[LN] Kiraware Maou ga Botsuraku Reijou to Koi ni Ochite Nani ga Warui! Volume 3 Chapter 5 Bahasa Indonesia

 

Chapter Lima: Bahaya Tak Terduga

 

Pada hari Festival Kostum tahunan, isi rumah Scarlett dipenuhi dengan tawa dan kegembiraan. Anak-anak berlari berputar-putar mengitari meja makan, sambil mengenakan kostum kelinci mereka.

“Adakah yang tahu hari apa ini?”

“Aku tauuu! Hayi Fesibal!”

“Ding-ding-ding! Cerdas!”

“Ahhh, aku tidak sabar untuk segera mulai, oce?!”

Anak-anak tidur lebih awal semalam, jadi mereka bangun relatif pagi. Dari saat mata kecil mereka terbuka, kegembiraan mereka terlihat jelas. Mereka berhasil menikmati sarapan dengan normal dan relatif tenang, tapi mereka langsung lepas kendali setelah bersih-bersih. Bersemangat untuk keluar, mereka mulai melompat-lompat di sekitar meja sambil mengenakan kostum mereka.

Itu tampak seperti sebuah festival tanpa berada di festival sungguhan. Anima bahkan tidak bisa membayangkan akan betapa senangnya mereka ketika mereka tiba di Festival sungguhan, tapi cukup untuk bilang kalau, Anima tidak sabar untuk menikmatinya bersama mereka.

“Festival! Festival! Festival pakaian!”

“Fesibal! Fesibal!”

“Wooo! Aku tidak sabar, oce?!”

Melihat mereka membuat Anima tersenyum. Ini pasti akan menjadi hari yang menyenangkan.

“Sungguh para malaikat kecil yang menggemaskan,” gumam Anima, yang membuat Luina terkikik sambil menatap bagian atas kepala Anima.

“Kamu juga menggemaskan. Bando kelinci itu terlihat bagus untukmu.”

Luina memuji penampilannya, tapi Anima agak biasa saja. Memeriksa dirinya di cermin, Anima menyimpulkan bahwa aksesoris itu tidak cocok dengan pakaiannya yang biasa.

Luina, di sisi lain, memakainya dengan anggun. Dia menawan, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, seolah-olah bando kelinci itu dibuat dengan satu-satunya tujuan agar suatu hari bisa dipakai oleh Luina. Pemandangan seorang wanita muda yang cantik dan cerdas mengenakan sesuatu yang kekanak-kanakan polos dan imut memiliki daya tarik yang tak terlukiskan. 

 


 

“Itu terlihat bagus untukmu juga. Mungkin kamu harus lebih sering memakainya.”

“Aku tidak mungkin bisa…” Luina membelai telinga kelincinya, lalu dengan malu-malu melihat ke bawah, ke arah lantai. “Ini terlalu kekanak-kanakan.”

“Kamu sangat menggemaskan. Apa pun terlihat bagus untukmu, tidak peduli betapa kekanak-kanakannya.”

“Kan, mulai lagi… Aku akan memakainya untuk Festival berikutnya juga, tapi kamu harus menunggu sampai saat itu tiba.”

“Itu menambah satu lagi alasanku untuk menantikannya.” Anima sudah bersemangat untuk Festival tahun depan, tapi untuk saat ini, dia akan menikmati yang sekarang. Anima bertepuk tangan untuk menarik perhatian semua orang. “Apakah semuanya sudah siap untuk berangkat?”

Anak-anak dengan bersemangat melompat ke arah Anima.

“Lihat kami! Kami siap berangkat sekarang juga!”

“Aku juga siap melawan dingin! Kostum ini nyaman dan hangat, oce?”

“Hayoooo!”

Anak-anak siap berangkat, tapi Anima memastikan untuk memeriksa kostum semua orang, untuk berjaga-jaga. Angin yang menderu-deru di luar membuat hari yang akan datang tampak dingin, tapi kostum mereka yang hangat dan nyaman sepertinya sudah lebih dari cukup untuk meredakannya. Anima mengambil kantong uangnya lalu memadamkan api yang menari-nari di perapian, dan mereka siap untuk pergi.

“Apa kamu baik-baik saja?”

Luina bersandar di meja, tangannya menempel di mulutnya. Luina berbalik ke arah Anima, dengan cepat menyingkirkan tangannya, dan tersenyum hangat untuk menghilangkan semua kekhawatiran Anima.

“Aku mau bersin, tapi tidak jadi.”

“Apa kamu mau memakai sesuatu yang lebih hangat? Di luar terlihat dingin.”

“Mantel yang kamu belikan ini sudah cukup untukku.”

Luina dengan lembut membelai mantel yang dibelikan Anima saat kencan mereka. Mereka pergi ke toko pakaian, tempat Anima membeli barang terhangat yang mereka miliki, dan mantel itulah yang mereka berikan. Mantelnya berat, hangat, dan nyaman—dengan pasti membuat Luina tetap hangat bahkan pada hari-hari terdingin.

“Senang mendengarnya, tapi bukankah tanganmu dingin?”

