[LN] Jakushou Soshage-bu no Bokura ga Kamige wo Tsukuru made Volume 1 Chapter 5 Bahasa Indonesia
Chapter 5 – Jangan Bercanda
“Anak muda, apa kau bodoh?” Haimura menghela nafas saat Kai menyerahkan formulir pendaftaran klub dengan tulisan ‘klub pulang-ke-rumah.’
“Tidak boleh?” tanya Kai pasrah.
“Tentu saja tidak,” tegur guru tua itu. “Apa kau tidak dengar apa yang aku katakan kemarin?”
“‘Kau harus bergabung dengan klub di sekolah ini apa pun yang terjadi,’” kutip Kai.
“Jadi kau memang mengerti.”
“…Apa pun yang terjadi?”
“Kita memang memiliki beberapa pengecualian, tapi aku belum mendengar apa pun dari orang tuamu. Kau harus bergabung dengan klub.”
Kai menghela nafas berat.
“Kau terlalu muda untuk menghela nafas seperti itu! Ayo, lihat-lihatlah beberapa klub sana,” perintah Haimura.
Kai membungkuk sekali sebelum keluar dari ruang guru. Matanya secara alami turun ke lantai. Dia tanpa sadar menghela nafas lagi dan dengan lesu mulai berjalan menyusuri lorong. Sekarang, apa yang harus dia lakukan? Tidak ada klub yang ingin dia ikuti. Tidak satu pun, seperti yang sudah dia ketahui kemarin. Ditambah lagi, setelah mendapat tur sekali, sulit memaksa dirinya untuk bertanya lagi.
Saat dia berjalan dengan kepala tertunduk, sebuah suara muncul entah dari mana.
“Oh!”
Dia tahu ada orang lain di lorong, tapi tidak mau repot-repot untuk memeriksa siapa orang itu. Ada dua gadis berdiri di sana. Yang satu berambut pirang dan yang lainnya berambut hitam, dan pasangan itu jelas tidak asing. Keduanya berada di ruang klub social game kemarin.
“Rupanya kau, senpai.” Aya dengan malas melambaikan tangannya saat dia berjalan ke arah Kai.
“Dan siapakah ini?” kata yang lain.
“Apa maksudmu… Oh, benar,” komentar Aya datar. “Kau mencapai klimaks kemarin sebelum kau menyadarinya.”
“Jangan menyebutnya ‘klimaks’! Itu adalah mairat elegan dari jiwaku yang terkasih!”
Secara pribadi, Kai harus mengakui bahwa dia tidak bisa membedakan antara klimaks dan mairat.
“Ini Shiraseki… Uhhhh…”
“…Kai,” tambahnya.
“Ahh, ya, benar,” kata Aya. “Ini Shiraseki Kai-paisen. Nana-sen membawanya ke klub kita kemarin.”
Mengabaikan perkenalan Aya, gadis itu memelototi Kai seperti sedang mengincar tersangka. Poni panjangnya benar-benar menutupi mata kirinya, tapi raut mata kanannya terlihat cukup tajam hingga menusuknya. “…Kuroba Eru.” Dia bergumam seperti sedang bicara sendiri, jadi butuh beberapa saat bagi Kai untuk menyadari bahwa dia telah menyebutkan namanya.
“…Oh, eh, aku Shiraseki Kai,” katanya, mencoba memperkenalkan diri.
“Aku sudah mendengar itu dari orang bodoh di sana.”
“A-Ah, itu benar. Maaf.”
Mungkin dia kehilangan ketertarikan pada Kai, karena dia mengalihkan pandangannya ke pintu ruangan di depan mereka. Papan nama di atas pintu itu bertuliskan “OSIS.”
“Ngomong-ngomong senpai, kudengar kau menolak Nana-sen,” kata Aya.
“…Huh?!”
Ekspresi sedingin es Eru meledak sebagai tanggapan atas pernyataan mendadak Aya. Dia berjalan menuju Kai seperti dia akan mencekiknya kapan saja. “Kau!” desisnya. “Apa artinya itu?!”
“A-Apa?!” kata Kai, berusaha membela diri. “Aku hanya memberitahunya bahwa aku tidak akan bergabung dengan klub!”
