[LN] Jakushou Soshage-bu no Bokura ga Kamige wo Tsukuru made Volume 1 Chapter 12 Bahasa Indonesia
Chapter 12 – Hujan Turun, Hujan Berhenti, Di Sebelahmu
Perbaikan bergerak maju tanpa hambatan; faktanya, mereka berkembang hampir dengan kecepatan misil.
Pada tanggal 13 Mei, tiga hari penuh sebelum batas waktu 16 Mei, semua perbaikan telah diselesaikan sepenuhnya. Kai dan Nanaka bertanggung jawab atas debugging, dan mereka selesai pada hari yang sama.
Mengerikan—sungguh, tidak ada kata yang lebih baik—mereka tidak menemukan satu pun bug sepanjang waktu. Satu-satunya masalah yang mereka temukan adalah hal-hal yang muncul dari spesifikasinya sendiri, dan kodenya sama sekali tidak ada yang salah.
Tampaknya Aya sudah yakin akan hal itu, karena setelah dia menyelesaikan pemrograman, dia berkata, “Tidak mungkin kodeku memiliki bug, tapi jika kalian menemukannya dalam peluang satu-banding-sejuta, beri tahu aku!” dan kemudian dengan tekun mulai mengerjakan pekerjaannya di ruang klub.
Bagaimana mereka bisa sampai di sana, hasil akhirnya adalah waktu yang mereka sisihkan untuk debugging tidak diperlukan, dan mereka telah menyelesaikan pekerjaan mereka lebih awal dengan selisih yang signifikan. Mereka berada dalam situasi di mana mereka bisa angkat tangan dan merayakannya.
Namun, setelah hari terakhir perkembangan mereka, Nanaka memasang ekspresi cemberut dalam perjalanan pulang.
“Apakah… ada masalah?” Kai mengumpulkan keberanian untuk bertanya saat mereka berjalan pulang dari Stasiun Niigata.
Nanaka dengan panik mengayunkan tangan padanya dan memasang senyum di wajahnya. “Ah, m-maaf! Aku tidak boleh seperti ini ketika kita berhasil menyelesaikannya dengan sangat baik…”
“Apakah ada sesuatu yang belum kita selesaikan?” tanya Kai.
“…Tidak, bukan itu,” sangkal Nanaka dan sedikit ragu-ragu sebelum mengepalkan tinjunya. “Jika aku bekerja lebih cepat,” kata Nanaka akhirnya, “maka, bukankah kita bisa membuat lebih banyak peningkatan?”
“Yah…” Kai terdiam. Tidak peduli seberapa terampil Aya sebagai programmer, dia tidak akan dapat menghasilkan produk jadi tanpa elemen UI yang diperlukan. Nanaka telah melakukan yang terbaik untuk membuatnya, tapi pada akhirnya, sebagian besar waktu Aya dihabiskan untuk menunggu Nanaka.
“Itu hanya karena Oushima-san sangat luar biasa,” beritahu Kai padanya. “Biasanya, dia masih memiliki hal lain untuk dikerjakan saat kamu sedang menggambar UI.” Kalau dipikir-pikir, biasanya, programmer tidak akan bisa menyelesaikan semua pekerjaan itu lebih cepat dari jadwal mereka sendiri.
Tapi entah Aya normal atau tidak, itu tidak ada hubungannya dengan Nanaka, yang merasa seolah-olah menghambat Aya. Jadi, Kai berkata, “Aoi-san, aku mengerti perasaanmu. Dulu, ketika aku di Tsukigase, aku merasakan hal yang sama.”
“Maksudmu, dengan ketua klub yang menulis surat untukmu…?” tanya Nanaka.
“…Ya,” Kai mengakui. Saat pertama kali bergabung dengan klub, Akane menanamkan semua dasar-dasar menjadi perancang dari A hingga Z ke dalam dirinya. Setelah dididik secara menyeluruh, dia ditugaskan ke tim Rondo. Jika Akane tidak menghabiskan waktu melatihnya, Kai tidak akan bisa bertahan saat bekerja di tim pengembangan yang sebenarnya.
Cara kerja Akane sederhana; mereka berdua akan melakukan tugas yang sama. Mereka akan menyelesaikan spesifikasi, menyusun rancangan, dan segala sesuatu di antaranya. Setelah mereka selesai dengan tugas mereka, Kai akan memeriksa pekerjaannya dengan pekerjaan Akane.
Saat Kai menghabiskan lima hari merancang level, Akane akan menyelesaikannya dalam tiga hari. Jika Kai membutuhkan waktu tiga hari untuk menyelesaikan dokumen spesifikasi, Akane membutuhkan satu hari. Jika Kai membutuhkan satu hari untuk menyelesaikan beberapa tugas kecil, Akane akan selesai tanpa Kai sadari. Tidak ada tugas yang berhasil diselesaikannya lebih cepat dari Akane, hingga akhir.
