“Sama sekali tidak,” bisiknya, kepalanya bersandar di bahu Anima. “Berpelukan denganmu membuat pagi yang dingin ini sangat menyenangkan.”
Terpikat oleh senyum manisnya, Anima memeluknya lebih erat. Anima telah jatuh cinta padanya begitu mereka bertemu, tapi menghabiskan malam bersamanya membuat Anima makin mencintainya lebih dari yang dia kira. Anima ingin memeluknya dengan tenaga yang sama dengan perasaannya, saat perasaan meluap di dalam dirinya. Dia ingin begitu, tapi tidak bisa.
“Beri tahu aku jika sakit, oke?”
Anima luar biasa kuat. Dia bisa saja menyakiti Luina dengan setiap pelukannya. Tidak peduli seberapa erat dia ingin memeluk Luina, Anima tidak akan pernah melakukan itu dengan mengorbankan cinta dalam hidupnya.
“Kamu bisa memelukku lebih erat,” kata Luina. Kalimatnya pendek dan sederhana, tapi itu sudah cukup untuk membuat debaran di dadanya.
“B-Benarkah?”
“Sungguh. Aku bisa merasakan betapa kamu mencintaiku saat kamu melakukannya.”
“Aku senang mendengarnya.”
Diyakinkan oleh kata-katanya yang baik, Anima mendekap Luina. Biasanya, Luina tidak ingin bermesraan di depan umum, tapi dia sangat senang berada di dekat Anima sehingga dia tidak peduli. Luina pasti benar-benar sangat bahagia.
“Sungguh indahnya ulang tahun kita,” kata Luina.
“Ya, aku tidak akan pernah melupakannya. Aku tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan mereka berikan tahun depan.”
“Aku juga. Tapi pertama-tama, kita akan merayakan ulang tahun anak-anak berikutnya. Kita harus memikirkan sesuatu yang luar biasa untuk membalas pengalaman yang indah ini.”
“Benar. Berikutnya, ulang tahun Bram, kan? Aku tidak sabar untuk melakukan sesuatu yang luar biasa untuknya. Bayangkan saja senyuman di wajahnya.”
“Aku juga tidak sabar, tapi ada hal lain yang harus kita nantikan sebelum ulang tahunnya juga.”
“Misalnya apa?”
“Misalnya Festival Kostum!”
Pemberitahuan ceria dari Luina membuat jantung Anima berhenti.
“Festival, ya...?”
Matanya berkaca-kaca saat dia menatap tanah yang dingin. Sebuah ingatan dari masa lalu yang jauh mengalir kembali padanya, mengaburkan pikirannya. Itu adalah kenangan masa kecilnya, bahkan sebelum dia seusia Myuke, ketika dia hidup sebagai kambing hitam keluarganya. Sebuah festival sedang berlangsung di dekat rumah mereka, dan keluarganya telah meninggalkannya, pergi keluar untuk bersenang-senang dan menikmati warna-warni cerah, rasa unik, dan hiruk pikuk kota. Anima, yang dilanda kesepian, pergi untuk mengikuti mereka dan bersenang-senang, tapi tidak lama setelah dia pergi, matanya yang tampak kejam memprovokasi seorang pria hingga menampar telak wajahnya.
Pipi bengkak, pakaian robek, dan uang dicuri, dia bergegas pulang ke rumah, hanya untuk disambut oleh tatapan cemooh saudara-saudaranya. Dia berharap mereka akan merasa khawatir atau sedih padanya, tapi mereka malah berpihak pada pria yang telah memukul anak yang tidak bersalah. Mereka akan memanggilnya dengan cacian, memberitahunya, “makanya belajar cara berperilaku di dekat orang lain, dasar anjing gila!”, Dan lebih menutup diri darinya. Singkat cerita, Anima tidak berharap tinggi pada festival setelah itu.
“Apakah kamu baik-baik saja?”
“Ya, aku baru saja teringat sesuatu,” jawab Anima dengan senyum menenangkan. “Aku ingin sekali pergi ke festival bersamamu.”
Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak saat itu, dan dalam enam bulan yang dia habiskan bersama Luina, dia belajar untuk menangani bayangan masa lalunya. Menghabiskan waktu bersama istri tercinta dan anak-anaknya yang menggemaskan memberinya kebahagiaan yang jauh lebih kuat daripada rasa sakit yang sangat sedikit akibat trauma masa kecil. Berkat mereka, dia benar-benar bersemangat untuk acara tersebut.
“Jadi,” lanjut Anima, “bisakah kamu menceritakan lebih banyak tentang ‘Festival Kostum’ ini?”
Suara ceria Anima membuat Luina tersenyum lebar, dan dia dengan bersemangat menceritakan semua yang perlu diketahui. Festival Kostum akan dimulai pada akhir bulan depan, dan seperti namanya, semua orang akan mengenakan kostum. Menurut Luina, festival tersebut berawal dari kepercayaan masyarakat Garaat berabad-abad yang lalu bahwa arwah nenek moyang mereka akan kembali ke dunia fana setahun sekali untuk berhubungan kembali dengan keluarga mereka.