“Ahh, kalau begitu kurasa kita bertiga ditolak semua, ya?”
“Tidak, bukan itu maksudku!”
“Lalu kenapa tidak bergabung? Nana-sen dalam masalah gilak, jadi tidak bisakah kau setidaknya mencantumkan namamu untuk formalitas?”
“…Dalam masalah?”
Saat itu juga, pintu di depan mereka terbuka, dan Nanaka keluar sepucat hantu. Dia bergumam, “Permisi,” dengan seluruh tenaga seperti nyamuk dan menutup pintu di belakangnya.
“Ya ampun, Nana-sen, ekpresi wajahmu buruk.”
“…Mereka bilang tidak.” Nanaka hanya berbisik pada saat ini.
“Tidak untuk apa?” tanya Kai, langsung memulai percakapan tanpa berpikir.
Tapi Nanaka begitu tidak fokus sehingga dia tidak berhenti untuk menyadari bahwa Kai adalah orang yang menanggapinya. “…Mereka membubarkan kita.” Kata-katanya beriak melalui lorong seperti tetesan air yang tumpah, dan seluruh kelompok itu berdiri diam dalam keterkejutan untuk sesaat.
“A-Ayolah, Nana-sen,” ejek Aya. “Lelucon itu sangat tidak biasa hingga kami semua lupa untuk tertawa.”
“…Aku tidak bercanda,” kata Nanaka, membuka mulutnya lagi untuk mengeluarkan kata-kata. Saat dia melakukannya, satu air mata seukuran kelereng keluar dari mata kanannya dan mengalir di pipinya. Matahari terbenam bersinar menembus jendela saat air mata membelai garis rahangnya dan jatuh ke lantai, di mana air mata itu pecah dalam keheningan.
“Ya ampun, aku akan menghargainya jika kau berhenti main-main,” Eru praktis melontarkan kata-kata itu saat dia mencoba mendorong bahu Nanaka untuk menyingkirkannya dari menghalangi jalan. Dia sepertinya berniat masuk ke ruangan itu. Nanaka tersadar dan menyeka sudut matanya sebelum menarik Eru mundur.
“Kenapa kau harus menghentikanku?!” tanya Eru.
“Eru, kau akan mengamuk lagi!” protes Nanaka.
Lagi, ulang Kai, yang berarti dia sudah mengamuk sebelumnya.
Eru meliuk-liukkan tubuhnya seperti kuda bucking, mencoba melepaskan diri dari Nanaka. Dia pasti lebih kuat daripada penampilannya, karena Nanaka kehilangan keseimbangan dan Kai tanpa sadar bergerak untuk membantunya agar dia tidak terjatuh.
“Makasih…” gumam Nanaka, lalu berhenti karena tersadar. “Tunggu, apa? Shiraseki-kun?”
“Oh, eh, ngomong-ngomong… Um, ini hanya kebetulan.” Ini benar-benar hanyalah kebetulan.
“Jadilah anak baik dan lepaskan aku!” tuntut Eru lagi.
“Kau tahu kami tidak bisa melakukan itu!” Nanaka balas berteriak padanya.
Pintu terbuka dengan suara tepukan berkekuatan bak guntur. “Hei! Kalian para idiot terlalu berisik!” Seorang siswa laki-laki berdiri di depan mereka. Dia berambut keriting, dan rambut pirangnya ditata dengan wax. Dia tampak pas dengan sangat baik, begitulah, dan dia akan terlihat seperti pangeran negara asing dalam novel fantasi jika dia tidak bersuara. Tapi aura kesombongannya begitu besar sehingga menelan gambaran awal itu secara utuh.
Di belakangnya ada seorang siswi yang bersikap seperti seorang sekretaris. Dia memiliki rambut panjang dan selera mode yang bagus, memperlihatkan sosok dewasa. Tidak seperti anak laki-laki itu, dia tetap diam dan mengamati situasinya dengan mata tajam. Kesan awal Kai adalah bahwa dia tampak seperti guru yang menjaga pangeran dari perilaku melenceng.