“–Tidak usah kagum,” Akane memberitahunya. “Aku ada rapat dan itu menyita waktuku. Hasilnya, aku belajar bekerja lebih cepat. Kau akan dapat melakukan hal yang sama, pada waktunya.” Kai mengalami kerusakan ekstra karena betapa acuh tak acuhnya Akane tentang hal itu.
Jadwal harian ketua klub sangat berbeda dari jadwal anggota klub biasa. Kai dapat sepenuhnya mencurahkan waktu mulai dari saat kelas selesai hingga saat ia pulang untuk mengerjakan tugasnya. Namun, Akane tidak bisa. Sebagian besar harinya dihabiskan dengan rapat, yang menyisakan sedikit waktu untuk duduk di meja dan bekerja. Menghadapi semua itu, Akane menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat cepat.
Dia bagaikan matahari bagi Kai.
Ketika kalian melihat sesuatu yang sangat terang, penglihatan kalian akan ditelan oleh cahaya, membuat kalian tidak dapat melihat apa pun. Itu tidak ada bedanya dengan menjadi buta dalam kegelapan pekat.
“…gh,” Kai membuat suara kesakitan, akibat ingatan terakhir itu.
“…Shiraseki-kun?” tanya Nanaka.
Aku mengacau. Kapanpun Kai memikirkan kembali saat-saat itu, dia selalu merasa dirinya tidak enak badan segera setelah itu. Dia berdiri diam dan menunggu rasa mualnya menghilang. “Maafkan aku… aku baik-baik saja,” katanya.
Aku mungkin tidak terlihat baik-baik saja, pikir Kai selanjutnya. Sangat mudah untuk menebak seberapa khawatir Nanaka terlihat. Kai mencoba memaksa dirinya untuk mulai berjalan demi menenangkan Nanaka saat dia menyadari sesuatu. Tes. Sebuah suara terdengar dari atas kepalanya. Tetesan hujan kecil melintasi rambutnya dan meluncur ke wajahnya.
“Hujan,” gumam Nanaka saat hujan tiba-tiba semakin deras. Apa yang dimulai sebagai suara tetesan berubah menjadi suara ketipak-ketipuk kuat, dan akhirnya menjadi badai dahsyat yang menghantam aspal di sekitar mereka.
Mereka mencari-cari tempat untuk berlindung, tapi karena mereka berada di daerah perumahan, mereka tidak dapat menemukan tempat yang bagus. Mereka juga mencoba mengangkat tas mereka ke atas kepala, tapi itu tidak mengurangi hujan lebat yang tak henti-hentinya. Rambut Nanaka yang basah kuyup mulai menggumpal di depan matanya, dan bagian dari blusnya yang tidak tertutup oleh blazernya mulai menempel di kulitnya yang putih.
Perasaan tidak enak di perut Kai tersapu oleh hujan. “Ayo lari…!” teriaknya, memimpin jalan. Dia mencoba memikirkan tempat-tempat di mana mereka bisa bersembunyi dari hujan, tapi satu-satunya tempat yang bisa dia pikirkan adalah rumahnya sendiri.
Keduanya berlari ke depan segera setelah tanda penyeberangan berubah. Kai bisa mendengar derap langkah kaki Nanaka saat dia mengikuti di belakangnya. Mereka telah berlari kurang dari lima menit, tapi pada saat mereka mencapai atap apartemennya, mereka basah kuyup sampai ke tulang.
“Ahaha, wow, hujannya deras,” kata Nanaka.
Hal pertama yang diperhatikan Kai ketika dia pindah dari Tokyo ke Niigata adalah cuacanya yang tidak stabil. Bukan berarti cuacanya selalu hujan; sebaliknya, ada banyak hari berawan di mana kalian bisa memperkirakan hujan mendadak yang dimulai dan berakhir secara tidak terduga.
“Badai di Niigata benar-benar muncul dan berhenti menda—” Kai mulai berkata. Dia ingin mengatakannya pada Nanaka, tapi jalan pikirannya benar-benar terhenti saat dia berbalik ke arah Nanaka sehingga mereka dapat bicara. Kai tidak bermaksud untuk melihat.
Nanaka melepas pitanya karena terasa risih saat kerah basahnya menempel di lehernya. Sekarang blus putihnya terlihat dari celah blazernya yang tidak dikancingkan. Terendam air hujan, blus itu menempel di dadanya yang indah, yang tidak terlalu besar, namun tidak terlalu kecil. Saat Kai melihat sekilas pakaian dalam biru langit Nanaka melalui kemeja transparan, dia membeku di tengah kalimat, masih menatap langsung ke arah Nanaka. Kejadian dari kamar mandinya terlintas di benaknya.