“Iya. Apakah menurutmu kamu bisa menghangatkannya untukku?”

“Dengan senang hati!”

Anima meraih tangan mungil Luina, memeriksa perapian untuk terakhir kalinya, lalu meninggalkan rumah bersama keluarganya. Di luar memang dingin, tapi bahkan Bram pun sepertinya bisa menahannya dengan baik dari dalam kostum kelincinya yang hangat.

“Ke arah mana Festivalnya? Aku penasaran apakah ada yang tahu, oce?”

“Umm, di cebeyah cana!”

“Kerja bagus! Kamu sangat tanggap, oce?”

“Ayoook!”

“Jangan lari-lari! Itu bahaya!”

“Coba tangkap aku, oce?!”

“Aku akan membuatmu memakan kata-kata itu! Aku jauh lebih cepat darimu!”

Ikut bersenang-senang, Myuke mulai berlari dan langsung menangkapnya. Melihat kakak-kakaknya bersenang-senang, Marie berlari dan memeluk mereka.

Menonton anak-anak bermain, Anima, yang tersenyum gembira, mendengar beberapa suara asing. Bahkan, meskipun ada suara anak-anak yang bermain, dia bisa mendengar suara Festival meskipun begitu jauh, yang mana hal itu hanya memenuhi harapannya. Bersemangat untuk apa yang menanti, mereka menuju Garaat.

Mereka memasuki kota familiar yang dilukis dengan cahaya yang asing. Mainan mewah will-o'-the-wisp berwarna-warni menggantung di setiap bangunan, sementara orang-orang dengan kostum warna-warni berjalan di jalanan. Hari masih pagi, tapi jalanan sudah padat. Anima bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana jalanannya nanti, tapi dia bersemangat untuk mengetahuinya.

“Hai, Wiwwy! Aku Marie!”

Marie melambai pada will-o'-the-wisp, yang mewakili jiwa orang mati yang kembali. Bersikap ceria dan baik kepada mereka adalah bentuk untuk menenangkan mereka bahwa semuanya baik-baik saja. Luina telah mendekorasi ruang makan mereka dengan mainan will-o'-the-wisp-nya sendiri, dan tentu saja, anak-anak menyukainya.

Sambil menikmati hiruk pikuk kota, Marie mulai mengendus-endus udara.

“Aku mencium bau manis!”

Myuke dan Bram segera mengalihkan perhatian mereka dari mainan ke bau misterius.

“Oh ya, aku juga mencium baunya. Menurutku itu kue kering.”

“Hmm… Baunya datang dari arah sana! Ayo periksa, oce?!”

“Ayoook!”

“T-Tidak, berhenti! kalian akan tersesat jika kalian berkeliaran sendiri!”

Myuke sama bersemangatnya dengan mereka pada harapan makanan panggang, tapi dia cukup tenang untuk tidak bertindak gegabah. Dia meraih tangan adik-adiknya dan berbalik ke arah sumber bau.

“Ibu sangat senang Myuke sangat bertanggung jawab,” kata Luina.

“Ya. Dia tentunya yang paling tua dari mereka bertiga.”

“I-Ini bukan apa-apa,” jawab Myuke dengan lemah lembut. “Aku akan menjaga mereka berdua; Ayah Ibu diam di sini saja dan berciuman atau semacamnya!”

Luina langsung jadi merah padam.

“Ibu tidak bisa menciumnya di sini!”

Mereka berciuman di alun-alun saat kencan, tapi Luina masih tidak suka bermesraan di depan umum. Sebenarnya, komentar itu memicu kegembiraan Anima untuk ciumannya nanti, tapi pertama-tama, dia harus mengisi perut putri-putrinya.

 “Oke, beritahu Ayah, siapa di antara kalian yang ingin camilan?”

“Akuuu!”

“Ayo pergi, ayo pergi! Aku tidak mau kehabisan kue, oce?!”

“Dan aku tidak mau kamu lari ke sana dan tersesat, astaga!” protes Myuke, tapi mungkin hanya pura-pura. Entah dua gadis yang bersemangat itu dengan mudah mengalahkannya, atau Myuke hanya mengalah dan sekedar pura-pura menahan mereka. Yang manapun itu, dengan dia ditarik oleh Bram dan Marie, keluarga itu pergi ke sumber bau tersebut.

Mereka segera tiba di toko roti yang mereka kenal, yang membuat kios di depan toko untuk berjualan, bukannya memanfaatkan bangunan dalam toko seperti biasa. Hal pertama yang menarik perhatian Anima adalah puluhan pancake kecil seukuran gigitan yang telah mereka siapkan, dan ketika dia melihat sekeliling, dia menemukan bahwa orang-orang dengan nikmat memakannya dari tusuk sate.

“Enyak…”

“Lihat ini, ini sangat kecil dan imut! Mmm, aku ingin memakan semuanya, oce?!”

“Jangan hanya berdiri di depan kios seperti itu! Itu tidak sopan!” tegur Myuke saat dia menyeka air liur dari wajahnya. Myuke berdiri dengan bangga, menikmati rasa hormat adik-adiknya pada anak tertua setelah memastikan bahwa mereka tidak menyadari kesalahannya.