“Oh, kau masih di sini?” Tanya laki-laki tampan itu, menatap Nanaka dan berbicara dengan jijik.
“Aku lihat kau telah mengumpulkan semua orang di sini, dan untuk apa? Untuk bermain-main? Cepat pergilah, kembalilah ke ruang klub kalian dan bersihkan itu. Ruang klub yang digunakan oleh orang bodoh seperti kalian pasti dalam keadaan amburadul.”
“I-Itu tidak! …Tidak benar.” Nanaka mulai berbicara dengan semburan energi, tapi itu mereda saat dia melirik Aya. Kai memikirkan kembali kondisi ruang klub yang dia lihat kemarin dan tidak bisa menyalahkannya.
“Lihatlah dirimu yang ragu-ragu itu,” ejek lelaki itu. “Inilah sebabnya aku benci berbicara dengan badut. Sejak awal kalian hanya menempati ruangan itu. Cepatlah pergi!”
“Itu adalah ruang klub social game!” Nanaka kembali protes.
“Berapa kali aku harus mengulangi kata-kataku sebelum kau mengerti? Klub social game tidak pernah diakui sebagai klub. Klub harus memiliki minimal empat anggota khusus yang bukan bagian dari klub lain. Berapa banyak anggota yang kalian punya? Tidak bisakah kau menghitang?”
“Yah, kami…”
“Kalau begitu itu bukan ruang klub kalian,” kata laki-laki itu datar. “Kalian semua adalah sekelompok orang dungu alami yang bukan bagian dari klub mana pun. Sama seperti warga negara kita yang berkewajiban untuk bekerja, demikian pula siswa di sekolah ini berkewajiban untuk bergabung dengan klub.”
Kai akhirnya mengerti apa yang sedang terjadi. Dia tidak tahu siapa lelaki sombong itu, tapi jelas bahwa dia mengatakan kalau klub social game tidak memiliki cukup anggota. Karena tidak memiliki cukup anggota, itu bukanlah klub resmi. Dengan demikian, pembubaran. Dia akhirnya mengaitkannya dengan pernyataan Nanaka sebelumnya.
“Aku ingin agar kau tahu kalau kau sebaiknya menutup mulutmu!” Kata Eru mengancam.
“E-Eru! Berhenti!” Nanaka nyaris tidak berhasil menghentikan Eru, yang mencoba meraih kerah lelaki itu.
“Eek!” Laki-laki itu melompat mundur, meringkuk dengan menyedihkan. Dia tampak benar-benar lega setelah menyadari bahwa Eru tidak bisa menggapainya. Dia mengatur ulang ekspresinya dan sekali lagi melangkah maju dengan sombong. “Apa yang harus aku lakukan pada kalian, para orang biadab? Aku tahu bahwa kalian menyebut diri kalian sebagai ‘klub’ social game, tapi sejak awal, apa gunanya memulai kegiatan klub seperti itu? Dari awal, game dibuat untuk bermain-main, dan social game bahkan lebih tidak berharga dari itu. Itu hanya menghabiskan waktu. Bukankah sesuatu seperti itu disebut sebagai sampah?” desaknya. “Setiap game itu hanya bertujuan untuk menghasilkan uang dengan gacha, jadi mereka mendekorasi diri mereka sendiri menjadi tempat sampah yang mewah. Yah, bagaimanapun juga, orang-orang seperti kalian yang membuatnya. Sampah menghasilkan sampah tentunya merupakan hal yang biasa. Sampah harus dibuang dengan benar, sehingga kalian dapat pindah ke sesuatu yang lebih produktif dalam hidup kalian.”
Aya relatif tidak ikut terlibat dalam percakapan sampai saat ini, tapi pernyataan terakhir bocah itu membuat sesuatu di dalam dirinya tersinggung. Mata Nanaka terbuka lebar karena terkejut dan Eru dengan jelas menunjukkan ekspresi kemarahan yang bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
Kai pun tidak berbeda.
“Kau—” buka Aya, tapi tanpa Kai sadari, emosinya keluar dari mulutnya dan dia menyela perkataan Aya.
“Jangan bercanda!” Dunia di sekitarnya bergerak dalam gerak lambat, dan kakinya bergerak maju dengan sendirinya saat jarak antara kedua lelaki itu semakin dekat.