Bahkan Nanaka pun tidak akan gagal menyadari apa yang terjadi dengan reaksi seperti itu. Nanaka dengan panik menyilangkan tangan di depan tubuhnya dengan pipi kemerahan.
Gerakannya membawa Kai kembali tersadar.
“T-Tunggu di sini sebentar!” Kai tergagap, membuka kunci pintu depan untuk berlari ke dalam. Dia mengambil handuk mandi dan bergegas kembali ke pintu masuk. “I-Ini,” beri Kai dengan canggung.
“…Makasih.” Nanaka menerima handuk dengan ekspresi bingung saat Kai hampir mendobrak pintu dengan buru-buru.
“Um… Apakah kamu mau masuk?” Kai tidak punya motif tersembunyi saat mengatakan itu. Meskipun ada atap di atasnya, atap apartemennya masih berada di luar ruangan; satu embusan kecil angin dapat dengan mudah meniupkan hujan ke arahnya. Oleh karena itu, mengeringkan diri dengan handuk sama saja dengan menggunakan ember untuk menguras air dari kapal yang kebanjiran, itulah sebabnya Kai menawarkannya masuk.
Baru setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya, Kai menyadari bahwa Nanaka mungkin tidak ingin memasuki rumah seorang anak laki-laki dalam situasi seperti ini, tapi sekarang sudah terlambat.
Kai tahu dirinya agak lemot, tapi itu sangat buruk hari ini. Penyebabnya mungkin karena warna biru muda yang samar yang dia lihat sebelumnya. Ditambah lagi, ingatannya tentang kamar mandi memberinya gambaran yang jelas. Dia dengan putus asa membuang pikiran itu dalam upaya untuk menjaga wajahnya tetap datar.
“…Kalau begitu, sampai aku bisa mengeringkan diri… Bolehkah aku masuk?”
Kai pikir Nanaka akan bilang tidak. Itulah sebabnya, meskipun dia yang menyarankan Nanaka masuk, Kai butuh waktu beberapa saat untuk memproses tanggapannya. “Y-Ya! Tentu saja…!” Jawabannya satu ketuk lebih cepat sebelum Kai membukakan pintu untuknya.
Melihat Nanaka berusaha melepaskan sepatunya yang basah, Kai mulai bertanya-tanya apakah rumahnya bagus untuk dikunjungi. Terakhir kali, ketika Nanaka datang untuk mengerjakan dokumen spesifikasi, Kai menghabiskan sepanjang hari sebelum kedatangannya untuk membersihkan setiap sudut dan celah, dan bahkan telah melakukan pemeriksaan terakhir pada hari sebelum menyambutnya masuk. Kai tidak siap untuk kuis dadakan seperti ini. Ahh, ya ampun, pikirnya. Kai telah berada dalam posisi tidak baik sedari tadi. Dia merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang mengerikan, di mana dia akan memperbaiki bug hanya untuk bug lain muncul, dan tambahan bug saat dia sedang memperbaiki yang baru.
Tidak ada gunanya khawatir sekarang. Sudah terlambat; Nanaka sudah menyelesaikan pertarungan dengan sepatunya. Ini bukan seperti dia memiliki waktu untuk bergegas ke depan dan beres-beres sekarang. Tidak apa-apa, katanya pada diri sendiri. Tidak ada yang perlu dia sembunyikan. Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Untuk sekali ini, dia merasa bersyukur Misako selalu menerobos masuk ke kamarnya tanpa pemberitahuan untuk mencoba menemukan semacam majalah porno.
“Permisi,” senandung Nanaka sambil berjalan masuk perlahan, dengan sepatu dan kaus kaki di tangannya. Kai memperhatikan bahwa Nanaka telah melepas kaus kakinya yang menetes bersamaan dengan sepatunya. Dia mungkin melakukannya untuk memastikan lantai tidak basah.
“Ini mungkin sedikit terlalu hangat, tapi…” Setelah mengarahkan Nanaka untuk duduk di ruang tamu, Kai membawa kipas pemanas yang belum dibersihkannya sejak musim dingin. Itu adalah hadiah yang dia terima dari Misako setelah pindah. Kai tidak menggunakannya sama sekali, tapi menyimpannya sangat merepotkan sehingga akhirnya tidak digunakan lagi. Sesekali dia akan menggunakannya saat dia perlu mengeringkan pakaiannya dengan cepat, dan itulah yang mereka butuhkan sekarang.
Kai memberinya pengering dari ruang ganti juga, dan kemudian menuju ke dapur, di mana dia mengisi ceret listriknya dengan air, dan menekan tombol untuk membuatnya mendidih. Saat melakukannya, dia menyadari bahwa rambutnya sendiri basah kuyup seperti rambut Nanaka dan pergi untuk mengambil handuk mandi lagi.