Meskipun Bram dan Marie tidak menyadarinya, Anima sadar. Cara putri-putrinya yang menggemaskan meneteskan air liur di atas pancake membuatnya merasa berkewajiban untuk menyenangkan mereka. Anima mengeluarkan kantong uangnya dan mendekati kios.

“Tolong, berikan aku pancake yang bisa dibeli dengan uang segini.”

Penjual itu terbelalak melihat koin emas yang Anima lemparkan padanya.

“Maaf, Anima, tapi ini kebanyakan. Kami tidak akan dapat menyelesaikan pesananmu meskipun kamu memberi kami waktu seharian penuh. Kalian keluarga berjumlah lima orang, kan?”

“Ya.”

“Apa kamu punya lima koin tembaga?”

“Ada, tunggu bentar.”

Dia mengambil lima koin tembaga dan melihat pria itu menusuk pancake.

“Ini dia. Kuharap kalian menikmatinya.”

Anima mengambil lima tusuk sate dan membagikannya, sampai mereka berlima masing-masing dapat satu. Senyum lebar anak-anak saat mereka mengagumi suguhan manis itu tak ternilai harganya.

“Makasih, Ayah!”

“Makasih, oce?!"

“Terima kasih, Ayah!”

“Sama-sama,” jawab Anima dengan senyum senang. “Sebaiknya jangan makan sambil jalan, jadi mari kita cari tempat untuk memakannya.”

Dengan anak-anak terpaku pada pancake mereka, mereka semua perlahan pindah ke daerah yang tenang di mana mereka tidak akan mengganggu kios. Di sana, mereka mulai menjejali pipi mereka.

“Yum! Ini ultra lezat, oce?!”

“Ya, harus aku akui, ini enak!”

“Manis dan enyak!”

“Hati-hati, anak-anak,” kata Luina pada mereka. “Jika  memasukkannya terlalu banyak ke dalam mulut, nanti bisa-bisa kalian tersedak.”

“Tapi, ini sangat enak! Ayo, cobalah!”

“Baiklah, tidak masalah… Mmm, wow! Kamu benar, ini sangat enak.”

Luina dengan bahagia mengunyah pancakenya, satu demi satu. Anima telah menyadarinya ketika mereka sedang makan wafel saat kencan, tapi pancake itu sepenuhnya meyakinkan dia bahwa istrinya menyukai makanan manis.

“Kamu juga bisa memakan punyaku,” kata Anima padanya.

“Apakah Ayah tidak suka makanan manis?” tanya Myuke.

“Tidak, Ayah suka kok.”

“Kalau begitu, makanlah! Ini sangat manis dan enak!”

“Aku setuju, kamu harus mencobanya,” tambah Luina. “Sini, biar aku bantu. Katakan ‘Ahhh’, kereta datang!”

“Ahhh…” Anima secara refleks membuka mulutnya. “Omnom… harus kuakui, ini sangat enak.”

“Benarkan?! Ini tidak akan menjadi festival tanpa makanan yang luar biasa, itu pasti!”

“Aku suka fesibal!”

“Ayo kita mampir ke tempat lain setelah kita selesai makan, oce?”

Mereka melahap sisa pancake mereka dalam sekejap, lalu melemparkan tusuk sate ke tempat sampah yang terletak di sebelah kios.

“Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” tanya Myuke. Dia sebelumnya begitu terpaku untuk bersikap dewasa, tapi sekarang benar-benar dikuasai oleh kemeriahan festival. Melihatnya sedikit santai membuat Anima semakin bersemangat mengikuti Festival.

Mereka berlima saling bergandengan tangan dan mulai berjalan di jalanan yang ramai. Beberapa saat ketika sedang dalam perjalanan mereka untuk pengalaman kuliner lain tak terlupakan, ada raungan keras, gonggongan, dan lolongan menggelegar di jalanan. Itu semakin dan semakin keras ketika keluarga itu berjalan menuju alun-alun.

“Apakah ada perkelahian?”

Jika memang ada, yang terbaik adalah membawa anak-anak ke tempat lain. Terlibat dalam perkelahian itu tidak menyenangkan ataupun meriah.

“Itu sebenarnya kontes teriak,” jelas Luina.

“Apa itu?”

Menurutnya, lomba teriak meminta pesertanya untuk meniru suara makhluk dari kostum yang mereka pakai dengan sebaik-baiknya. Tujuannya adalah bahwa auman dan jeritan yang ganas akan menakuti roh-roh jahat.

“Kedengarannya menyenangkan.”

“Memang sangat menyenangkan, dan semua orang yang ambil bagian mendapat hadiah.”

Penyebutan hadiah segera menarik perhatian anak-anak.

“Aku aum cangat keyas!”

“Aku yakin semua orang akan kagum dengan teriakanmu, Marie. Haruskah kita ikut?”

“Aku mau ikut!”

Marie segera bergabung, tapi Bram dan Myuke anehnya tampak khawatir.