“—Dengarkan, Shiraseki. Jangan lupa untuk menatap mata orang lain. Bagus jika kau menguasai materimu. Tapi ketika kau berbicara dengan seseorang, berbicaralah sambil menatap matanya. Niat ada di mata, emosi bertunas di sana, dan itu akan menghidupkan kata-katamu. Terkadang, seorang perancang harus beradu pendapat dengan orang lain. Ketika saat itu tiba, kata-kata yang kau ucapkan sambil mempertahankan kontak mata akan membawa emosimu ke dalam kata-kata tersebut. Begitulah, dan itu terkadang berguna saat kau perlu membuat seseorang tertekan. Meski begitu, sebaiknya hindari dari awal situasi di mana kau harus menekan seseorang.” — Kata-kata Akane melayang di benak Kai saat dia menatap mata lelaki itu. Kai melotot.
Laki-laki itu melompat mundur dengan panik. “D-Dan siapa kau?! Aku belum pernah melihatmu! …Ya! Tidak pernah melihatmu! Aku tahu nama dan wajah setiap siswa di sekolah ini! Itu tanggung jawabku sebagai ketua OSIS! Tapi aku tidak mengenalmu. Apakah ini beberapa trik aneh yang kalian gunakan meski mengetahui bahwa aku, Ryuugamine Takeru, adalah ketua OSIS?!” Hebatnya, lelaki itu ternyata adalah ketua OSIS.
Gadis di belakangnya melangkah mendekat. “Ketua,” katanya. “Dia adalah murid pindahan yang kuberitahukan kemarin. Aku memberitahumu lagi hari ini, sehingga bahkan seseorang yang berotak udang sepertimu tidak akan lupa, tapi untuk mengira kalau kau sudah lupa.”
“A-Aku tidak lupa, Shizaki-kun! Tentu saja, dia murid pindahan! Namanya Sekkai Seki-kun, kan?” Salah nama yang ceroboh menyiratkan bahwa siswa pindahan itu terbuat dari batu kapur.
“Namanya Shiraseki Kai, Yang Udang,” sekretaris itu mengoreksi dengan tajam.
“Yang Udang?! Seperti, raja para udang?!” protes ketua OSIS itu dengan keras. “Aku pemimpin para siswa, bukan pemimpin para udang, oke?!”
“Dia berasal dari SMA Tsukigase,” lanjutnya, “yang terkenal dengan program klub social game.”
“…Oho. Begitu ya, begitu ya. Burung yang memiliki bulu yang sama berkumpul bersama, begitu ya.” Ketua itu mengangguk seolah dia sudah mengerti semuanya.
“Klub social game dibubarkan karena tidak memiliki cukup anggota. Apakah itu benar?” tanya Kai.
“Benar—” ketua OSIS mulai berkata, tapi hanya itu yang Kai butuhkan. Kai benar-benar mengabaikan ketua OSIS ketika dia mencoba untuk mengucapkan kata lain dan mengeluarkan secarik kertas dari tasnya. Itu adalah formulir pendaftaran klub yang dia terima dari Nanaka pagi ini. Kai menolak untuk bergabung, tapi Nanaka terus memaksanya, dan Kai akhirnya mengalah untuk setidaknya mengambil formulirnya saja.
Kai sekarang menggunakan tasnya sebagai alas untuk menuliskan namanya dalam satu gerakan di formulir itu. Tulisan tangannya sangat berantakan, tapi menurutnya tulisan itu cukup terbaca. Dia mencoba untuk melemparkan kertas itu ke arah ketua OSIS, tapi gadis bernama Shizaki mencegatnya, menyebabkan dia mundur.
“Ini tidak lengkap,” katanya dengan tenang. “Cap di sini.”
Dia tidak membawa capnya. Tentu saja, dia juga tidak memiliki bantalan tinta. Tanpa Kai sadari, tangannya sudah bergerak; mungkin itu adalah bukti yang cukup tentang berapa banyak darah telah mengalir ke kepalanya. Dia dengan paksa menusukkan giginya ke ibu jari tangan kanannya. Aliran darah lebih deras dari yang dia perkirakan, tapi dia mendorong ibu jarinya ke halaman tempat dia diminta untuk dicap.