Dalam perjalanan, dia melihat bahwa Nanaka sedang duduk langsung menghadap kipas pemanas, dan telah meletakkan kaus kaki dan pita untuk dikeringkan di depannya. Kai ingin mengatakan sesuatu, tapi dia tidak bisa memikirkan apa pun dan akhirnya dalam diam berjalan kembali ke dapur sambil menyeka kepalanya.
Rencananya adalah untuk mengisi dua cangkir yang telah dia keluarkan dengan kopi sebelum dia ingat bahwa Misako sudah banyak meminumnya beberapa hari yang lalu, hingga dia sekarang kehabisan kopi instan. Satu-satunya pilihan lain yang dimilikinya adalah hojicha—teh hijau, dibuat unik dengan daun yang dipanggang perlahan—jadi dia membuat itu dan membawanya ke ruang tamu.
“Makasih, Shiraseki-kun,” kata Nanaka penuh terima kasih.
“Kami kehabisan kopi… Maaf, kuharap aku bisa menyajikan sesuatu yang lebih baik.” Begitu Kai mengatakan itu, Kai menutup mulutnya dengan tangan. ‘Sesuatu yang lebih baik’? Apakah itu berarti, terutama, aku, pada dasarnya, ingin menunjukkan sisi baikku padanya? Apakah aku ingin terlihat keren?
Kai tidak bermaksud mengatakan hal semacam itu, tapi bahkan dia sendiri bisa membaca maksud tersirat dari kalimatnya. Kai pasti secara tidak sadar berpikir bahwa hojicha tidak akan cukup mengesankan.
“…Ini sangat hangat dan enak,” desah Nanaka, yang sepertinya tidak menyadari kebingungan internal Kai saat dia mengambil waktu sejenak untuk bersantai. Melihat Nanaka seperti itu, sebagai gantinya, adalah anugrah Kai.
“…….Shiraseki-kun,” ucapnya tiba-tiba.
“Y-Ya?”
“Balik lagi… ke apa yang kita bicarakan sebelumnya. Apakah kamu yakin kita tidak perlu melakukan apa pun lagi?”
Kai akhirnya mengerti kenapa Nanaka begitu keras pada kekurangannya sendiri: Nanaka khawatir. Apa yang sebenarnya dia tanyakan adalah, Apakah perbaikan sebanyak ini akan cukup untuk memenangkan kompetisi?
“Tidak masalah,” kata Kai, meskipun dia tidak mengatakannya untuk menghibur Nanaka, karena hampir bisa dipastikan bahwa mereka akan memenangkan kompetisi rutin yang akan datang. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kendala terbesar mereka adalah membuat programmer mereka bekerja. Sekarang, melihat Aya melampaui ekspektasi terliarnya memperkuat kepercayaan dirinya pada hasil pertandingan.
“Untuk kompetisi rutin, lawan kita dipilih berdasarkan peringkat,” jelas Kai. “Ini bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, tapi game kita, MiSt, hampir mencapai peringkat terendah. Oleh karena itu, social game lawan kita juga seharusnya berada di dekat peringkat paling bawah.”
“Jadi maksudmu… kita tidak perlu khawatir karena lawan kita bukanlah masalah besar?” tanya Nanaka.
“Terus terang, ya. Ada alasan kenapa social game peringkat bawah ada di posisi itu,” jawabnya. “Di sekitar peringkat paling bawah… kebanyakan dari mereka tidak benar-benar mengelola game mereka. Jika mereka menerapkan beberapa peningkatan, aku memperkirakan mereka akan menerapkan paling banyak tiga peningkatan.”
Kai telah melihat semua social game di dekat peringkat MiSt dalam papan peringkat. Tentu saja, itu termasuk social game lawan mereka. Tidak ada sekolah yang tidak memiliki pembaruan nol, tapi pembaruan biasanya dibatasi sebulan sekali; game-game itu hampir tidak bisa disebut social game.
Kai bisa mengerti; mengelola sebuah social game jelas tidak mudah. Kerja keras kalian tidak akan secara otomatis menaikkan peringkat kalian, atau pun menerima pujian dari pengguna. Untuk membuat satu event waktu terbatas, diperlukan perencanaan, spesifikasi, desain material, pemrograman, debugging, dll. Hal itu menimbulkan banyak hal ke dalam daftar tugasmu. Untuk klub yang hanya ingin menciptakan game, sulit untuk memaksa diri sendiri untuk melanjutkan manajemen.