“Kalian jadi sangat diam. Apa perut kalian sakit?”

Bram menggelengkan kepalanya.

“Aku hanya tidak tahu seperti apa suara kelinci, oce?”

“Ya, aku juga tidak tahu. Apakah Ibu tahu?”

“Benar juga, sekarang setelah kalian menyebutkannya, Ibu rasa Ibu belum pernah dengar kelinci bersuara.”

Sementara para gadis mendiskusikan masalah ini, Anima tetap diam, berusaha sekuat tenaga untuk mencari tahu seperti apa suara kelinci. Saat dia begitu, Myuke sepertinya mendapat ide. Myuke melihat ke bawah, ke arah tanah dan mulai bergumam pada diri sendiri.

Bun! …Mungkin? A-Apa-apaan senyum itu?!” teriak Myuke, wajahnya semerah rambutnya.

“Itu sangat lucu; Aku sangat menyukainya. Bun!

“Aku juga menyukainya, oce? Bun!

“Aku juga! Aku suka bun!

Bun! Sungguh saran yang luar biasa.”

Myuke menikmati pujian. Dengan misteri terpecahkan, mereka menuju ke alun-alun dan mengantri sebagai peserta. Antrian bergerak cepat, dan mereka segera mendapati diri mereka di bagian depan antrian. Bergandengan tangan, mereka berlima berjalan ke atas panggung dan berbaris, di mana mereka berteriak dari atas paru-paru mereka.

“Bun!”

Mereka tidak tahu apakah suara yang mereka buat itu benar, tapi suara mereka jelas cukup keras. Penonton mengirimkan kepergian mereka dengan tepuk tangan meriah saat penyiar memberikan mereka masing-masing sepotong kecil permen, memuji anak-anak atas penampilan mereka yang luar biasa.

Menikmati permen manis, mereka tinggal sebentar untuk mendengarkan peserta yang datang setelah mereka, dan ikut bertepuk tangan saat masing-masing peserta selesai. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk menghabiskan permen mereka, setelah itu anak-anak mulai bersemangat mencari petualangan mereka berikutnya.

“Ayo pergi ke tempat lain, oce?”

“Bagaimana kalau kita berjalan keliling kota? Kita mungkin akan menemukan sesuatu yang keren!”

“Ide bagus! Ayo jalan-jalan kemana saja dan makan semua cemilan enak yang bisa kita temukan, oce?!”

“Cemiyan!”

Mereka memulai perjalanan mereka mengelilingi kota—dipimpin oleh Myuke, Bram, dan Marie—untuk menemukan semua suguhan yang ditawarkan Festival. Mereka sangat senang dengan rasa dan aroma yang akan mereka temukan.

“Nh!”

Tiba-tiba, Luina mulai terhuyung-huyung. Dia jatuh berlutut dan menutup mulutnya dengan tangan.

“A-Ada apa?!” tanya Anima, ketakutan. Dia tidak tahan mendengar istrinya yang cantik mengerang kesakitan, tidak mampu berdiri.

“Tunggu, ada apa?!”

“Jangan-jangan Ibu sakit, oce?!”

“Sakit, sakit, pegiyah!”

Mengetahui apa yang terjadi, anak-anak mulai ketakutan juga. Panik di depan anak-anak hanya akan memperburuk situasi, tapi Anima tidak bisa menahannya. Mustahil baginya untuk tetap tenang ketika istrinya menderita.

“Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” kata Luina dengan nada tenang yang biasa, meyakinkan semua orang dengan senyum hangat.

Anima sangat akrab dengan senyum jujur dan tulus Luina. Karena itulah, rupanya, Anima langsung tahu kalau Luina memaksa senyum dengan harapan untuk menenangkan semua orang, dan Anima tidak bisa memikirkan alasan kenapa Luina begitu selain karena dia merasa sakit. Anima perlahan-lahan menenangkan dirinya sendiri; dia perlu membantu Luina, dan dia tidak bisa melakukannya dengan benar jika dia panik. Apa pun masalahnya, Anima tidak bisa membiarkan Luina memaksakan dirinya lebih jauh. Keselamatan Luina adalah prioritas nomor satu baginya.

“Jadi, kemana kita akan pergi selanjutnya?” Luina berdiri dan bertanya, bertingkah ceria seolah tidak terjadi apa-apa. Luina tahu pada betapa semua orang sangat menantikan Festival dan bahwa tidak akan ada kesempatan lain untuk mengalami tingkat kegembiraan yang tinggi seperti itu sampai tahun berikutnya.

Anak-anak benar-benar tertarik oleh Festival sejak mereka mengetahuinya. Membuat rencana tentang itu adalah topik harian di meja makan; pada dasarnya hanya itulah yang dibicarakan oleh Bram dan Myuke selama beberapa hari terakhir, dan Marie bahkan mencoba untuk menerbangkan kesusahan sehingga mereka akan memiliki hari yang menyenangkan untuk itu. Merusak hari seperti itu pasti akan menghancurkan Luina. Tapi itu tidaklah masalah; ada hal-hal yang lebih penting bagi mereka.