“Aku bergabung dengan klub social game,” katanya. “Seharusnya tidak ada masalah sekarang, kan?”
“Benar, kami menerima pendaftaranmu.” Jawaban gadis itu tenang dan santai, serta ekspresinya tidak berubah sedikit pun. Pada saat itu, Kai merasakan semua adrenalin keluar dari tubuhnya.
“…Shiraseki-kun?”
“Aku—” Aku minta maaf karena telah memutuskan segalanya sendiri! …adalah apa yang ingin dikatakan Kai, tapi suaranya tidak mau keluar. Rasanya seperti udara di sekitarnya telah berubah menjadi air dan keseimbangannya berubah menjadi lendir, dan dia kesulitan menjaga dirinya tetap tegak. Tampak seperti dia berada dalam gravitasi nol, dan penglihatannya menjadi putih. Terlepas dari keadaan ini, dia merasa berpikir jernih, dan tahu bahwa darah masih mengalir dari ibu jarinya. Sekarang setelah Kai mengingat-ingat lagi, dia telah begadang semalaman dan tidak tidur sama sekali. Dia sudah tersandung dalam perjalanan ke stasiun kereta. Meski begitu, ini seharusnya tidak cukup untuk membuatnya anemia…
Warna putih yang luar biasa dan perasaan terseret oleh gravitasi menyelimuti dirinya saat dia kehilangan kesadarannya.
◇
Ketika Kai bangun, hal pertama yang dia lihat masih putih.
Dia menjernihkan penglihatannya setelah berkedip beberapa kali. Putih kabur yang dia lihat adalah langit-langit, dan permukaan tempat dia berbaring adalah tempat tidur. Dia melihat sekeliling tanpa bangun dan menyadari bahwa dia telah dipisahkan oleh tirai berwarna krem, dan bau obat-obatan menyebar ke hidungnya. Sepertinya dia ada di UKS.
Ketika dia membuka tirai, dia melihat jas putih perawat sekolah, yang sedang duduk di mejanya. “Oh!” serunya. “Kau sudah bangun.”
“…Ya.”
“Apakah kamu ingat sudah pingsan?”
“Saya ingat,” katanya.
“Bagus. Kalau begitu kau boleh pergi.”
Matahari sore masih bersinar menembus jendela. Mataharinya semakin surut dari sebelumnya, dan tidak lama lagi sampai mataharinya akan terbenam. Tetap saja, sepertinya pingsannya tidak lama.
“Kamu mengalami anemia yang cukup ringan,” kata perawat itu, “jadi kamu seharusnya bisa pulang, tapi aku bisa menelpon orang tuamu untuk menjemput jika kamu mau.”
“Tidak, saya akan pulang sendiri,” katanya sopan. “Terima kasih banyak.”
“Berhati-hatilah saat pulang.”
Kai mengucapkan terima kasih dan meninggalkan ruangan. Selanjutnya, dia mendapati dirinya berada di sebuah lorong yang diwarnai merah oleh sinar matahari merah tua yang masuk melalui setiap jendela. Tapi ada satu bayangan hitam terbentang di lantai merah tua itu. Seorang gadis sedang menatap ponselnya dan perlu sesaat untuknya menyadari Kai. “Shiraseki-kun!” serunya. “Apakah kamu baik-baik saja?!”
“A-Aku baik-baik saja.”
Nanaka bergegas mendekatinya dan meraih tangan kanannya, dan sentakan kecil rasa sakit mengingatkannya bahwa dia telah menggigit ibu jarinya. Dia melihat ke bawah dan menyadari bahwa jempolnya telah dibungkus dengan kain kasa putih, ditambah plester biasa.
“Apakah itu sakit?” tanyanya cemas.