Social game di peringkat bawah sering kali adalah game-game yang melihat kenyataan itu dan mulai lelah, jadi tidak terpikirkan untuk klub di posisi itu tiba-tiba menerapkan tujuh puluh peningkatan. Bukan berarti angka-angka itu menjamin kemenangan, tapi melawan sekolah yang sudah menyerah, bisa dibilang mereka akan menang. Itu wajar saja.
“…Begitu ya,” gumam Nanaka.
“Apa kamu khawatir?”
“Tidak,” katanya, dan memberikan senyum ringan. “Jika kamu bilang kita akan menang, maka aku bisa tenang… kurasa.”
“…Benar.” Kai tidak dapat memikirkan cara untuk melanjutkan percakapan mereka, dan dia merasakan ada sesuatu yang membesar di tubuhnya, jadi dia menutup mulutnya dengan tangan kanan dan berbalik. Apa ini? Dia bertanya-tanya. Perasaan apa ini? Kai tidak pernah tahu bahwa dipercaya bisa terasa seperti ini; bahwa akan ada sedikit perasaan gugup yang membuatnya ingin kabur ke suatu tempat. Tapi… ketika dia melihat Nanaka tersenyum seperti itu, dia mau tidak mau mengingat peristiwa tertentu.
Pada hari itu di depan stasiun, diterangi mentari sore, kenapa dia menangis? Kai memikirkannya setiap kali melihat Nanaka. Dia ingin bertanya, tapi tidak pernah berani untuk melakukannya, dan terus hingga saat ini. Ketika mereka menulis dokumen spesifikasi bersama-sama, dia terus berpikir bahwa dia akan bertanya pada suatu saat, tapi tidak pernah berani mengambil risiko. Sekarang, mereka kebetulan sendirian. Jika Kai melewatkan kesempatan ini, dia mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan lain.
“Ah!” Tiba-tiba, Nanaka meninggikan suaranya. Nanaka berteriak seketika saat Kai memutuskan untuk bertanya tentang alasan dibalik air matanya, sehingga jantungnya hampir keluar dari mulutnya.
Nanaka berdiri dan bergegas ke tas Kai, yang dengan santai dilemparkan ke lantai.
“Ada apa?” tanya Kai.
“Tasmu!” serunya. “Shiraseki-kun, laptopmu tertinggal di tas! Bukankah itu akan rusak?!”
Oh, benar, pikir Kai dalam hati. Dengan lantang, dia berkata, “Itu bukan masalah.” Setelah mengambil tasnya, dia memperhatikan bahwa pegangan tas, bagian depan tas, dan hampir semuanya basah kuyup oleh hujan. Selain laptop, buku catatan dan kertas-kertas lainnya mungkin telah rusak.
Namun, bukan berarti Kai meninggalkan laptopnya begitu saja di dalam tas; lapropnya dengan hati-hati disimpan dalam kotak tahan air. Mesinnya mungkin tidak akan bertahan jika dia menjatuhkannya ke sungai, tapi seharusnya tak masalah dengan sedikit hujan.
Kai menunjukkannya pada Nanaka seolah berkata, “Lihat?” tapi Nanaka berjongkok dengan sebuah amplop di tangannya. Kai tidak sanggup untuk membuka isinya atau meninggalkannya di kamar, tapi dia juga tidak sanggup untuk membuangnya, jadi dia meninggalkannya di dalam tas. Itu adalah surat dari mantan ketuanya—dari Kurenai Akane.
“Apakah ini… surat yang sebelumnya?” tanya Nanaka dengan heran. “Kamu masih belum membacanya?”
“Maaf!” kata Kai meminta maaf tanpa arti sebelum mengambil surat itu dari tangan Nanaka.
“Ah, hei, jangan lakukan itu!” protesnya. “Ini basah, jadi kamu harus hati-hati!”
“Tidak apa-apa,” kata Kai cepat. “Aku bisa meletakkannya di depan pemanas dan—”
“Kamu juga tidak boleh melakukan itu! Jika semuanya saling menempel, kamu tidak akan bisa membacanya! Aku akan mengambilkanmu gunting!” Nanaka dengan cepat mengeluarkan gunting dan menyerahkannya pada Kai.
“…Shiraseki-kun?” tanya Nanaka ragu-ragu. Proses berpikirnya adalah dia bisa menggunakannya untuk membuka amplop dengan hati-hati dan memastikan bahwa isinya masih baik-baik saja, jadi Nanaka tampak bingung saat Kai membeku dengan gunting di tangan.
Tentu saja, dia akan begitu, pikir Kai. Bagi Nanaka, ini hanyalah surat sederhana. Penting untuk memastikannya agar tidak rusak sehingga tidak akan saling menempel dan tidak terbaca. Nanaka tidak bermaksud lebih dari itu, dan Kai hanya akan membuatnya khawatir jika dia berhenti sekarang.