“Kita akan pulang,” kata Anima dengan nada tegas, tidak menyisakan ruang untuk berdebat.

Sekedar mengalami vertigo sudah menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk pulang, tapi Luina telah menunjukkan gejala yang sama minggu sebelumnya. Anima sekarang mengerti bahwa Luina juga bukannya menahan bersin pagi itu — dia mungkin mengalami rasa mual yang luar biasa. Jauh dari ideal untuk membuat Luina berjalan berkeliling kota dalam kondisinya itu, dan yakin kalau anak-anak akan memihak Anima.

“Ayah benar! Ibu harus berbaring! Ibu tidak boleh memaksakan diri saat sakit!”

“Tapi kalian sangat bersemangat mengikuti Festival…” Luina merasa bersalah, tapi Marie menggelengkan kepalanya. Marie berjalan ke arah Luina, meraih tangannya, dan menatapnya dengan senyum yang mempesona.

“Tahukah Ibu, tahukah Ibu, Fesibal itu menyenangkan! Ada banyak yang enyak! Dan kica meyakukan bun! juga! Tapi, tapi, itu cudah cukup! Kica puyang!”

“Aku sangat kenyang,” Bram mengangguk setuju sambil mengusap perutnya. “Aku benar-benar ingin pulang dan bersantai, oce?”

Anak-anak mencoba menghiburnya. Bagi semua orang di keluarganya, kesehatan Luina jauh lebih penting daripada suatu festival.

“Di luar sangat dingin. Ayo pulang dan menghangatkan diri.”

“Maaf…”

“Jangan minta maaf. Kamu tidak salah.”

Semua dukungan dari keluarganya membuat senyum tipis muncul di wajah Luina. Anima menggendongnya, dan mereka berlima berjalan pulang.

◆◆◆

 

Anima sangat berhati-hati untuk berjalan semulus mungkin agar istrinya bisa pulang dengan nyaman; berguncang-guncang dalam pelukannya hanya akan memperburuk situasinya. Dia perlahan membawa Luina ke kamar, tempat Anima membaringkannya untuk beristirahat. Saat Anima meletakkannya, Luina tersenyum padanya.

“Terima kasih, tapi aku baik-baik saja,” katanya tidak hanya pada Anima, tapi juga kepada putri-putri mereka. Mereka bertiga berdiri di samping tempat tidur, dengan cemas mengawasinya.

“Baguslah. Tetap saja, diamlah di tempat tidur untuk hari ini.”

“Kami akan melakukan semua pekerjaan rumah sehingga Ibu tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, oce?”

“Aku juga akan bantu! Aku empat cahun!”

Marie, yang dengan bangga menunjukkan empat jari, membuat Luina terkikik. Dia merasa lega dikelilingi oleh keluarganya yang baik dan tercinta.

“Ibu sangat bersyukur memiliki kalian anak-anak dalam hidup Ibu. Ibu akan bersantai untuk hari ini. Janji.”

Untuk sesaat, rasa lega terpancar dari ketiga gadis itu, tapi itu langsung berubah menjadi tekad yang membara. Mereka menyadari bahwa tugas di depan mereka akan terbukti sulit, tapi mereka siap untuk mengatasinya dengan kemampuan terbaik mereka. Sementara itu, Anima harus menjaga indranya tetap tajam untuk memastikan agar anak-anak tidak terluka saat mereka bekerja keras.

“Haruskah kita pindah ke ruang makan setelah hangat?” tanya Anima.

“Ya, itu akan menyenangkan. Aku ingin tetap di dekatmu, kalau tidak, ini akan jadi sangat sepi dan membosankan. Ah, aku tahu! Kita bisa membuat makan malam bersa—”

“Lupakan itu!” balas Myuke, memotongnya. “Ibu hanya akan mulai melakukan semuanya sendiri!”

“Bolehkah Ibu hanya menonton saja?” Luina mencoba berunding dengan Myuke, bahkan mengeluarkan ekspresi anak anjing yang sedang sedih.

“Tidak. Di dapur dingin.” Myuke berdiri kokoh, mengarahkan maksudnya kembali dengan desahan putus asa. “Serius, bukankah Ibu baru saja bilang kalau Ibu akan bersantai untuk hari ini? Ibu harus berhenti khawatir; kami akan mengurus semuanya hari ini. Ibu fokuslah saja untuk kembali sehat, oke?”

“Tapi, Ibu sudah merasa jauh lebih baik.”

Dia memang tampak jauh lebih baik—kepucatannya telah hilang, dan sepertinya dia tidak sedang masuk angin. Bisa jadi itu adalah vertigo tiba-tiba.

“Yah, sepertinya Ibu tidak demam,” kata Myuke, memegangi dahi Luina dengan tangannya.

“Tapi jika Ibu tidak demam, apa masalahnya? Aku hanya tidak mengerti, oce?”

“Ibu pasti kelelahan.”

“Tidak sama sekali. Bagaimana mungkin Ibu bisa kelelahan ketika kalian semua ada di sini untuk membantu Ibu?”