Kembalinya arwah-arwah itu memberikan kesempatan bagi arwah-arwah jahat untuk berkeliaran di dunia juga. Mereka akan memengaruhi pikiran orang, dan untuk menangkalnya, orang-orang akan mengenakan segala macam kostum untuk menakut-nakuti mereka. Namun, sangat sedikit orang yang masih mempercayai cerita itu. Semua orang hanya melihatnya sebagai kesempatan untuk bersenang-senang dan mengenakan kostum kreatif.
“Kedengarannya menyenangkan.”
Anima merasa seperti itu dari lubuk hatinya. Dia tidak sabar untuk melihat putri-putrinya yang cantik mengenakan kostum lucu apa pun yang mereka mau.
“Ya, sangat menyenangkan! Kami tidak bisa ikut selama beberapa tahun terakhir karena kesulitan keuangan, tapi itu sudah berakhir berkatmu.”
“Berhati-hatilah agar tidak masuk angin sebelum festival dimulai.”
“Aku akan pastikan untuk tetap memasak makanan sehat, memenuhi meja setiap hari.”
“Hanya mendengarmu mengatakan itu sudah membuatku lapar.”
“Aku juga, dan aku yakin anak-anak juga lapar. Ayo cepat pulang…” Suara Luina menghilang, dan dia mulai mengendus udara. Dia mencium aroma manis dari toko roti terdekat yang langsung dia kenali. Dia dan Anima telah meninggalkan penginapan sebelum matahari terbit, tapi itu bukan berarti kota itu masih tidur. Garaat baru saja mulai bangun, dan bisnis lokal bersiap untuk memulai hari yang sibuk. “Kita harus membelikan sesuatu untuk anak-anak sebelum pulang.”
“Ya,” Anima setuju dengan sepenuh hati. Itu akan menjadi hadiah mereka karena menjaga rumah.
Pasangan itu memasuki toko roti, di mana mereka membeli pound cake pisang yang baru dipanggang. Membayangkan senyum gembira anak-anak saat mereka melihat kue, yang semoga saja masih hangat ketika mereka sampai, mereka hampir jalan sambil melompat untuk kelaur dari toko tersebut.
Begitu di luar, mereka bergerak cepat agar mereka bisa melihat ketiga putri mereka lagi sesegera mungkin. Mereka tiba di rumah dalam waktu singkat, dan Luina membuka kunci pintu, membukanya dengan pelan agar tidak membangunkan anak-anak. Namun, saat melakukan itu, suara percakapan yang ramai keluar dari dalam rumah.
“Mereka sudah bangun…” kata Luina. "Apakah menurutmu mereka begadang sepanjang malam?”
“Mereka terlalu bersemangat untuk sehabis begadang. Dan juga, apakah kamu menciumnya?”
Mereka mengendap-endap ke dalam dan mengikuti aromanya.
“Ah! Ibu dan Ayah!”
Sambutan riang Marie menggema di seluruh rumah saat mereka melangkah ke ruang makan. Dengan tangan terulur, dia berlari ke arah Anima dan Luina dengan senyum berseri-seri, berhenti tepat di depan mereka, dan… hanya itu.
Dia mengalihkan pandangannya, tapi kemudian melihat ke atas dengan alis berkerut. Memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, seperti anak kucing yang mengikuti gerakan bola benang yang menjuntai, dia menilai situasinya. Dilema yang mengerikan telah muncul di hadapannya: siapa yang harus dia peluk lebih dulu?
“Kami pulang, Marie.”
“Bagaimana harimu kemarin? Apakah semuanya baik-baik saja?”
Anima dan Luina sama-sama mengelus kepalanya, yang langsung menggantikan ekspresinya yang bimbang dengan senyuman gembira. Pada saat yang sama, pintu dapur terbuka lebar, lalu Myuke dan Bram bergegas ke ruang makan.
“Selamat datang di rumah, oce?!”
“Kalian pulang pagi-pagi sekali! Apakah kencannya berjalan baik?!”
“Kami mengalami kencan yang luar biasa,” kata Luina, tersenyum dan mengangguk pada mereka. “Bukankah begitu?”
“Ya, itu luar biasa. Terima kasih atas hadiahnya, anak-anak.”
Anak-anak bertukar pandang dan tersenyum bangga.
“Sama-sama!Ayah tahu tidak, Ayah tahu tidak, aku menjaya yumah!”
“Dan lihat: kami memasak sendiri dua kali berturut-turut!”
“Itu sangat enak! Kami juga menyisakan sedikit untuk kalian, jadi lebih baik kalian mencobanya nanti, oce?!”
“Dan, dan Sher datang bekunjung!”
“Kami memberinya sambutan hangat, oce?”
“Ngomong-ngomong soal hangat, kami juga mandi!”
“Penuh uap!”
“Itu sangat nyaman, oce?”
“Lalu, kami minum susu setelah mandi! Ahhh, itu sangat menyegarkan!”
Mereka terus-menerus menceritakan tentang hari penuh kegiatan mereka di rumah, tapi, intinya adalah mereka bersenang-senang. Ini adalah pertama kalinya mereka menjaga rumah, dan itu berjalan lancar. Mereka tidak akan pernah melupakannya.
“Kalian para gadis melakukannya dengan sangat baik. Ibu bangga pada kalian”
“Dan karena itulah, kami membawakan kalian hadiah: pound cake pisang hangat! Haruskah kita memakannya bersama-sama setelah sarapan?”
Pemandangan pound cake yang indah membuat anak-anak tersenyum tak terkendali.
Post a Comment