Dia mengamati gunting dan amplop di tangannya untuk menenangkan hatinya yang gelisah. Ini bukan apa-apa, katanya pada diri sendiri. Tidak peduli apa yang tertulis di sini, itu tidak ada hubungannya denganku sekarang. Aku keluar dari klub. Aku meninggalkan sekolah. Kami orang asing sekarang. Jadi, apapun yang tertulis di surat ini, aku tidak perlu khawatir. Begitulah seharusnya.
Kai mulai memotong surat. Memotong lurus di atasnya dengan baik, tapi bagian tengahnya basah, dan seperti yang Nanaka bilang, itu terlalu menempel sehingga dia tidak bisa mengeluarkan surat itu. Dia dengan hati-hati melanjutkan pekerjaan guntingnya dan memotong di sekitar tepi amplop, membukanya seperti buku dari samping untuk mengeluarkan surat itu. Dengan lembut, untuk memastikannya tidak robek, dia membukanya.
“Jika kamu berkenan, aku mohon agar kamu mau berbicara denganku.” Hanya ada satu kalimat tertulis di sana, yang berakhir dengan cukup tiba-tiba. Bagian belakang surat itu berisi tanda tangan Akane dan alamat email pribadinya. Dia mungkin ingin Kai menghubunginya melalui itu.
Suara jantung Kai yang berdebar keras dan hampir meledak mulai mereda. Dia… memohon? Untuk bicara denganku? ia bertanya-tanya, dan memang begitulah maksudnya. Lagipula, surat itu telah dikirim untuk Kai, jadi tidak ada orang lain yang bisa dia tuju.
Kai bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika dia menghubungi Akane. Apakah ada sesuatu yang ingin Akane bicarakan? Setelah menyatakan bahwa dia akan keluar dari klub, dia menghindari ruang klub dan tidak pernah melihat Akane lagi di sekolah. Dia akhirnya pindah tanpa berbicara dengan Akane satu kali pun. Jadi, ada kemungkinan yang masuk akal bahwa Akane memiliki sesuatu yang perlu dia bicarakan dengan Kai. Ada juga kemungkinan bahwa bukan itu masalahnya. Kai adalah anjing yang telah menggigit tangan orang yang memberinya makan. Siapa yang dapat meyakinkan bahwa Akane tidak akan mencela Kai sama sekali, bertanya, “Kenapa kamu melakukan itu?”
“Ada masalah…?” tanya Nanaka.
“Oh, um, tidak, ini… sama sekali… bukan apa-apa,” Kai berhasil berkata.
“…Benarkah?”
Kai menyadari bahwa dia tidak bisa lagi mendengar suara hujan yang menggedor jendelanya. Sepertinya badai sudah berakhir.
“Shiraseki-kun, kenapa… kamu melakukan hal seperti itu?” suara Nanaka bergetar dengan ekspresi yang sedikit sedih saat dia bertanya.
Pertanyaan Nanaka menyerap panas tubuh Kai, dan dia merasa menggigil.
“Um, maaf,” lanjut Nanaka. “Aku penasaran tentang ‘kebohongan besar’ yang Eru bicarakan… Jadi, aku mencarinya. Masalah dengan sekolah lamamu… T-Tapi! Menurutku kamu tidak akan melakukan hal seperti itu tanpa alasan yang kuat—”
“…Maaf. Aku tidak bisa… memberitahumu.” Kai terkejut betapa rendah dan dinginnya nada suaranya saat dia membungkam Nanaka.
Nanaka berusaha untuk melanjutkan, tapi akhirnya mengatupkan bibirnya. Kemudian, dia tegak dengan semangat. “Janji kita!” umum Nanaka.
“…J-Janji?” Saat Kai menatap ke ekspresinya yang penuhi tekad, Kai tidak mengerti apa yang Nanaka maksud. Kemudian, segera setelah itu, Kai menyadari bahwa Nanaka sedang berbicara tentang janji yang Kai buat bahwa dia akan ‘melakukan apa pun yang Nanaka katakan’ karena sudah mengintipnya di kamar mandi.
“Aku akan menggunakan itu,” ujar Nanaka, “sekarang!”
◇
Apa yang terjadi di Tsukigase? Ceritakan seluruhnya, seluruh kebenarannya, hingga setiap detailnya. Itulah perintah yang Kai kira akan ia dapatkan.
Namun, itu tidak terjadi, saat Nanaka bilang, “Ikutlah denganku.” Dia memakai kaus kaki dan segera pergi keluar, jadi Kai mengikutinya dan menuju pintu depan.
Hujan sudah berhenti. Tapi langit mendung tetap tidak diterangi oleh matahari dan tetap dipenuhi dengan awan hujan hitam dan abu-abu, yang mengambang di tempat.