“Tidak masalah, kamu masih perlu istirahat hari ini,” perintah Anima. Dia harus tegas, kalau tidak, Luina akan segera berdiri dan mulai bekerja. Luina harus mengambil libur dan istirahat yang cukup.

“Bu, jadiyah gadis yang baik!”

Luina menghela nafas kecil.

“Bagaimana mungkin Ibu bisa menolakmu, Marie? Baiklah, Ibu tidak akan mengangkat jari hari ini.”

“Yaaay! Gadis baik!”

Marie membelai kepala Luina, yang menenangkan jiwanya. Cinta keluarganya adalah obat terbaik yang bisa dia minta.

“Senang rasanya kalau Ibu mau istirahat, tapi cuacanya cukup dingin. Aku bisa mengambilkan syal dan sarung tangan Ibu jika Ibu mau, oce?”

“Ibu tidak akan bisa tidur kalau memakai itu,” kata Myuke, “jadi… Itu dia! Ayo buatkan Ibu secangkir susu hangat! Bu, biar aku pinjam batunya!”

“Berhati-hatilah agar tidak terluka.”

“Aku akan baik-baik saja! Kami membuat sup sayur sendiri, ingat?” Myuke mengambil batu itu, lalu menatap lurus ke mata Luina, seperti seorang ibu yang siap memberikan instruksi pada anaknya. “Aku akan memberitahu Ibu jika sudah jadi, Ibu tunggu saja di sini, oke?”

“Oke, Ibu akan menunggu.”

Dengan persetujuan Luina, Myuke berbalik ke arah Marie.

“Marie, bisakah kamu tinggal di sini bersama Ibu? Ibu akan kesepian kalau sendirian.”

“Uh-huh!”

Marie dengan penuh semangat mengangguk. Matanya berbinar dengan tekad—sama seperti yang lain, dia siap melakukan semua yang dia bisa untuk Luina. Anima berbalik ke arah Marie dan mengacak-acak rambutnya.

“Di sini dingin; bagaimana kalau kamu bersembunyi di bawah selimut bersama Ibu?”

“Okeeey!” Marie melompat ke tempat tidur dan meringkuk di samping Luina. “Ibu hangat?”

“Ya, sangat hangat.”

Tersenyum riang, Marie meringkuk lebih dekat ke Luina. Dengan mereka berdua di tempat tidur, Anima melirik Myuke, dan mereka berbalik ke arah pintu. Anima pikir mereka bisa mulai dengan menghangatkan ruang makan menggunakan bantuan perapian, tapi ada satu hal lain yang harus dia lakukan terlebih dahulu.

“Kamu ikut juga, Bram?”

“Tentu saja! Aku akan melakukan apa saja untuk Ibu, oce?”

“Kamu gadis yang sangat baik dan pemberani.”

Ada kemungkinan akan terjadinya kecelakaan mengerikan jika tidak ada orang untuk terus mengawasi perapian, jadi mereka memutuskan untuk menyiapkan susu terlebih dahulu. Mereka bertiga menuju ke dapur, yang tetap sama dinginnya seperti di luar rumah karena angin dingin yang bertiup masuk melalui sela-sela ventilasi dapur.

“Terima kasih kostum kelinci. Ini nyaman dan hangat, oce?”

“Kamu sangat kuat.” Anima dengan lembut membelai rambut peraknya untuk memuji dia karena berani melawan dingin dengan sangat baik. “Oke, ayo kita lakukan yang terbaik untuk membuatkan Luina secangkir susu hangat yang lezat!”

“Ayo, oce?!”

“Maaf karena merusak semangat kalian, tapi aku bisa membuat susu hangat sendiri. Aku baru saja menghangatkan susu, jadi bisakah Ayah memotong beberapa apel saja? Pastikan dipotong kecil dan mudah dimakan.”

“Ayah akan membuat potongan apel terbaik yang pernah kamu lihat!”

“Luar biasa. Bram, tolong ambilkan piring, garpu, dan cangkir.”

“Tentu, oce?”

Semua orang mulai bekerja berdasarkan instruksi Myuke. Myuke sendiri menggunakan batu kadal api untuk mulai memanaskan panci, sementara Anima sibuk memilih apel yang paling indah dari keranjang. Dia memotongnya menjadi enam bagian dan memindahkannya ke piring yang dipilih Bram, menandai akhir dari tugasnya—atau begitulah pikir Anima.

“Ayah, tolong ambilkan cangkir dari rak untukku, oce?”

Anima segera memenuhi permintaannya dan meraih cangkir.

“Ini dia.”

“Terima kasih, oce?”

“Sama-sa—”

Cangkir terlepas dari genggaman Anima. Untungnya, Bram ada di sana untuk menangkapnya.

“Fiuh, hampir saja, oce?”

“Ada apa?”

Myuke terkejut.

“Ayah menjatuhkan cangkirnya, oce? Tapi, aku berhasil— Eep!”

Bram membeku di tempat, bibirnya bergetar, saat Anima meletakkan tangannya di bahu Bram. Cangkir jatuh dari tangannya, tapi untungnya, Myuke cepat tanggap.