“A-Aku baik-baik saja… Jadi… bisakah kau… melepaskan tanganku?” tanya Kai. Tidak ada gadis yang pernah memegang tangannya sebelumnya. Tidak sekalipun, seumur hidupnya. Terus terang, dia merasa itu memalukan. Jika dia memasukkan kakaknya, maka ada banyak saat ketika kakaknya memegang tangannya atau dia memegang tangan kakaknya, tapi itu tidak dihitung. Dia adalah spesies yang disebut ‘kakak’ yang secara definitif, fatal, dan pada dasarnya disingkirkan dari gadis seusia Kai.
Nanaka mungkin menyadari bahwa wajah Kai memerah karena alasan lain selain matahari terbenam, karena Nanaka sendiri membuat wajah malu dan melepaskannya. “M-Maaf. Aku, um, aku khawatir. A-Ayo pulang!” ajaknya.
“Y-Ya,” Kai dengan gemetar setuju.
Keduanya berjalan berdampingan ke pintu depan, berganti sepatu, dan pergi melewati gerbang sekolah. Sepertinya sebagian besar siswa masih berada di tengah-tengah kegiatan klub, dan mereka bisa mendengar suara campuran dari berbagai klub dari gedung sekolah.
Setelah berjalan cukup jauh tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Nanaka dengan gugup membuka mulutnya.
“Apakah kamu… benar-benar akan bergabung?”
“Oh,” dia benar-benar lupa. “Ya, aku akan bergabung. Maksudku, itu jika kau tidak keberatan. Maaf sudah memutuskan semuanya sendiri tadi.”
“Kenapa kamu minta maaf?! Aku sangat senang! Tapi kupikir kamu tidak ingin bergabung dengan klub social game lagi.”
“…Benar.” Itulah alasan utama dia pindah, tapi meskipun begitu… “Meskipun aku tidak suka klubnya… aku benar-benar menyukai social game,” jelasnya. “Itulah sebabnya aku lebih membenci apa yang dikatakan ketua OSIS daripada klub social game… Jadi, aku marah begitu saja. Kayak, memangnya masalah kalau aku menyukai social game? …Aoi-san?”
Nanaka berhenti berjalan dan menatapnya. “Shiraseki-kun,” katanya, “kamu benar-benar menyukai social game, ya?” Kai kesulitan membaca ekspresi Nanaka saat mengatakan itu. Itu adalah wajah rumit yang tampak bahagia tapi juga terkejut—dan bahkan melankolis.
“Tidak, yah, uh—” kata-katanya terpotong, tidak yakin harus berkata apa.
“…Ya ampun,” dia dalam diam mendesah sedih.
“Huh?”
“Tidak apa-apa, jangan khawatir tentang itu! Bagaimanapun, aku sangat suka itu! Memangnya masalah kalau aku menyukai social game!” Nanaka tampak seperti anak kecil, bersenandung berulang sambil berjalan, ‘memangnya masalah, memangnya masalah,’ dan memasukkannya ke dalam syair. Kemudian, dia berbalik ke arah Kai dan tersenyum sambil mengulurkan tangan kanannya. “Baiklah, ulangi lagi! Aku Aoi Nanaka, ketua dan perancang klub social game. Mari bersama-sama lakukan yang terbaik!”
“…Ya, mari lakukan yang terbaik,” Kai setuju, dengan takut-takut menggenggam tangannya saat dia menjawabnya. Tangan Nanaka kurus dan kecil, dan jantung Kai mulai berdebar ketika dia menyentuh tangannya, jadi dia segera menariknya kembali.
Mereka bersebelahan lagi saat mereka berjalan menuju stasiun.
“Shiraseki-kun,” tanya Nanaka, “dimana kamu tinggal?”
“Uhh, tidak jauh dari Stasiun Niigata,” katanya.
“Dari Gerbang Utara?”
“Ya.”
“Oh! Aku senang. Aku ke arah yang sama, jadi aku bisa mengantarmu pulang.”
“………Mengantarku pulang? Seperti… kamu akan berjalan bersamaku sampai ke rumahku?”
“…Ya?” Nanaka memiringkan kepalanya, seolah dia tidak bisa memikirkan kemungkinan lain. “Shiraseki-kun, kamu tadi pingsan, lho? Aku khawatir.”
“T-Tidak, tunggu!” dia mencoba keberatan. “Aku baik-baik saja!”