Nanaka sedang menunggu beberapa langkah dari pintunya dan terus berjalan begitu Kai menyusulnya. Dia menuju ke terminal bus dekat Stasiun Niigata. Mereka berdua naik ke bus Rute C22 yang kebetulan berhenti saat mereka tiba. Kai belum pernah naik bus sejak dia pindah ke Niigata, jadi meskipun mengetahui rute mana yang dilalui bus tersebut, dia tidak tahu ke mana tujuan mereka. Nanaka mengisyaratkan dia untuk duduk dan keduanya duduk, berdampingan.
Setelah sedikit menunggu, bus berangkat di sepanjang jalan dan melintasi jembatan besar. Melalui jendela di sebelah kanannya, Kai bisa melihat abu-abu gelap dari langit mendung yang terpantul di sungai. Dia melirik ke kiri, tempat Nanaka duduk di kursi lorong dengan menghadap lurus ke depan.
Bus mengguncang mereka maju mundur selama dua puluh menit sebelum mereka turun. Kai memperhatikan bahwa mereka berada di dekat akuarium, tapi tampaknya bukan tujuan yang diinginkan Nanaka. Kai mengikuti dari belakang saat Nanaka memimpin jalan.
Kai merasa dia tahu ke mana tujuan Nanaka sekarang karena mereka terus menyusuri jalan setapak yang dipenuhi tanaman hijau, dengan penahan angin yang terdiri dari pepohonan di kedua sisinya. Saat mereka berdua berjalan beriringan bersama, akhirnya pemandangan terbuka sekaligus.
Laut.
Diingat-ingat lagi, Kai belum pernah mengunjungi laut setelah pindah.
Sementara Nanaka terus berjalan maju, Kai melamun, menyerahkan dirinya pada angin laut sepoi-sepoi sampai Nanaka berbalik untuk melambai padanya. Kai bergegas menuruni jalan setapak dan turun ke pantai. Ini bukan musim yang tepat untuk berwisata ke pantai, dan tidak ada seorang pun yang terlihat. Ada sebuah rumah klub di tepi pantai dalam pemandangan yang, secara alami, ditutup untuk bisnis saat Nanaka berjalan melalui suasana yang tenang dengan nuansa keakraban. Nanaka terhuyung-huyung melintasi pasir lembut ke tepi air dan kemudian melompat ke atas balok beton yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat seperti mencuat dari pantai. Nanaka berjalan ke tepi beton dan akhirnya berhenti.
Begitu Kai menyusulnya, Nanaka berkata, “Kamu duluan,” dan memberi isyarat dengan tangannya ke arah laut.
“…Huh?” tanya Kai dengan bingung.
“Yah, kita sudah sampai sejauh ini,” kata Nanaka padanya. “Jadi hanya ada satu hal yang harus dilakukan, kan?”
“…A-Aku tidak yakin apakah kita harus melompat,” kata Kai gelisah.
“Huh?!” seru Nanaka. “Bukankah masih agak dingin untuk itu? Kamu akan sakit.”
Terima kasih tuhan. Kai senang mendengar bahwa Nanaka tidak berniat untuk membuatnya menceburkan diri ke laut karena sikapnya yang banyak pikiran.
“Oke, baiklah… Nih, bisakah kamu pegang ini?” Nanaka menyerahkan tasnya. Kemudian dia meletakkan tangannya yang baru terbebas di pinggangnya, meregangkan punggungnya, dan menarik napas dalam-dalam, sebelum mengeluarkan semuanya sekaligus. “Aaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!”
Gelombang Laut Jepang yang keras dan pecah, semburan air laut yang memercik bertabrakan dengan beton, dan suara Nanaka, memeras keluar semua yang dimilikinya, semua bercampur dan bergema melewati ujung lautan. “Pfwah!” Dia terbatuk, lalu berbalik ke arah Kai. “Oke, Shiraseki-kun, giliranmu!”
“Apa?! Aku juga?”
“Itu benar!”
Diberi isyarat oleh tatapan tajam Nanaka, Kai tidak sanggup menolak. Dia tidak tahu postur yang tepat untuk berteriak ke laut—mungkin tidak ada, pikirnya—tapi untuk jaga-jaga, dia meniru gerakan Nanaka sebelumnya. Dia meregangkan punggungnya, menarik napas dalam-dalam, dan mengeluarkannya dengan sekuat tenaga. “Aaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!” Kai meneriakkan semua udara di paru-parunya.
Ketika dia melihat ke arah Nanaka, dia berdiri di samping Kai dengan wajah paling terkejut yang pernah dia lihat. “Sh-Shiraseki-kun,” katanya, “Aku tidak tahu kalau kamu bisa berteriak sekeras itu…”
Hei, kaulah yang menyuruhku, pikir Kai. Terlepas dari pemikiran itu, dia sendiri tidak ingat pernah meninggikan suaranya sekeras ini sebelumnya. Bahkan mungkin ini pertama kalinya dia melakukan itu.