“Fiuh, nyaris.”

“Wow, aku terkesan, oce?! Itu sangat cepat, Myuke! Tapi ngomong-ngomong, umm, ada apa, oce?”

“Maaf, Ayah tidak bermaksud mengagetkanmu. Tapi, maaf, apa yang kamu katakan tadi?”

“Entahlah, oce? Memangnya aku bilang apa?”

Bram memiringkan kepalanya dengan bingung, dan Anima menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan emosinya yang berkecamuk.

“Apakah kamu barusan... memanggilku ‘Ayah’?”

“Oh, kayaknya begitu… Huh, aku sendiri bahkan tidak sadar, oce?”

“K-Kamu tidak sadar?”

Anima hampir tidak bisa menahan kebahagiaannya—Bram tanpa sadar memanggilnya “Ayah”. Bram sangat segan akan hal itu beberapa minggu sebelumnya, tapi dia tampaknya telah sepenuhnya menerima Anima sebagai figur seorang ayah.

Akhirnya, waktunya telah tiba.

Anima hendak menangis. Untuk sesaat, dia berpikir untuk berlari ke kamar agar dia bisa merayakannya dengan Luina, tapi dia memutuskan untuk tidak melakukannya. Luina sedang terbaring sakit di tempat tidur, dan mereka sedang membuat sesuatu untuk membantunya merasa lebih baik. Anima tidak bisa begitu saja meninggalkan tugasnya dan membuat Luina gusar. Dia harus menahan kebahagiaannya untuk saat ini.

“Lihatlah senyum itu,” kikik Myuke. “Sepertinya Ayah menyukainya.”

“Ya, rasanya hampir memalukan karena itu membuatnya begitu bahagia. oce?”

Anima menyembunyikan senyum lebarnya. Bram merasa malu, yang berarti dia sekali lagi segan untuk memanggilnya “Ayah”. Kemungkinan terburuknya, Bram tidak akan mengulanginya lagi.

“Jangan merasa malu! Ayah mohon!”

“Kamu hanya memperburuknya, oce?”

“D-Dengarkan aku! Tidak perlu malu, oke?!”

Yang dia inginkan hanyalah mendengar kata ajaib itu keluar secara alami dari mulut Bram sekali lagi. Bram tahu betul bahwa itu adalah keinginan Anima yang sangat kuat, sebagaimana dibuktikan oleh senyum yang dia keluarkan.

“Aku hanya bercanda. Aku tidak malu memanggilmu ‘Ayah’, oce?”

“B-Benarkah?”

“Ya, sungguh. Aku sudah cukup lama memanggil Ayah seperti itu di kepalaku, oce?”

“T-Tapi, kenapa kamu tidak mengatakannya lebih awal?”

“Aku sebenarnya mau begitu, aku hanya agak takut untuk memanggilmu dengan sesuatu yang berbeda. Aku perlu, entahlah, mungkin beberapa peristiwa khusus untuk mengubahnya, oce?” Bram menjelaskan dengan nada serius. “Lalu, ketika kamu memberitahuku soal Festival, aku tahu itu adalah kesempatan yang sempurna. Arwah ayah akan kembali, dan aku ingin menunjukkan padanya kalau aku sudah menemukan keluarga yang baik, bahwa dia tidak perlu khawatir, karena aku sudah bahagia, oce?”

Takut bahwa arwah ayahnya akan berpikir dia tidak merasa seperti bagian dari keluarga Anima, dia ingin menenangkan ayahnya bahwa dia menjalani hidup yang baik, dan menurutnya, cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan mengakui perasaannya. Dia mungkin baru mulai memanggil Anima “Ayah”, tapi dia sudah lama menganggapnya sebagai ayah. Mengetahui kebenaran yang tersembunyi dalam senyum polosnya, air mata mulai mengalir di wajah Anima.

“J-Jangan menangis, oce?!” katanya dengan panik.

“Ayah sangat senang. Terima kasih, Bram. Terima kasih telah menjadi putriku. Ayah berjanji akan selalu ada untukmu!”

Anima berlutut dan memeluk Bram. Bram tersenyum bahagia dan memeluknya balik.

“Ayah sudah melakukan cukup banyak untukku, oce?” Kebahagiaan memenuhi udara. Anehnya, sepertinya kebahagiaan itu sangat berbau asap. “Kurasa ada sesuatu yang terbakar, oce?”

Myuke, yang diam-diam menyaksikan momen mengharukan antara ayah dan adiknya, dengan cepat berbalik untuk memeriksa susu.

“Oh tidak! Aku kelupaan!”

Dia dengan cepat memadamkan api. Susunya mendidih, dan lapisan tipis di sekitar tepi panci telah terbakar, tapi sisanya tampak baik-baik saja. Namun, mereka tidak bisa menyajikannya kepada Luina begitu saja; susu masih panas mendidih. Mereka menuangkannya ke dalam cangkir, lalu membawanya ke meja makan bersama dengan irisan apel. Setelah itu, mereka menyalakan api di perapian dan duduk untuk mengambil nafas.