“Kamu tidak baik-baik saja! Aku akan mengantarmu pulang mau kamu atau pun tidak!” Nanaka tidak berniat untuk mundur.
Kai merasa sulit untuk terus menerus menolak seseorang yang benar-benar peduli padanya, jadi dia akhirnya setuju untuk membiarkan Nanaka mengikutinya. Ketika mereka sampai di peron kereta, tempat itu dipenuhi dengan siswa Meikun. Sebuah kereta yang menuju ke Stasiun Niigata berhenti pada waktu yang tepat, dan mereka hampir tidak perlu menunggu keretanya sebelum naik.
Dia berencana membeli bento untuk makan malam dalam perjalanan pulang, tapi dia tidak sanggup untuk ke distrik perbelanjaan bersama Nanaka di belakangnya. Sebaliknya, Kai langsung pulang dari Stasiun Niigata. Pada saat dia sampai di rumah, matahari hampir tidak terlihat lagi dan malam mulai turun di sekeliling mereka.
“Um, Aoi-san,” katanya. “Ini adalah rumahku, jadi… aku akan baik-baik saja dari sini.”
“Huh?” Nanaka mungkin membayangkan rumah keluarga biasa, dan dia sangat terkejut melihat gedung apartemen kecil yang dibuat untuk satu penghuni. “…Apakah kamu sebenarnya tinggal sendiri?”
“Ya,” jawabnya sederhana. Wajah kakaknya muncul di benaknya, tapi Kai menepisnya seperti menyingkirkan kepulan asap. Itu tidak seperti mereka tinggal bersama.
“…Shiraseki-kun, kamu benar-benar luar biasa,” kata Nanaka. “Aku merasa seperti kamu bisa menjalani hidupmu sendiri… Semua orang sangat menakjubkan.”
“Menurutku tidak…” dia mulai bicara.
Nanaka tampak agak sedih, tapi dia menahan diri dan memunculkan kembali senyuman di wajahnya. “Baiklah Shiraseki-kun, sampai jumpa nanti!”
“Ah, benar,” ucap Kai. “Sampai jumpa besok.”
Nanaka melambaikan tangannya, dan tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti sampai dia melihatnya masuk ke dalam. Kai menundukkan kepalanya sedikit dan membuka kunci pintu. Dia menoleh ke belakang dan melihat bahwa Nanaka masih melambai padanya, jadi Kai mengangguk ke arahnya lagi.
Dia merasakan firasat buruk saat membuka pintu: ada sepatu. Itu bukanlah sepatu Kai. Jika itu bukan sepatu Kai, maka hanya ada satu orang yang akan meninggalkan sepatunya di rumah ini. Kai bisa mendengar suara keras, jelas suara yang kuat dari seseorang yang berlari ke arahnya saat dia mulai berkeringat dingin.
“Selamat datang kembali, sayang~~~ Kamu terlambat! Apa kamu lapar? Atau kamu mau mandi? Atau mungkin—” Misako berpenampilan celemek telanjang (palsu) merah muda yang dia persiapkan seperti kemarin. Dia hampir mengeluarkan seluruh perkataannya dalam satu tarikan napas sampai dia menyadari Nanaka yang berada di belakang Kai. “Huh?” Misako berkedip. “Seorang gadis?”
Braaak. Kai tidak repot-repot mengatakan apa pun dan membanting pintu hingga tertutup. Suara kunci terdengar saat dia mengunci pintunya kembali, menarik napas, dan berpura-pura tidak melihat apa-apa. Dia tidak melihat apapun. Tidak ada. Oleh karena itu, dengan penalaran induktif itu, gadis yang berdiri di belakangnya juga tidak melihat apa-apa.
“U-Um, Shiraseki-kun… Siapa itu?”
Itu tidak berhasil, pikirnya.
“Kai! Siapa gadis imut itu?!” Pintu depan terbuka, dan Misako bergegas keluar dengan celemek telanjang tiruannya.
Terjebak di antara dua gadis saat mereka bertukar pandang dengan terkejut, Kai sangat ingin pergi menggali lubang di suatu tempat dan mati di dalamnya.
Sebelumnya - Daftar Isi - Selanjutnya
Post a Comment