“Kamu tahu,” renung Nanaka, “itu tidak semenyegarkan yang kukira.”
“Ya, itu tidak— Tunggu, apa?” Kai berhenti sejenak. “Aoi-san, kamu belum pernah melakukan ini sebelumnya?” Pada diri sendiri Kai berpikir, Lalu kenapa dia berpikir untuk melakukan ini? Kenapa dia berpikir untuk membuatku melakukan ini?
“Tidak pernah,” Nanaka mengakui, berjongkok untuk menatap laut dan melambaikan tangan kirinya ke atas dan ke bawah untuk membuat Kai bergabung dengannya. “Kalau kamu tanya kenapa?”
Permukaannya masih basah karena hujan badai tadi, jadi Kai berjongkok dengan hati-hati. Suara deburan ombak yang sampai ke telinganya lebih jelas dari sebelumnya, Kai menyadarinya. Saat Kai menatap jauh ke laut, dia melihat sekilas matahari terbenam melalui celah yang jauh di awan. Cahaya matahari terbenam semakin kuat saat awan melayang terbang. Langit di atasnya berwarna abu-abu kusam, tapi di kejauhan, cahaya merah tua yang indah menciptakan cahaya surga.
“Kamu lihat,” jelas Nanaka, “setiap kali aku merasa galau, aku datang ke sini.”
“Galau?” tanya Kai.
“Seperti tentang rumor, atau cinta, atau masa depanku… atau cita-citaku. Ada begitu banyak, lho? Jadi, ketika aku merasa galau, aku keluar ke sini dan hanya menatap ke laut,” kata Nanaka padanya. “Lautan sebenarnya sangat ekspresif. Kadang-kadang ombaknya tinggi, atau riaknya sangat putih, atau jika cuacanya cerah, aku bisa melihat pulau-pulau yang jauh… Hari-hari seperti ini di mana cuacanya cerah, tapi hanya di kejauhan, mungkin agak langka. Dan, yah, ketika aku duduk di sini dan menatapnya sebentar, akhirnya semua itu berhenti menjadi masalah. Aku menganggap itu sebagai tanda bahwa aku sudah jadi lebih baik lagi dan pulang.”
“Begitu… ya,” kata Kai netral. Kesan pertamanya tentang Nanaka adalah bahwa dia hidup di bawah sinar mentari, bahwa Nanaka berbeda darinya, bahwa Nanaka hidup di dunia tanpa bayangan. Itu adalah “Nanaka” bagi Kai. Bahkan ketika Kai melihatnya di kelas, Nanaka selalu berbicara sama teman-temannya dengan senyuman di wajahnya. Kai tidak berpikir kalau Nanaka akan jadi seseorang yang akan khawatir, merasa cemas, atau memendam emosinya.
“Aku tidak akan bertanya,” ujar Nanaka. Pada saat Kai sadar, mata Nanaka telah berpindah dari lautan ke dirinya. “Ada hal-hal yang tidak ingin aku ceritakan pada orang lain. Shiraseki-kun, aku yakin kamu juga begitu. Jadi, aku tidak akan memaksamu untuk memberi tahuku.”
“Aoi-san, kamu punya hal seperti itu juga?” tanya Kai.
“…Yup. Tapi jika kau memendamnya seperti itu, itu benar-benar membuat stres,” katanya. “Saat kamu bilang, ‘Aku tidak bisa memberitahumu,’ sebelumnya, wajahmu agak… sesuatu. Aku ingin menunjukkan padamu bahwa, ketika aku merasa seperti itu, beginilah caraku menghadapinya.” Kemudian, dia tiba-tiba meninggikan suaranya seperti dia mengingat sesuatu. “Ah, aku belum pernah menceritakan hal ini kepada siapa pun sebelumnya! Jadi, ini rahasia! Oke?!”
“O-Oke.” Kai mengangguk, dan ekspresi Nanaka berubah menjadi senyuman malu-malu.
Mereka menatap ke laut lagi sebentar sampai Nanaka berdiri dan berkata, “Ayo pulang.” Mereka berdua turun dari balok beton dan kembali ke pantai tempat mereka datang.
Kai ingin menceritakan semuanya padanya. Namun, pada akhirnya, dia tidak sanggup memanggil Nanaka saat dia berjalan di depan Kai. Nanaka berbalik setelah melewati beton dan menatapnya dengan rasa ingin tahu saat Kai berdiri diam.
Merasa didesak oleh suara ombak yang pecah, dia mulai mengejar Nanaka tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Post a Comment