“Kita menyelesaikannya dengan cepat. Terima kasih, anak-anak.”

“Ayah juga hebat, oce?! Lihat irisan apel itu! Itu sempurna, oce?!”

“Ini benar-benar menunjukkan seberapa sering Ayah membantu Ibu.”

“Ayah senang mendengarnya.” Wajah Anima muram di tengah obrolan kecil mereka. “Mungkin jika Ayah berbuat lebih banyak, Luina tidak akan pingsan.”

“Ayah sudah berusaha lebih dari cukup.” Myuke berbalik ke arahnya sambil tersenyum. “Kami akan memiliki lebih banyak hal yang perlu dikhawatirkan setiap hari jika bukan karena Ayah. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Ibu, tapi satu hal yang dapat aku katakan dengan pasti adalah, bahwa itu bukan salah Ayah. Ditambah lagi, Ibu pernah sakit seperti ini sebelumnya. Ini bukan hal baru.”

“Tunggu, dia pernah begini?”

Anima tidak tahu apa-apa soal itu.

“Ya, sekali. Kurang lebih tiga tahun yang lalu.”

“Tiga tahun yang lalu…”

Jangka waktu itu terdengar sangat familiar. Dilihat dari ekspresi serius Myuke, sayangnya, intuisi Anima benar.

“Ibu pingsan dan tidur selama tiga hari penuh setelah mengetahui tentang kematian ayahnya.”

“Begitu ya…”

Luina senang berbagi kenangan dari masa lalunya, dan dia selalu mengingatnya dengan senyum terindah di wajahnya. Dia jelas mencintai dan menghargai keluarganya lebih dari apapun.

Kehilangan ayahnya bagi Luina pasti mirip seperti kehilangan Luina bagi Anima. Anima bahkan tidak bisa memahami rasa sakit mendalam yang nanti dia rasakan, tapi Luina telah mengalaminya sekali. Memikirkan bagaimana rasanya itu, hampir membuat Anima muntah.

“Ibu tidak pingsan ketika ibunya meninggal. Kurasa Ibu hanya mencoba untuk tetap tenang demi kami.”

“Berarti Ayah adalah suami terbaik bagi Ibu, oce?”

“Kamu baik sekali, tapi kenapa begitu?” tanya Anima sambil memiringkan kepalanya.

“Kami selalu bisa mengandalkan Ayah, dan itu membuat Ibu memiliki lebih banyak waktu untuk bersantai, oce?”

“Benar sekali. Aku tidak bilang kalau Ayah tidak perlu khawatir tentang Ibu, tapi Ibu dirawat oleh orang yang tepat. Ibu tidak akan setuju untuk bersantai hari ini jika dia tidak merasa begitu.”

“Tepat, jadi terus lakukan saja apa yang telah Ayah lakukan selama ini, dan jangan merasa bersalah soal apa pun. Tahukah Ayah, Ibu terlihat sangat bahagia setiap kali kalian melakukan tugas bersama sehingga dia mungkin akan depresi jika Ayah melakukan segalanya untuk Ibu, oce?”

“Ya! Aku yakin itu yang Ibu inginkan juga!”

Anima mengangguk dalam-dalam.

“Terima kasih, anak-anak. Ayah akan terus melakukan tugas bersama Ibu, janji!”

“Itulah yang ingin aku dengar!”

“Aku ingin terus melihat kemesraan Ayah, yang sepanas susu ini! Oh, sekarang sudah dingin, oce?”

Mereka telah berbicara begitu lama sehingga susu hangat kembali menjadi susu biasa. Myuke menyentuh cangkir untuk memeriksa sudah jadi seberapa dingin susunya.

“Masih cukup hangat. Ayah sebaiknya menjemput Ibu dan membawanya ke sini.”

Anima mengangguk, lalu naik ke atas. Saat dia memasuki ruangan, Marie berbalik dengan senyum lebar.

“Aku membuat Ibu hangat!”

“Ayah tahu kamu bisa melakukannya, gadis besar.”

“Sekarang benar-benar hangat dan nyaman. Terima kasih, Marie.”

Marie mengangguk bangga, menikmati semua pujian yang dia dapatkan.

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Anima, mengalihkan perhatiannya ke Luina.

“Baik,” katanya dengan percaya diri. Istirahat singkatnya tampaknya telah banyak membantu. Meski begitu, Anima tetap bersikeras ingin menggendongnya ke ruang makan, untuk jaga-jaga. Anima berjalan ke ruang makan dengan Luina dalam pelukannya dan Marie di sisinya.

“Ah, Ibu sudah di sini! Lihat, ini susu hangat Ibu dan beberapa irisan apel. Makanlah!”

“Ibu harus tidur setelah selesai makan! Kami tidak ingin ibu jatuh lagi, oce?!”

“Bu, ayo duduk sini!”

Marie menarik kursi, untuk Luina duduk. Meskipun Luina malu dengan perhatian semua orang yang tertuju padanya, dia dengan gembira menyesap susu yang telah disiapkan oleh keluarganya untuknya.

 

 

Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya